Halal bihalal Kementerian Agama tahun
1440 H dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 14 Juni 2019 di Aula H.M. Rasyidi, Gedung
Kementerian Agama Jl. MH. Thamrin Jakarta Pusat. Tausiyah halal bihalal disampaikan
Quraish Shihab berkaitan dengan asal kejadian manusia, yakni kembali ke asal
kejadian yaitu fitrah.
Terkait dengan kata “fitrah”, ada beberapa kalimat yang dapat
dikaitkan, misalnya, kesadaran tentang adanya Tuhan karena manusia
memiliki rasa cemas berlebihan. Oleh karena itu, ia perlu shalat dan berdoa
memohon perlindungan kepada Tuhan sebagai Khalik. Hal lain, bahwa beragama itu
fitrah yang memiliki beberapa ciri: 1) rabbaniyah (agama
bersumber dari Tuhan). 2) insaniyah (kemanusiaan).
Secara fitrah, kemanusiaan selalu didahulukan dibanding keberagamaan, misalnya,
ketika kita hendak berwudhu, air terbatas, tapi ada orang lain yang haus dan
kelaparan, maka pastilah kita memberikan air itu kepada orang yang
memerlukannya karena lebih penting, sedangkan kita bisa bertayamum. Orang yang
selalu mengutamakan sisi kemanusiaan akan memandangnya sebagai saudara seagama,
jika tidak seagama, maka dipandang sebagai saudara sebangsa atau setanah air. Jadi,
mengutamakan sisi kemanusiaan adalah fitrah. 3) washatiyah,
wasathan, posisi tengah. Kita mengenal istilah “moderator atau wasit”.
Orang yang selalu diposisikan di tengah dan berlaku adil. Al-Qur’an berkata,
engkau adalah ummatan washatan, kuntum khaira ummatin, kamu adalah
umat di tengah, umat yang terbaik. Menurut Aristoteles baik itu berada di
antara dua yang buruk, atau tengah. Keberagamaan berada di antara rasa takut
dan ceroboh. Kedermawanan itu berada di antara dua sifat yakni kikir dan boros.
Agama adalah legalitas pertemuan dan hubungan baik antara laki dan perempuan. Keadilan
cenderung pada keseimbangan, dan agama merupakan keseimbangan dunia dan
akhirat.
Tiga hal penting yang selalu disepakati
oleh semua penganut agama atau kepercayaan, yaitu 1) menghormati orang tua yaitu ibu dan bapak; 2)
memelihara amanat atau kepercayaan; dan 3) berlaku adil.
Menurut Quraish, ada tiga syarat utama
untuk mewujudkan moderasi beragama: 1) harus mengetahui kadar pengetahuan kita.
Tanpa pengetahuan yang memadai, kita tidak bisa melaksanakan moderasi. 2)
mengendalikan emosi, jangan melampaui batas, hindari emosi keagamaan yang
meluap-luap, dan 3) kita harus berhati-hati dan jangan bersikap gegabah.
Quraish menjelaskan secara detail cara
mengendalikan sifat amarah. Pada saat kita marah atau tersinggung karena dihina
orang lain, sebaiknya kita tidak langsung membalasnya dengan amarah pula.
Cobalah tahan amarah itu, berpikir sejenak apakah hinaan itu layak kita harus
marah, kalaupun harus marah maka harus kita ukur kadarnya. Sesungguhnya atas
hinaan orang lain itu kita dapat membalasnya melebihi apa yang dia lakukan,
tapi karena kita berpikir positif, kita tidak merasa perlu membalasnya, karena menahan
amarah itu lebih baik. Jika terpaksa harus marah, jangan tampakkan amarah
itu di wajah kita. Jika pun harus ditampakkan, jangan sampai lidah aktif bicara
dalam kondisi marah. Jika pun lidah mulai bicara, jangan pernah menggerakkan
tangan atau memukul. Itu adalah tahapan kita dalam bertindak sehingga kita
berpikir jangan-jangan kita sebenarnya tidak perlu marah yang tidak ada gunanya.
Melampaui sesuatu dari kepantasan atau keluar dari batas kewajaran adalah ekstrim,
termasuk dalam beragama.
Sikap moderat dalam beragama adalah
selalu menilai orang lain dengan baik atau hikmah. Tuhan menciptakan manusia
karena cinta pada kebaikan dan keadilan. Agama mengajarkan sangat banyak nilai kebaikan
dan cintah damai, harmoni. Isi kandungan Al-Qur’an itu dapat ditafsirkan oleh
ahlinya yang memiliki pemahaman dan ilmu pengetahuan memadai sesuai tuntutan
perkembangan zaman.
Agama sesungguhnya bersumber dari Tuhan
sedangkan budaya adalah hasil karya, karsa, dan cipta manusia. Untuk memahami
agama dengan baik, diperlukan pemahaman ilmu pengetahuan dan budaya yang baik.
Islam itu tidak anti budaya, Islam akomodatif dan dapat menerima budaya baru.
Islam di Makkah dan Madinah itu tidak persis sama, karena ada perbedaan antara keduanya.
Begitu pula Islam di Mesir atau di Irak, termasuk di Indonesia. Tapi prinsip
dan nilai-nilainya sama, misalnya pengakuan tentang Tuhan itu esa, Muhammad itu
nabi dan rasul terakhir. Jadi, jangan tinggalkan budaya yang baik. Islam
tidak dapat dipisahkan dengan budaya.