Indonesia
adalah negara agamis artinya mayoritas penduduknya memeluk agama berlandaskan
pada sila Ketuhanan yang Maha Esa sehingga setiap perilaku dan interaksi dalam
kehidupan orang Indonesia berlandaskan Ketuhanan. Kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang terbentuk dari huruf “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau.
Jadi, beragama memiliki arti tidak kacau. Kata kacau dapat dimaknai bercampur
aduk, tidak selaras, saling bertabrakan, rusuh, tidak aman, dan tidak tentram.
Dengan demikian, orang yang memeluk agama akan berpikir dan bertindak selaras sehingga
hidupnya tentram, sebaliknya mereka yang tidak beragama sikap perilakunya tidak
selaras dan berdampak pada kehidupan yang tidak tentram.
Realitasnya,
terjadi kondisi berbanding terbalik antara kuantitas masyarakat beragama dengan
kondisi nyata, ajaran kebaikan setiap agama belum tercermin dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Fakta menunjukkan bahwa korupsi masih bertebaran
dimana-mana, pada tahun 2014 Corruption
Perception Index (CPI) yang diterbitkan secara global oleh Transparency
International menempatkan Indonesia sebagai negara pada level korupsi cukup tinggi.
Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di
dunia dengan skor 34 dari rentang skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100
berarti sangat bersih), pembunuhan dan pemerkosan juga meningkat tajam, seperti
dikutip SindoNews.com pada 1 Januari 2016, bahwa tahun 2015 terjadi peningkatan
kasus pembunuhan dan pemerkosaan sebesar 57% dari tahun sebelumnya, begitu juga
kekerasan pada anak terus meningkat pada tahun 2016, bulan mei terjadi sebanyak
16.570, pada rentang satu bulan berikutnya bulan Juni bertambah 1500an kasus
menjadi 18.078 ini jauh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yakni tahun
2014 sebanyak 461 kasus dan 2015 sebanyak 220 kasus (Republika, 15 Juni 2016,
hal. 4).
Fenomena
moral atau dalam bahasa agama disebut akhlak di atas, merasuk pada semua
kalangan hingga anak didik. Analisis Chandra Adipura dalam Republika (13 Juni
2016) bahwa terdapat korelasi negatif antara perolehan nilai ujian nasional (UN)
dengan indeks integritas ujian nasional (IIUN) siswa tahun 2016. Bahwa skor UN cenderung
menurun sedangkan skor IIUN meningkat. Korelasi negatif ini dapat diasumsikan bahwa
hasil ujian sebelumnya yang baik itu diduga ada kebohongan dan banyak ketidakjujuran
karena setelah ada upaya perbaikan proses ujian nasional sehingga IIUN nya
meningkat, justru yang terjadi hasil UN nya terbalik menurun, hal demikian
tidak dapat dipungkiri dari fakta yang menunjukkan tidak adanya provinsi yang
memiliki IIUN 100 % artinya masih terdapat ketidakjujuran dalam pelaksanaan
ujian nasional di seluruh provinsi.
Bila
persoalan moralitas menjadi masalah dalam masyarakat beragama, maka muncul
pertanyaan besar tentang keberagamaan itu sendiri, bahkan bisa diasumsikan
bahwa agama hanya pada posisi ingatan berbentuk pengetahuan semata dan tidak
atau belum tertanam pada kesadaran yang berwujud akhlak, tidak adanya
konektivitas antara pengetahuan agama yang dimiliki dengan perilaku
keberagamaannya. Bila dilihat dari definisi Durkheim bahwa hakikat agama
merupakan sistem yang terpadu terdiri atas kepercayaan atau keyakinan dan praktik
atau pelaksanaan dari keyakinannya itu yang berhubungan dengan hal-hal suci,
maka keberagamaan kita belum menjadi sistem yang utuh, masih kacau antara
keyakinan dengan prakteknya yang berdampak belum sampai pada ketenteraman. Jadi,
bila dimensi dalam beragama itu ada dimensi pengetahuan, dimensi ritual,
dimensi penghayatan, dan dimensi pengamalan, maka sepertinya mayoritas kita,
tingkat keberagamaannya masih berkutat
pada dimensi pertama dan kedua yaitu dimensi pengetahuan dan ritualitas, tau
tentang agama dan melakukan ritual keagamaan tetapi sesungguhnya belum beragama
karena belum “kaffah”.
Kata Khalil Gibran
bahwa hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan, semua hasrat dan
keinginan adalah buta jika tidak disertai pengetahuan, dan pengetahuan adalah
hampa jika tidak diikuti pelajaran, dan setiap pelajaran akan sia-sia jika
tidak disertai cinta.
Mencermati hal
tersebut, paling tidak ada tiga asumsi yang dapat dikemukakan terkait dengan
belum tercerminnya perilaku saleh dampak dari ritual ibadah yang dilakukan:
pertama, bahwa puasa yang selama ini dilakukan hanya pada tataran menjaga diri
dari makan dan minum yang membatalkan puasa dalam konteks fikih, kedua, puasa
dilakukan hanya memenuhi syarat dan rukun puasa semata dan belum sampai tahapan
menjaga semua panca indera dari maksiat/dosa dan menjaga hati sebagai bentuk
ketundukan total kepada sang pencipta, ketiga, puasa dimaknai sebagai rutinitas
tahunan sehingga syiar yang ada hanya sebatas bulan ramadhan, seperti penuhnya
jamaah shalat pada bulan ramadhan dan upaya menghindari perbuatan dosa hanya
pada ramadhan, setelah itu aktivitas ibadah kembali seperti semula dan
kejahatan serta kemaksiatan makmur kembali.
Atas dasar beberapa
asumsi di atas, maka hendaknya ibadah puasa tidak hanya pada tataran permukaan
untuk memenuhi syarat dan rukun, akan tetapi lebih mendalami makna hakiki
sebagai sebuah proses penghambaan diri secara kaffah, karena kualitas proses
akan menentukan kualitas hasil yakni menjadi muslim dengan predikat taqwa. Jika
dianalogikan dalam cerita pewayangan, kesatria gatotkaca menjadi sakti
manderaguna karena proses penggodokan di dalam kawacandradimuka sehingga ia
lahir menjadi sosok yang kuat jiwa dan raganya, artinya, bila proses berpuasa
dilakukan dengan berkualitas akan menghasilkan dampak yang berkualitas pula
karena sudah menjadi sunnatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar