Tahun
1980an, desa Kreyo tergolong desa yang masih sepi dan perekonomian
masyarakatnya rendah. Banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah karena
ketidakmampuan orang tua untuk membiayainya, mata pencaharian masyarakat petani
dan berkebun sangat terbatas dan tidak cukup untuk menunjang kebutuhan
pendidikan tidak seperti saat ini digratiskan oleh pemerintah. Selain itu,
tentu pola pikir masyarakat tentang makna pendidikan belum mengerti.
Usia
7 tahun sebagai usia masuk sekolah dasar, mendorong kakek mendaftarkanku masuk
sekolah dengan mendaftarkan pada seorang guru. Pengelolaan sekolah yang masih
serba sederhana dan minat masyarakat menyekolahkan anaknya yang terbatas,
mungkin membuat pola rekrutmen siswa baru tidak begitu rumit yang penting mau
sekolah dan siap belajar. Di pagi hari, kakeku mendatangi warung kopi dimana
ada seorang guru sedang santai menikmati kopinya, lalu aku didaaftarkan sebagai
calon peserta didik di Sekolah Dasar Impres. Kakeku berkata: guru!...ini saya
daftarkan cucu masuk sekolah. Dengan menggunakan bahasa jawa cirebonan. Lalu
sang guru....Pak Dasuki namanya, menjawab ayo sini....coba angkat tangan
kananya dan naikkan di atas kepala lalu pegang telinga kiri. Aku menuruti saja
apa perintahnya. Ternyata tangan kananku sampai memegang telinga kiri. Pak
Dasuki pun menjawab : ohya sudah boleh sekolah karena tangannya sudah sampai
pegang telinga kiri. Benar atau tidak metode seperti itu, serius atau tidakkah
Pak Dasuki waktu itu untuk mengukur kesiapan belajar anak dilihat dari batas
minimal usia, namun benar hal itu aku lakukan.
Usai
bincang-bincang dengan kakek Ahmad namanya, lalu Pak Dasuki menulis biodataku
dengan banyak bertanya kepada kakek. Sangat mudah dan sederhana pak Dasuki
mencatat yang disampaikan kakek dalam secarik kertas bekas bungkus rokok. Siapa
namanya dan kapan tanggal lahirnya, serta semua data yang diperlukan dijawablah
oleh kakek tanpa konfirmasi dengan akte kenal lahir dan bukti-bukti lainnya.
Ditulislah nama ASROI, padahal nama lengkapnya IBNU ASROI, kemudian tanggal lahir
CIREBON 12 OKTOBER 1973, padahal yang sebenarnya dalam akte kenal lahir adalah
CIREBON 20 JULI 1973. Salahlah semua data yang dimasukkan dan terdokumentasikan
dalam data siswa.
Suka
duka belajar di sekolah dasar sebagai basic pengembangan mental dan karakter
dilalui setahap demi setahap dengan berpindah-pindah tempat sampai 3 kali
karena keterbatasan ruang kelas. Lupa-lupa ingat, tahun pertama sekolah di SD
Induk berlalu dengan ruang sangat terbatas bahkan sebagian siswa duduk di
lantai dan di kolong meja. Sepertinya aku merasakan belajar di bawah kolong
meja. Tentu sama seperti anak kecil lainnya, lepas dari penglihatan guru terasa
nyaman bebas bergerak dan bisa bergurau, maklumlah dunia anak itu adalah dunia
bermain.
Culun
dan lucu, itu predikat untuk anak-anak sepertinya. Bangun pagi dengan sigap
tanpa dibangunkan, sadar bahwa aku sudah bersekolah. Bergegas mandi dan
berpakaian sekolah tidak lupa pakai minyak rambut merek "minyak goreng
alias jelantah", sesekali habis aku colek juga minyak goreng yang tersisa
dipenggorengan. Geli memang....tapi itu aku lalui terus. Sampai di sekolah
duduk untuk siap mengikuti pelajaran, nah....satu saat ada teman teriak:
"ada tukang suntikkkkk.....ada tukang sudat....." lalu loncat dan
bertebaranlah semua siswa lewat jendela lari terbirit-birit pulang ke rumah
masing-masing karena takut disuntik. Karena ketidakmengertian dan pemahaman
yang konyol tentang program Pemerintah untuk memberikan vaksin kepada seluruh
siswa SD saat itu membuat aku selalu lari dan pulang kalau melihat ada orang
datang menuju kantor guru dengan membawa tas koper. Trauma dengan kata
"disuntik atau disudat" membuat aku tidak punya pengalaman divaksin.
Kok takut ya disuntik??? Rasanya ada hubungan dengan kata yang sering terucap
oleh orang tua waktu itu jika menakut-nakuti anak yang rewel, menangis, dan
nakal dengan kata "awas nanti disuntik"
Lepas
kelas 1, kebijakan sekolah memindahkan siswa kelas 2 dan 3 di SD Impres yang
letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 200 M. Terkenang guru-guruku
waktu itu: Ibu Nining, Ibu Sarah, Ibu Erna, Pak Rifai, Pak Gozali dan Pak
Saeful selaku Kepala Sekolah. Hampura guruku yang tidak tersebutkan karena
telah sekian lama tidak jumpa sehingga mungkin hilang dari ingatan yang sangat
terbatas ini. Terimakasih para pahlawanku yang telah menggiringku ke jalan
kebenaran melalui cerita, semangat, motivasi, dan disiplin yang engkau tanamkan
dengan ibroh yang sangat banyak.
Keluguan,
ketidakpahaman, dan sikap tidak rajin ku akui saat ini dan karena lelahmu
guruku saat itu, kini aku menjadi paham tentang apa yang engkau tanamkan susah
payah. Melawanku karena belum berilmu dan malasku karena bodohku, memang
seperti pepatah bahwa menyesal itu muncul belakangan. Kini mungkin aku dan
sebagian teman-temanku hanya bisa bilang: jika saja dulu....maka saya akan...,
tetapi menyesali terus tanpa berbuat untuk berubah tentu sia-sia. Maka tetap
dengan rasa syukur, aku terus menatap dunia ini penuh dengan optimis.
SD
kelas 4, kelasku diboyong pindah lagi ke SD Induk, bersyukur aku bertemu dengan
guru yang lain Pak Dasuki yang dulu menerima pendaftaran, Pak Tawala guru muda
yang pandai matematika, Pak Ade Arifin, Pak Ukari, Pak Johan, dan Pak Kamad
Wirasasmita kepala sekolah yang bertampang serius dan menakutkan. Wahai
guru-guruku, saat ini aku sadar tentang berbagai makna yang telah engkau
ajarkan, rambutku pernah dijambak karena gondrong, telingaku dijewer akibat
bandel, dan dilempar kapur tulis karena tidak memperhatikan pelajaran yang
sedang dijelaskan, ternyata itu semua pelajaran berharga penuh arti tentang
bagaimana kita harus bersikap dalam hidup, saat kapan kita harus bagaimana, dan
dimana kita harus berbuat apa. Hari ini aku menyadari itu.
Pola
pengelolaan kelas yang berubah seiring kebijakan Pemerintah, saat aku naik ke kelas
5, setiap kelas harus diajar oleh guru kelas bukan guru mata pelajaran, maka
dipindahlah kelasku ke gedung Madrasah, tidak terlalu jauh dari SD Induk. Guru
kelasku waktu itu adalah Pak Ade Arifin, alhamdulillah saat ini beliau masih
sehat dan bugar beraktivitas. Satu tahun lamanya aku belajar dibawah didikan
Pak Ade Arifin, semua mata pelajaran beliau ajarkan kepada seluruh siswa setiap
hari bergantian. Hal yang paling terkesan adalah pelajaran PSPB saat itu,
beliau mengharuskan siswa berkelompok untuk memperagakan percakapan antara
Sukarno dan penjajah Belanda. Metode drama, Pak Ade mendorong siswa
mempraktekkan dan menyelami isi percakapan yang tersedia dalam teks membuat
siswa ingat dalam waktu yang cukup lama.
Terkadang
kita tidak mengerti tentang apa yang dilakukan guru, dulu siswa berpikir: ini
guru main-main saja mengajarnya dengan drama segala macam, kita juga suudzon:
ini guru kayaknya lagi malas menjelaskan sehingga ia menyuruh siswanya bermain
drama, sungguh itu hal naif yang sempat terpikir, padahal dalam drama yang
diperankan itu Pak Ade sedang melatih kita bersosialisasi dengan sesama, sedang
menggali potensi yang terpendam dalam diri siswa, sedang mengangkat kemampuan
retorika siswa, sedang membina keberanian kita berbicara, sedang menyemai benih
rasa percaya diri, dan segudang rahasia lainnya.
Asyik
memang mengenang masa lalu waktu kecil yang penuh dengan misteri pada
wajah-wajah polos. Bermain menjadi bagian dari aktivitas yang mewarnai
perjalananku mengarungi kehidupan. Bermain panggalan, pletokan, lenjang, dan
mobil-mobilan dari susunan potongan bambu produk anak-anak kampung yang jauh
dari keramaian dan permainan canggih kaum borjuis. Rasa lapar dan hauspun
dilalui dengan mengisap tebu, naik pohon ceri, pohon salam yang sangat menarik
buahnya, bahkan mencari buah mangga jatuhan di kebun orang untuk sekedar
mengalihkan dari jajanan yang tidak terbeli. Mandi air sungai, bermain bola
saat hujan, mancing di sungai walau hanya dapat ikan-ikan kecil, dan mencari
belut merupakan pengalaman berharga untuk dapat hidup berani melawan situasi
yang saat itu kurang menguntungkan. Bermain jangkrik di sawah dan layang-layang
juga tidak terlupakan menjadikan aktivitas bermain semakin bervariasi.
Tidak
lupa dengan kewajiban sebagai seorang anak untuk membantu orang tua, sejak
kira-kira kelas 4 SD, aku membantu pekerjaan ibuku. Kenyataan saudara-saudaraku
lebih banyak laki-laki, mau tidak mau pekerjaan wanitapun (katanya) aku lakukan,
menyapu rumah, mencuci piring dan peralatan dapur, dan ngepel lantai...yang
terkahir ini sungguh menyenangkan khususnya ketika hari sedang hujan karena
bisa sambil bermain hujan-hujanan. Tidak dipungkiri pula, terkadang pekerjaan
membantu orang tua....juga karena ada motif lain. Di saat ingin jajan tetapi tidak
punya uang, aku berbegas mengambil dua ember sedang, lalu aku pikul mencari air
di sumur tetangga untuk keperluan masak dan lainnya. Mungkin ada tanda
kebesaran Allah disitu, hanya terbelah oleh jalan, wilayah utara jalan kondisi
airnya payau, sedangkan sebelah selatan tidak sehingga layak dikonsumsi. Secara
bergantian dengan saudara lainnya aku memikul air untuk memenuhi kebutuhan dua
rumah, rumah ibu dan nenek.
Hampir
bisa dipastikan, selesai memikul air untuk beberapa gentong penampingan, nenekku
menyodorkan uang. Ia bilang “ni buat jajan”...dalam hati berucap ini memang
yang kutunggu he he he.
Di
penghujung sekolah dasar, aku naik kelas 6 SD dan sekolahpun dipindahkan ke SD
Induk lagi. Hal yang paling khas saat duduk di kelas 6 adalah jajanan nasi
kuning dengan urab kangkung, gulali, rujak kerupuk, dan es teh. Bagi anak yang
orang tuanya mampu, seratus rupiah saat itu bisa mendapatkan semua jajanan itu,
tapi aku hanya 50 rupiah tentu hanya sebagian saja yang didapat. Entah mungkin
itu karunia atau apa, waktu itu tetap saja aku sekolah dengan rajin meskipun
tidak pandai, bahasa lainnya ya...bodohlah....hemmm memang aku ingat waktu SD
itu asal sekolah saja tidak pernah belajar di rumah.
Hari
demi hari sampai pada saat yang menegangkan adalah tes EBTANAS (evaluasi
belajar tahap akhir nasional) untuk mendapatkan nilai NEM (nilai evaluasi
murni). Aktivitas ebtanas ini memberi kesan tersendiri karena harus dilakukan
di sekolah desa sebelah yang harus ditempuh dengan bersepeda. Layaknya
aktivitas baru, ujian ebtanas ini dilalui bercampur antara senang, penuh canda,
takut karena banyak siswa lain, dan tegang karena harus mencapai nilai NEM
tinggi untuk dapat masuk di sekolah Negeri.
Lulus
adalah kata yang sangat menyenangkan. Enam tahun lamanya menimba ilmu di SD,
sekolah sambil bermain, pakaian seadanya, pakai kolorpun jadi, sepatu? tentu
tidak pernah pakai kecuali hanya kelas 6. Kelas 1 hingga kelas 5 sekolah hanya
pakai sandal dan oleh gurupun tidak dilarang karena mereka paham, jangankan
disuruh beli sepatu, asal sekolahpun juga masih banyak yang tidak mau. Siap
grak!!!!!...di apel terakhir Pak Kamad bilang kalian setelah lulus SD harus
melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dan terus lebih tinggi dan jadilah
anak pandai berguna untuk nusa, bangsa, negara, dan agama. Meskipun dengan
nilai yang sangat terbatas, aku merasa senang karena telah lulus sekolah dasar
dan siap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar