Manusia boleh memiliki keinginan, tetapi
Tuhan yang menentukan. Kita wajib berusaha tetapi jika tidak terpenuhi itulah
takdirnya. Emosi mungkin membara tapi bisa jadi di balik itu ada hikmah besar
yang kita tidak tahu di dalamnya. Tahun 1989 lulus MTs berkeinginan lanjut ke
PGA (Pendidikan Guru Agama), tahun terakhir program PGA karena setelah itu
ditutup dan tidak ada lagi pendidikan guru setingkat SLTA tapi harus minimal
D3. Proses pendaftaran mensyaratkan ranking 5 besar menjadi kendala untuk bisa
masuk PGAN. Tidak putus asa, aku membidik ke MAN terdekat, MAN 1 Cirebon di
Plered dan diterima dari sekian ratus siswa yang lainnya yang dinayatakan lolos.
Obsesi ingin bergelut di dunia pesantren
mendorongku untuk berani bicara dengan sang kakek. Alhamdulilah direspon
positif dan didukung untuk mondok di pesantren terdekat dengan sekolah.
Alhasani menjadi pesantren pilihan. Bersama kakek dan kakak pertama “Rosid” aku
diantarkan ke pesantren sambil membawa tas pakaian dan segendongan oleh-oleh
untuk kiyai. Gula, teh, kopi dan kelapa waktu itu dipanggul berjalan kaki
menuju pesantren. Sekedar buah tangan menghadap sang kiyai, Walid panggilan
para santri, menerimaku dengan tangan terbuka dan mempersilahkan untuk
bergabung dengan santri lainnya yang tidak lain adalah calon siswa baru di MAN
dan para senior.
Hari-hari yang tak terlupakan hidup jauh
dari keluarga, menjadi santri untuk banyak belajar dan menggali ilmu-ilmu agama.
Awal menjadi santri baru masih terasa kaku, sambil memperhatikan teman kanan
dan kiri, aku coba untuk menyesuaikan dengan budaya di pesantren. Hari demi
hari berjalan biasa apalagi setelah akrab dengan banyak teman di kobong (kamar
santri) aktivitaspun menjadi sangat menyenangkan. Mengikuti agenda kegiatan
pondok pesantren pagi hari solat subuh berjamaah setelah itu mengaji,
dilanjutkan dengan persiapan masuk sekolah, makan sarapan pagi nasi uduk khas
ibu tetangga pesantren yang setiap pagi diburu para santri karena rasa dan
tentu harga yang sangat murah.
Aktivitas siswa baru saat itu dimulai
dengan penataran P4, semua siswa harus memulai dengan memahami Pancasila
sebagai dasar negara dan GBHN sebagai haluan negara dalam tahapan pencapaian
program/kebijakan Pemerintah. Takut, malu dan campur senang masa-masa menjadi
siswa baru. Mulai dari acara baris berbaris, perkenalan antarsiswa, diskusi dan
pendalaman materi dari instruktur serta bermacam-macam permainan yang dibimbing
para senior. Kak Nurul Husna adalah sosok lucu yang paling disenangi banyak
siswa baru karena gurauan dan candaannya yang selalu menggelitik bahkan
mengundang tawa, gayanya yang unik dan ceplas ceplosnya membikin siswa baru
mudah akrab. Berbeda dengan kak Nurul, Kak Ilman Nafian merupakan senior
berwajah serius tampil dengan gaya bahasa intelektual dan disiplin tinggi,
jujur aku rasakan takut waktu itu bila bertatap muka dengannya. Kecerdasan dan
kedisiplinannya yang teguh mengalir hingga mengantarkan beliau menjadi seorang
doktor Islamic Studies jebolan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan kini mengajar sebagai dosen di IAN Syekh
Nurjati Cirebon.
Banyak senior yang aku kagumi waktur
itu, diantaranya ada kak Lili Humaidi, kak Buchori, kak Tarjo sosok mungil
aktivis pramuka, juga kak Humaidi sosok ketua OSIS berkacamata tebal yang
memiliki gaya low profile namun
cerdas. Orientasi siswa baru selama seminggu memang merupakan fasilitas untuk
saling mengenal satu dengan lainnya melalui berbagai strategi para senior.
Kegiatan ilmiah, kita dituntut aktif berbicara dalam diskusi dengan tema dan
kasus berbeda-beda dari yang sederhana hingga yang rumit memerlukan daya kritis
dan kejelian kita memahami konteks permasalahan.
Diantara kasus yang diangkat saat itu,
salah satunya masih ingat yaitu masalah kemacetan di lampu merah perempatan
jalan. Sang senior waktu itu mengilustrasikan: “adik-adikku....ada satu kasus
pada hari Jumat pukul 11.50 terjadi kemacetan luar biasa di sebuah perempatan.
Dari arah Timur menuju Barat adalah mobil ambulan membawa seorang ibu yang
hendak melahirkan, dari arah Utara ke Selatan ada mobil kiyai yang hendak berkhutbah
di masjid sementara waktu dzuhur akan tiba pukul 11.55, dari arah Barat ke
Timur ada mobil membawa orang karena kecelakaan, dan dari arah Selatan ke Utara
ada mobil pemadam kebakaran yang hendak memadamkan kebakaran di suatu rumah”.
Lalu sang senior berkata: ayo...silahkan diskusikan kira-kira mobil manakah
yang harus didahulukan, semua harus andil berpendapat dengan memberikan
alasan-alasannya”.
Contoh kasus yang didiskusikan waktu itu
cukup ramai dan hampir semua menyatalan pendapatnya meskipun dengan argumen
seadanya. Aku sendiri tidak begitu baik memberikan argumen, terpikir yang
penting ngomonglah...sementara teman-teman lainnya giat berargumen. Yahya
adalah siswa aktif yang selalu bertanya dan menjawab pada setiap even diskusi
lawannya adalah Indra Lukisyana yang juga sama-sama aktif. Anwar Musadad memiliki
ciri permainan logika tinggi yang aku juga mengaguminya, bicaranya santai tapi
logis. Nani seorang perempuan lincah dan cukup banyak bicara, pantas kalau saat
ini jadi guru, karena bekal kemampuan retorikanya yang cukup mendukung. Mulyani
adalah wanita dengan postur tinggi dan cukup aktif dalam berdiskusi. Berbeda
dengan lainnya, Sri Wahyuni adalah perempuan berciri mahir dalam angka-angka
khususnya mata pelajaran matematika, sosoknya diam tapi kemudian baru tahu
bahwa ia adalah kawan yang jago berhitung, ia kelihatan sangat akrab dengan Nurhidayah
si pendiam yang jarang berkata-kata. Tatang sosok bertubuh kecil namun banyak
berpendapat, kupikir berani juga dia dalam berkomunikasi masa. Afif mirip Tatang
berbadan kecil namun pandai bicara bahkan suka bersikeras dalam berpendapat,
kayanya cabe rawit juga nih anak, ehh....Abdul Karim juga aktif memberikan
pendapat dan argumen, dengan ciri badan tinggi dan bergaya nyentrik, sosok ini
juga masih membekas dalam ingatan. Entah yang lainnya aku sudah lupa karena
tidak pernah direfresh. Dalam ilmu psikologi, sesuatu akan diingat secara kuat
dan lama bila berada pada kutub ekstrim kanan (sangat menyenangkan) atau kutub
kiri (sangat menyedihkan). Nah...beberapa teman yang masih teringat di atas,
karena hal positif tingkat keaktifan mereka sehingga membuatnya tidak mudah
terlupakan.
Wali kelasku adalah Pak Muhari, guru
yang cukup serius tapi low profile.
Ia mengajar kimia, sesuatu yang baru bagi siswa kelas 1 Aliyah karena tidak ada
sebelumnya. Kesan pelajaran kimia masih teringat hingga kini. Percobaan tentang
sekepal daging dimasukkan dalam botol tertutup dan terbuka, beliau mengemukakan
berbagai teori tentang asal mula kehidupan, ada yang berpendapat dari udara dan
juga ada yang berpendapat lainnya. Pak Aki beda lagi yang aku ingat, menurut
beliau bahwa kuadrat itu dikalikan yang sama maka hasilnya berkali lipat namun
jika dikalikan yang tak terhingga maka hasilnya menjadi tak terhingga....Pak
Aki sedang mengajarkan kita tentang sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan
angka karena nilainya melebihi angka dalam logika manusia. Kini aku sering
menyadari itu bahwa banyak hal di dunia ini yang sangat tidak terhingga
sehingga tidak bisa dikalahkan dengan uang maupun benda lainnya. Anak bagiku
adalah sesuatu yang tak terhingga sehingga tidak bisa dikalahkan dengan urusan
dunia lainnya.
Ha ha ha...tertawa riang masih aku ingat
jika bertemu pelajaran alqur’an dan hadits yang diampu oleh Pak Salim. Orangnya
santai dan bicaranya selalu mengundang gelak tawa. Aku terkesan pada beliau dan
cukup membuat aku belajar jadi semangat. Kata Pak Salim... orang kaya itu
harusnya bebas, tidak terkungkung oleh apapun. Jadi, kata beliau, apabila orang
terkungkung dan terbatasi oleh harta yang yang dimilikinya, sesungguhnya ia
tidak kaya tapi miskin. Lalu ia mencontohkan bahwa dirinya adalah orang kaya,
bagaimana tidak katanya, ia bebas berkendaraan kemana saja tanpa harus ribed
ngurus mobil atau kendaraan lainnya. Semakin penasaran aku nih, apa selanjutnya
yang akan beliau katakan. Ternyata dia bilang, saya tiap hari bebas memilih
kendaraan dengan menyetop mobil di pinggir jalan, tinggal tunjuk untuk sampai
pada satu tujuan tertentu, nah...itu bebas katanya, jadi saya adalah orang kaya
karena tidak harus pusing mikirin mobil akan rusak, mencuci mobil, masukin ke
dalam garasi, dll. Tentu siswa tertawa waktu itu....bisa aja nih si Bapak.
Guru sejarah, Bu Mimin waktu itu
bercerita berbagai macam kerajaan dan tentang bercampur aduknya ajaran Islam
dengan Hindu-Budha, semua itu katanya perlu dipelajari sehingga kita paham
tentang bagaimana itu terjadi. Ternyata benar...saat ini kita membutuhkan
pengetahuan tentang sejarah sehingga tidak bisa dibohongi oleh orang lain. Dan
yang laur biasa adalah pernyataan ahli sejarah dari Jerman Jan Van Der Puthen
bahwa siapa yang menguasai masa lalu maka ia akan menguasai masa depan,
Takjub....Yang paling tidak suka waktu itu adalah pelajaran kesenian, Bu Mimin
gurunya...semua siswa diminta menyiapkan satu lagu untuk dinyanyikan, setiap
minggu ada yang harus maju secara bergantian, setelah sekian minggu habis sudah
teman-teman bernyanyi, giliranku belum...dipanggi jugalah disuruh ke depan, aku
bingung, berdebar juga....mau nyanyi apa yah...kupikir sejak kecil aku tidak
kenal dan dikenalkan dengan nyanyian di keluarga. Karena bingung...maka Bu
mimim bilang boleh nyayi apa saja, termasuk lagu wajib juga boleh...nah
nyanyilah aku waktu itu dengan judul “Halo-Halo Bandung” ha ha ha...jadi lucu
pengen tertawa.
Beberapa bulan aku sekolah di MAN, aku
mulai tertarik dengan buku-buku filsafat dan buku ilmiah lainnya, setiap minggu
aku pinjam buku filsafat dan aku membacanya hingga tuntas. Muncul pemahaman
tentang bagaimana berpikir logis, dan bagaimana kita harus bertanya dengan
konsep 5W dan 1H. Wah...sejak itu aku mulai berani bertanya. Dalam buku yang
aku baca, tertulis bahwa bertanya merupakan pintu memahami sesuatu, orang yang
banyak bertanya itu bukan orang bodoh tapi orang pandai. Nah aku sadari itu,
ooo...ternyata teman-temanku yang aktif bertanya waktu penataran P4 itu adalah
orang-orang pandai semua. Memulai untuk berani, Pak Mulya guru IPS waktu itu
menerangkan tentang angin, disitulah aku mulai berani mengejar dengan berbagai
pertanyaan, entah benar atau salah, yang penting aku harus bertanya karena
tidak paham. Seingatku bertanya ”Pak dari mana angin itu datang? Bagaimana angin itu terbentuk
sehingga meniup kesana dan kemari? Wah...kalau gak salah Pak Mulya agak jengkel
juga waktu itu....mungkin pertanyaannya konyol. Dari situlah aku kemudian
berani bertanya hingga di kelas-kelas berikutnya.
Satu tahun lamanya di kelas 1 MAN, suka
dan duka aku alami termasuk kehidupan di pesantren. Kadang rasa lapar
mengiringi perjalanan sekolah, jajan terbatas, dan sewaktu-waktu lambat kiriman
uang dari orang tua. Semester kedua, aku memtuskan untuk mencoba mengatur uang
sendiri berhenti membayar uang makan ke pesantren dengan niat akan masak
sendiri. Satu saat kehabisan uang, stok beras habis, pulang sekolah tidak bisa
makan apa-apa hingga sampai waktu isya. Gelap mata karena lapar, sudah tidak
ada rasa malu tengok kanan dan tengok kiri berpikir adakah sesuatu yang bisa di
makan, ternyata tidak. Eh...rupanya ada kawan, kakak kelas yang senasib, rupanya dia juga lapar, muncul ide
dalam pembicaraan kita jalan ke pinggiran jalan raya Plered untuk mencari biji
durian, saat itu memang sedang musim durian. Sejengkal demi sejengkal,
berpakaian santri, bersarung dang memakai kopiah, aku berdua menghampiri sisi
belakang tukang durian dan aku punguti biji durian bekas orang makan. Setelah
dapat sekantong plastik aku berdua kembali ke pondok lalu memasaknya. Bingung
karena sudah malam, kira-kira jam 9 malam, cari kayu sulit dan basah tidak
mungkin dibakar, maka disitulah ide kotor muncul....cari sandal yang bisa
dibakar untuk memasak biji durian. Ternyata ada benarnya pernyataan bahwa
kefakiran itu akan membawa kekafiran. Subhanallah....astaghfirullah. Berlalu
sudah hari-hari kelaparan itu dengan memakan rebusan biji durian sekedar
menahan perut kosong.
Motivasi untuk menghemat dan jiwa muda
dengan nafsu yang bergelora, semua hal ingin dicapai, angan-angannya jauh
melesat. Saat itu, aku mencoba mengamalkan amalan tertentu, aku berpuasa 3
hari, kemudian dilanjutkan 7 hari, setelah berbuka beberapa hari kemudian
dilanjutkan berpuasa 14 hari, kemudian bertambah menjadi 21 hari, dan terakhir
adalah 41 hari. Setelah aku hitung-hitung ternyata puasa hampir 3 bulan
lamanya. Disitu saya merasakan badan letih dan agak kurus hingga kakekku
bertanya, kenapa badanmu kurusan, aku bilang lagi sering puasa. Kakeku paham
tentang apa yang saya lakukan, lalu ia bilang: nak....ga usah kamu sering puasa
untuk mencari kesaktian karena orang yang sakti saat ini dan akan datang adalah
orang yang berilmu, orang pandai bukan orang yang kebal dibacok dll. Maklumlah
karena kakeku adalah mantan jawara, ia paham tentang kehidupan para jawara. Barulah
aku mulai berhenti, lalu berputar haluan untuk konsen lagi dalam belajar.
Sesuai dengan minat yang tumbuh sewaktu
di MTs, aku naik kelas dua dengan pilihan jurusan A1 (Agama) tanpa pilihan
lainnya. Rasa ingin tahu karena membaca buku-buku filsafat, membuatku terus
berani bertanya dan senang menggali berbagai pengetahuan kecuali matematika,
ya...sadar bahwa aku sepertinya tidak memiliki bakat numerik. Memulai belajar
di kelas 2, aku juga berpindah pesantren ke Daruttauhid Arjawinangun karena aku
merasa kurang puas dengan jenis kajian yang ada di pesantren sebelumnya. Aktivitas
ibadah rajin aku lakukan bersama teman-teman, solat duha dan dzuhur berjamaah, motivasinya
banyak disamping memiliki sesuatu yang diharapkan di masa depan juga karena
tidak ada uang jajan, malu rasanya kalau hanya diam di kelas, maka aku
manfaatkannya pergi ke masjid besar di belakang sekolah.
Bahasan Inggris merupakan salah satu
mata pelajaran yang aku sukai, banyak belajar dan menggali dari Pak Lili,
seorang guru muda yang ganteng dan pandai. Ketertarikannya pada mata pelajaran
bahasa Inggris membuat aku sering mendekati teman yang cukup lihai, Sofyan dan
Abu Dzar saat itu cukup aku kagumi karena kepandaiannya dalam berbahasa
Inggris. Pelajaran lain adalah tafsir hadits, Pak Anwar adalah guru yang
berwibawa dan kharismatis. Wajahnya familier namun disegani oleh banyak siswa.
Aku mencoba berlomba saat itu ketika Pak Anwar memberikan tugas hafalan
ayat-ayat alquran, beliau menjanjikan bahwa siapa yang hafal tercepat maka akan
dijadikan asisten dan nilainya dijamin minimal 8 di raport. Usaha keras aku lakukan
namun apa daya, teman akrabku Nasuha lebih cepat menghafal. Jadilah dia asisten
Pak Anwar yang diberi tugas mengoleksi hafalan semua siswa lainnya,
alhamdulillah aku masuk yang kedua setelahnya.
Masuk kelas III, belajar dengan guru
baru lainnya, Pak Aef Saefullah adalah guru favorit karena kepandaiannya dalam
menjelaskan pelajaran dan keluasan materi yang disampaikan, disitu aku sering
bertanya dan meminjam buku yang beliau tawarkan. Buku “Siapa yang menabur angin
akan menuai badai” salah satunya aku baca dan mengenal sosok Sukarno sebagai
pemimpin revolusi sekaligus motivator. Salah satu pernyatannya adalah
“gantungkan cita-citamu setinggi langit” kira-kira seperti itu. Perjalanan di
kelas III Aliyah cukup mengesankan, belajar sambil bermain dengan teman-teman
yang asyik, Wasnedi sosok humoris yang sering berkata ceplas ceplos, Ade Yahya
laki-laki ganteng katanya yang sangat penurut terhadap orang tuanya.
Gelak tawa sering terjadi di kelas III
Agama 2 adalah ketika pelajaran Bahasa Arab yang diampu oleh Pak Sibro Mulaisi.
Gaya mengajarnya yang penuh dengan candaan dan sering mengkultuskan pada sosok
murid tertentu “Suanna” namanya, dia adalah siswa yang sering disebut beliau.
Pak Sibro guru Bahasa Arab yang sangat fasih berbahasa Inggris dan Arab, mengajar
tentang materi ilmu balaghoh dan ma’ani meskipun sepintas, namun cukup
memberikan kesan. Tidak lupa adalah Ibu Mamnu’ah adalah wali kelas III yang
sangat ramah, bijak, dan kata-katanya banyak menyentuh kesadaran kita, beliau
adalah sosok berjasa yang mengantarkan siswa hingga lulus, untuk aku, beliau
berjasa mendaftarkan ke IAIN SGD Bandung melalui jalur PMDK (penelusuran minat
dan kemampuan), betapa tidak, wong aku dan orang tuaku tidak paham sama sekali
tentang bagaimana kuliah itu, dan akhirnya aku lulus diterima di Fakultas
Tarbiyah jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Pulang pergi pesantren di Arjawinangun
ke sekolah di Plered selama dua tahun mengingatkanku masa-masa berpacu dalam
kemandirian, mengatur waktu, belajar kitab, dan sekolah. Kopayu adalah langganan
setia yang berjasa mengantarkan ke sekolah setiap hari, padat dan
bergelantungan sudah biasa, bahkan berlarian mengejar mobil berebutan dengan
siswa lainnya manjadi makanan setiap hari. Kisah sedih dan menyenangkan sebagai
sosok remaja yang telah mengenal perasaan terhadap lawan jenis menjadi bagian
yang mewarnai perjalanan siswa SLTA. Tidak dipungkiri memang, perasaan dan
jalinan itu ada mengalir seperti air dari hulu ke hilir meskipun tidak jelas
targetnya.
Akhir sebuah cerita di Aliyah, tour ke
Yogyakarta berkesan hingga kini, maklumlah orang kampung yang jarang berekreasi
kemudian tour sangat jauh, terasa gembira bersama teman-teman, Reni, Yuni,
Elvia, Sulastri, Oom, Saroni, Oing, Miftahul Jannah, Nurbani, itu sebagian lainnya
dari kawan-kawan yang masih ingat dalam benak. Aku berdoa semoga kawan-kawanku
semua senantiasa dalam keberkahan, sehat fisik dan psikisnya, dan sebagian yang
belum terkoneksi bisa tersambung lewat jaringan global yang tidak terbatas.