Dalam konsep Islam, semua ibadah bersifat sentralistik
yakni terpusat kepada Allah SWT akan tetapi berdampak horizontal, artinya sahnya ibadah itu harus diniatkan karena Allah
meskipun Allah tidak menerima manfaat apapun dari ibadah yang dilakukan ummatnya itu namun sebaliknya
tentu bernilai pahala bagi yang melakukannya dan kemaslahatan bagi lingkungan
sekitarnya. Salah satu hadits nabi bahwa “asshiyamu
junnatun” bahwa puasa itu adalah benteng yakni bagi yang melakukannya dan
bermanfaat bagi sekitarnya, dalam surat al-Ankabut ayat 45 bahwa shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan munkar tentu bagi yang melakukannya bahkan lingkungan
sekitar turut merasakan kenyamannya, begitu pula zakat yang memiliki dampak
sosial secara langsung dinikmati oleh mereka yang kurang mampu.
Berpuasa adalah aktivitas ibadah yang bersifat rahasia
dan tidak bisa diketahui oleh orang lain seperti ibadah mahdhoh lainnya yakni
sholat, zakat, dan haji. Kerahasiaan ibadah puasa memberi makna yang luar biasa
dalam mendidik pribadi agar terhindar dari sifat riya dan pamer kebaikan kepada
orang lain, dari kegiatan puasa yang dilakukannya dan menurunkan hawa nafsu dan
kesombongan. juga supaya terbebas dari sikap minder karena kondisi fisiknya
yang melemah karena tidak adanya asupan makanan. Hal ini sesungguhnya bahwa
kita tidak diperkenankan mengunggulkan kehebatan kita karena suatu saat akan
hadir orang-orang lemah dan nista untuk menguji kehebatan kita itu, dan
sebaliknya kita juga harus terbebaskan dari sikap rendah diri atas kelemahan
dan kekurangan yang kita miliki karena pasti akan hadir orang-orang hebat di
sekeliling kita.
Bila al-Ghazali membagi puasa kedalam 3 kategori, yakni
puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa orang khusus dari yang khusus,
bisa jadi puasa mayoritas kita masih ada pada kelompok orang awam tidak
tergolong orang-orang khusus apalagi khususnya orang yang khusus sehingga tidak
berdampak apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Hal ini bisa menjadi isyarat
bahwa kualitas perilaku dan ibadah kita pasca bulan ramadhan menjadi gambaran
tentang seberapa baik dan ada pada kategori mana puasa yang telah kita lakukan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang terus meningkat kebaikannya.
Ada statement bahwa siapa yang solatnya baik maka akan
baik pula seluruh perilakunya, benarkah? Jika kembali ke surat al-Ankabut 45 di
atas tentu benar dan terjamin, yakni dengan memaknai setiap bacaan dan gerakan solat
kemudian diamalkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Bagitu pula haji yang
ukuran kemabrurannya dilihat pasca pelaksanaannya. Bahkan Prof. Dr. Ahmad
Tafsir mengungkapkan bahwa haji yang kedua dan seterusnya hukumnya haram
apabila disekitar orang yang berhaji itu terdapat tetangga kelaparan dan atau tidak
mengenyam pendidikan.
Ummat muslim yang telah selesai menjalankan ibadah puasa
dan juga bentuk ritual ibadah lainnya seperti shalat, haji, dan zikir,
seyogyanya semakin meningkat amal kebaikannya, meningkat kesalehan vertikal
dalam bentuk ibadah mahdhah dan kesalehan sosial sebagai perwujudan kualitas
dirinya yang telah dilakukan proses pembinaan berulang kali. Ilustrasinya
seperti dalam cerita pewayangan, kesatria Gatotkaca menjadi sakti manderaguna
karena proses penggodokan di dalam kawacandradimuka sehingga ia lahir menjadi
sosok yang kuat jiwa dan raganya. Pun jika berbagai ibadah dilakukan secara berkualitas
akan menghasilkan efek yang berkualitas pula, karena kualitas proses akan
menentukan kualitas hasil yakni menjadi muslim dengan predikat taqwa yakni
insan yang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat karena senantiasa ada dalam
lindungannya.
Pesan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya bahwa hari ini
harus lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini adalah
misi produktif agar kita selalu melakukan perubahan menjadi lebih baik dari
waktu ke waktu. Namun demikian, fenomena di negeri tercinta ini menunjukkan
hampir di semua wilayah dan lapisan masyarakat terjadi kekejian, kemaksiatan,
dan perilaku dosa lainnya, nampak tidak ada korelasi antara ibadah yang telah dijalankan
bertahun-tahun dengan kesalehan yang ada sehingga perlu direnungkan apa masalahnya
dan faktor apa yang menyebabkan rangkaian ibadah vertikal (hablumminallah) yang dilakukan dengan kemaslahatan semesta menjadi
terputus, bahkan seolah-olah puasa, shalat dan haji menjadi tidak berdampak
terhadap perbaikan perilaku dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal terbaik
yang patut kita lakukan adalah tafakkur dan ibda binnafsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar