Semakin
padatnya jumlah populasi manusia di dunia mendorong semakin tingginya
persaingan dan kepentingan, semua bergerak ingin menjadi pemenang. Orang kaya
ingin menang untuk mendapatkan kekayaannya, pejabat ingin menang menduduki jabatannya,
pedagang ingin menang dengan volume penjualannya, bahkan penjahatpun ingin
menang dengan hasil kejahatan yang dilakukannya. Perbedaan, pergumulan, persaingan
sampai gesekan tak terelakkan, konon semuanya mengatasnakaman kebahagiaan.
Saking
ketatnya persaingan dan gesekan akibat mobilitas manusia yang dituntut serba cepat
membuat kaburnya batas-batas pemisah antara benar dan salah serta baik dan
buruk; ketika ada orang yang gigih bekerja dikatakan maniak, disiplin disebut cari
perhatian, taat kepada pimpinan diidentikkan dengan cari muka, kritis disamakan
dengan cerewet dan sok pintar, berdiam diri disebut tidak punya konsep, ketika
agak santai dilebel pemalas tetapi bila rajin dikatakan sombong. Semua ini tidak
lain karena ego dan persepsi diri kita bahwa hanya sayalah yang benar sementara
orang lain itu salah, kebahagiaan hanya milik kita, sementara orang lain cukup
mendapatkan klaim-klaim yang sesungguhnya kita sendiri tidak menyukainya, semua
orang dipaksa masuk dalam ruang persepsi kita sedangkan kita tidak mencoba masuk
dalam ranah pikiran mereka. Alhasil, waktu 24 jam sehari masih kurang bagi
sebagian orang yang terus berpersepsi atas apa yang dilihatnya.
Kebahagiaan
menjadi impian semua orang tanpa mengenal skat dan batas usia apalagi status
sosial, ia memiliki makna filosofis yang tidak tergantikan oleh benda apapun,
ia bersifat psikis bukan fisik sehingga dapat dimiliki oleh siapapun dengan
tidak mensyaratkan label-label duniawi.
Ada
diantara kita yang berpikir bahwa dengan memiliki rumah, harta dan mobil mewah
bisa merubah hidup lebih bahagia, tapi banyak fakta menunjukkan sebaliknya, muncul
perasaan selalu takut dan was-was akan keamanan apa yang kita miliki, berselimut
rasa cemas, sampai pada hari-harinya menjadi tegang dan tidak enjoy,
amarahnya muncul ketika ada yang menyalip mobil kita, kata-kata kasarpun sering
terlontar ketika ada anak kecil yang tidak mengerti mencorat-coret pagar rumah
kita. Ternyata hati kita lelah, muka cemberut bahkan tidak berdaya menahan
munculnya nafsu amarah gara-gara semua itu, bukankah itu semua adalah realita
yang harus kita maknai dan proses belajar menjadi manusia yang paling bahagia, karena
dengan hal-hal seperti itulah, Allah memberikan pemahaman agar kita mampu
mengelola diri atas apa yang kita miliki, jika tidak, maka mengurung mobil
mewah dalam garasi yang megah untuk dipandangi sebagai hiasan rumah, berubah
fungsi dari alat transportasi produktif yang
bisa dinikmati dan berefek kebahagiaan menjadi hiasan mata yang pasif dan beban
yang berefek destruktif. Berharap bisa bahagia,
ternyata tidak, karena semua itu malah menjadi sumber kecemasan bahkan
petaka.
Seorang
nenek tua menerima pemberian hamba Allah uang sebesar 5000 rupiah, lalu ia
mengucapkan kata terimakasih berkali-kali disertai senyuman yang tersirat
perasaan senang, disisi lain, pada tempat berbeda hamba Allah tersebut
memberikan uang dengan jumlah nominal yang sama kepada orang lainnya, tanpa ada
balasan ucapan terimakasih ataupun senyuman yang menunjukkan ungkapan rasa
senang dalam hatinya, hal itu menunjukkan bahwa bahagia itu ada pada persepsi
orangnya bukan pada hakekat bendanya. Dan banyak lagi perilaku, ucapan,
keadaan, dan lainnya yang sering membuat kita terpengaruh untuk tidak bahagia,
marah bahkan frustasi, semua itu sesungguhnya tergantung pada kita memaknainya,
karena bahagia atau tidak, kebahagiaan tetap eksis bagi siapa saja yang mampu
meraihnya, kebahagiaan adalah pasif kita yang harus aktif menjemputnya dan
janganlah menunggu kebahagiaan itu datang dari setiap penjuru karena kebahagiaan lahir dari dalam diri
kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar