Fenomena tertangkap/dipenjarakannya
pemimpin/pejabat di negeri ini baik pada level Kabupaten/Kota, Provinsi bahkan
nasional karena berbagai kasus seperti korupsi, narkoba, dan penyuapan terkait
masalah hukum merupakan pemandangan mengerikan untuk masa depan bangsa ini
meskipun KPK telah lama tegak berdiri dan demokrasi pemilihan langsung pimpinan
daerah/pusat telah dibuka secara lebar namun sepertinya sistem itu tidak
berdaya karena hingga saat ini belum mampu menseleksi lahirnya pemimpin berintegritas
sesuai harapan rakyat dibandingkan besarnya modal yang dikeluarkan negara
dengan jumlah banyaknya seremonial pemilu dari pusat hingga daerah yang
melebihi jumlah hari dalam satu tahun.
Banyaknya kasus yang menimpa para
pemimpin kita itu diakibatkan masih belum bergesernya paradigma kepemimpinan bahwa
pemimpin itu adalah penguasa bukan pelayan sehingga dapat melakukan apa saja sampai
menghalalkan banyak cara, jabatan lebih merupakan sarana mengumpulkan kekayaan pribadi dan prestise akhirnya berdampak pada
perilaku koruptif dan rakyat menjadi korbannya yang hidup selalu dalam
kemiskinan, ketidak amanan lingkungan sosial, pertikaian antarkelompok bahkan
semangat memisahkan menjadi negara sendiri karena ketidakpuasan terhadap
pemimpin yang sesungguhnya tidak mempimpin. Kondisi ini, sejalan dengan fakta
menarik diungkapkan Zulfi Suhendra yang mengutip Riset transparency tentang Corruption
Perceptions Index tahun 2015 bahwa 68
persen negara di seluruh dunia punya masalah korupsi yang serius adalah negara
yang masuk dalam negara G20 termasuk Indonesia. Kondisi korupsi pada level
tinggi ini ada keterkaitan dengan konflik di sebuah negara yakni 5 dari 10
negara paling korup di dunia juga termasuk negara dalam 10 negara paling tidak
aman atau tingkat perdamaiannya rendah. Bagaimana dengan Indonesia? Kita tentu
menjawabnya dengan ilustrasi volume peritiwa kekerasan yang terjadi di
masyarakat, rentetan tawuran antarkampung dan antarpelajar, dan tingginya angka
kriminalitas di sekitar kita.
Dalam salah satu hadits Nabi SAW
dikatakan Abu Maryam al’ Azdy r.a berkata kepada Muawiyah: Saya telah mendengar
Rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan
kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka
allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka
kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan
orang-orang (rakyat). (HR. Abu Dawud & Attirmidzy)
Substansi makna dalam hadits di atas
bahwa pemimpin merupakan pelayan bagi rakyatnya dan rakyat adalah tuan yang
berhak mendapakan pelayanan yang baik. Dalam konteks ini, sesungguhnya bahwa
pemimpin itu amanah vertikal yang harus berdampak horizontal sebagaimana ajaran
Islam bahwa “inna sholati wa nusuki wa
mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamin” bahwa solatku, hidup dan matiku
hanya untuk Allah SWT. Artinya bahwa memimpin itu hanya karena Allah tetapi
efeknya dirasakan masyarakat luas.
Meskipun masih sporadis, kita bisa
saksikan beberapa kepala daerah atau pejabat yang menjalankan fungsi
kepemimpinannya sebagai pelayan masyarakat ternyata memiliki efek besar
terhadap kehidupan warganya dan menjadi simbol keadilan yang patut diteladani.
Itu barangkali yang disebut adil yakni menjalankan fungsinya sebagai pemimpin
sesuai dengan amanat dan kewenangan yang diberikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar