Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara
pen-support cukup tinggi dalam penyelenggaraan haji setiap tahun. Pelaksanaan
ibadah haji memiliki makna besar bernilai spiritual yang merupakan wujud
kepasrahan individual terhadap sang Khaliq sebagai penyempurnaan atas
keislamannya memenuhi rukun yang terakhir dan sekaligus perjalanan wisata yang
memiliki daya tarik tersendiri untuk mengenali nilai-nilai historis sepanjang
penyebaran dan perkembangan Islam di Makkah al Mukarromah dan Madinal al
Munawaroh, bahkan haji berimplikasi terhadap pembentukan kesalehan sosial
sebagai ukuran ke-mabruran haji seseorang. Disadari, bahwa pelaksanaan ibadah
haji berperan dalam pembentukan karakter bangsa menuju masyarakat madani (Civil Society) yang
harus didukung oleh pemegang kebijakan melalui regulasi yang jelas dan pasti
sehingga terjaminnya pelaksanaan ibadah haji yang profesional, akuntabel dan
adil yang mampu memfasilitasi ritual ibadah tersebut dengan aman, nyaman, dan
penuh keikhlasan seiring dengan besarnya peran ibadah haji dalam memperkokoh
pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
PENDAHULUAN
Pada setiap bulan Zulhijjah, seperti biasanya terjadi peristiwa
besar dan bersejarah bagi ummat muslim. Bagaimana tidak, pada bulan ini pada
setiap tahunnya diramaikan dengan aktivitas kaum muslimin melakukan
perjalanan spiritual menuju ke Makkah al
Mukarromah untuk menunaikan salah satu tugas vertikal dalam rangka penghambaan
dirinya kepada sang Khaliq secara total dalam bentuk ibadah haji. Setidaknya
ada 2 juta manusia berkumpul disana untuk tujuan mengabdikan dirinya kepada
Allah SWT pada setiap tahunnya.
Indonesia termasuk Negara yang cukup besar mensupport jama’ah haji
ke tanah suci Makkah, bahkan nyaris tidak didapati tahun yang kuotanya tidak terpenuhi dari serbuan jama’ah
yang hendak berhaji, malah sebaliknya, untuk mendapatkan jatah kuota tahun ini,
calon jama’ah sudah harus mendaftarkan dirinya beberapa tahun sebelumnya,
sungguh ini merupakan animo yang tinggi dan positif manakala banyak orang
Indonesia berduyun-duyun melakukan kegiatan spiritual.
Dengan biaya yang cukup besar hingga mencapai 3.500 dollar jika
dikalikan dengan rupiah kira-kira 35 jutaan per orang untuk dapat melakukan
ziarah ke tanah suci, masyarakat Indonesia tidak surut niat dan minatnya untuk
berhaji, dengan tekad yang kuat dan keinginan yang tinggi apapun persiapannya
mereka lakukan bahkan bagi mereka yang ekonomi pas-pasanpun secara all-out terus maju. Seolah ada daya
tarik tersendiri, ibadah haji menjadi idola ummat islam, mungkin disamping
esensinya adalah ibadah mahdhah yang pasti mendapatkan balasan dari Allah SWT
(sesuai janjinya dalam al Qur’an), berhaji juga merupakan perjalanan wisata
dengan berziarah mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti bukit shafa
marwa, jabal nur, dll.
HAKEKAT
IBADAH HAJI
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji yang mereka
warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan berbagai perubahan. Akan
tetapi, bentuk-bentuk umum tata laksana ibadah haji tetap ada, seperti thawaf,
sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak
sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Agama Islam datang dan memperbaiki
segi-segi yang salah dan menyimpang dari syariatnya, sebagaimana yang diatur
dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. Pelaksanaan ibadah haji memang tidak terlepas
dari ajaran nabi sebelum Muhammad SAW. Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh
umat-umat sebelum nabi Ibarahim, ritual sa'i, berlari antara bukit Shafa dan Marwah didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim
ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang
tempat bertemunya nabi
Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu
asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
Penyerahan secara total kepada Allah SWT setiap individu selama
melakukan ibadah haji di Baitullah sebagai derivasi dari komitmen “ inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahi robbil ‘alamin“ bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya
untuk Allah robbul ‘alamin, merupakan ikrar yang keluar dari sanubari sebagai
wujud akselerasi spiritualitas yang dapat merefleksikan sikap positif baik
secara vertikal kepada Allah maupun secara horizontal terhadap sesama manusia
bahkan binatang dan tumbuhan. Dengan demikian, pasca berhaji seyogyanya dapat
mewujudkan sosok insan ideal yang cerdas secara spiritual dan emosional untuk mencapai haji yang mabrur. Haji mabrur berarti haji
yang diterima oleh Allah SWT dengan indikasi semakin membaiknya perlaku dalam
kehidupan sehari-hari yang sangat korelatif dengan upaya penyembuhan bangsa
dari krisis moral berkelanjutan yang hingga saat ini masih menimpa negeri
tercinta ini.
Penekanan kemabruran haji seseorang pada perubahan sikap dan
perilaku individual subyektif (taqorrub ilallah) maupun sosial obyektif (khoirun
naas anfa’uhum linnas) sepulang dari haji menunjukkan betapa haji memiliki nilai
religius sentralistis terfokus kepada Allah SWT yang memiliki dampak horizontal
bukan karena kuantitas pelaksanaan haji yang berulang akan tetapi lebih karena pemaknaan
terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan ke dalam
kehidupan nyata sebagai bentuk kesalehan sosial, seperti di ungkapkan Ahmad
Tafsir bahwa pelaksanaan ibadah haji yang kedua, ketiga dan seterusnya bisa
berubah hukumnya tidak lagi sunnah tetapi menjadi haram apabila disekitar orang
yang berhaji itu masih dijumpai masyarakat yang kelaparan atau tidak sekolah.
Pada konteks Indonesia, apabila setiap tahunnya ada 200 ribu jama’ah
berasal dari Indonesia melakukan ibadah haji ke tahan suci, maka berarti ada
200 ribu orang yang secara ikhlas melakukan pencerahan spiritual tanpa ada
paksaan dari siapapun yang diasumsikan berdampak pada semakin positifnya
perilaku dalam bertindak dan berbuat. Semakin banyaknya masyarakat yang
berperilaku positif maka tentunya semakin kondusif kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Perilaku negatif dapat diminimalisir, penyakit masyarakat dapat
ditekan dan kejahatan lainnya berkurang, secara otomatis stabilitas bangsa ini
semakin kokoh dan berintegritas tinggi. Betapa tidak, karena sesungguhnya ajaran
islam tidak hanya bersifat spiritualistik melainkan juga memperhatikan aspek
keduniawian atau skularistik (Engineer: 1987). Seiring dengan hal tersebut,
aktivitas berhaji dapat menjadi pondasi bagi pembangunan karakter bangsa
melalui pencerahan mental spiritual dan sosial emosional yang perlu didukung
oleh Pemerintah agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan efektif dan
efisien.
Aspek spiritualistik, seperti diungkap oleh Engineer di atas,
menunjukkan bahwa berhaji perlu didukung guna meningkatkan kualitas diri
menjadi insan bertakwa yang memiliki kesejahteraan bathiniyah diukur dari
kedekatannya kepada Allah SWT dan terus membesarkanNya sebagai Zat yang diyakini
secara total mampu mendorong setiap aktivitas, aksi dan reaksi bukan karena
faktor lain. Di sisi lain, aspek skularitas tidak dapat dilepaskan dari
kenyataan ekonomis yang menjadi kebutuhan manusia akan biaya dan kemampuan
material lainnya selama pelaksanaan ibadah haji. Terlepas dari statement bahwa
orang yang berhaji berarti memiliki kesiapan secara materi, aspek efektivitas
dan efisiensi biaya perlu menjadi kajian tersendiri yang harus dicarikan
solusinya.
Apabila aspek spiritualitas bersifat individual subyektif sangat
pribadi dan menjadi urusan setiap insan dengan Khaliqnya, maka keberadaannya
hanya diketahui oleh dirinya melalui pengakuan jujur bersumber dari hati
nurani. Akan tetapi pada tataran skularistik yang bersifat sosial obyektif,
maka pelaksanaan ibadah haji sangat erat kaitannya dengan penilaian masyarakat
luas, analisis ekonomis, kajian manajemen, bahkan benchmark atau
pembanding dengan pelaksanaan ibadah haji yang diselanggarakan oleh negara
lain. Maka, pada aspek kedua ini, muncul banyak variabel masalah yang
membutuhkan regulasi dan keterlibatan pemegang otoritas untuk berjuang mensukseskan
pelaksanaan sebuah ibadah masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda dengan
ibadah-ibadah lainnya.
PELAKSANAAN
IBADAH HAJI DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG
Bermula dari tuntutan reformasi
politik tahun 1998, muncul berbagai isu perubahan. Salah satu hasilnya, adalah
disahkan dan diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji. Artinya, bangsa ini memiliki pedoman penyelenggaraan haji yang
diharapkan mampu merubah proses pelaksanaan ibadah haji lebih baik.
Reformasi politik memang telah
mengubah banyak segi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk
berubahnya manajemen pemerintahan ke arah yang lebih demokratis, transparan dan
tidak sentralistik, termasuk adanya perubahan UU Nomor 17 Tahun 1999 dengan lahirnya
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji yang
terdiri terdiri dari 17 bab dan 69 pasal, yang kemudian mengalami revisi dengan
lahirnya Undang-Undang nomor 34 tahun 2009 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2009 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah
haji menjadi undang-undang. Lahirnya UU nomor 34 tahun 2009 dalam rangka
mengatasi terjadinya kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa
mulai tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh negara yang akan menunaikan
ibadah haji harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang
berlaku secara internasional termasuk juga jemaah haji Indonesia.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji yang
tercantum dalam asas dan tujuan haji, pada pasal 2, disebutkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji
dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas
dengan prinsip nirlaba. Dan pada pasal 3, Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan
untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya
bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan
ketentuan ajaran agama Islam.
Kewajiban Pemerintah adalah menjamin pelaksanaan ibadah haji dapat
berjalan dengan efektif sesuai dengan rencana yang dipersipakan, mana yang
harus dilakukan, item apa yang tidak urgen dan bagaimana proses pelaksanaan
ibadah haji sesuai dengan prosedur yang tepat. Jikalau efektivitas
penyelenggaraan ibadah haji dapat dilakukan, maka efisiensi biaya dapat dicapai
sehingga masyarakat tidak terbebani dengan besarnya biaya / ongkos naik haji
tersebut.
Pada pasal 6, dijelaskan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi,
bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Artinya, bahwa secara teknis
operasional, Pemerintah dituntut menyiapkan seluruh keperluan jemaah haji
sesuai dengan hak yang harus diterima oleh jemaah haji seperti diungkapkan
dalam pasal 7: bahwa jemaah haji berhak memperoleh
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam
menjalankan ibadah haji, yang meliputi:
a.
Pembimbingan manasik haji dan/atau
materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b.
Pelayanan akomodasi, konsumsi,
transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama
di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
c.
Perlindungan sebagai Warga Negara
Indonesia;
d.
Penggunaan paspor biasa dan dokumen
lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan
e.
Pemberian kenyamanan transportasi
dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah
air.
Atas hak-hak yang harus diterima oleh
jemaah haji tersebut di atas, maka sesungguhnya pemerintah harus berperan dalam
pelaksanaan ibadah haji dengan melakukan tindakan-tindakan:
a. Membuat
alur koordinasi yang cepat, tepat, dan professional dari lapisan atas sampai
bawah sehingga kendala yang dihadapi setiap tahun dapat diantisipasi.
b. Memberikan
layanan kepada seluruh jemaah haji dengan standar yang jelas, akuntabel, dan
terpadu.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan haji masih banyak ditemukan masalah
dan kendala. Oleh karena itu dibutuhkan intensitas Komisi Pengawas Haji
Indonesia (KPHI) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas yang
berfungsi melakukan pemantauan operasional, mengkoleksi berbagai aduan
masyarakat dan merumuskan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan
ibadah haji. Paling
tidak terdapat enam unsur pokok dalam penyelenggaraan ibadah haji yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Calon
haji
2. Pembiayaan
3. Kelengkapan
administrative
4. Sarana
transportasi
5. Hubungan
bilateral antarnegara, dan
6. Organisasi
pelaksana
Diantara
hal yang sering menjadi perdebatan dan pembahasan semua kalangan adalah
persoalan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap aspek lainnya. Dalam pasal 21 ayat 1
dinyatakan bahwa besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden
atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Pada ayat 2, bahwa BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk keperluan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan pada ayat 3
dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri. Dengan demikian,
secara teknis, pengelolaan biaya haji ini sepenuhnya berada dalam kewenangan
Menteri Agama dari mulai pemberangkatan sampai tiba kembali ke tanah air.
Sejalan dengan pernyataan di atas, bahwa dalam sebuah
lembaga, tindakan manajerial merupakan ujung dari lahirnya akuntabilitas.
Seperti dikatakan oleh Cook (2001: 490), akuntabilitas merupakan dampak adanya
otoritas yang dimiliki oleh seorang manajer, otoritas merupakan hak melakukan
pengambilan keputusan berdasarkan hirarki jabatan yang dimilikinya, dan manajer
sebagai pengelola manajemen pada suatu sistem organisasi merupakan sosok yang
dapat mempengaruhi sistem tersebut yang bertanggungjawab atas setiap aktivitas
yang berjalan sesuai dengan aturan dan bertanggungjawab pula atas perimbangan
produktivitas dengan hasil yang dicapai.
Sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam mengelola dana haji tersebut, maka kementerian agama dituntut
untuk dapat menjalankannya dengan efektif, efisien, dan akuntabel yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Dalam pasal 25 disebutkan bahwa
laporan keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji disampaikan kepada Presiden dan
DPR paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Penyelenggaraan Ibadah Haji selesai.
Dan jika terdapat kelebihan, maka dalam Undang-Undang harus dimasukkan ke dalam
Dana Abadi Ummat (DAU) yang fungsinya diperuntukkan guna kemaslahatan ummat
islam diantaranya meliputi kegiatan pelayanan Ibadah Haji, pendidikan dan
dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan sarana dan
prasarana ibadah (Pasal 47).
Terkait dengan akuntabilitas sebagai penilaian yang dilakukan oleh
masyarakat, akan mendorong lahirnya kepercayaan atas tingkat tanggungjawab
dalam tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan termasuk pula di dalamnya
tentang pembelanjaan dan penggunaan uang publik oleh pejabat Negara sesuai
dengan aturan yang berlaku. Hal ini seperti dirinci oleh Turner dan Hulme
(1997: 125), terdapat enam aspek yang mendorong akuntabilitas, yakni; (1).
adanya legitimasi bagi para pembuat keputusan; (2). kepemimpinan yang bermoral;
(3). adanya kepekaan; (4). Keterbukaan; (5). pemanfaatan sumber daya secara
optimal, dan; (6). upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi.
Idealisme Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji tersebut di
atas, merupakan kebutuhan masyarakat luas untuk dapat melaksanakan ritualitas
ibadah dengan tenang, nyaman dan memuaskan. Meskipun ukuran kepuasan masyarakat
ini sangat abstrak dan sulit mengukurnya, akan tetapi dapat kita ejawantahkan
dalam poin-poin indikator yang mampu mendorong perjalan ibadah haji dirasakan
oleh semua pihak dengan baik, sehingga persoalan yang sering muncul seperti
transportasi, pemondokan, akomodasi, layanan kesehatan, dll dapat diantisipasi
dan dipertanggungjawabkan kepada publik.
PENUTUP
Perjalanan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun oleh ummat islam
merupakan kegiatan rutin dan hajat tahunan yang seyogyanya dapat dilakukan dan
dikelola dengan baik karena substansi item permasalahannya sudah diketahui
sejak lama dan karakteristiknya tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun. Oleh
karena itu, menjadi kewajiban semua pihak sesuai peran dan fungsinya untuk
dapat mendorong pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik, professional,
transparan dan akuntabel. Dan akuntabilitas sangat ditentukan
oleh kombinasi yang sinergis antara usaha, kemampuan dan keterampilan
orang-orang yang terkait di dalamnya.
DAFTAR BACAAN
Ali,
Mursyid. 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan
Beragama di Berbagai Daerah Di Indonesia. Jakarta. Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI.
Curtis W. Cook,
2001. Management and Organization
Behavior. NewYork: McGraw-Hill Higher Education.
Mahmud, Adnan,
dkk. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka
Pelajara.
Mark Turner
& David Hulme, 1997. Governance,
Administration and Development. London: MacMilan Ltd Press.
Syaukani,
Imam. 2009. Manajemen Pelayanan Haji Di
Indonesia. Jakarta. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji.
Undang-Undang nomor 34 tahun 2009 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2009 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah
haji menjadi undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar