Selasa, 18 Juni 2019

HIKMAH HALAL BIHALAL TAHUN 1440 H (Prof. Dr. Quraish Shihab)


Halal bihalal Kementerian Agama tahun 1440 H dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 14 Juni 2019 di Aula H.M. Rasyidi, Gedung Kementerian Agama Jl. MH. Thamrin Jakarta Pusat. Tausiyah halal bihalal disampaikan Quraish Shihab berkaitan dengan asal kejadian manusia, yakni kembali ke asal kejadian yaitu fitrah.
Terkait dengan kata “fitrah”, ada beberapa kalimat yang dapat dikaitkan,  misalnya, kesadaran tentang adanya Tuhan karena manusia memiliki rasa cemas berlebihan. Oleh karena itu, ia perlu shalat dan berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan sebagai Khalik. Hal lain, bahwa beragama itu fitrah yang memiliki beberapa ciri: 1) rabbaniyah (agama bersumber dari Tuhan). 2) insaniyah (kemanusiaan). Secara fitrah, kemanusiaan selalu didahulukan dibanding keberagamaan, misalnya, ketika kita hendak berwudhu, air terbatas, tapi ada orang lain yang haus dan kelaparan, maka pastilah kita memberikan air itu kepada orang yang memerlukannya karena lebih penting, sedangkan kita bisa bertayamum. Orang yang selalu mengutamakan sisi kemanusiaan akan memandangnya sebagai saudara seagama, jika tidak seagama, maka dipandang sebagai saudara sebangsa atau setanah air. Jadi, mengutamakan sisi kemanusiaan adalah fitrah. 3) washatiyah, wasathan, posisi tengah. Kita mengenal istilah “moderator atau wasit”. Orang yang selalu diposisikan di tengah dan berlaku adil. Al-Qur’an berkata, engkau adalah ummatan washatan, kuntum khaira ummatin, kamu adalah umat di tengah, umat yang terbaik. Menurut Aristoteles baik itu berada di antara dua yang buruk, atau tengah. Keberagamaan berada di antara rasa takut dan ceroboh. Kedermawanan itu berada di antara dua sifat yakni kikir dan boros. Agama adalah legalitas pertemuan dan hubungan baik antara laki dan perempuan. Keadilan cenderung pada keseimbangan, dan agama merupakan keseimbangan dunia dan akhirat.
Tiga hal penting yang selalu disepakati oleh semua penganut agama atau kepercayaan, yaitu  1) menghormati orang tua yaitu ibu dan bapak; 2) memelihara amanat atau kepercayaan; dan 3) berlaku adil.
Menurut Quraish, ada tiga syarat utama untuk mewujudkan moderasi beragama: 1) harus mengetahui kadar pengetahuan kita. Tanpa pengetahuan yang memadai, kita tidak bisa melaksanakan moderasi. 2) mengendalikan emosi, jangan melampaui batas, hindari emosi keagamaan yang meluap-luap, dan 3) kita harus berhati-hati dan jangan bersikap gegabah.
Quraish menjelaskan secara detail cara mengendalikan sifat amarah. Pada saat kita marah atau tersinggung karena dihina orang lain, sebaiknya kita tidak langsung membalasnya dengan amarah pula. Cobalah tahan amarah itu, berpikir sejenak apakah hinaan itu layak kita harus marah, kalaupun harus marah maka harus kita ukur kadarnya. Sesungguhnya atas hinaan orang lain itu kita dapat membalasnya melebihi apa yang dia lakukan, tapi karena kita berpikir positif, kita tidak merasa perlu membalasnya, karena menahan amarah itu lebih baik.  Jika terpaksa harus marah, jangan tampakkan amarah itu di wajah kita. Jika pun harus ditampakkan, jangan sampai lidah aktif bicara dalam kondisi marah. Jika pun lidah mulai bicara, jangan pernah menggerakkan tangan atau memukul. Itu adalah tahapan kita dalam bertindak sehingga kita berpikir jangan-jangan kita sebenarnya tidak perlu marah yang tidak ada gunanya. Melampaui sesuatu dari kepantasan atau keluar dari batas kewajaran  adalah ekstrim, termasuk dalam beragama. 
Sikap moderat dalam beragama adalah selalu menilai orang lain dengan baik atau hikmah. Tuhan menciptakan manusia karena cinta pada kebaikan dan keadilan. Agama mengajarkan sangat banyak nilai kebaikan dan cintah damai, harmoni. Isi kandungan Al-Qur’an itu dapat ditafsirkan oleh ahlinya yang memiliki pemahaman dan ilmu pengetahuan memadai sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Agama sesungguhnya bersumber dari Tuhan sedangkan budaya adalah hasil karya, karsa, dan cipta manusia. Untuk memahami agama dengan baik, diperlukan pemahaman ilmu pengetahuan dan budaya yang baik. Islam itu tidak anti budaya, Islam akomodatif dan dapat menerima budaya baru. Islam di Makkah dan Madinah itu tidak persis sama, karena ada perbedaan antara keduanya. Begitu pula Islam di Mesir atau di Irak, termasuk di Indonesia. Tapi prinsip dan nilai-nilainya sama, misalnya pengakuan tentang Tuhan itu esa, Muhammad itu nabi dan rasul terakhir. Jadi, jangan tinggalkan budaya yang baik. Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya.