Kekisruhan etnik yang merebak di banyak
tempat di penjuru wilayah Indonesia merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang
dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997an. Krisis
ekonomi yang tampak dipermukaan sesungguhnya lebih merupakan derivasi dari krisis
esensial yakni mental dan moral hingga merenggut kesadaran tentang makna
kebangsaan serta kebanggaan terhadap nilai kebhinekaan.
Terjadinya konflik yang benuansa SARA
pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu
penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan kesadaran atas konsep kearifan
budaya, padahal bangsa kita yang besar ini memiliki keluhuran budaya yang
diakui oleh dunia seperti dikatakan Engkoswara (2007: 11) bahwa sesungguhnya bangsa
Indonesia mempunyai budaya adiluhung hingga terkenal ke mancanegara, akhlak
mulia, semangat juang yang ulet, keramah-tamahan yang indah mempesona, dan seni
yang sangat tinggi. Nilai-nilai tersebut kini nampak terkikis dengan munculnya
prasangka rasial yang sangat sensitif karena didalamnya melibatkan emosi, sikap,
bahkan tindakan seseorang ataupun kelompok terhadap kelompok atau ras lainnya.
Konsep kearifan budaya lokal, dalam
kontek kehidupan dan relasi sosial ditengah komunitas majemuk seperti negeri
kita ini memiliki kekuatan (power) sekaligus
potensi dalam menciptakan kehidupan sosial yang kondusif. Maka dengan memahami
dan mengangkat kearifan budaya lokal dalam kontek kehidupan ditengah masyarakat
yang pluralis, sejatinya dapat memberikan celah bagi terjalinnya hubungan sosial
yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati karena
sesungguhnya budaya nasional yang lebih besar akan kokoh terbangun melalui perwujudan
struktur budaya lokal daerah yang beragam dan saling melengkapi. Kita sadar,
bahwa semua ini dapat tercipta melalui kerja keras dan keinginan semua pihak
dengan mendorong pendidikan yang merata dan berkeadilan sehingga visi Indonesia
2025 yakni Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur dapat diraih.
A. Pendidikan Multikultur:
Harapan atas Otonomi
Pada masa lampau, sistem pendidikan
nasional kita bercirikan keseragaman yang diatur oleh Pemerintah pusat dari
aspek yang paling besar hingga persoalan teknis di lapangan. Homogenisasi dan
penyeragaman pendidikan yang bersifat sentralistik ini berdampak pada
tercabutnya peserta didik dari akar budaya dan lingkungan sosialnya, bahkan
penyeragaman pendidikan dikatakan sebagai proses membentuk buta huruf
fungsional (functional illiteracy)
karena peran pendidikan sudah kehilangan makna fungsionalnya (Azra, 2002: 216).
Penyeragaman pada segala aspek
pendidikan masa lampau seolah menjadi amanat konstitusional padahal
sesungguhnya amanat yang disampaikan adalah terbentuknya kesatuan dan persatuan
yang sangat berbeda dengan penyeragaman, sehingga yang terjadi pendidikan bukan
lagi sebagai akibat dari sistem birokrasi yang mengharuskan adanya penyeragaman
akan tetapi sudah menjadi faktor penyebab yang menguatkan penyeragaman itu
sendiri.
Disadari bahwa penyeragaman pada segala
aspek pendidikan itu merupakan buah dari sistem sentralistik yang mengharuskan
pendidikan masuk pada ranah kepentingan politik, dampaknya adalah ketundukan
pada tarik menarik kepentingan penguasa yang pada akhirnya melahirkan rutinitas
tanpa kreativitas, pendidikan menjadi proses melangsungkan apa yang sudah dilakukan, jika yang dilakukan
itu usang maka lahir pulalah keusangan, demikian seterusnya bergulir sampai
pada akhirnya melahirkan generasi usang, berpikir usang dan stagnan seperti
diungkapkan Quraisy Shihab (1996:321) bahwa jika generasi memiliki sistem nilai
dan hanya berpikir kini dan sampai disini maka upaya dan ambisinya akan
terbatas pada kini dan disini pula. Artinya, jika sebuah generasi dilahirkan
dalam kapasitas kedaluarsa maka hanya akan melangsungkan ke-kedaluarsaan,
meskipun sejarahnya tidak berulang tetapi cara memahami sejarahnya yang salah
karena terpasung oleh sistem dan birokrasi.
Harapan baru muncul dengan lahirnya Ketetapan MPR-RI
Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah terkait pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, disusul dengan
disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, didalamnya
terdapat hal mendasar yakni untuk mendorong dan memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, dan
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh
karena itu, UU No. 22/1999 menempatkan otonomi daerah secara utuh kepada daerah
kabupaten dan daerah kota yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya.
Diberlakukannya UU No.
22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah memberikan implikasi terhadap
pelaksanaan sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta pendidikan
yang selama ini dikelola. Perubahan yang dilakukan bukan hanya sekedar
penyesuaian, tetapi yang diharapkan adalah suatu perubahan yang besar dan
sangat mendasar dilihat dari aspek material dan moral yang pernah
terabaikan. Material berarti bahwa sistem perencanaan dan pengendalian
pembangunan, pendidikan harus memiliki suatu standar aturan; mekanisme/prosedur
dan norma-norma substantif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat bangsa
dan negara secara menyeluruh dan merata (berkeadilan). Sedangkan secara moral,
berarti bahwa sistem tersebut harus mampu mencerminkan sekaligus memiliki dasar
filosofis, mental dan moral dari segenap komponen (steakeholders)
pendidikan dan atau pembangunan sehingga proses yang dilewati akan senantiasa
diiringi dengan semangat integritas yang berwawasan kebangsaan, jujur, adil,
obyektif dan berorientasi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
dari berbagai lapisan budaya.
Masyarakat multikultural memiliki
tipe/pola tingkah-laku yang khas. Sesuatu yang dianggap sangat tidak normal
oleh budaya atau pemahaman tertentu tetapi dianggap normal atau biasa-biasa
saja oleh budaya atau pemahaman lain atau sebaliknya. Perbedaan-perbedaan sudut
pandang karena berbedanya latar belakang, pemahaman, atau wawasan ini, sering
mejadi penyebab gesekan yang mengakibatkan lahirnya ketidak-sepahaman,
disinteraksi bahkan konflik yang tajam dalam masyarakat multikultur yang
seharunya tidak terjadi karena sesungguhnya adanya perbedaan dan
ketidaksepahaman kapan dan dimanapun menjadi warna bagi ciri kehidupan manusia,
karena selama ada kehidupan maka pasti terjadi interaksi yang didalamnya
terdapat kesamaan sekaligus perbedaan. Kesadaran ini menjadi penting dimaknai
oleh masyarakat multikultur dengan mengembalikan hakikat dasar budaya itu
sendiri sendiri yang tidak lepas dari aspek manusia dan kemanusiaan, seperti
dikatakan Klucklon dalam Kusworo (2010: 112) bahwa sistem nilai budaya dalam
masyarakat manapun di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok
kehidupan manusia, yaitu manyangkut hakikat manusia, hakikat karya, hakikat
waktu, hakikat alam, dan hakikat hubungan antarmanusia. Artinya, bangsa kita
yang terdiri dari lebih 17.000 kepulauan dan didalamnya banyak suku, ras dan
agama ini jelas memiliki perbedaan yang tidak boleh dibeda-bedakan, memiliki
karakteristik yang tidak perlu dipertentangkan dan memiliki keyakinan yang
perlu dihormati.
Pernyataan bahwa setiap kebudayaan
memiliki bentuk yang khas, tingkah laku yang unik, yang memiliki latar budaya yang
berbeda. Subkultur yang beragam di Indonesia mau tidak mau ditentukan sebagai
bagian dari suatu realitas sosial, meskipun pada hakikatnya subkultur tersebut mempunyai
keunikan dan kekhasan dengan berbagai kebiasaan, adat istiadat dan pengalaman
lokal, nilai-nilai sosial dan harapan-harapan hidup yang selalu tidak sama
dengan budaya dominan. Hal ini berarti bahwa fungsi dan tugas lembaga
pendidikan harus mengedepankan pola variatif dan mengakui pluralisme sehingga
perbedaan tidak menjadi hambatan tetapi menjadi sumber kekuatan untuk hidup
berdampingan. Disadari, bahwa semula pola otonomi (meskipun tidak lepas dari
perbedaan persepsi dan diskusi) memberikan peluang bagi kokohnya pendidikan dalam
memberikan arah untuk dimanfaatkannya
potensi dan karakteristik wilayah yang harus digalih sebagai sumber kehidupan
masyarakatnya. Dengan demikian, makna pendidikan tidak tercabut dari akar
sosio-kuturalnya, potensi alam sesuai dengan keragamannya dapat dieksplorasi
dan potensi peserta didik bisa memberi
arti. Bila ini berlangsung menjadi siklus berkesinambungan, maka statement bahwa kehidupan yang tidak dipahami
karena tidak pernah dipelajari menjadi tidak bernilai untuk dilalui akan dapat
dirubah bahwa kehidupan yang ada ini dapat kita pahami karena kita terus
mempelajarinya sehingga sangat bernilai untuk dilalui dan kita wariskan untuk
generasi mendatang.
B. Pendidikan Multikultur:
Fenomena Pasca Otonomi
Sungguh menakjubkan, dalam blogdetik.com (2012: 1) nampak
terinci bahwa negeri tercinta dengan
segala keterbatasannya merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.504 pulau, termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan
6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Indonesia memiliki 3 dari 6 pulau terbesar
didunia, yaitu pulau Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas
539.460 km2), pulau Sumatera (473.606 km2) dan Pulau Papua (421.981 km2).
Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93
ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai
di dunia. Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di
dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, di Papua saja terdapat 270
suku. Menggunakan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan
berbagai suku bangsa tersebut. Data dan fakta ini sungguh merupakan keniscayaan
bahwa negeri kita ini tidak terelakkan dari multi budaya yang bisa dijadikan
kontribusi positif bagi keberlangsungan Negara, akan tetapi bila fenomena sebaliknya
menjadi lahan subur untuk mudahnya perpecahan bangsa karena egoisme dan
prasangka rasial, maka benar kalau bangsa
kita mengalami kemiskinan yakni kemiskinan yang menghina nilai kemanusiaan,
yang membunuh gairah hidup etis dan estetis yang tidak akan segera pulih hanya
dengan menambah jumlah rupiah. Kemiskinan ini sesungguhnya sangat berpengaruh
terhadap falsafah hidup dan moralitas manusia karena manusia yang miskin hanya
dapat mengembangkan falsafah dan moralitas kemiskinan (Winarno Surakhmad,
2009: 204).
Pernyataan di
atas, mendorong arti pentingnya pendidikan multikultural sebagai proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara
umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan
setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia
datangnya dan berbudaya apapun jenisnya. Harapannya adalah terciptanya
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan
tanpa rekayasa (Ainurrafiq Dawam, 2003: 100).
Oleh karena itu,
untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki
kesadaran pluralis-multikultural, diperlukan rekonstruksi pendidikan sosial
keagamaan yang mengarah pada pembentukan kesadaran akan pentingnya kehidupan sosial
horizontal dengan tidak mengesampingkan wujud ritual vertikal serta tidak
memisahkan secara permanen kesalehan sosial dengan kesalehan vertikal. Dengan
demikian, tertanam keyakinan bahwa kita terlahir berbeda-beda dalam banyak hal,
baik menyangkut karakteriktik jasadiyah maupun social budaya yang satu sama
lain saling menggenapkan dan melengkapi.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang
memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup setiap insan yang saling
menghormati satu sama lain, menghargai, toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan serta mengakui keragaman budaya yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dengan realitas multikultur yang luar biasa tinggi. Dengan
pendidikan multikultural diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara
luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap kaku melalui
pembenaran subyektif, eksklusif dan menafikan eksistensi kelompok lain, apa pun
bentuk perbedaannya dan dimanapun konteksnya.
Kondisi yang
diharapkan di atas, tidak lebih dari refleksi peran pendidikan bagi hidup dan
kehidupan manusia secara filosofis seperti dikatakan Mohammad Ali (2009: 109),
bahwa pengejawantahan peran pendidikan mengarah pada : 1). Pendidikan menjadi
inspirasi bahwa setiap insan mempunyai kemampuan dan tanggungjawab melakukan
perubahan yang positif, 2) Pendidikan menjadi faktor utama dalam proses transformasi
visi menjadi realita, 3) Pendidikan dapat menumbuhkembangkan tata nilai,
perilaku dan pola hidup untuk masa depan yang berkelanjutan, 4) Pendidikan
merupakan proses pembelajaran tentang bagaimana mengambil keputusanyang
mempertingkan faktor keadilan, ekonomi, dan ekologi, 5) Pendidikan dapat
membangun kemampuan setiap manusia untuk berpikir jangka panjang.
Melihat fungsi
yang demikian luas, maka pendidikan, mulai jenjang terendah sampai jenjang
tertinggi, dapat didesain untuk membangun dan memberikan gambaran ideal tentang
pluralitas dan multikultural. Pluralitas dan multikultur merupakan kenyataan yang
harus diterima di negeri ini sekaligus menjadi tantangan besar yang harus
dihadapi, mengapa demikian? Menurut Hodgkinson dalam Arends (2008: 8) bahwa
setiap masyarakat dibangun atas dasar
asumsi-asumsi demografik. Bila asumsi-asumsi ini berubah dari kurun waktu ke
waktu maka akan terjadi guncangan yang menimpa seluruh sendi-sendi masyarakat.
Artinya, bahwa pergumulan yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini sebagai
akibat dari perubahan asumsi demografis seperti suku, ras, dan agama hingga
merasuk ke dalam aspek pendidikan yang pada akhirnya membutuhkan energi untuk
mengelolanya secara efektif dan berkeadilan.
Harapan besar
atas otonomi daerah dengan segala kecemerlangan capaian yang diimpikan, saat
ini menjadi gejala baru. Jika dulu otonomi menjadi harapan terselesaikannya
berbagai masalah pendidikan karena semakin pendeknya ruang birokrasi, terjadi
sebaliknya, tumbuh masalah baru yang konon makin sulit dipecahkan. Tidak heran, jika ranah pendidikan
yang lebih merupakan proses kultural ditarik kembali masuk wilayah struktural,
karena terjadi pola pemaksaan dalam kancah politis.
Konsekuensi dari
semua ini sudah dapat diperkirakan bahwa pendidikan terseret dan terombang
ambing oleh kekuatan politik, siapa dukung – siapa dapat, mobilisasi
besar-besaran terhadap segenap pendidik dan tenaga kependidikan pada kancah
pemenangan figur, serta penempatan tokoh tertentu yang tidak sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
D.
Penutup
Pada masyarakat
Indonesia yang multikulur, diperlukan usaha yang serius untuk membangun
pemahaman masyarakat yang tidak mengedepankan dimensi perbedaan, tetapi yang
lebih penting adalah membangun pemahaman yang dapat menerima keragaman yang
ada. Satu persoalan serius yang dihadapi negeri
kita ini adalah ancaman benturan dan
konflik yang disebabkan oleh faktor pluralitas-multikultural. Jika kondisi ini
terus menerus berkembang tanpa adanya solusi yang sistematis dan simultan untuk menyelesaikannya, maka konflik sosial yang
destruktif akan menjalar menjadi gejala yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Salah satu upaya
yang dilakukan adalah melalui jalur pendidikan yang menuntut kesadaran semua
pihak stakeholder pendidikan dalam
memahami makna pendidikan secara filosofis implementatif yang menyatu dalam
satu konsep karena filosofi tanpa implementasi menjadi mubazir dan implementasi
tanpa filosofi menjadi kabur. Filosofis berarti menggali arti dasar dan yang
paling dasar tentang pendidikan, hidup dan kehidupan, sedangkan implementatif
berarti mengejawantahkan pemahaman mendasar tentang hal di atas dalam pola-pola
pendidikan yang membelajarkan dan pembelajaran yang mendidik.
E. Daftar Bacaan
Ali,
Mohammad. Pendidikan Untuk Pembangunan
Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi.
Bandung, Imperial Bhakti Utama: 2009.
Azyumardi
Azra. Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta, Kompas Media Nusantara: 2002.
Dawam,
Ainurrafiq. Emoh Sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press: 2003.
Engkoswara
& Danny Meirawan. Revitalisasi Budaya
Bangsa Menuju Indonesia Modern dan Sejahtera 2020. Bandung, Universitas
Pendidikan Indonesia: 2007.
Kusworo,
Hari. Menyusuri Jalan Terjal Membangun
Indonesia Maju. Jakarta, Lembaga Jangka Indonesia: 2010.
Richard
I. Arends. Learning to Teach. Belajar
untuk Mengajar. Buku I edisi ke Tujuh. Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008.
Shihab,
M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung, Mizan: 1996.
Surakhmad,
Winarno. Pendidikan Nasional, Strategi
dan Tragedi. Jakarta, Kompas Media Nusantara: 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar