Menulis merupakan kebiasaan tetapi
banyak orang menganggap itu sulit. Sesungguhnya setiap penggosip pasti bisa
menulis, karena keduanya memiliki aktivitas sama hanya beda media. Penggosip
menggunakan media lisan sedangkan penulis menggunakan pena. Kemampuan menggosip
kita ini karena telah sejak lama kita terbiasa dengan tradisi lisan dan jauh
dari kebiasaan menulis, mengapa demikian, karena ketika kita anak-anak dulu tidak
bisa bicara maka diupayakan oleh orang tua kita di bawa ke orang pintar untuk dikerok
lidahnya dengan emas dll, tetapi ketika kita tidak bisa menulis, orang tua kita
tidak terlalu menghiraukannya.
Menulis itu seharusnya seperti berbicara
yakni mengalir saja, masalahnya kenapa kita sulit menulis karena kita berpikir
tertalu serius bahwa menulis itu susah sehingga kita enggan melakukannya,
padahal seharusnya kita lakukan saja menulis tentang apapun yang terbesit dalam
pikiran.
Dalam menulis kita tidak perlu berpikir
dulu tentang huruf besar atau kecilnya, kalimatnya bagus atau tidak, kata-katanya
sudah cocok atau belum, termasuk teori yang sesuai atau tidak, terstruktur atau
tidak. Jadi, yang lebih penting adalah menuliskan apa- apa yang ada dalam ide
apapun bentuknya. Latihan kita dalam menulis dilakukan dengan cara menuangkan
ide yang ada dalam kepala kita. Tuliskan apa saja ide-ide yang muncul tanpa
harus berpikir dan memikirkannya, jika dalam proses menulis muncul pikiran “susah
ya”, maka tulislah kata itu, atau bila terpikir “kok mentok ya”, maka tulis
saja kata “mentok ya” itu, dan seterusnya.
Tahap selanjutnya ketika kita sudah
menulis adalah melakukan revisi untuk mencocokkan tanda baca, paragraf, dan
ketersambungan antarkalimat. Dengan kita menulis tanpa berpikir apapun berarti
kita telah menyelamatkan gagasan daripada menyelamatkan tanda baca. Nah, yang
sering terjadi adalah kita lebih suka menyelamatkan tanda baca dan lainnya
sehingga lupa dengan gagasan yang muncul dalam benak kita.
Setelah tulisan rapih, kemudian langkah
berikutnya yang kita lakukan adalah memberikan penguatan dengan memberikan
kutipan dari ayat, hadits atau dari teori yang kita baca. Jika tulisan kita ini
sudah sedemikian rupa ditata dan dikuatkan dengan berbagai rujukan, maka
tulisan kita menjadi lebih bermakna dan ilmiah.
Menurut Dr. Bambang Qomaruzaman, bahwa inti
tulisan yang kita pertahankan atau kita tolak adalah “tesis”. Orang Barat selalu bertanya kepada kita “apa tesis anda?”,
itu artinya apa yang kita pertahankan itu. Dalam tesis minimal terdapat dua
struktur kalimat jadi tidak sekedar informasi. Contoh rerata nilai UN siswa di
bawah KKM (ini baru informasi karena baru satu struktur kalimat) jika
dilengkapi bahwa rerata nilai UN siswa di bawah KKM disebabkan kualitas guru
yang rendah (ini sudah menjadi tesis yang bisa didukung atau ditolak)
Buku, artikel, atau jurnal sebesar apapun,
intinya adalah satu kata yakni “tesis”. Contoh inti sebuah buku bahwa
pendidikan karekater lebih efektif dilakukan melalui peneladanan. Tesis ini
mungkin dibahas dalam buku berbab-bab dari mulai sejarah, definsi, contoh, teori-teori,
dll tapi intinya adalah bahwa pendidikan karakter lebih efektif dengan
keteladanan.
Terhadap tesis yang dibangun, kita dapat
mendukungnya dengan mengumpulkan bukti-bukti yang ada atau kita menolak tesis
tersebut dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang benar-benar menolak tesis
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar