Keberadaan
manusia dapat dilihat dari berbagai persfektif yang unik. Dalam pandangan
pendidikan, manusia sebagai homo educandum yaitu sosok yang memerlukan
internalisasi nilai-nilai dan latihan keterampilan agar menjadi insan terdidik,
dalam pandangan ekonomi, manusia adalah homo economicus, yaitu wujud
yang memerlukan kebutuhan ekonomis untuk dapat melangsungkan kehidupannya, berbeda
pula menurut pandangan politik, bahwa manusia tidak lebih dari sosok yang
berusaha membujuk, mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk memenuhi kepentingannya.
Terlepas
dari berbagai sudut pandang di atas, sesungguhnya manusia memiliki
karakteristik berbeda satu dengan lainnya sehingga memberi ruang bagi
terbentuknya interaksi, upaya saling melengkapi kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki, bahkan sinergi yang mewujudkan prestasi besar yang tidak dapat raih
secara individual. Kondisi ini mendorong lahirnya budaya (culture) yang
dijadikan sebuah kesepakatan bersama bahkan menjadi power yang tidak terelakkan
dari satu organisasi, seperti dikatakan Owens (1991: 171) bahwa budaya (culture) sebagai istilah abstrak yang mengkaji secara factual perilaku manusia dalam organisasi, bukan saja diperoleh
melalui interaksi semata melainkan juga kekuatan yang tidak kasat mata (intangible
forces) dalam organisasi tersebut. Budaya menunjuk kepada refleksi norma-norma,
perilaku-perilaku, asumsi-asumsi dan
kepercayaan-kepercayaan dalam sebuah organisasi.
Dengan
demikian, setiap orang dituntut
memahami dan memiliki budaya yang dianut, yakni bagaimana mengerjakan sesuatu
pada organisasi tempatnya
bekerja. Secara ideal, budaya kerja menekankan pada kesempurnaan pelayanan,
kompetensi, dan dedikasi terhadap organisasi dimana kita bekerja. Hal tersebut merefleksikan cara
seseorang merasakan tempat kerja serta keinginan untuk mendukung konsep kesejahteraan pribadi
dikaitkan dengan kesejahteraan organisasi pada umumnya. Keahlian, kreativitas,
kecerdasan, motivasi yang tinggi, serta pola pikir dan persepsi yang sama tentang nilai dan
kepercayaan dapat membantu tentang bagaimana seharusnya bertindak dan berperilaku kerja
yang sesungguhnya.
Budaya Kerja Yang Kondusif
Budaya merupakan
perilaku, nilai symbol
dan makna pada suatu kelompok orang yang menjadi suatu tradisi dan anutan dalam berbagai kegiatan. Budaya berasal dari istilah
culture yang berarti kesopanan dan terpelajar. Menurut Bomard
(1995 : 11) kata budaya mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu: (1) program
kolektif suatu pikiran; (2) sistem nilai dan kepercayaan; (3) cara untuk mengatasi persoalan
pada suatu kelompok orang; dan (4) cara untuk mengerjakan sesuatu.
Makna lain dikemukakan oleh Kotter dan Heskett (1997:
3-4) yang memberikan definisi budaya sebagai totalitas pola perilaku, kesenian,
kepercayaan, kelembagaan dan semua produk atau karya dan pemikiran manusia yang
mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama.
Definisi di atas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Perruci (1977: 64) bahwa budaya
sebagai
segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat serta termasuk
juga akumulasi atau sejarah dari objek-objek
ini atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu.
Membentuk budaya kerja dalam organisasi bukanlah satu
perkara mudah dan tidak boleh dicapai dalam masa yang singkat. Dalam usaha untuk membentuk budaya kerja dalam organisasi, maka
orientasi haruslah bergerak di atas landasan
yang betul sebagai prasyarat bagi tercapainya budaya kerja yang
maksimal. Oleh karena itu, dalam meletakkan sendi-sendi budaya kerja yang kondusif perlu memperhatikan beberapa hal : 1.
komitmen setiap orang yang ada dalam organisasi untuk bekerja secara loyal. Komitmen dari setiap orang yang bekerja sangat
diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja
dan produktivitas organisasi. Setiap item pekerjaan perlu dilakukan dengan sepenuh hati atas kehendak organisasi
dengan menampikkan segala kepentingan lain khususnya kepentingan
pribadi. Penting bagi sesebuah organisasi
mewujudkan 'mind-set' yang berorientasi kepada hasil agar setiap pekerja lebih comited terhadap pekerjaanya. 2. mempunyai kualitas kesadaran
yang tinggi, yaitu sadar akan keberadaan diri dalam lingkup organisasi dan
sadar akan peran dan fungsi organisasi secara kelembagaan. Sulit terwujud
sebuah organisasi yang kondusif manakala tidak terbentuk kesadaran bersama
anggota organisasi, dampaknya adalah sikap saling menunggu, saling mempersepsi
dan bahkan pandangan negatif yang melahirkan statement i’m ok and you are
not ok, padahal prasyarat sebuah organisasi yang baik jika anggotanya
selalu berpikir i’m ok and you are ok sehingga terbentuk
kesetaraan dan kebersamaan, percaya diri dan menghargai potensi orang lain,
serta menyadari akan karakteristik dan keunikan orang lain. 3. bersedia menerima perubahan yang mengarah
pada pemenuhan tuntutan lingkungan, karena hanya organisasi yang siap
berubahlah yang bisa surfive di tengah pergumulan yang semakin hebat
ketika dunia terus bergerak berubah dengan cepat.
Untuk
memastikan posisi suatu organisasi yang memiliki budaya kondusif, dapat merujuk
kepada pendapat Robbins (1996: 213) tentang sepuluh ciri khas sebuah budaya organisasi sebagai berikut:
1)
Inisiatif individual (individual initiative) yakni
tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi individu dalam berinisiatif melakukan
inovasi kerja.
2)
Toleransi resiko (risk tolerence) adalah
dorongan terhadap anggota agar lebih
agresif, inovatif, dan berani mengabil resiko. Semua aktivitas ini adalah
resiko, bahkan berdiam diripun adalah sebuah resiko yang harus ditanggung oleh setiap
pegawai saat ini dan yang akan datang, maka resiko dari sebuah aksi adalah
lebih baik daripada resiko atas berdiam diri.
3)
Arah (direction) yang dapat diartikan
sebagai sejauh mana organisasi dapat menciptakan sasaran dan harapan mengenai prestasi secara jelas.
Ukuran dan standar menjadi patokan agar setiap aktivitas dapat diukur
keberhasilan dan kegagalannya.
4)
Integrasi (integration) yang dapat mengukur
sejauh mana unit- unitdalam organisasi dapat
didorong untuk bekarya
secara terkoordinasikan. Semua elemen bergerak di atas rel yang benar sebagai
sistem yang terkait satu dengan lainnya.
5)
Dukungan
managemen (management
support) mengukur sejauh mana para manajer melakukan komunikasi memberi bantuan, serta memberikan
dukungan kepada bawahan. Komunikasi efektif menjadi penting guna mengelola
setiap permasalahan mencapai solusi yang tepat.
6)
Pengawasan kerja (control) merupakan
sejumlah ketentuan, aturan, dan pengendalian langsung yang digunakan
untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku para pegawai.
7)
Identitas anggota (member identity) mengukur
sejauh mana para anggota mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sebuah organisasi, dan bukan sekedar kelompok kerja dalam bidang keahlian professional tertentu.
8)
Sistem imbalan (reward criteria) mengukur
sejauh mana imbalan (misalnya kenaikan gaji dan promosi) diperhitungkan berdasarkan prestasi dan
bukan karena senioritas dan analisis subyektif lainnya.
9)
Toleransi terhadap konflik (conflict tolerance) mengukur
sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10) Sejauh mana
komunikasi orgnisasi dibatasi
oleh hierarki kewenangan formal.
Penutup
Tidaklah ada organisasi yang perfect dengan
segala aspek-aspeknya, semua ada kelemahan, keterbatasan bahkan kesalahan
sekalipun, akan tetapi betapa buruknya jikalau keberadaan suatu organisasi
tidak dilakukan upaya menuju perbaikan. Apabila motif awal lahirnya sebuah
organisasi diharapkan bisa tumbuh, kemudian berkembang dan bisa maju, maka
kenapa tidak bisa diantisipasi aspek-aspek yang mendorong keterpurukan dan
kehancuran meskipun hanya sedikit.
Daftar Bacaan
Cregory Bomard,
Cross-Cultural Communication(London: Carsel, 1995)
David Cluterbuck, The Power of Empowerment, Terjemahan (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2003)
John P. Kotter dan James L. Heskett, Dampak
Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, Terjemahan: Benyamin Molan
(Jakarta:Prenhallindo, 1997)
Kudsen Perruci and Hamby, Basic
Structures and firetesesses (USA: WM C.Brown Company Publishers, 1977)
Stephen P.
Robbins, Organizational Behavior: Concept, Controversies, Application
(New Jersey: Englewood Cliff, 1996)
Robert G.
Owens, Organizational Behavior in Education (Boston :Allyn and Bacon,
1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar