Prof. Irwan Abdullah.
Antropolog UGM secara lugas menyitir bahwa Kementerian Agama dihadapkan pada
banyak persoalan internal dan eksternal. Persoalan internal adalah kurangnya
bahan untuk menghadapi berbagai isu yang berkembang bahkan lemahnya antisipasi terhadap
derasnya perubahan tersebut. Sedangkan persoalan eksternal adalah terjadinya
perubahan negara karena peralihan era revolusi industri.
Dahulu zaman Suharto,
para ilmuwan sosial pernah ditempeleng lewat Menteri Sekretaris Negara
Murdiono. Beliau mengatakan bahwa saat ini kebijakan yang diambil adalah
pilihan yang buruk dari yang paling buruk karena ilmuwan sosial tidak
memberikan sumbangan atau hasil-hasil yang baik misalnya saja tentang masalah
kebudayaan. Kebudayaan menurut pandangan seniman dan ilmuwan itu berbeda.
Menurut seniman kebudayaan itu produk hasil-hasil seperti lukisan, seni.
Sedangkan menurut ilmuwan kebudayaan itu adalah kata kerja sehingga menjadi
etos. Contoh sederhana adalah tentang agama yang didorong ke masjid-masjid dan
tempat ibadah sehingga tidak ditemui di pasar, di kantor, dan di semua tempat.
Dengan demikian agama dijauhkan dari keummatan. Nah, riset-riset ini yang
kemudian disorot kurang memberikan kontribusi kepada Pemerintah
Dikatakan, saat ini
negara telah memasuki era disruption (gangguan/kekacauan)
setelah mengalami beberapa tahap revolusi industri, yaitu: Era 1.0 yang
ditandai dengan adanya mesin uap, Era 2.0 ditandai dengan banyaknya penggunaan
mesin dalam berbagai aspek, Era 3.0 ditandai dengan penggunaan listrik pada berbagai
sendi kehidupan, dan Era 4.0 ditandai dengan aktivitas berbasis internet. Efek
perubahan menurut murid Clifford Geertz ini menuntut kita melakukan penyesuaian-penyesuaian
termasuk dalam bidang penelitian. Tema-tema penelitian harus berubah, jika tidak berarti kita tidak membaca bahkan
tidak peka terhadap fenomena yang berkembang.
Dijelaskan, dulu agama
bersifat otoritatif, dominan dan absolut. Makanya judul-judul penelitian lebih
pada peran ulama dan perubahan sosial misalnya. Nah era sekarang, tokoh-tokoh
agama bisa dipertanyakan bahkan dilaporkan. Jadi otorisasi masa lalu sudah
berubah. Tempat-tempat ibadah mengalami dislokasi dan disfungsi sehingga agama
semakin lemah. Dulu agama sebagai komunitas dimana setiap orang saling terikat
karena spirit agama, saat ini telah hilang sehingga perlu revitalisasi dan
rekonstruksi melalui naskah-naskah yang berisi kekuatan masa lalu. Jadi, papar
Irwan, kita perlu belajar sejarah karena sejarah itu adalah identitas dan ujungnya
adalah solidaritas.
Era revolusi industri 4.0
menurut Irwan adalah era dimana kita dirampas oleh media berbasis internet yang
kekuatannya dapat mengubah semua hal. Orang bisa terkenal mendadak karena media
dan orang dapat menggali berbagai informasi lewat media. Efek dari itu semua adalah
terjadi depersonalisasi. Jika dulu belajar agama bersifat personal menyangkut
hubungan antara santri dengan gurunya, saat ini tidak lagi seperti itu, orang
belajar melalui gambar, simbol, video, sehingga terjadi pendangkalan, pesannya
tidak sampai bahkan bisa menyimpang karena tidak ada kontrol dari gurunya.
Dengan demikian, penelitian di era baru ini harus mampu menjawab berbagai
persoalan di atas, karena ketika agama termediakan, maka substansinya menjadi
hilang karena cenderung polarisasi dan entertain/hiburan.
Datangnya era baru ini
tantangan bagi peneliti. Oleh karenanya, menjadi peneliti harus merupakan
panggilan jiwa, jika tidak maka bisa menghasilkan tabel-tabel tapi tidak ada
rasanya yakni rasa keindonesiaannya. Perlu disadari, bahwa posisi Kementerian
Agama itu adalah institusi yang memiliki tugas dan fungsi melakukan proses
menuju tujuan nasional diantaranya menciptakan harmoni atau kerukunan umat
beragama. Persoalan kerukunan ini tidak pernah selesai hingga sekarang. Puslitbang
Lektur seyogyanya menjadi pionir mem-back
up institusi Kementerian Agama dalam menjawab persoalan-persoalan yang
terus berkembang, salah satunya melalui policy brief yang harus dihasilkannya
setiap saat.
Untuk itu, kita perlu bagaimana
mereformasi lembaga dengan baik, yaitu dengan cara membangun pilihan nilai yang
harus disepakati bersama baru setelah itu membuat visi dan misi. Dengan pilihan
nilai yang diambil maka terdapat tiga hal penting penopangnya, yakni idealisme anggota,
pengetahuan (knowledge), dan keteladan.
Setiap anggota
organisasi harus memiliki idealisme sehingga melahirkan identitas dan
solidaritas. Tanpa idealisme maka kinerja menjadi buruk karena tidak ada
karakter dan kebersamaan yang dibangun. Pengetahuanpun menjadi sangat penting,
dimana setiap anggota dituntut memiliki pengetahuan yang cukup sesuai bidang
tugasnya, tanpa pengetahuan pekerjaan menjadi kacau bahkan tidak menghasilkan
sesuatu. Dan terakhir adalah keteladan yang harus melekat pada setiap diri
dengan penuh komitmen, disamping harus meneladani orang yang lebih baik, tapi lebih
penting adalah dapat diteladani oleh orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar