ABSTRAK
Analisis Dampak Kegiatan Diklat terhadap Peningkatan
Kualitas Proses Kerja (Study Kualitatif pada Alumni Diklat di Lingkungan Balai
diklat Keagamaan Jakarta).
Kata kunci :
Dikat dan kualitas proses kerja
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
gambaran pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikuti diklat,
mendeskripsikan kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang
diperoleh selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan menganalisis
kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam meningkatkan kualitas
kerja.
Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari 2012
sampai dengan Juni 2013. Metode yang digunakan adalah survey dengan pendekatan
kualitatif. Responden adalah guru alumni diklat sebanyak 100 orang yang berasal
dari DKI Jakarta, Banten dan Kalimantan Barat. Instrumen yang digunakan berupa
daftar pertanyaan sebagai pedoman melakukan wawancara tentang aspek yang
ditanyakan.
Hasil penelitian menunjukkan : Bahwa alumni diklat
mendapatkan pengetahun dan keterampilan yang dibutuhkan dan bermanfaat dalam
bekerja. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan
tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baru selama diklat akan
tetapi hanya berupa penguatan atas apa yang telah diterimanya pada kegiatan
diklat sejenis yang telah diikutinya. Dalam implementasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, terdapat
variasi kendala yang dihadapi, diantaranya kondisi dan setting kelas
konvensional, ketersediaan fasilitas, kelebihan jumlah peserta didik, rasa
percaya diri guru yang kurang, enggan melakukan kegiatan yang membutuhkan waktu
dan kesiapan lebih banyak, kebiasaan dengan kegiatan yang praktis dan mudah,
dan lemahnya kegigihan untuk menerapkan apa yang telah diperolehnya ketika
tidak dilakukan monitoring oleh kepala sekolah. Pengetahuan dan keterampilan
yang didapatkan selama mengikuti diklat sesuai dan bermanfaat dalam menunjang
kualitas pelaksanaan pekerjaan, akan tetapi dari segi implementasi,
ternyata masih sangat lemah, kebanyakan
responden belum menerapkan apa yang dimilikinya dari hasil diklat, pembuatan
perangkat pembelajaran hanya sebatas pemenuhan administrasi, pembelajaran masih
berjalan konvensioanl dan belum mengaktifkan siswa sebagai subyek belajar,
penilaian hasil belajar masih terpaku pada penggunaan instrumen tes tertulis,
dan masih langkanya kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru
dalam upaya peningkatkan kualitas profesinya.
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ketentuan yang ditegaskan di dalam Peraturan Pemerintah
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah dilakukannya
standarisasi tenaga pendidik dan kependidikan sebagaimana tercantum didalam
pasal 28 ayat 3 bahwa guru diharuskan memiliki empat kompetensi, yakni
kompetensi kepribadian, pedagogi, sosial dan profesional. Ketentuan di atas,
menjadi bagian prioritas Pemerintah dengan dicanangkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia
nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN (Rencana Program Jangka Menengah Nasional) Tahun 2010–2014 yang mengamanatkan empat misi pembangunan nasional, yaitu (1) memantapkan penataan kembali NKRI, (2) meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, (3) membangun kemampuan Iptek, dan (4) memperkuat daya saing
perekonomian (http : // www.
deptan.go.id / pug / admin / satlak / perpres 2010_5.pdf, diakses tanggal
12 Juni 2013)
Seiring dengan sasaran RPJMN di atas, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI merumuskan visi : Tersedianya data dan informasi untuk
kebijakan pembangunan bidang agama berbasis riset dan sumber daya manusia
Kementerian Agama yang berkualitas, yang kemudian diterjemahkan dalam misinya yaitu
meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kehidupan keagamaan,
meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan pendidikan agama dan keagamaan,
meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan khazanah keagamaan,
meningkatkan kualitas pentashihan, pengkajian dan pemeliharaan al-quran,
menigkatkan kualitas penelitian dan pengelolaan tata kelola pembangunan bidang
agama, meningkatkan kualitas tenaga administrasi, dan meningkatkan kualitas
tenaga pendidikan dan teknis keagamaan (Abdul Djamil, 2011: 2).
Diantara fokus misi kementerian Agama di atas, adalah terus
diupayakannya peningkatan kualitas sumber daya manusia, salah satunya adalah
para tenaga pendidik yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusdiklat dan Balai
Diklat Keagamaan seluruh Indonesia seperti yang tercantum didalam pasal 1 ayat
10 dan 11 ketentuan umum Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012.
Upaya tersebut, seiring
dengan realitas yang menunjukkan masih terdapat sejumlah persoalan guru di
lingkungan Kementerian Agama seperti: terdapat 60 % guru madrasah (MI, MTs, dan MA) tidak
memiliki kualifikasi yang memadai sebagai guru, sebanyak 20 % guru mengajar di
luar bidang keahliannya, dan dari seluruh guru yang ada ternyata hanya 20 %
yang layak dari segi kualifikasi pendidikannya (Fasli Jalal & Dedi
Supriadi, 2001 : 262). Sejalan dengan itu pula, hasil
penelitian menunjukkan bahwa skor penguasaan guru terhadap metodologi
pembelajaran yang diterapkan di kelas hanya mencapai sekitar 51,81 % dan aspek
yang paling rendah terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran dengan
skor 37,08% (Umul Hidayat, 2006: 92).
Data di atas, menunjukkan bahwa secara empirik ditemui permasalahan
guru terutama pada pelaksanaan tugas pokoknya sebagai seorang pendidik yang
tidak terlepas dari aktivitas pembuatan perencanaan, pelaksanaan pembelajaran
dan evaluasi pembelajaran. Dalam rangka pengembangan
(development) kemampuan guru di atas, maka dilakukan kegiatan diklat
guna membantu meningkatkan kemampuan mereka menjadi lebih terampil dan
produktif yang dikemas ke dalam berbagai jenis diklat diantaranya diklat reguler
yang dilaksanakan di kampus dan diklat di tempat kerja dengan mendatangi
langsung lokasi peserta diklat di wilayahnya masing-masing.
Program pelaksanaan diklat bagi guru yang
diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta disadari sebagai salah satu
upaya mendorong dan mewujudkan kualitas guru yang profesional seperti yang
diamanatkan undang-undang, karena secara teoritis, kualitas pendidikan secara
keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas guru sebagai sub-sistemnya,
hal ini seperti dikatakan Brandt dalam Fasli Jalal & Dedi Supriadi (2001 :
262), bahwa guru merupakan kunci utama yang memiliki peran besar dalam
peningkatan mutu pendidikan, guru berada pada titik sentral dari setiap usaha
perbaikan pendidikan yang diarahkan pada perubahan seluruh aspek seperti kurikulum,
metode dan pengembangan sarana prasarana.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis bagaimanakah penerapan pengetahuan dan
keterampilan yang didapatkan para guru selama mengikuti diklat dalam proses kerja
di tempat tugasnya masing-masing.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas,
maka dapat diuraikan rumusan penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikiuti diklat?
2.
Apa
sajakah kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang diperoleh
selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas?
3.
Bagaimanakah
kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam meningkatkan kualitas
kerja?
C. Tujuan Penelitian
Secara
spesifik, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
menganalisis gambaran pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama
mengikiuti diklat.
b.
Untuk
mendeskripsikan kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang
diperoleh selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
c.
Untuk
menganalisis kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam
meningkatkan kualitas kerja.
D. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian akan bernilai besar apabila
memiliki manfaat baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian
ini bermanfaat sebagai penguatan terhadap kajian-kajian yang telah dilakukan
sebelumnya, sedangkan secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat:
1.
Sebagai
salah satu instrumen evaluasi terkait dengan kebijakan kediklatan yang
diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta sehingga memungkinkan dibuatnya
rencana atau pengembangan program lanjutan.
2.
Sebagai
salah satu sumber informasi dalam upaya mendorong peningkatan kualitas guru
melalui penerapan kebijakan terkait dengan implementasi kegiatan pasca diklat.
E. Metodologi Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bersifat alami untuk
mengeksplorasi data dari sumber-sumber tertentu. Seperti dikatakan Cresweell dalam Juliansyah Noor (2012: 34) bahwa penelitian
kualitatif merupakan suatu usaha mendapatkan gambaran kompleks meneliti
kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada
situasi yang alami.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Pebruari 2012 sampai Juni 2013
dengan metode survey, yakni mendatangi langsung sumber informasi yaitu para
guru yang telah mengikuti diklat minimal satu kali. Selama proses pengambilan
data yang dibutuhkan, posisi penulis sebagai human instrument yaitu sebagai instrumen yang melakukan wawancara face to face dengan responden. Jumlah
responden dalam penelitian ini tersebar berasal dari tiga wilayah
yakni DKI Jakarta sebanyak 35 orang guru, Banten sebanyak 35 orang guru, dan
Kalimantan Barat sebanyak 30 orang, sehingga total jumlah responden adalah 100
orang guru. Sedangkan sebaran responden jika dilihat dari pengalaman mengikuti
kegiatan diklat terlihat bahwa 63 orang responden baru
mengikuti kegiatan diklat satu kali, 28 orang responden telah mengikuti
kegiatan diklat dua kali, dan 9 orang responden telah mengikuti diklat sebanyak
tiga kali.
Teknik analisis data yang dihasilkan dari lapangan
menggunakan analisis persentase untuk menentukan pada posisi mana keberadaan responden
sesuai dengan aspek yang diteliti dalam penelitian. Sedangkan data yang tidak
dilakukan analisis kuantitatif, maka dilakukan analisis kualitatif untuk
memberikan gambaran jawaban responden mengenai fenomena yang terjadi.
F. Kerangka Teoritis
1.
Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan guru adalah jabatan profesi
yang menuntut adanya persyaratan tertentu, tidak semua orang mampu melakukan
aktivitas mengajar tanpa adanya bekal pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya. Hal ini seperti diungkapkan Soedijarto (1993 : 96) bahwa suatu
jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus karena
dalam jabatan tersebut diperlukan kemampuan menganalisis, merencanakan,
menyusun program, mengelola (menata), mendiagnosis, dan menilai. Pekerjaan guru
adalah pekerjaan profesional karena pekerjaan ini menuntut pekerjaan menyusun
rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing,
dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan
efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya
proses belajar mengajar selanjutnya.
Berkaitan dengan kebutuhan berbagai
keterampilan di atas, kegiatan pendidikan dan pelatihan merupakan sarana yang
dibutuhkan setiap pegawai di lembaga manapun dalam rangka meningkatkan
kompetensi dan kemampuan kerja. Menurut Bernandian & Russel dalam Gomes (2000: 197) bahwa pelatihan
merupakan usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan yang
terkait dengan pekerjaannya.
Sesuai dengan visi Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, yakni: Tersedianya data dan informasi keagamaan yang
memadai dalam rangka terwujudnya kebijakan pembangunan agama berbasis hasil
riset dan tersedianya sumber daya manusia Kementerian Agama yang berkualitas,
yang dilanjutkan dengan misi yang sangat mulia berwawasan masa depan, yaitu:
a. Meningkatkan kualitas hasil
penelitian dan pengembangan kehidupan keagamaan;
b. Meningkatkan kualitas hasil
penelitian dan pengembangan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan;
c. Meningkatkan kualitas hasil
penelitian dan pengembangan lektur dan khazanah keagamaan;
d. Meningkatkan kuantitas dan kualitas
hasil-hasil pentashihan mushaf Al-Qur’an, kajian Al-Qur’an, dan sosialisasi
Al-Qur’an serta mengoptimalkan fungsi Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal;
e. Meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Kementerian Agama;
f.
Penguatan
tata kelola Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama;
Maka peran lembaga pendidikan dan
pelatihan menjadi sangat urgen guna mendukung ketercapaian visi dan misi
khususnya terkait dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, bahwa tujuan dilaksanakannya
diklat adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pegawai
untuk dapat melakukan tugas secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan
etika Pegawai Negeri Sipil sesuai kebutuhan instansi, berorientasi pada
pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat, dan menciptakan kesamaan
dan dinamika pola pikir. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah di atas, secara khusus, tujuan
dilaksanakannya diklat teknis di lingkungan Kementerian Agama sebagaimana
tercantum di dalam Peraturan Menteri Agama nomor 4 tahun 2012 pasal 2 poin a, yaitu untuk meningkatkan kompetensi teknis PNS dan Pegawai non-PNS yang
meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku agar sesuai
dengan standar kompetensi teknis yang dibutuhkan oleh satuan organisasi
dan/atau jabatannya.
Secara sederhana, bahwa harapan dan tujuan dari
pelaksanaan diklat adalah terpenuhinya kompetensi kognitif, sikap maupun
keterampilan yang mendorong profesionalitas kerja. Dalam istilah Puskur
Balitbang Depdiknas (2002: 3), bahwa kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Asmu’i (2011: 3)
menegaskan bahwa diklat bagi pegawai merupakan proses pembelajaran yang
mengarah pada perubahan kemampuan, sikap, dan perilaku sesuai tujuan dari
jenis-jenis diklat. Pembelajaran itu sendiri akan diadopsi dari pengalaman yang
dialami pegawai selama mengikuti program diklat baik secara teoretis maupun
secara praktis.
Hasil yang dicapai peserta diklat
seperti tersebut di atas, diharapkan menjadi bekal yang menunjang
profesionalitas kerja setelah kembali ke tempat tugasnya masing-masing. Bagi
para guru, pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti diklat dituntut mampu
diimplementasikannya dalam proses belajar mengajar di kelas, ada sesuatu yang
baru didapatkan tersebut menjadi pemicu inovasi pembelajaran dari waktu ke
waktu dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan pendidikan yang membutuhkan
energi besar.
Gomes (2000: 209) mengemukakan bahwa
keberhasilan sebuah diklat merupakan bentuk efektivitas program pelatihan yang
dapat dilihat dari lima aspek berikut:
a. Reaksi, yaitu seberapa baik
peserta menyenangi kegiatan pelatihan.
b. Belajar, yaitu seberapa jauh
peserta mempelajari fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan pendekatan-pendekatan
yang terdapat di dalam pelatihan.
c. Behavior,
yaitu seberapa jauh perilaku kerja peserta diklat berubah karena pelatihan yang
diikutinya.
d. Hasil, yaitu peningkatan
produktivitas atau penurunan biaya yang dicapai.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan adalah rangkaian kegiatan
yang didesain bagi peserta diklat agar memiliki pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap yang dapat diterapkan dalam
menjalankan pekerjaan yang diembannya sehingga produktivitasnya semakin
meningkat.
2.
Kualitas Kerja Guru
Kualitas atau mutu baik di dunia pendidikan maupun lainnya banyak
diperbincangkan di abad modern ini karena mutu suatu produk memiliki garis
lurus dengan kepuasan pengguna produk tersebut, dan kepuasan pelanggan erat
kaitannya dengan eksistensi lembaga sebagai produsennya. Pengertian kualitas / mutu
(quality) dapat ditinjau dari dua perspektif konsep. Konsep pertama
tentang mutu bersifat absolut atau mutlak dan konsep kedua adalah konsep yang
bersifat relatif (Sallis, 2008 : 51-53).
Dalam konsep absolut mutu menunjukkan kepada sifat yang
menggambarkan derajat baiknya suatu barang atau jasa yang diproduksi atau
dipasok oleh suatu lembaga tertentu. Pada konsep mutu absolut, derajat baik
tidaknya produk, barang atau jasa, mencerminkan tingginya harga barang atau
jasa itu, dan tingginya standar atau tingginya penilaian lembaga yang
memproduksi atau pemasok terhadap barang itu. Sedangkan lawannya absolut adalah
mutu dalam konsep relatif, yaitu bahwa derajat mutu bergantung pada penilaian
pelanggan atau yang memanfaatkan barang atau jasa itu. Jika pandangan tentang
mutu yang bersifat absolut membawa implikasi bahwa dalam memproduksi barang
atau jasa digunakan kriteria untuk menilai mutu dan kriteria itu ditentukan
oleh produsen atau pemasok barang, maka dalam konsep relatif, mutu sangat erat
dengan respon pelanggan.
Secara
operasional, makna mutu menurut Sallis di atas ditentukan
oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan
sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan
dan kebutuhan pelanggan / pengguna jasa. Mutu yang pertama
disebut quality in fact (mutu
sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu
persepsi).
Kualitas atau mutu kerja guru merupakan gambaran
tentang baik buruknya pelaksanaan tugas seorang guru yang disesuaikan dengan
kriteria dan spesifikasi yang dipersyaratkan yaitu dari mulai perencanaan
sampai dengan evaluasi, seperti dijelaskan Helmut R. Lang & David N. Evans (2006
: 298) bahwa kegiatan mengajar dimulai dengan tahap pertama berupa perencanaan
sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Kegiatan perencanaan ini mencakup
penentuan konten yang diajarkan sesuai kurikulum, tujuan pembelajaran,
pertimbangan tentang pengalaman siswa, pemilihan pendekatan pembelajaran, dan
penentuan kegiatan pembelajaran. Tahap kedua adalah menjelaskan tujuan
pembelajaran yang dikaitkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya dan
yang akan dipelajari berikutnya. Tahap ketiga adalah menyajikan dan
mengorganisasi kemajuan belajar yang dapat meningkatkan pemahaman dan daya
ingat terhadap materi yang telah diajarkan. Tahap keempat adalah melibatkan dan
memotivasi belajar siswa dengan memberikan penjelasan yang disertai
contoh-contoh sehingga membantu mereka untuk memahami pelajaran. Tahap kelima
adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengulang dan mempraktekkan
pelajaran yang telah lalu sehingga ada penguatan atas apa yang mereka dapatkan,
dan tahap terakhir adalah pemberian tes kepada siswa untuk mengetahui seberapa
baik pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan dan seberapa
efektif perencanaan pembelajaran yang dibuat itu diimplemenasikan dalam
pembelajaran.
Uraian di atas, bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru pada intinya dapat disederhanakan menjadi tiga macam yakni
membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan melakukan
penilaian pembelajaran. Tiga tugas pokok sebagai guru itu dijelaskan di dalam
Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(2005: 22-23 dan 44), yaitu standar isi, standar proses dan standar penilaian.
Pada pasal 17
poin 1 Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik. Pada pasal 19 poin 1, bahwa proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai
bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Dan pada pasal 64 poin (1) bahwa
penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
Pada poin (4) penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai
dengan karakteristik materi yang dinilai, poin (5) penilaian hasil belajar
kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap
perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi
psikomotorik peserta didik, poin (6) penilaian hasil belajar kelompok mata
pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: a. pengamatan
terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik
dan afeksi peserta didik; dan b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur
aspek kognitif peserta didik.
Pembelajaran efektif merupakan tolok ukur
keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses pembelajaran dikatakan efektif
apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik
maupun sosialnya. Sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol ada
pada peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan
dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan
berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar (75 %)
peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial
dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang
tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari
segi hasil, proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan
tingkah laku yang positif pada peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya
sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan
berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan
bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan
pembangunan. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka
diperhatikan beberapa aspek, di antaranya: (1) guru harus membuat persiapan
mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi
yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis
dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode,
suara, maupun gerak, (3) waktu selama proses belajar mengajar berlangsung
digunakan secara efektif, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar guru
cukup tinggi, dan (5) hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam
kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera
diatasi. Sedemikian rupa lima aspek itu dilaksanakan, sehingga
akan terwujud sebuah pembelajaran yang efektif (Abdul Mukti Bisri, 2008 :
1).
Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa kualitas kerja guru adalah aktivitas pembuatan rencana
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan dan mengaktifkan
siswa, serta melakukan penilaian pembelajaran yang sesuai dengan aspek yang
dinilai dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standar yang ditetapkan.
G.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Deskripsi Data
Gambaran data hasil penelitian merupakan jawaban responden atas
beberapa pertanyaan yang diajukan berdasarkan aspek yang diteliti. Uraian ini
dijelaskan secara berurutan mulai gambaran data tentang aspek pengetahuan, aspek
keterampilan dan aspek sikap.
a.
Gambaran Data Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan terdapat tiga pertanyaan yang
disampaikan kepada responden dengan gambaran jawabannya sebagai berikut:
Tabel 1.
Jawaban Responden Tentang Aspek Pengetahuan
Yang Dipeoleh Dalam Diklat
No
|
Aspek
|
Jawaban
|
|||
Ya
|
%
|
Tdk
|
%
|
||
1
|
Informasi
baru yang didapatkan selama diklat
|
89
|
89%
|
11
|
11%
|
2
|
Kesesuaian
pengetahuan yang diberikan dengan pekerjaan
|
94
|
94%
|
6
|
6%
|
3
|
Kegunaaan
pengetahuan hasil diklat untuk melaksanakan kerja
|
96
|
96%
|
4
|
4%
|
Jumlah
|
93%
|
7%
|
Dilihat dari aspek pengetahuan yang didapatkan
responden secara umum, dapat dikatakan sangat baik yakni 93 % responden
menyatakan mendapatkan pengetahuan baru selama mengikuti diklat dan pengetahuan
tersebut bermanfaat dalam pelaksanaan pekerjaan di tempat tugasnya.
b. Gambaran Data Aspek
Keterampilan
Gambaran data tentang aspek keterampilan yang
diperoleh responden selama mengikuti kegiatan diklat dilakukan melalui
wawancara dengan 5 jenis pertanyaan sebagai berikut:
Tabel 2.
Jawaban Responden Tentang Aspek Keterampilan
Yang Diperoleh Dalam Diklat
No
|
Aspek
|
Jawaban
|
|||
Ya
|
%
|
Tdk
|
%
|
||
1
|
Keterampilan baru
yang didapatkan selama diklat
|
77
|
77%
|
23
|
23%
|
2
|
Keterampilan yang
didapatkan selama diklat sesuai dengan pekerjaan
|
98
|
98%
|
2
|
2%
|
3
|
Kemanfaatan keterampilan
yang didapatkan untuk meningkatkan kualitas kerja
|
100
|
100%
|
0
|
0
|
4
|
Keterampilan yang
didapatkan diterapkan dalam aktivitas kerja pasca diklat
|
43
|
43 %
|
57
|
57%
|
Jumlah
|
79,5%
|
20,5%
|
Dilihat dari aspek keterampilan yang didapatkan selama
mengikuti diklat ini, rata-rata 79,5 % responden menyatakan mendapatkan
keterampilan selama mengikuti diklat dan keterampilan tersebut sesuai dengan
jenis pekerjaan yang dilakukan dan bermanfaat dalam menunjang pelaksanaan
kerja. Meskipun skor di atas menunjukkan baik, Akan tetapi terdapat jawaban
yang cukup ekstrim khususnya pada aspek penerapan keterampilan yang didapatkan
dengan penerapannya di lapangan yakni hanya 43 % responden menyatakan dapat
menerapkannya sedangkan sisanya 57 % responden cenderung tidak menerapkan
keterampilan yang diperoleh karena berbagai alasan.
Khusus pada aspek keterampilan ini ditanyakan tentang
apakah ada kendala yang dihadapi dalam penerapan keterampialn yang diperoleh
selama diklat dalam proses pembelajaran di kelas, hasilnya berikut:
Tabel 3.
Jawaban Responden Tentang Ada Tidaknya Kendala
Dalam Implementasi Hasil Diklat
No
|
Aspek
|
Jawaban
|
|||
Ya
|
%
|
Tdk
|
%
|
||
1
|
Adanya kendala dalam
menerapkan keterampilan yang diperoleh selama diklat di tempat kerja
|
93
|
93%
|
7
|
7 %
|
Jumlah
|
93%
|
7%
|
Pada tabel di atas, ternyata 93 % responden menyatakan terdapat
kendala dalam melaksanakan keterampilan yang didapatkan selama diklat,
sedangkan sisanya 7 % menyatakan tidak ada kendala kalaupun ada kendala itu
dapat diminimalisir dengan melakukan modifikasi sendiri sesuai dengan kondisi
yang ada.
c. Gambaran Data Aspek Sikap
Gambaran data tentang aspek sikap responden setelah
mengikuti kegiatan diklat diperoleh gambaran sebagai berikut:
Tabel 4.
Jawaban Responden Tentang Aspek Sikap Bekerja
Setelah Mengikuti Diklat
No
|
Aspek
|
Jawaban
|
|||
Ya
|
%
|
Tdk
|
%
|
||
1
|
Semangat kerja pasca
mengikuti diklat
|
78
|
78%
|
22
|
22 %
|
2
|
Optimisme kerja pasca
diklat
|
76
|
76%
|
24
|
24%
|
Jumlah
|
77 %
|
23 %
|
Dilihat dari aspek sikap bekerja setelah mengikuti diklat tergolong
baik yakni 77 % responden memiliki semangat kerja yang tinggi dan sisanya 23 %
responden memiliki semangat biasa dan cenderung mengalir saja dalam bekerja.
2. Pembahasan Hasil
Penelitian
Pada pembahasan hasil penelitian ini dikemukakan berbagai temuan
kualitatif dan kuantitatif kemudian dianalisis sehingga mendapatkan gambaran
yang jelas tentang fakta dan fenomena yang terjadi.
a. Aspek pengetahuan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata 93 % responden
menyatakan mendapatkan informasi baru terkait dengan jenis pekerjaan yang
dilakukannya dan informasi yang diperolehnya itu sesuai dengan tugasnya sebagai
seorang guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, respondenpun
memberikan jawaban bahwa pengetahuan yang diterimanya bermanfaat atau berguna
bagi peningkatan kualitas kerjanya. Sedangkan sisanya sebanyak 7 % responden
menyatakan bahwa pengetahuan yang didapatkan selama mengikuti diklat cenderung
sama dengan pengetahuan yang pernah diperoleh pada kegiatan diklat yang pernah
diikuti sebelumnya, sedangkan terkait dengan kesesuaian dan kegunaan
pengetahuan yang didapatkan, mereka menyatakan sangat tipis / kecil karena hal
itu merupakan pengulangan yang pengetahuan tersebut cenderung tidak ada
pengembangan khususnya bagi peserta diklat yang telah mengikuti beberapa kali
diklat.
Berkaian dengan kebaruan pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan
diklat seperti dikemukakan di atas, 89 % responden menjawab mendapatkan
pengetahuan baru dan sisanya 11 % menjawab tidak. Besarnya jumlah responden
yang menyatakan tidak mendapat pengetahuan baru ini merupakan sesuatu yang
tidak terelakkan ketika kondisi peserta diklat beragam atau heterogen dari sisi
pengalaman mengikuti diklat itu sendiri, ada peserta yang baru mengikuti satu
kali bahkan ada yang sudah tiga kali mengikuti diklat. Artinya, bila dilihat
dari jenis dan jenjang diklat, terjadi inkonsistensi pemanggilan peserta diklat
oleh satuan kerja yang bersangkutan, padahal dalam kegiatan diklat ada
persyaratan peserta diklat tertentu, diantaranya disebutkan pada poin 10
persyaratan peserta diklat seperti tercantum dalam kurikulum Pusdiklat tentang
diklat teknis fungsional peningkatan kompetensi guru muda (2012: 10) bahwa
peserta diklat untuk guru muda persyaratannya adalah mereka harus mengikuti
diklat teknis fungsional guru pertama, persyaratan ini juga berlaku pada
periode sebelum ada perubahan kurikulum, yaitu dengan pola diklat tingkat
dasar, tingkat lanjut, dan tingkat terampil, yakni bahwa diklat tingkat lanjut
dan terampil mensyaratkan keikutsertaan mereka pada diklat jenjang dibawahnya.
Pernyataan ini mengandung makna kebalikannya bahwa untuk diklat peningkatan
kompetensi guru pertama atau diklat tingkat dasar (penamaan diklat dalam
kurikulum lama) adalah diperuntukkan bagi guru yang belum pernah mengikuti
diklat, tetapi relitas menunjukkan masih sering diikutkannya mereka pada
jenjang diklat yang sama. Fakta ini menunjukkan bahwa persyaratan yang
digariskan dalam aturan kediklatan nampaknya belum berjalan optimal sehingga
yang terjadi adalah pengulangan dalam kegiatan diklat yang sejenis, di sisi
lain belum meratanya diklat bagi guru-guru tertentu karena kesempatannya
terambil oleh peserta diklat yang sering mengulang.
Untuk aspek kesesuaian materi yang diajarkan selama diklat dengan
jenis pekerjaan yang diembannya, secara kuantitatif menunjukkan angka yang
sangat besar yakni 94 % responden menyatakan pengetahuan yang didapatkannya
cocok dengan pekerjaannya. Kondisi ini memang menjadi penekanan dalam kegiatan
diklat, seperti dijelaskan dalam penjelasan latar belakang kurikulum Pusdiklat
(2012: 1) bahwa peningkatan kompetensi guru salah satunya ditempuh melalui
pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai bentuk intervensi lembaga agar
pegawainya memiliki kompetensi standar sehingga mampu melaksanakan tugasnya
dengan baik dan benar. Berbagai jenis diklat dimaksud, diselenggarakan
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan sebagai penyelenggara diklat
tingkat pusat dan Balai Diklat Keagamaan sebagai penyelenggara diklat tingkat
daerah di lingkungan Kementerian Agama.
Selanjutnya, sebanyak 6 % responden berpendapat bahwa materi yang
disampaikan selama diklat masih ada yang kurang sesuai dengan jenis pekerjaan
yang diembannya, hal ini didasarkan pada pemikiran dan keinginan mereka yang
menghendaki materi diklat difokuskan pada pengembangan dan peningkatan
keterampilan terkait langsung dengan mata pelajaran, sehingga materi yang
bersifat tambahan tidak lagi diajarkan selama diklat melainkan hanya materi
inti saja. Sebagian kecil pendapat ini kurang sejalan dengan makna dari akar
kata diklat itu sendiri, yakni pendidikan dan pelatihan yang di dalamnya
terdapat unsur pendidikan sebagai transfer
of values dan pelatihan sebagai transfer
of knowledge, hal demikian seperti dikatakan Asmu’i (2011: 3),
bahwa diklat bagi pegawai merupakan proses pembelajaran yang mengarah pada
perubahan kemampuan, sikap, dan perilaku sesuai tujuan dari jenis-jenis diklat.
Pembelajaran itu sendiri diadopsi dari pengalaman yang dialami pegawai selama
mengikuti program diklat baik secara teoretis maupun secara praktis.
Pada tahun
2013 ini, kebijakan diklat mengalami pembaharuan khususnya pada kurikulum yang
diajarkan, didalamnya memasukkan materi ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang pada setiap jenjangnya sebanyak
30 jam pelajaran. Kebijakan ini bukan tanpa maksud, Pusdiklat tenaga teknis
pendidikan dan keagamaan memandang bahwa unsur emosional dan spiritual
merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan kinerja pegawai, seperti
dikatakan Ary Ginanjar Agustian (2011: 14) bahwa kecerdasan spiritual adalah
kemampuan memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan
serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif dan transendental.
Atas dasar itu, maka kegiatan diklat dengan kurikulum perubahan pada tahun 2013
materi ESQ menjadi bagian tidak terpisahkan sebagai salah satu upaya mendorong
proses kerja pegawai di lingkungan Kementerian Agama yang berkualitas dan
bermakna.
Dengan
demikian, harapan atau keinginan peserta diklat yang mengarahkan kegiatan
diklat hanya difokuskan pada pemberian materi dan keterampilan terkait dengan
aspek teknis metodologis tidak sejalan dengan kebijakan yang dikembangkan yang
cita-citanya tidak hanya sebatas terampil dan kompeten pada bidangnya, akan
tetapi lebih dari itu adalah terciptanya kualitas sumber daya manusia Kementerian
Agama yang memiliki nilai-nilai luhur vertikal yang berdampak sosial
horizontal.
Pada aspek
kegunaan pengetahuan hasil diklat dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya, ternyata 96% responden menyatakan sangat berguna, materi-materi
diklat yang disampaikan oleh Widyaiswara baik dari dalam maupun dari luar Balai
Diklat Keagamaan Jakarta sangat bermanfaat bagi pengembangan proses kerja dan
menambah wawasan para responden dalam menjalankan pekerjaannya. Hanya sebagian
kecil saja yakni 4 % yang menyatakan bahwa materi yang didapatkan selama diklat
kurang bergaris lurus dengan kegunaannya secara praktis dalam menghandel
pekerjaan, selain itu, ada responden yang memberikan jawaban bahwa dalam diklat
masih banyak ditemukan materi yang teoritis sehingga implementasinya kurang
bisa dilakukan, serta munculnya jawaban kurangnya waktu atau jam diklat untuk
materi-materi tertentu yang sifatnya praktis dan menuntut latihan secara
langsung terutama pada materi tentang pembuatan perangkat pembelajaran,
penilaian pembelajaran, penelitian tindakan kelas dan model atau strategi
pembelajaran.
Masih
ditemukannya sisi-sisi yang lemah pada materi kediklatan khususnya materi yang
membutuhkan banyak waktu praktek berdasarkan jawaban responden di atas, membutuhkan
pemikiran dan evaluasi secara menyeluruh baik dari sisi kurikulum, peran
Widyaiswara, maupun teknis pelaksanaannya yang harus kembali pada konsep dasar
dan rumusan tujuan diklat itu sendiri, karena sesungguhnya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat teknis) yang
ditanggungjawabi oleh pusdiklat teknis salah satunya bertujuan agar alumni
diklat dapat termanfaatkan di lembaga tempat mereka bertugas (Abdul Djamil, 2011:
8). Pernyataan tersebut memberi arti bahwa materi yang diberikan selama diklat sedianya
memiliki kebermanfaatan terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran
melalui peningkatan kualitas gurunya. Sebaliknya, ketidakmanfaatan pengetahuan
yang didapatkan oleh mareka menunjukkan betapa diklat yang diselenggarakan
menjadi sebuah seremonial tanpa kelanjutan.
b. Aspek keterampilan
Poin pertama tentang aspek keterampilan yang ditanyakan kepada
responden adalah kebaruan keterampilan yang diterima atau dipelajari selama
mengikuti diklat, sebanyak 77 % responden menyatakan mendapatkan keterampilan
baru yang dapat mendukung kegiatan belajar mengajar, sedangkan sisanya 23 %
menyatakan tidak mendapatkan keterampilan baru akan melainkan keterampilan lama
yang pernah diketahui dan dipelajari, tetapi keterampilan yang didapatkannya
itu, menurut mereka tetap berfungsi menguatkan atau meyakinkan apa yang telah
mereka pelajari dan praktekkan.
Secara spesifik, mayoritas responden menyatakan bahwa kegiatan
diklat yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta memberikan bekal
kemampuan dan keterampilan praktis terhadap para guru yang dapat diterapkan
dalam proses belajar mengajar, karena selama ini menurut mereka banyak diterima
secara teoritis dan kurang aplikatif terutama pandangan para guru yang masih
relatif muda usianya, sehingga mereka
membandingkan apa yang diperoleh di dalam kampus dengan yang didapatkan selama
mengikuti kegiatan diklat.
Dari
77 % responden yang memberikan jawaban positif, sebagian menyatakan sangat puas
dengan kegiatan diklat dan sebagian lainnya menyatakan puas atas keterampilan
yang didapatkan dari diklat terutama pada kegiatan diklat di tempat kerja
(DDTK). Hal ini sejalan dengan pernyataan Gomes (2000: 209) bahwa keberhasilan
sebuah pelatihan diantaranya diukur dari behavior
atau perilaku, yaitu seberapa jauh perilaku kerja peserta diklat berubah karena
pelatihan yang telah diikutinya, dan hasil diklat, yaitu peningkatan
produktivitas atau penurunan biaya karena keterampilan yang telah dimiliki
peserta diklat yang semakin membaik.
Menurut responden, kegiatan diklat di tempat kerja
yang didatangi langsung oleh widyaiswara dan panitia kegiatan diklat di
berbagai wilayah kerja mendapatkan respon positif dan sangat menggembirakan
karena berbagai alasan yang dikemukakan seperti jarak yang mudah dijangkau,
kesempatan tetap bersama keluarga, dan tidak tertinggalnya kegiatan-kegiatan
lainnya yang biasa dilakukan di daerahnya pada sore dan malam harinya, khusus
bagi responden wanita menyatakan bahwa kegiatan di tempat kerja memberikan
kesempatan bagi kaum hawa untuk mengembangkan wawasan dan keterampilan sesuai
dengan tuntutan kerja akan tetapi tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu
rumah tangga.
Tanpa mengurangi nilai dan respeknya responden
terhadap kegiatan diklat di tempat kerja yang selama ini dilakukan, terdapat
sebagian responden yang menyatakan bahwa mereka tetap berharap ada diklat yang
dilaksanakan di Balai diklat Keagamaan di Jakarta dengan alasan keinginannya
untuk mendapatkan pengalaman di Balai Diklat sebagai sentral kegiatan diklat,
ada nilai refresh dan adanya kesempatan
mengakses ke berbagai instansi pusat lainnya yang ada di Jakarta.
Dengan membandingkan kegiatan diklat reguler baik
yang dilaksanakan di Jakarta maupun di daerah wilayah kerja dengan kegiatan diklat di tempat kerja,
responden menyatakan bahwa di dalam DDTK mereka lebih banyak mendapatkan keterampilan praktis disamping
wawasan lainnya dibadingkan dengan kegiatan diklat reguler yang konten
materinya variatif, teoritis dan terlalu padat dengan ragam dan jenis mata
diklat sehingga menurutnya sering membuat kekaburan pemahaman. Selain itu, pada diklat reguler, setting kegiatan lebih bersifat
formal dialogis dan suasananya akademis sehingga acapkali pola pembelajaran
menggunakan pendekatan diskusi yang mengedepankan kemampuan rasional
dibandingkan latihan secara individual yang mendorong peningkatan keterampilan one by one.
Poin kedua adalah kesesuaian keterampilan yang didapatkan responden
selama mengikuti kegiatan diklat dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya,
sebanyak 98 % responden menyatakan apa yang diterimanya sangat sesuai dengan
aktivitas kerjanya sebagai seorang guru, sedangkan sisanya hanya 2 % yang
menyatakan bahwa keterampilan yang diperolehnya tidak sesuai dengan jenis
pekerjaannya. Terdapat hal menarik dari jawaban 2 orang responden yang menyatakan
bahwa keterampilan yang diperolehnya itu tidak sesuai dengan pekerjaannya,
menurutnya bahwa proses pendidikan yang penting ada guru dan ada siswa maka
disitu terjadi proses pembelajaran, sedangkan yang lainnya adalah perangkat
tambahan yang tidak bernilai apa-apa tanpa kendali guru, dua orang responden
inipun memberikan sangkalan dengan mengilustrasikan bahwa keberhasilan para
kiyai zaman dulu dalam mendidik santrinya yang kini menjadi tokoh dan pemimpin
baik formal maupun non formal, adalah hasil dari sebuah proses pendidikan yang
tidak banyak menuntut pemenuhan perangkat pembelajaran, konon dahulu
pembelajaran bersifat klasikal dan sederhana, akan tetapi menurutnya
menghasilkan buah yang luar biasa. Terkait dengan keterampilan guru di atas, menurut
responden ini yang penting adalah kemampuan guru dalam menguasai materi yang
diajarkan dan dapat disampaikan kepada muridnya, sehingga kegiatan diklat yang
diselenggarakan balai diklat maupun instansi lainnya lebih pada penyebaran
informasi saja.
Ketika dilakukan konfirmasi kepada dua reponden di atas tentang
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang setiaap saat berubah khususnya pada
aspek yang terkait dengan pendidikan dan harus dikuasai oleh guru, mereka
menyatakan bahwa guru adalah orang dewasa yang seyogyanya dapat berpikir
tentang apa yang perlu dan mana yang tidak perlu, oleh karenanya, semua itu
tidak perlu melalui kegiatan diklat berhari-hari akan tetapi cukup bagi guru
membuka buku dan atau internet kapan dan dimanapun karena itu mudah diakses
oleh siapapun. Jadi, menurutnya bahwa yang terpenting adalah adanya kesadaran
guru dalam memperkaya diri dengan terus membaca dan membaca, belajar dan
belajar yang tidak mesti dalam forum formal karena belajar orang dewasa adalah
belajar yang mandiri.
Di satu sisi ada benarnya bahwa bagi orang dewasa proses belajar
dapat dilakukan secara mandiri dengan menggunakan berbagai sumber, bisa buku,
majalah, surat kabat, jurnal dan internet. Namun demikian, fakta di lapangan
meskipun surat kabar dan buku ada dimana-mana serta internet sudah lama bisa diakses, hasil penelitian
menunjukkan penguasaan guru-guru madrasah terhadap metodologi pembelajaran yang
diterapkan di kelas hanya berkisar 51,81 % dan aspek yang paling rendah
terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran hanya 37,08% (Umul Hidayat,
2006: 92). Kondisi ini memberikan gmambaran
bahwa keberadaan guru masih perlu didorong untuk melakukan kegiatan
belajar secara terus menerus melalui penetapan kebijakan, salah satunya adalah
melalui penunjukkan sebagai peserta diklat yang mau tidak mau harus diikuti.
Fakta lain ditunjukkan oleh Direktorat Jenderal PMPTK Kemdiknas
tahun 2009 bahwa jumlah guru PNS berdasarkan golongannya disebutkan, golongan
IIId berjumlah 311,833 orang, golongan IVa
sebanyak 569,611 orang dan golongan IVb sebanyak 13,733 orang (http : // tunas 63. wordpress. com / 2010 / 01 / 30 /
data-nasional-2009-jumlah-guru. menurut-golongan. Diakses 16 Maret
2012). Data ini menggambarkan bahwa kebanyakan jumlah guru menggelembung pada
kelompok golongan IVa dengan variasi lama tahun tidak naik pangkatnya beragam
karena alasan adanya persyaratan membuat karya tulis ilmiah padahal persyaratan
lainnya sudah terpenuhi. Fenomena ini kemudian dibuat kebijakan baru dengan
lahirnya Permenpan nomor 16 tahun 2009 yang efektif diberlakukan 1 Januari 2013
tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, diantara isinya
mensyaratkan guru naik pangkat dengan salah satu unsur yang harus dipenuhi
yakni karya tulis ilmiah dan jika tidak bisa naik pangkat paling lama 5 tahun
maka akan diberikan sanksi kepada yang bersangkutan. Kebijakan ini merupakan
salah satu upaya mendorong guru bisa naik pangkat / golongan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan tuntutan perkembangan zaman serta berperan sebagai
faktor yang dapat menstimulasi guru untuk terus belajar karena jika tidak
demikian, diduga jumlah guru yang sangat besar pada golongan tersebut di atas
akan tetap tidak beranjak dan tidak berubah, bahkan sebaliknya bisa semakin
membengkak lebih banyak. Jika demikian, maka diklat tidak semata membekali
pengetahuan dan keterampilan kepada peserta diklat, akan tetapi berfungsi pula
sebagai media yang mendorong kesadaran mereka untuk tetap belajar yang
teknisnya dapat mereka lakukan kapan dan dimanapun.
Poin ketiga adalah kebermanfaatan keterampilan yang didapatkan
responden untuk peningkatan kualitas kerja, sebanyak 100 % responden menyatakan
bahwa keterampilan yang diperolehnya sangat bermanfaat untuk kegiatan kerja
yakni proses belajar mengajar. Secara serempak, seluruh responden memiliki
pendapat yang sama bahwa keterampilan yang didapatkan memiliki manfaat tinggal
bagaimana menerapkan, mengembangkan dan memodifikasinya karena membutuhkan
perencanaan yang matang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Apabila kondisi ril responden menyatakan bahwa kegiatan diklat dapat
mendistribusikan keterampilan kepada setiap guru yang bermanfaat bagi
pengembangan kualitas pendidikan, asumsinya, kegiatan diklat telah dilakukan
sesuai dengan visi dan misi yang dikembangkan yakni salah satunya adalah
meningkatkan kualitas tenaga pendidikan dan teknis keagamaan (Abdul Djamil,
2011: 2). Peningkatan kualitas tenaga pendidikan ini merupakan bagian integral
dari upaya Pemerintah secara nasional tentang pengembangan sumber daya manusia
Indonesia.
Poin keempat aspek keterampilan ini adalah penerapan keterampialn
yang diperoleh responden selama diklat dalam aktivitas kerja sehari-hari.
Jawaban responden sebanyak 43 % menyatakan sudah dan dapat menerapkan
keterampilan yang diperoleh dalam diklat untuk kegiatan kerja sedangkan sisanya
57 % responden menyatakan belum atau tidak menerapkan keterampilan yang
didapatkan untuk kegiatan kerja.
Bila dilihat dari jawaban-jawaban responden terhadap beberapa
pertanyaan yang diajukan, nampaknya pada poin penerapan ini yang jumlahnya
paling rendah dibandingkan pada jawaban atas pertanyaan lainnya. Kondisi ini
menunjukkan adanya gap atau jurang
yang cukup besar antara pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan responden
dengan aplikasinya, apa yang salah sebenarnya dan ada kendala apa sehingga
mereka tidak dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan dalam aktivitas kerja
yang sesungguhnya, padahal materi diklat yang diberikan bergaris lurus dengan
tugas-tugas mereka sebagai seorang pendidik.
Asmui (2011: 3) menyatakan bahwa proses pengembangan individu maupun
organisasi harus dilakukan pembelajaran berkesinambungan yang diupayakan
melalui aktivasi pegawai untuk mengambil peran dalam mengaplikasikan apa yang
dialaminya dari berbagai peristiwa. Pernyataan ini memberikan penegasan secara
gamblang bahwa upaya-upaya pengembangan pegawai di lingkungan Kementerian Agama
maupun lainnya membutuhkan kesinambungan antara pemberian pengetahuan dan
keterampilan dengan implementasinya di tempat tugas melalui usaha mengaktifkan
mereka dalam menerapkan apa yang didapatkannya yang tidak terlepas dari
pengawasan dan evaluasi pimpinan yang bersangkutan, sehingga tidak terjadi
pemutusan rangkaian proses pembinaan yang berkelanjutan.
Jika demikian, program diklat yang mengupayakan pembekalan berbagai
pengetahuan dan keterampilan bagi peserta diklat menjadi kurang bernilai jika
tidak diteruskan dengan pembinaan dan pemantauan secara simultan oleh pihak
terkait. Artinya, peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk membuat program
lanjutan pasca diklat yang diikuti oleh guru. Kenyataan ini seiring dengan
jawaban-jawaban responden, bahwa pada sekolah-sekolah tertentu yang menerapkan
berbagai kemampuan dan teknik dalam pembelajaran atau keterampilan lainnya yang
berhubungan dengan tugas keguruan ternyata tidak terlepas dari komunikasi dan
koordinasi kepala sekolah, kepedulian kepala sekolah yang terus memantau guru
sebagai alumni diklat untuk dapat menerapkan apa yang diperolehya, bahkan
ketegasan kepala sekolah yang meminta laporan tentang berbagai materi diklat
yang harus dipresentasikan kepada rekan guru lainnya yang tidak mengikuti
kegiatan diklat. Hal ini sejalan dengan penegasan T. Soemarman (2010: 31) bahwa
leadership atau kepemimpinan memiliki
pengaruh kuat terhadap perilaku kerja dengan mengedepankan pendekatan
kemitraan, tim kerja dan pengembangan manajemen. Artinya, bahwa perilaku kerja
bawahan seiring dengan peran manajerial pimpinan dalam mengendalikan dan
mendorong organisasi agar berjalan efektif karena tanpa peran pimpinan
tersebut, terbukti proses kerja bawahan berjalan mengalir datar sebagai sebuah
rutinitas yang kurang berkembang. Pernyataan ini, ditemukan dari jawaban
responden yang cenderung melakukan aktivitas pembelajaran konvensional,
monolog, proses penilaian pembelajaran hanya terpaku pada tes tertulis, serta
tidak adanya inovasi-inovasi pengembangan diri sebagai upaya peningkatan
kualitas profesi, salah satu alasannya adalah karena lepas dari koreksi dan
supervisi dari kepala sekolah serta tidak adanya pembinaan dan pengawasan
kontinyu atas keterampilan yang telah diperolehnya, sehingga muncul perasaan
selesai tanggungjawab mereka atas diklat yang diikutinya sebagai sebuah program
yang berbatas waktu.
Materi diklat yang berkaitan langsung dengan pembelajaran
diantaranya adalah pembuatan perangkat rencana pembelajaran, strategi dan model
pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Di tiga wilayah yakni DKI Jakarta,
Banten dan Kalimantan Barat, responden yang telah mengikuti kegiatan diklat
khusus tentang pembuatan perencanaan pembelajaran atau diklat reguler yang di
dalamnya memuat materi pembuatan rencana pembelajaran, rata-rata mereka
memahami tentang teknik pembuatan perangkat tersebut dan ketika dikonfirmasi
tentang langkah dan spesifikasi yang ada pada perangkat tersebut mereka secara
jelas dapat mengemukakannya, artinya mereka memiliki kemampuan membuat
perangkat pembelajaran sesuai dengan yang diperolehnya dalam diklat, akan tetapi
pada sebagian mereka ditemukan perangkat pembelajaran yang tidak sinkron antara
yang dibuat dengan karakteristik yang ada di sekolah, ternyata perangkat yang
ada ini adalah hasil download dari internet atau mengkopi dari rekan guru pada
mata pelajaran lain, dan ada pula yang mengkopi dari rekan guru sesama mata
pelajaran dari sekolah lain bahkan ada yang memindahkan dari perangkat
pembelajaran yang dijual belikan secara umum kemudian dilakukan modifikasi
sederhana.
Pada materi lain seperti strategi dan model pembelajaran dan
penilaian hasil belajar, ternyata jawaban responden kebanyakan masih
menggunakan metode pembelajaran konvensional yang bersifat satu arah dan belum
banyak mengaktifkan siswa terlibat sebagai subyek belajar, sementara
pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai macam strategi pembelajaran yang
menarik dan inovatif hanya sebatas sebagai pengetahuan yang tidak lebih dari
kumpulan informasi yang diketahui. Begitu pula pada materi tentang penilaian
hasil belajar, hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka masih banyak
menggunakan alat tes berupa tes tertulis walaupun sebagian kecil lainnya telah
menggunakan bentuk tes lisan dan praktek, akan tetapi bentuk lainnya seperti
penugasan, proyek, portofolio dan pengamatan sangat langka dilakukan. Hal lain
yang paling rendah dilakukan oleh responden dibandingkan aspek lainnya adalah
melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) karena rasa kurang percaya diri dalam
melakukan penelitian serta kebingunan dalam melakukan pembimbingan yang
diasumsikan belum meratanya kemampuan aplikatif mereka secara individu maupun
kepala sekolah dan pengawas dalam mendampingi para guru untuk membuat PTK.
Temuan di atas, menunjukkan bahwa pemahaman dan
keterampilan yang didapatkan dari kegiatan diklat belum sepenuhnya dapat
mengangkat kreativitas guru yang dilandasi adanya keinginan berubah menjadi
lebih baik. Kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang
konvensional yang terbelenggu dengan pola pembelajaran paradigma lama yakni mengajar dan memberi
tugas latihan, mengajar dan berceramah, mengajar dan menjelaskan secara monolog
membawa dampak munculnya kejenuhan pada siswa bahkan membuat siswa frustasi dan
mengalami kebosanan yang berkepanjangan. Kondisi pembelajaran yang tidak bermutu ini
jelas sangat merugikan semua pihak terutama siswa karena eksistensi mereka
sebagai individu yang harus difasiliasi perkembangannya cenderung terhambat.
Oleh karena itu, asumsi tentang akar persoalan belum meningkatnya kualitas
output pendidikan sebagai dampak dari kualitas proses pembelajaran, bukan pada
pada optimalisasi, penambahan materia atau seringnya mengikuti diklat akan
tetapi lebih pada kesadaran individual guru untuk merubah pola tindak (karena
pola pikir mereka sudah menyatakan perlu, penting dan berguna tentang
keterampilan yang dimilikinya) dalam mengajar sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dan tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, Menurut Surakhmad
(2009: 364) tantangan profesionalitas guru tidak sekedar menyelesaikan
pekerjaan tetapi lebih dari itu adalah sebuah perjuangan. Perjuangan
membutuhkan kesadaran, keinginan, keseriusan dan kerja keras yang muncul bukan
karena dipacu tetapi muncul karena tekad.
Ketika ditelusuri lebih dalam
tentang hal apa yang menjadi kendala terhadap implementasi pengetahuan dan
keterampilan mengajar yang telah dimilikinya karena ternyata 93 % responden
menyatakan ada kendala seperti tertera pada tabel 3 di atas, ditemukan variasi
kendala diantaranya adalah kebiasaan guru yang tidak mau repot, seperti dalam
membuat rencana pembelajaran cukup mengkopi dari berbagai sumber setelah itu
didokumenkan sebagai pemenuhan persyaratan administrasi guru, mengajar tidak
menggunakan strategi yang variatif dan mengaktifkan siswa karena alasan
keterbatasan sarana kelas, kurangnya perangkat pembelajaran, seting tempat
duduk dengan formasi meja kursi yang konvensional, dan padatnya siswa yang
menyulitkan interaksi serta keterbatasan jam belajar dengan perbandingan jumlah
siswa, selain itu dijumpai pula jawaban responden yang kurang percaya diri
dengan model pembelajaran yang baru karena belum terbiasa menggunakannya, ada
alasan repot karena membutuhkan persiapan sebelumnya dengan media dan
kelengkapan yang harus disediakan sehingga pembelajaran dilakukan sebagai
kegiatan rutin tanpa melihat dokumen rencana pembelajaran yang dibuat,
akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara dokumen rencana dengan aplikasi dalam
pembelajarannya.
Dikatakan Reyes dalam Razak, dkk
(2009: 187) bahwa guru yang memiliki komitmen tinggi terhadap profesinya
ditandai dengan sikap bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti
berkembang sesuai tuntutan zaman dan selalu
berusaha mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan
melalui berbagai teknik dan pendekatan. Pernyataan ini, sejalan dengan fakta 43
% responden yang menyatakan dapat menerapkan apa yang didapatkan selama diklat
dalam kegiatan pembelajaran, mereka berusaha mengelola kelas sesuai dengan
berbagai kemungkinan dengan membuat desain pembelajaran yang disederhanakan
berdasarkan situasi dan kondisi. Mereka pun terus melakukan upaya untuk
melakukan pembelajaran yang lebih baik didasari dengan rasa ingin tahu yang
tinggi dan rasa penasaran untuk mencoba dan mencoba, ujungnya adalah komitmen
terhadap profesi sebagai guru yang tumbuh dari lubuk hati sendiri.
Hampir sama seperti halnya
alasan di atas, penggunaan alat atau instrumen evaluasi pembelajaran yang
kurang bervariasi oleh guru disebabkan guru tidak mau sulit dan cenderung
melakukan yang mudah dan praktis saja, ragam instrumen lainnya yang dianggap
tidak praktis dan membutuhkan waktu banyak tidak digunakan oleh mereka, terkait
dengan itu, guru sangat langka melakukan analisis butir soal, jikapun ada hanya
bersifat temporal karena hal ini cukup membutuhkan waktu dan keseriusan.
c. Aspek sikap
Jawaban responden pada aspek sikap bekerja dari dua poin pertanyaan
rata-rata mereka menjawab memiliki semangat kerja dan rasa optimis terhadap
keberhasilan yang dicapai, 77 % mereka menjawab ya dan 23 % menjawab tidak.
Jawaban tentang semangat dan rasa optimis ini tidak semata dampak dari kegiatan
diklat yang diikutinya akan tetapi merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman
dan nilai-nilai yang diyakini mereka.
Secara jelas responden menyatakan bahwa dengan mengikuti kegiatan
diklat dapat memberikan motivasi dan inspirasi untuk bekerja lebih baik dari
sebelumnya meskipun terkadang semangat itu berubah-ubah seiring dengan berbagai
persoalan yang dihadapi. Dalam istilah Surakhmad (2009: 369) bahwa kompetensi
yang dimiliki seseorang dari hasil proses belajar harus terkait dengan
kemampuan bersikap dan berperilaku dengan pertimbangan teknis dan etis. Sejalan
dengan pernyataan ini, responden memberikan pernyataan bahwa kegiatan diklat
merupakan salah satu sarana untuk meng-upgrade
kemampuan dan media men-cash potensi
ruhani sehingga melahirkan semangat bekerja yang tinggi. Seperti dikatakan Bernandian & Russel dalam Gomes (2000:
197) bahwa pelatihan merupakan usaha untuk
memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan yang terkait dengan
pekerjaannya. Artinya, bahwa kegiatan diklat arahnya adalah untuk memperbaiki
perilaku kerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, walhasil produktivitasnya
meningkat karena adanya dorongan yang kuat untuk mencapai hasil yang optimal.
Dari hasil penelusuran, didapatkan pula jawaban responden bahwa
kegigihan dalam bekerja, erat kaitannya dengan pola pikir dan orientasi guru
yang bersangkutan, ketika pola pikir dan orientasinya idealisme dan kepuasan
batiniyah, sesungguhnya bekerja disikapi mereka sebagai sebuah ladang ibadah
yang bernilai tinggi dari sekedar mendapatkan imbalan insentif yang sangat
terbatas sehingga peran dan aktivitasnya dilandasi dengan nilai keyakinan
vertikal yang kuat tetapi secara profesional tidak terkurangi, berbeda jika
sebaliknya, guru yang orientasi kerjanya hanya sebatas melaksanakan rutinitas
dan menggugurkan kewajiban justru memiliki kinerja yang rendah karena
aktivitasnya selalu diukur dengan sejumlah materi yang didapatkan.
Dari jumlah 23 % responden yang menyatakan semangat dan optimismenya
rendah, mereka sebenarnya secara rutin bekerja seperti biasa, hanya saja
aktivitas kerja berjalan kurang kreatif produktif, mereka mengatakan bahwa
bekerja menjalankan tugas dari pimpinan, apa yang diperintahkan mereka
menjalankannya sesuai tupoksi. Sikap kerja seperti ini, menurut Ali (2009: 153)
tidak akan melahirkan inovasi karena inovasi bersumber dari kreativitas, tanpa
kreativitas tidak akan ada inovasi. Penegasan ini nampak seperti yang mengemuka
dari jawaban responden yang pasrah atas apapun yang terjadi pada hasil akhir
peserta didiknya, pembelajaran mengikuti alur kebijakan khususnya untuk
mencapai predikat lulus pada ujian nasional dengan pola yang masih terus
berlangsung hingga saat ini, meskipun zaman telah berubah.
H.
Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, dikemukakan uraian ringkas
tentang hasil penelitian utnuk menjawab pertanyaan penelitian yang tertera pada
bab 1, yaitu:
1.
Alumni
diklat mendapatkan pengetahun dan keterampilan yang dibutuhkan dalam bekerja
yang tercermin pada materi yang disampaikan selama kegiatan diklat berlangsung,
dan apa yang diperolehnya bermanfaat dalam pelaksanaan
tugasnya sebagai guru. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan tidak
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baru selama diklat akan tetapi
hanya berupa penguatan atas apa yang telah diterimanya pada kegiatan diklat
sejenis yang telah diikutinya.
2.
Dalam
implementasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam diklat ditemui
variasi kendala yang dihadapi, diantaranya adalah kondisi dan setting kelas
konvensional, ketersediaan fasilitas, jumlah peserta didik dalam setiap kelas
yang terlalu banyak, rasa percaya diri guru yang kurang, enggan melakukan
kegiatan yang membutuhkan waktu dan kesiapan lebih banyak, kebiasaan dengan
kegiatan yang praktis dan mudah, dan lemahnya kegigihan untuk menerapkan apa
yang telah diperolehnya ketika tidak dilakukan monitoring oleh kepala sekolah.
3.
Dari
segi kebermanfaatan, ternyata pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan
selama mengikuti diklat sesuai dan bermanfaat dalam menunjang kualitas
pelaksanaan pekerjaan, akan tetapi dari segi implementasi, ternyata masih sangat lemah, kebanyakan responden
belum menerapkan apa yang dimilikinya dari hasil diklat, pembuatan perangkat
pembelajaran hanya sebatas pemenuhan administrasi, pembelajaran masih berjalan
konvensioanl dan belum mengaktifkan siswa sebagai subyek belajar, penilaian
hasil belajar masih terpaku pada penggunaan instrumen tes tertulis, dan masih
langkanya kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru dalam
upaya peningkatkan kualitas profesinya.
I.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas dan
temuan tentang berbagai kelemahan di lapangan, maka perlu penulis
rekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Diperlukan koordinasi dan
penyamaan persepsi antara Balai Diklat Keagamaan Jakarta dengan satuan kerja
lain di lingkungan Kementerian Agama, khsusunya di wilayah kerja DKI Jakarta,
Banten, dan Kalimantan Barat tentang pentingnya program lanjutan pasca diklat
sebagai upaya pembinaan dan pemberdayaan para guru secara berkelanjutan
sehingga kompetensi dan profesionalitas mereka terus dapat ditingkatkan.
2.
Perlunya penegasan oleh Balai
Diklat Keagamaan Jakarta tentang konsistensi pemanggilan peserta diklat oleh
Kantor Wilayah (Kanwil) dan atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kota
sebagai mitra Balai Diklat, sehingga penunjukkan peserta diklat sesuai dengan
jenis diklat, kriteria yang dipersyaratkan, dan jenjangnya.
3.
Perlunya dukungan pimpinan
satuan kerja dalam melakukan perubahan pola-pola pembelajaran yang efektif dan
inovatif dengan dilakukannya monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap para
guru yang telah mengikuti berbagai macam kegiatan diklat, sehingga
pertanggunganjawab mereka tidak sebatas melaporkan hasil diklat akan tetapi
yang lebih penting adalah bagaimana menggunakan dan mengimplementasikannya.
J.
Daftar Bacaan
Agustian, Ary Ginanjar, 2001, Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual (ESQ) The ESQ Way 165,
Jilid 1. Jakarta: Arga Tilanta.
Asmu’i, 2011, Peningkatan Mutu Pelayanan Kewidyaiswaraan, Jakarta : Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Bisri, Abdul Mukti, 2008, Dinamika Madrasah Model Unggulan, dan
Terpadu Sebuah Studi Kebijakan. Ringkasan Disertasi. (Online). Tersedia: http//www.depag.pendis.go.id. (17 Oktober 2009).
Djamil, Abdul, 2011, Arah Kebijakan Diklat dan Peningkatan Peran Widyaiswara, Bandung:
Temu Widyaiswara Nasional.
Gomes, Faustino Cardoso, 2000, Manajemen
Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset.
Hidayat,
Umul, 2006, Upaya peningkatan kompetensi
guru. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan. Vol. 4 No. 2
April-Juni 2006.
http://www.deptan.go.id/pug/admin/satlak/perpres2010_5.pdf, (12 Juli 2013)
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi, 2001, Reformasi
Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Kurikulum Diklat Teknis Fungsional
Peningkatan Guru, 2012, Jakarta : Pusdiklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan.
Lang, Helmut R & David N.
Evans. (2006). Models, Strategies,
and Methods for Effective Teaching. USA:
Pearson Education.
Mohammad Ali, 2009, Pendidikan
untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya
Saing Tinggi, Bandung: IMTIMA.
Noor, Juliansyah,
2012, Metodologi Penelitian: Skripsi,
Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ke-2.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Jakarta: Eka Jaya, 2005.
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis di Lingkungan Kementerian
Agama.
Puskur Balitbang Depdiknas, 2002, Pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi, Jakarta.
Razak, Nordin Abd, I. Gusti Ngurah Darmawan , John P. Keeves,
2010, The Influence of Culture on Teacher
Commitment. Received: 19
January 2009 / Accepted: 9 December 2009 / Published online: 28 January 2010. Springer Science+Business Media B.V.
2010.
Sallis, E, 2008. Total
Quality Management In Education. Terjemahan Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi.
Yogyakarta : Ircisod.
Soedijarto, 1993, Memantapkan Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soemarman, T, 2010, Maximazing
Training, Memaksimalkan Pelatihan demi Hasil yang Optimal, Malang: Dioma
publishing.
Surakhmad, Winarno, 2009, Pendidikan
Nasional, Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar