NEM atau nilai ebtanas murni pada tahun
1986 merupakan ukuran untuk bisa masuk di sebuah sekolah negeri. Pemerintah
tidak menerapkan kebijakan tes lagi bagi siswa yang hendak melanjutkan sekolah
ke jenjang lebih tinggi. Kalau tidak salah, waktu itu adalah tahun ke dua.
Semua siswa saat itu berlomba untuk mendapatkan NEM tinggi agar bisa masuk ke
sekolah negeri. Sepertinya saat itu belum banyak sekolah swasta yang bagus,
jikapun ada tentu harus membayar uang lebih besar. SMP Negeri Bojong merupakan
salah satu SMP Negeri pavorit di Kecamatan Klangenan bagi anak-anak desa Kreyo
karena paling dekat dijangkau.
Seingatku, mata ujian ebtanas sebanyak 4
pelajaran; Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Dulu, ujian sekolah
benar-benar dilakukan secara serius dan tidak ada anak yang berani menyontek
karena pengawas berfungsi mengawasi jalannya ujian. Jika ada rumor ujian yang
dilakukan beberapa tahun ke belakang adalah dagelan bahkan ada yang dibocorkan,
maka aku dan teman-temanku adalah saksi betapa waktu itu ujian dilaksanakan
dengan sebenar-benarnya.
Berharap memperoleh nilai NEM yang besar
namun apadaya hanya bisa memperoleh nilai 23 koma sekian. Tahun sebelumnya
nilai terendah untuk bisa masuk ke SMP negeri minimal NEM nya adalah 26. Putus
sudah harapan untuk bisa masuk SMP Negeri yang banyak diidamkan oleh siswa.
Rupanya orang tuaku memilih jalan lain daripada masuk ke SMP swasta yang konon
kualitasnya diragukan ditambah besaran biaya yang cukup tinggi, maka aku
didaftarkan di MTsN Arjawinangun, sebuah sekolah lanjutan pertama di bawah
Kementerian Agama dulu namanya Departemen Agama.
Melalui informasi yang diperoleh lewat
teman orang tuaku, Ibu Halimah, semua persyaratan pendaftaran dan materi yang
akan diteskan aku persiapkan dengan baik. Waktu itu memang berbeda kebijakan
antara masuk SMP Negeri dengan masuk MTs Negeri. Masuk MTs Negeri, semua
pendaftar diharuskan mengikuti tes masuk berupa tertulis dan praktek. Ini
memang karena substansi materi yang diajarkan di MTs tidak hanya mata pelajaran
umum tetapi banyak materi pecahan mata pelajaran Agama Islam, seperti fikih,
alquran hadits, sejarah kebudayaan Islam, akidah akhlak, dan bahasa Arab.
Sedikit masih ingat, waktu tes tertulis
berisi materi tentang rukun iman, rukun Islam, dan ihsan ditambah dengan
pengetahuan tentang akhlak, sejarah Islam dan bacaan-bacaan doa. Materi praktek
saat itu, aku diperintahkan memperagakan solat fardlu dengan membacakan
beberapa bacaan solat yang diperintahkan. Aku merasa mudah dan mampu
mengerjakan soal-soal tes dan materi praktek. Tentu ini buah dari keterlibatanku
dalam kegiatan keagamaan di Musholla. Setiap sore hari berangkat mengaji,
menghafal doa-doa, dan ikut dalam rutinitas kegiatan musholla. Solat lima waktu
meskipun belum sempurna semuanya dilakukan tetapi ketika kelas 5 dan 6 SD
minimal 4 waktu dilaksanakan. Subuh memang waktu yang kita sering lupakan.
Peragaan solat pada tes masuk sekolah bagiku adalah hal biasa tidak ada yang
aneh karena keseharianku telah dijalani bahkan doa-doanyapun telah hafal.
Disitulah mulai ada kesadaran sedikit bahwa ternyata keberhasilan itu harus
melalui proses lama dan memerlukan keuletan, betapa tidak? Karena soal-soal
ujian dan tes praktek waktu itu semuanya telah aku pelajari di Musholla.
Menunggu beberapa minggu sampai pada
waktu pengumuman hasil seleksi dan alhamdulillah aku dinyatakan lulus menjadi
siswa MTsN Arjawinangun. Gembira...pastilah, karena kata lulus menunjukkan kita
dapat bersaing dengan calon siswa lainnya.
Persiapan masuk sekolah sebagai siswa dilakukan
sambil menanti-nantikan hari pertama sekolah. Tiba waktunya masa orientasi
siswa baru. Pagi hari bersiap-siap, berpakaian rapih dan naik sepeda menuju
desa Panguragan, kira-kira 2 KM naik sepeda ontel bersama teman lainnya
menyusuri jalan tanah, Rojana dan Komaruzaman adalah teman yang sama-sama
diterima di MTs, juga ada kawan baru dari tetangga desa Bangodua Heri dan Yusuf,
juga kawan wanita, siapa ya namanya...sepertinya sudah lupa. Setiap hari masa
orientasi beramai-ramai aku semangat bersekolah naik sepeda ditemani senior
yang telah masuk tahun sebelumnya, Mukidin dan Kaduni.
Ospek...sarana pengenalan siswa terhadap
lingkungan dan pola belajar di sekolah di kenalkan oleh para senior. Sambil berusaha
mengenal kakak kelas, juga saling mengenal sesama siswa baru terutama mereka
yang satu kelas. Hiruk pikuk dan keramaian selama ospek memiliki kesan
tersendiri, interaksi dengan teman di kelas, di luar kelas, di kantin
menjadikan situasi makin akrab dan menyenangkan, Somay waktu itu adalah jajan
favorit, makan di atas gundukan tanah sambil mendengar alunan lagu Tommy J.
Pisah, di Batas Kota Ini judulnya.
Belajar dari alam dengan melihat
lingkungan sekitar, perhatian tertuju pada arus bolak balik orang tua yang
mengantar dan menjemput putra dan putrinya. Aku termenung memperhatikan
anak-anak lain yang turun dari sepeda motor lalu pamit bersalaman mencium
tangan orang tuanya, saat pulangpun demikian, mereka bergegas menghampiri orang
tua lalu bersalam seperti pagi hari. Heran...kok aku pergi dan pulang sekolah
nyelonong saja, cium tangan tidak mengucap salampun tidak pernah. Beberapa hari
memperhatikan kedekatan orang tua dengan anak, lalu terbesit aku pengen seperti
itu....tapi harus bagaimana ya memulainya. Esok harinya...mungkin ibuku kaget
ketika dia memberi uang lalu aku minta salaman cium tangannya, kikuk dan rikuh
aku rasakan tapi hari kedua dan selanjutnya sudah terbiasa.
Selesai masa-masa ospek, aku mulai
belajar dengan berbagai pelajaran yang diberikan. Hal yang sangat baru sekali
adalah pelajaran bahasa Arab, disamping baru mengenal, juga sulit dari sisi
struktur bahasa, nahwu, shorof, dan penulisannya. Ketidakbiasaan menulis Arab,
membuat Aku selalu tertinggal dari teman-teman lainnya. Takjub!...melihat kawan
sebelah Sihabudin namanya, anak Karangsembung yang lihai menulis Arab, tidak
hanya cepat akan tetapi rapih dan sangat bagus. Mulailah terpanggil keinginan
untuk bisa menulis huruf Arab dengan baik, cara yang Aku lakukan adalah melihat
dan mengamati terus mereka yang tulisannya bagus terutama mereka para alumni
Madrasah Ibtidaiyah, menulis Arab bagi mereka adalah hal biasa dan telah
dilalui selama enam tahun.
Ketertarikan terhadap beberapa mata
pelajaran keagamaan membuatku punya semangat belajar. Di rumah dibuat jadwal rutin
membaca buku, selepas mengaji di Musholla, menyiapkan buku-buku dan
perlengkapan sekolah yang hendak dibawa besok pagi, kemudian dilanjutkan dengan
mengerjakan PR dan mengulas kembali pelajaran yang telah disampaikan guru
sebelumnya. Masih ingat...belajar rutin setiap malam waktu itu sambil menunggu
siaran drama radio “Mak Lampir” cerita nenek sakti di gunung Lawu yang cukup
menegangkan bahkan membuat hati ciut dengan suara-suara layaknya berada di rumah hantu.
Sikap dan kesadaran belajar muncul tanpa
dipaksa dan diperintahkan sang kakek/nenek, semua mengalir meskipun tidak paham
harus bagaimana dan akan menjadi apa, cita-cita belum ada dalam benak waktu itu
sehingga betapa sulitnya ketika ada yang bertanya apa cita-citamu?. Kondisi ini
aku pahami belakangan, karena orang tua kita tidak paham dengan berbagai
profesi yang ada, bagaimana cara menempuhnya, dan pendidikan apa yang harus
dilaluinya, ditambah lagi dengan kesibukan orang tua yang terus berjibaku
dengan urusan ekonomi, pendidikan ya seadanya yang penting sekolah.
Jadi, ketika guru bertanya apa
cita-citamu nak? Aku jawab “menjadi anak soleh yang berbakti kepada kedua orang
tua” itulah jawabannya, tidak spesifik dan cenderung asal dijawab. Diakui
memang karena Aku tidak paham apa itu profesi masa depan dan juga tidak jelas
mau jadi apa ke depan karena tidak ada yang mengarahkanku, juga tidak mengerti
apa potensi yang aku miliki. Inilah fakta anak kaum “low class society” masyarakat kelas bawah yang tidak tau tentang
apa yang terjadi ke depan.
Hal lain adalah ketika muncul
pertanyaan apa hobimu nak? Ini pertanyaan yang sulit juga dijawab. Maka
seketika aku jawab saja “membaca” padahal kalau saja dicek oleh guru waktu itu,
kapan dan berapa banyak membaca buku dalam sehari, yakinlah bahwa aktivitas
membaca yang dilakukan belum sesuai dengan kata “hobi”. Kenapa kok sulit ya?
Memang karena kondisi memaksa kehidupanku serba terbatas, serba kekurangan, dan
kurang menguntungkan. Hobi itu perlu modal bro..., kalo untuk yang primer saja
masih kelimpungan, untuk hobi ya nomor 1000 lah. Badminton dulu pernah aku suka
dan sering main dengan meminjam raket teman...ketika ingin melanjutkan sesuatu
yang klik di hati ternyata orang tuaku tidak mampu membelikannya. Ya sudahlah
aku terima saja, wong kondisinya seperti itu.
Kelas 1 semester 2 selama dua bulan aku
tidak masuk sekolah karena sakit, entah sakit apa waktu itu yang jelas badan
panas dan kalau terkena tiupan angin terasa merinding sehingga tidak pernah
keluar rumah. Kondisi fasilitas kesehatan yang belum tersedia banyak di
masyarakat dan kemampuan ekonomi yang terbatas, membuat nenekku “mbok Karijem”
hanya merawat dan mengobatiku dengan macam-macam jamu dan rebusan daun-daunan,
pagi dan sore hari disiapkan air hangat rebusan campur daun jeruk, hanya itu
yang dilakukannya tapi sungguh merupakan perjuangan yang tak ternilai harganya.
Sampai pada suatu saat, malam hari
kira-kira jam 2 malam, aku terjaga ingin buang air kecil ke toilet, bangun dan
berjalan sempoyongan dengan badan terasa panas, kepala pusing dan meriang. Saat
kembali dari toliet entah apa yang terjadi ketika berjalan, aku tidak sadar
seperti ada yang menggerakkan kaki, aku melangkah dengan sangat cepat dari
kamar kecil menuju ruang tengah, dan sampai di ruang paling depan aku pegang
tiang rumah erat-erat untuk menahan kaki supaya tidak terus berjalan, maka
berhentilah disitu sambil berdiri pegangan tiang, nafas tersengal-sengal.
Beberapa menit kemudian, kaki sudah tegak dan tidak mengajak berjalan lagi,
lemas yang dirasakan dan mulailah menuju kasur untuk berbaring lagi. Ini
pengamalan menegangkan yang tidak terjawab hingga sekarang bahkan keluargapun
tidak mengetahui hal yang terjadi saat itu karena aku cenderung diam saja tidak
bercerita.
Kelas
2 MTs, aku berkawan dengan teman-teman baru, banyak pengalaman dan baru yang
diperoleh. Lirik kanan dan kiri, muncul rasa minder kok aku tulisannya jelek
ya, teman-teman lainnya bagus dan rapih. Terpikir bagaimana ya caranya supaya
tulisan latinku bagus seperti mereka. Teman sebangku, Iwan namanya memiliki
tulisan yang bagus dan unik, huruf-hurufnya ia buat gaya berbeda dengan tulisan
lainnya. Tertarik dengan bentuk tulisan Iwan, aku intip setiap hari bagaimana
dia membuat huruf-huruf itu, seminggu aku hafalkan dari a sampai z dan aku
tulis berulang-ulang di rumah. Berlembar-lembar kertas bekas aku penuhi dengan
tulisan abjad satu per satu bergiliran dengan meniru gaya tulisan temanku itu.
Alhamdulillah dalam satu semester aku bisa, tapi karena malu jika sama persis
tulisannya, maka bentuk-bentuk variasinya aku hilangkan dan dibuat beda. Ya
meskipun saat ini tulisanku tidak indah sekali namun sudah cukup baik dan
standar.
Naik kelas 3 bergabung dengan
teman-teman yang cukup pandai, Saeful Ibad, anak Indramayu yang jago bahasa
Arab dan lihai membaca kitab kuning. Busyrol Karim anak pendiam yang jago
hampir semua mata pelajaran. Aku banyak menimba ilmu dari mereka berdua. Namun
kekagumanku pada Saeful Ibad lebih tinggi dibanding lainnya, mungkin karena minatku
terhadap mata pelajaran keagamaan labih tinggi dari lainnya. Di kelas 3 lah aku
banyak bertanya tentang bahasa Arab baik ke teman maupun ke guru “Pak Ridwan”
guru bijak yang sangat kharismatis.
Berbekal perteman dengan mereka yang
pandai, aku mulai belajar buku-buku “shorof” dengan menghafalkan berbagai
bentuk perubahan kata dalam bahasa Arab. Mulai mengenal tsulasi mujarrod dan
ada tsulasi mazid dan lain sebagainya. Setiap habis solat isya aku
bernyanyi-nyanyi sendiri, mulut komat kamit menghafalkan tashrifan yang sangat
banyak bentuknya. Pada saat itulah aku mulai menyenangi pelajaran bahasa Arab
yang kata Pak Ridwan adalah pintu memahami ajaran Islam.
Perjalanan sekolah di MTsN Arjawinangun
selama 3 tahun dengan bersepeda, naik angkutan pedesaan bahkan naik truk dengan
cara mencegatnya di jalanan. Desa Panguragan adalah tempat transit penitipan
sepeda anak-anak sekolah setelah itu berganti naik mobil angkutan pedesaan atau
truk menuju Arjawinangun, namun bila ingin uang jajan lebih banyak maka harus mengayuh
sepeda hingga sekolah kurang lebih jaraknya 10 KM, lumayanlah transport naik
angkutan 100 rupiah pulang pergi bisa untuk tambah beli jajanan di sekolah.
Banyak hal yang aku dapatkan selama itu,
pelajaran keagamaan yang cukup banyak, nasehat guru tentang arti tertib, rapih
dan semangat sangat terasa hari ini. Ibu Mulyani, sosok wali kelas berbadan
besar dan gemuk selalu memberikan wejangan-wejangan tentang harga diri,
simpati, kharisma, serta kepribadian yang harus diutamakan. Saat itulah, muncul
banyak kesadaran dalam hidup: membaca buku tanpa disuruh, mencuci pakaian
sendiri, bahkan seiring dengan masa puber remaja awal, pakaianku serba rapih
dan bersih. Setiap hari Jumat libur sekolah berbeda dengan sekolah umum lainnya
yang libur di hari Minggu, dengan triskaan menggunakan arang yang dibakar aku
rutin menyetrika pakaianku sendiri, maklumlah saat itu semua serba terbatas.
Pengalaman yang menyebalkan adalah berbekasnya setrikaan di baju atau celana
akibat terlalu panas karena memang zaman jadul, suhu panas bergantung pada bara
api yang ada di dalamnya.
Entah bagaimana sejarah dan siapa yang
memulainya, satu rumah dengan pekarangan tidak terlalu luas menjadi tempat
penitipan gratis anak-anak sekolah, setiap hari aku dan teman-teman selalu
menitipkan sepeda itu dengan meletakkannya di bawah pohon. Hanya dengan bilang
“nitip bu”....dan pulangnya mengucap “kesuwun” bereslah semua hingga berjalan
bertahun-tahun. Di akhir tahun menjelang lulus, terbesit ide
bersama-teman-teman, apa yang bisa kita berikan kepada ibu rumah tempat
penitipan sepeda gratis ini. Sepakat, kita patungan memberikan hadiah berupa
makanan dan lainnya. Tersenyum si ibu, mungkin ada rasa kaget juga karena dia
mungkin tidak berharap apa-apa dari anak sekolah, ikhlas menolong sesama itu
yang terlihat dari wajah ibu tua orang kampung yang memiliki ciri jiwa sosial
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar