Tentang
reformasi birokrasi (RB), sejenak kita renungkan dan berpikir ke belakang. Visi
pembangunan Indonesia tahun 2025 terwujudnya “Indonesia yang mandiri, maju,
adil, dan makmur” lama telah kita dengar. Idealisme dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ini di-breakdown
ke dalam 4 pentahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yakni good governance (2005-2009), reformasi
birokrasi dan UU ASN (2010-2014), Smart ASN
(2015-2019), dan ASN human capital
(2020-2025).
Saat
ini kita telah memasuki dan berada di ujung era RPJM ke 3 (2015-2019) yakni terciptanya
smart ASN yakni ASN yang berwawasan
global, menguasai bahasa asing dan iptek, serta mampu berkolaborasi dan
memiliki jaringan luas. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah posisi
Kementerian Agama benar-benar telah masuk tahap tersebut?. Sementara pekerjaan
rumah terkait dengan 8 aspek perubahan sebagai faktor pengungkit masih
mengalami banyak kendala. Sisa dua tahun
dalam tahap RPJM ke 3 memerlukan usaha serius semua lapisan jika kita tidak
ingin gagal. Mengapa demikian, karena program RB sebagai suatu kebijakan erat
kaitanya dengan usaha dan kerja keras pelaku (stakeholder) yang memiliki andil untuk mewujudkannya (Dunn, 2001).
Berbagai
perubahan dalam kebijakan RB, secara otomatis menuntut organisasi harus mentransformasikan dirinya
menuju sebuah institusi yang lebih baik. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di era global yang serba terbuka tentu berimplikasi
terhadap eksistensi organisasi terkait dengan aspek lainnya yang menurut
istilah Hammer dan Champy (1994) dikenal dengan 3 C, yaitu customer, competition,
dan change.
Pelanggan, kompetisi, dan perubahan merupakan sebuah
proses alami yang lahir sebagai sebuah tekanan yang mendorong adanya RB pada
lembaga publik. Menurut Lewin (1951) bahwa pola perbaikan dalam organisasi ini
karena adanya saling berhadapan antara kekuatan tekanan (driving force) dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Sedianya, RPJPN di atas merupakan usaha
memperkuat driving force sekaligus melemahkan
resistences to change.
Evaluasi
dan penilaian terhadap keberhasilan reformasi birokrasi oleh Kemenpan-RB tiada
lain adalah upaya untuk mendeteksi kebenaran bahwa Kementerian dan Lembaga
Pemerintah telah berada pada garis yang benar melakukan RB yang ditunjukkan
dengan bukti (evidence) berupa
dokumen yang menggambarkan pelaksaan program tersebut. Artinya, bahwa RB telah
dijalankan dan dibudayakan dalam praktek pelaksanaan pekerjaan. Jadi,
sesungguhnya RB bukan bagiamana mengumpulkan dokumen selengkap-lengkapnya tetapi
bagaimana membuat berbagai perubahan itu menjadi satu budaya yakni program kolektif
suatu pikiran
tentang bagaimana cara mengerjakan sesuatu dan mengatasi persoalan pekerjaan (Bomard, 1995).
Program
RB memang seiring seirama dengan upaya penciptaan budaya dalam kerja yang baik.
Dalam RB ending-nya adalah kualitas
layanan yang memberikan kepuasan kepada masyarakat, dan budaya kerja merupakan nilai yang menjadi pedoman untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan penyesuaian integrasi dalam sebuah organisasi sehingga masing-masing anggota
organisasi dapat memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berprilaku (Susanto, 1997),
serta menekankan
pada kesempurnaan pelayanan, kompetensi dan dedikasi (Steimet & Toeki, 1992). Artinya, program RB
bergaris lurus dengan penciptaan budaya kerja. Manakala budaya tercipta dengan
baik tentu layanan akan semakin baik dan optimal, maka RB pun dapat diraih.
Konsep layanan sebagai substansi pokok dalam RB sesungguhnya dikaitkan dengan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi
tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang
membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik
menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak
masyarakat ramai yang memiliki keanekaragaman kepentingan dan tujuan. Jadi, sangat fatal kesalahan kita
jika RB dimaknai sebagai usaha mengumpulkan dokumen untuk dinilai, setelah itu
selesai dan tidak membekas pada perilaku kerja, yang benar adalah menciptakan
budaya kerja yang efektif dan efisien dalam mengoptimalkan layananan yang
dibuktikan/didukungan kelengkapan dokumen.
Di
Badan Litbang dan Diklat, Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum (OKH)
adalah leading sector pengelolaan
program RB pada level sekretariat maupun Badan Litbang. Banyak item pekerjaan
yang telah dilakukan menuju keberhasilan RB ini seperti koordinasi terkait
pengaturan prosedur kerja, review peraturan perundangan, pemantapan zona
integritas. Pada aspek yang telah dibuat dan dikoordinasikan ini, tuntutan
selanjutnya adalah implementasi oleh seluruh pegawai. Misalnya, SOP telah
dibuat dan disepakati dalam setiap item pekerjaan, idealnya dijadikan tradisi
dalam bekerja, peraturan yang telah disiapkan harus menjadi rambu-rambu, dan
perilaku kerja yang menjunjung tinggi nilai integritas sesuai dengan perjanjian
kinerja yang telah dibuat. Untuk mewujudkan ini tentu tidak lepas dari
pengawasan pimpinan (juga masuk dalam ranah penilaian RB) pada setiap level
sehingga berdampak pada peningkatan akuntabilitas kerja individu maupun organisasi.
Sedangkan pada aspek yang belum dilakukan karena terkait dengan tugas dan
fungsi unit lain, maka harus dilakukan koordinasi dan komunikasi. Misalnya
adalah terkait organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran, masalah SDM, dan
kualitas layanan. Maka harus dilakukan riset evaluasi yang melibatkan
Puslitbang yang memiliki kewenangan untuk itu.
Saat
ini dokumen terkait kinerja individu dan organisasi masih sangat dibutuhkan
untuk menjawab tentang ke-mengapaannya. Secara teoritik, Wright and Taylor (1994)
mengidentifikasi 9 dimensi yang dapat menjadi penyebab kemungkinan permasalahan
kinerja, yaitu dimensi kejelasan sasaran (goal
clarity), dimenasi kemampuan (ability), dimenasi tingkat kesulitan
tugas (task difficulty), dimensi
motivasi intrinsik (intrinsic motivation),
dimensi motivasi ekstrinsik (extrinsic
motivation), dimensi umpan balik (feedback),
dimensi sumber-sumber (resources), dimensi
kondisi kerja (working conditions),
dan dimensi permasalahan pribadi (personal
problems). Untuk memastikan hal
yang terjadi di lingkungan Badan Litbang ini maka perlu riset sehingga terjawab
apa faktor penyebab permasalahan kinerja tersebut dan dapat dicarikan
solusinya. Khusus tentang SDM, saat ini harus menjadi prioritas dilakukan riset
dan tindaklanjut pengembangannya menuju smart
ASN karena ini menjadi fokus tahapan yang telah dibuat dalam kurun RPJMN ke
tiga (2015-2019).
Bila
hal ini dilakukan secara terkoordinasi, bisa dipastikan RB sukses dapat kita
capai. Secara culture, organisasi
akan semakin baik dengan continuous improvement
sebagai hasil kajian ilmiah, dan dokumen yang diperlukan dapat dipenuhi sebagaimana
aktivitas yang telah dilakukan. Namun sebaliknya, bila mind set RB kita adalah semata-mata pemenuhan dokumen sehingga yang
belum tersedia harus ada dan diadakan, maka bisa jadi hal ini dapat dicapai memenuhi
nilai yang diharapkan namun substansinya hilang, budaya kerja tetap lemah, kapasitas
dan akuntabilitas organisasi tidak bergerak naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar