Zaman kini telah
berubah, jika dulu kekuatan bergantung pada sekumpulan orang dalam kelompok-kelompok
yang membangun visi bersama untuk tujuan tertentu, sekarang individu secara mandiri
bisa memiliki kekuatan luar biasa baik dalam aspek penguasaan ekonomi maupun
lainnya. Manusia sekarang dapat dengan leluasa menggunakan media sosial
berbasis internet melakukan apa yang dikehendakinya. Bagi mereka yang kuat
mengemban values kemanusiaan
menggunakan internet untuk kemaslahatan manusia, namun bagi yang hanya
berorientasi praktis, ekonomis, bahkan politis bisa jadi menggunakannya hanya
untuk kepuasan dan target-target pribadi.
Perubahan era ini
mendorong pentingnya nurani manusia untuk mengelola kompetensi dirinya bagi
kesejahteraan khalayak banyak. Jika tidak, maka hancurlah dunia ini oleh keserakahan
manusia yang terkungkung oleh hawa nafsunya. Pantaslah jika kemudian di Amerika
banyak orang yang mencoba mendaftarkan diri untuk turut serta eksodus ke planet
baru untuk menapaki kehidupan barunya.
Menurut Taufan
Hariyadi, dalam Republika edisi Rabu, 18 April 2018, halaman 6 dinyatakan bahwa
kalau ada senjata pemusnah massal di era industri 4.0 seperti sekarang, media
sosial bisa jadi salah satunya. Kekuatan internet dengan cepat mampu mengubah
cara pandang, menjungkirbalikan logika, bahkan melemahkan daya nalar. Revolusi
kini tidak lagi melalui senjata atau tank, melainkan bisa melalui medsos. Saat
Wael Ghonim sukses memimpin gerakan revolusi di Mesir yang menginginkan
perubahan di negaranya, hanya melalui facebook. Ia menjadi kotor revolusi
menggulingkan rezim Hosni Mubarak. Model revolusi ini juga berlanjut di
Tunisia. Rezim presiden Zine El-Abidine Ben Ali tumbang di bawah keperkasaan
internet. Di Indonesia keperkasaan media sosial, ketika gerakan 212 yang mampu
menggerakan jutaan masa untuk menuntut penyelesaian kasus penistaan agama yang
dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama.
Menurut Turkle, bahwa di
tengah teknologi yang semakin maju, sesungguhnya manusia itu rapuh dan rentan
dan yang paling parah lagi adalah merasa sendirian. Medsos sesunguhnya memberikan
pilihan kepada umat manusia untuk lebih baik atau sebaliknya. Anak-anak bisa
semakin berprestasi atau malah semakin jatuh akibat pencetan tombol yang salah
sehingga muncul informasi yang tidak baik.
Hoaks saat ini terus
berkembang dimana-mana dan masuk pada semua lapisan, kita sering sulit
membedakannya mana yang benar dan mana yang hoaks, kita tertipu bahkan bisa
saling serang dan membunuh karena hoaks. Sungguh ini telah lama dinyatakan oleh
Syekh Hasyim Asy’ari bahwa nanti akan tiba suatu zaman sebagai tanda-tanda
kiamat dimana terjadi aktivitas tulis menulis tetapi isinya adalah fitnah dan
kebohongan.
Adakah instrumen yang
mampu menangkal, membendung dan membedakan “hoaks” saat ini? Sepertinya tidak
ada, semua kembali pada prinsip masing-masing individu. Integritas diri menjadi
kunci utama, kesalehan pribadi dalam mengelola berbagai informasi dari medsos
perlu diutamakan agar tidak meracuni banyak generasi bahkan memakan korban luas.
Barang siapa yang hendak meracuni suatu generasi maka racunilah materi bacaannya,
artinya siapa yang menyebarkan informasi palsu, kebohongan, fitnah, adu domba
maka dia adalah predator generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar