Senin, 23 April 2018

CERITAKU-4


Manusia boleh memiliki keinginan, tetapi Tuhan yang menentukan. Kita wajib berusaha tetapi jika tidak terpenuhi itulah takdirnya. Emosi mungkin membara tapi bisa jadi di balik itu ada hikmah besar yang kita tidak tahu di dalamnya. Tahun 1989 lulus MTs berkeinginan lanjut ke PGA (Pendidikan Guru Agama), tahun terakhir program PGA karena setelah itu ditutup dan tidak ada lagi pendidikan guru setingkat SLTA tapi harus minimal D3. Proses pendaftaran mensyaratkan ranking 5 besar menjadi kendala untuk bisa masuk PGAN. Tidak putus asa, aku membidik ke MAN terdekat, MAN 1 Cirebon di Plered dan diterima dari sekian ratus siswa yang lainnya yang dinayatakan lolos.
Obsesi ingin bergelut di dunia pesantren mendorongku untuk berani bicara dengan sang kakek. Alhamdulilah direspon positif dan didukung untuk mondok di pesantren terdekat dengan sekolah. Alhasani menjadi pesantren pilihan. Bersama kakek dan kakak pertama “Rosid” aku diantarkan ke pesantren sambil membawa tas pakaian dan segendongan oleh-oleh untuk kiyai. Gula, teh, kopi dan kelapa waktu itu dipanggul berjalan kaki menuju pesantren. Sekedar buah tangan menghadap sang kiyai, Walid panggilan para santri, menerimaku dengan tangan terbuka dan mempersilahkan untuk bergabung dengan santri lainnya yang tidak lain adalah calon siswa baru di MAN dan para senior.
Hari-hari yang tak terlupakan hidup jauh dari keluarga, menjadi santri untuk banyak belajar dan menggali ilmu-ilmu agama. Awal menjadi santri baru masih terasa kaku, sambil memperhatikan teman kanan dan kiri, aku coba untuk menyesuaikan dengan budaya di pesantren. Hari demi hari berjalan biasa apalagi setelah akrab dengan banyak teman di kobong (kamar santri) aktivitaspun menjadi sangat menyenangkan. Mengikuti agenda kegiatan pondok pesantren pagi hari solat subuh berjamaah setelah itu mengaji, dilanjutkan dengan persiapan masuk sekolah, makan sarapan pagi nasi uduk khas ibu tetangga pesantren yang setiap pagi diburu para santri karena rasa dan tentu harga yang sangat murah.
Aktivitas siswa baru saat itu dimulai dengan penataran P4, semua siswa harus memulai dengan memahami Pancasila sebagai dasar negara dan GBHN sebagai haluan negara dalam tahapan pencapaian program/kebijakan Pemerintah. Takut, malu dan campur senang masa-masa menjadi siswa baru. Mulai dari acara baris berbaris, perkenalan antarsiswa, diskusi dan pendalaman materi dari instruktur serta bermacam-macam permainan yang dibimbing para senior. Kak Nurul Husna adalah sosok lucu yang paling disenangi banyak siswa baru karena gurauan dan candaannya yang selalu menggelitik bahkan mengundang tawa, gayanya yang unik dan ceplas ceplosnya membikin siswa baru mudah akrab. Berbeda dengan kak Nurul, Kak Ilman Nafian merupakan senior berwajah serius tampil dengan gaya bahasa intelektual dan disiplin tinggi, jujur aku rasakan takut waktu itu bila bertatap muka dengannya. Kecerdasan dan kedisiplinannya yang teguh mengalir hingga mengantarkan beliau menjadi seorang doktor Islamic Studies jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kini mengajar sebagai dosen di IAN Syekh Nurjati Cirebon.
Banyak senior yang aku kagumi waktur itu, diantaranya ada kak Lili Humaidi, kak Buchori, kak Tarjo sosok mungil aktivis pramuka, juga kak Humaidi sosok ketua OSIS berkacamata tebal yang memiliki gaya low profile namun cerdas. Orientasi siswa baru selama seminggu memang merupakan fasilitas untuk saling mengenal satu dengan lainnya melalui berbagai strategi para senior. Kegiatan ilmiah, kita dituntut aktif berbicara dalam diskusi dengan tema dan kasus berbeda-beda dari yang sederhana hingga yang rumit memerlukan daya kritis dan kejelian kita memahami konteks permasalahan.
Diantara kasus yang diangkat saat itu, salah satunya masih ingat yaitu masalah kemacetan di lampu merah perempatan jalan. Sang senior waktu itu mengilustrasikan: “adik-adikku....ada satu kasus pada hari Jumat pukul 11.50 terjadi kemacetan luar biasa di sebuah perempatan. Dari arah Timur menuju Barat adalah mobil ambulan membawa seorang ibu yang hendak melahirkan, dari arah Utara ke Selatan ada mobil kiyai yang hendak berkhutbah di masjid sementara waktu dzuhur akan tiba pukul 11.55, dari arah Barat ke Timur ada mobil membawa orang karena kecelakaan, dan dari arah Selatan ke Utara ada mobil pemadam kebakaran yang hendak memadamkan kebakaran di suatu rumah”. Lalu sang senior berkata: ayo...silahkan diskusikan kira-kira mobil manakah yang harus didahulukan, semua harus andil berpendapat dengan memberikan alasan-alasannya”.
Contoh kasus yang didiskusikan waktu itu cukup ramai dan hampir semua menyatalan pendapatnya meskipun dengan argumen seadanya. Aku sendiri tidak begitu baik memberikan argumen, terpikir yang penting ngomonglah...sementara teman-teman lainnya giat berargumen. Yahya adalah siswa aktif yang selalu bertanya dan menjawab pada setiap even diskusi lawannya adalah Indra Lukisyana yang juga sama-sama aktif. Anwar Musadad memiliki ciri permainan logika tinggi yang aku juga mengaguminya, bicaranya santai tapi logis. Nani seorang perempuan lincah dan cukup banyak bicara, pantas kalau saat ini jadi guru, karena bekal kemampuan retorikanya yang cukup mendukung. Mulyani adalah wanita dengan postur tinggi dan cukup aktif dalam berdiskusi. Berbeda dengan lainnya, Sri Wahyuni adalah perempuan berciri mahir dalam angka-angka khususnya mata pelajaran matematika, sosoknya diam tapi kemudian baru tahu bahwa ia adalah kawan yang jago berhitung, ia kelihatan sangat akrab dengan Nurhidayah si pendiam yang jarang berkata-kata. Tatang sosok bertubuh kecil namun banyak berpendapat, kupikir berani juga dia dalam berkomunikasi masa. Afif mirip Tatang berbadan kecil namun pandai bicara bahkan suka bersikeras dalam berpendapat, kayanya cabe rawit juga nih anak, ehh....Abdul Karim juga aktif memberikan pendapat dan argumen, dengan ciri badan tinggi dan bergaya nyentrik, sosok ini juga masih membekas dalam ingatan. Entah yang lainnya aku sudah lupa karena tidak pernah direfresh. Dalam ilmu psikologi, sesuatu akan diingat secara kuat dan lama bila berada pada kutub ekstrim kanan (sangat menyenangkan) atau kutub kiri (sangat menyedihkan). Nah...beberapa teman yang masih teringat di atas, karena hal positif tingkat keaktifan mereka sehingga membuatnya tidak mudah terlupakan.
Wali kelasku adalah Pak Muhari, guru yang cukup serius tapi low profile. Ia mengajar kimia, sesuatu yang baru bagi siswa kelas 1 Aliyah karena tidak ada sebelumnya. Kesan pelajaran kimia masih teringat hingga kini. Percobaan tentang sekepal daging dimasukkan dalam botol tertutup dan terbuka, beliau mengemukakan berbagai teori tentang asal mula kehidupan, ada yang berpendapat dari udara dan juga ada yang berpendapat lainnya. Pak Aki beda lagi yang aku ingat, menurut beliau bahwa kuadrat itu dikalikan yang sama maka hasilnya berkali lipat namun jika dikalikan yang tak terhingga maka hasilnya menjadi tak terhingga....Pak Aki sedang mengajarkan kita tentang sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan angka karena nilainya melebihi angka dalam logika manusia. Kini aku sering menyadari itu bahwa banyak hal di dunia ini yang sangat tidak terhingga sehingga tidak bisa dikalahkan dengan uang maupun benda lainnya. Anak bagiku adalah sesuatu yang tak terhingga sehingga tidak bisa dikalahkan dengan urusan dunia lainnya.
Ha ha ha...tertawa riang masih aku ingat jika bertemu pelajaran alqur’an dan hadits yang diampu oleh Pak Salim. Orangnya santai dan bicaranya selalu mengundang gelak tawa. Aku terkesan pada beliau dan cukup membuat aku belajar jadi semangat. Kata Pak Salim... orang kaya itu harusnya bebas, tidak terkungkung oleh apapun. Jadi, kata beliau, apabila orang terkungkung dan terbatasi oleh harta yang yang dimilikinya, sesungguhnya ia tidak kaya tapi miskin. Lalu ia mencontohkan bahwa dirinya adalah orang kaya, bagaimana tidak katanya, ia bebas berkendaraan kemana saja tanpa harus ribed ngurus mobil atau kendaraan lainnya. Semakin penasaran aku nih, apa selanjutnya yang akan beliau katakan. Ternyata dia bilang, saya tiap hari bebas memilih kendaraan dengan menyetop mobil di pinggir jalan, tinggal tunjuk untuk sampai pada satu tujuan tertentu, nah...itu bebas katanya, jadi saya adalah orang kaya karena tidak harus pusing mikirin mobil akan rusak, mencuci mobil, masukin ke dalam garasi, dll. Tentu siswa tertawa waktu itu....bisa aja nih si Bapak.
Guru sejarah, Bu Mimin waktu itu bercerita berbagai macam kerajaan dan tentang bercampur aduknya ajaran Islam dengan Hindu-Budha, semua itu katanya perlu dipelajari sehingga kita paham tentang bagaimana itu terjadi. Ternyata benar...saat ini kita membutuhkan pengetahuan tentang sejarah sehingga tidak bisa dibohongi oleh orang lain. Dan yang laur biasa adalah pernyataan ahli sejarah dari Jerman Jan Van Der Puthen bahwa siapa yang menguasai masa lalu maka ia akan menguasai masa depan, Takjub....Yang paling tidak suka waktu itu adalah pelajaran kesenian, Bu Mimin gurunya...semua siswa diminta menyiapkan satu lagu untuk dinyanyikan, setiap minggu ada yang harus maju secara bergantian, setelah sekian minggu habis sudah teman-teman bernyanyi, giliranku belum...dipanggi jugalah disuruh ke depan, aku bingung, berdebar juga....mau nyanyi apa yah...kupikir sejak kecil aku tidak kenal dan dikenalkan dengan nyanyian di keluarga. Karena bingung...maka Bu mimim bilang boleh nyayi apa saja, termasuk lagu wajib juga boleh...nah nyanyilah aku waktu itu dengan judul “Halo-Halo Bandung” ha ha ha...jadi lucu pengen tertawa.
Beberapa bulan aku sekolah di MAN, aku mulai tertarik dengan buku-buku filsafat dan buku ilmiah lainnya, setiap minggu aku pinjam buku filsafat dan aku membacanya hingga tuntas. Muncul pemahaman tentang bagaimana berpikir logis, dan bagaimana kita harus bertanya dengan konsep 5W dan 1H. Wah...sejak itu aku mulai berani bertanya. Dalam buku yang aku baca, tertulis bahwa bertanya merupakan pintu memahami sesuatu, orang yang banyak bertanya itu bukan orang bodoh tapi orang pandai. Nah aku sadari itu, ooo...ternyata teman-temanku yang aktif bertanya waktu penataran P4 itu adalah orang-orang pandai semua. Memulai untuk berani, Pak Mulya guru IPS waktu itu menerangkan tentang angin, disitulah aku mulai berani mengejar dengan berbagai pertanyaan, entah benar atau salah, yang penting aku harus bertanya karena tidak paham. Seingatku bertanya ”Pak dari mana angin  itu datang? Bagaimana angin itu terbentuk sehingga meniup kesana dan kemari? Wah...kalau gak salah Pak Mulya agak jengkel juga waktu itu....mungkin pertanyaannya konyol. Dari situlah aku kemudian berani bertanya hingga di kelas-kelas berikutnya.
Satu tahun lamanya di kelas 1 MAN, suka dan duka aku alami termasuk kehidupan di pesantren. Kadang rasa lapar mengiringi perjalanan sekolah, jajan terbatas, dan sewaktu-waktu lambat kiriman uang dari orang tua. Semester kedua, aku memtuskan untuk mencoba mengatur uang sendiri berhenti membayar uang makan ke pesantren dengan niat akan masak sendiri. Satu saat kehabisan uang, stok beras habis, pulang sekolah tidak bisa makan apa-apa hingga sampai waktu isya. Gelap mata karena lapar, sudah tidak ada rasa malu tengok kanan dan tengok kiri berpikir adakah sesuatu yang bisa di makan, ternyata tidak. Eh...rupanya ada kawan, kakak kelas yang  senasib, rupanya dia juga lapar, muncul ide dalam pembicaraan kita jalan ke pinggiran jalan raya Plered untuk mencari biji durian, saat itu memang sedang musim durian. Sejengkal demi sejengkal, berpakaian santri, bersarung dang memakai kopiah, aku berdua menghampiri sisi belakang tukang durian dan aku punguti biji durian bekas orang makan. Setelah dapat sekantong plastik aku berdua kembali ke pondok lalu memasaknya. Bingung karena sudah malam, kira-kira jam 9 malam, cari kayu sulit dan basah tidak mungkin dibakar, maka disitulah ide kotor muncul....cari sandal yang bisa dibakar untuk memasak biji durian. Ternyata ada benarnya pernyataan bahwa kefakiran itu akan membawa kekafiran. Subhanallah....astaghfirullah. Berlalu sudah hari-hari kelaparan itu dengan memakan rebusan biji durian sekedar menahan perut kosong.
Motivasi untuk menghemat dan jiwa muda dengan nafsu yang bergelora, semua hal ingin dicapai, angan-angannya jauh melesat. Saat itu, aku mencoba mengamalkan amalan tertentu, aku berpuasa 3 hari, kemudian dilanjutkan 7 hari, setelah berbuka beberapa hari kemudian dilanjutkan berpuasa 14 hari, kemudian bertambah menjadi 21 hari, dan terakhir adalah 41 hari. Setelah aku hitung-hitung ternyata puasa hampir 3 bulan lamanya. Disitu saya merasakan badan letih dan agak kurus hingga kakekku bertanya, kenapa badanmu kurusan, aku bilang lagi sering puasa. Kakeku paham tentang apa yang saya lakukan, lalu ia bilang: nak....ga usah kamu sering puasa untuk mencari kesaktian karena orang yang sakti saat ini dan akan datang adalah orang yang berilmu, orang pandai bukan orang yang kebal dibacok dll. Maklumlah karena kakeku adalah mantan jawara, ia paham tentang kehidupan para jawara. Barulah aku mulai berhenti, lalu berputar haluan untuk konsen lagi dalam belajar.
Sesuai dengan minat yang tumbuh sewaktu di MTs, aku naik kelas dua dengan pilihan jurusan A1 (Agama) tanpa pilihan lainnya. Rasa ingin tahu karena membaca buku-buku filsafat, membuatku terus berani bertanya dan senang menggali berbagai pengetahuan kecuali matematika, ya...sadar bahwa aku sepertinya tidak memiliki bakat numerik. Memulai belajar di kelas 2, aku juga berpindah pesantren ke Daruttauhid Arjawinangun karena aku merasa kurang puas dengan jenis kajian yang ada di pesantren sebelumnya. Aktivitas ibadah rajin aku lakukan bersama teman-teman, solat duha dan dzuhur berjamaah, motivasinya banyak disamping memiliki sesuatu yang diharapkan di masa depan juga karena tidak ada uang jajan, malu rasanya kalau hanya diam di kelas, maka aku manfaatkannya pergi ke masjid besar di belakang sekolah.
Bahasan Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang aku sukai, banyak belajar dan menggali dari Pak Lili, seorang guru muda yang ganteng dan pandai. Ketertarikannya pada mata pelajaran bahasa Inggris membuat aku sering mendekati teman yang cukup lihai, Sofyan dan Abu Dzar saat itu cukup aku kagumi karena kepandaiannya dalam berbahasa Inggris. Pelajaran lain adalah tafsir hadits, Pak Anwar adalah guru yang berwibawa dan kharismatis. Wajahnya familier namun disegani oleh banyak siswa. Aku mencoba berlomba saat itu ketika Pak Anwar memberikan tugas hafalan ayat-ayat alquran, beliau menjanjikan bahwa siapa yang hafal tercepat maka akan dijadikan asisten dan nilainya dijamin minimal 8 di raport. Usaha keras aku lakukan namun apa daya, teman akrabku Nasuha lebih cepat menghafal. Jadilah dia asisten Pak Anwar yang diberi tugas mengoleksi hafalan semua siswa lainnya, alhamdulillah aku masuk yang kedua setelahnya.
Masuk kelas III, belajar dengan guru baru lainnya, Pak Aef Saefullah adalah guru favorit karena kepandaiannya dalam menjelaskan pelajaran dan keluasan materi yang disampaikan, disitu aku sering bertanya dan meminjam buku yang beliau tawarkan. Buku “Siapa yang menabur angin akan menuai badai” salah satunya aku baca dan mengenal sosok Sukarno sebagai pemimpin revolusi sekaligus motivator. Salah satu pernyatannya adalah “gantungkan cita-citamu setinggi langit” kira-kira seperti itu. Perjalanan di kelas III Aliyah cukup mengesankan, belajar sambil bermain dengan teman-teman yang asyik, Wasnedi sosok humoris yang sering berkata ceplas ceplos, Ade Yahya laki-laki ganteng katanya yang sangat penurut terhadap orang tuanya.
Gelak tawa sering terjadi di kelas III Agama 2 adalah ketika pelajaran Bahasa Arab yang diampu oleh Pak Sibro Mulaisi. Gaya mengajarnya yang penuh dengan candaan dan sering mengkultuskan pada sosok murid tertentu “Suanna” namanya, dia adalah siswa yang sering disebut beliau. Pak Sibro guru Bahasa Arab yang sangat fasih berbahasa Inggris dan Arab, mengajar tentang materi ilmu balaghoh dan ma’ani meskipun sepintas, namun cukup memberikan kesan. Tidak lupa adalah Ibu Mamnu’ah adalah wali kelas III yang sangat ramah, bijak, dan kata-katanya banyak menyentuh kesadaran kita, beliau adalah sosok berjasa yang mengantarkan siswa hingga lulus, untuk aku, beliau berjasa mendaftarkan ke IAIN SGD Bandung melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan), betapa tidak, wong aku dan orang tuaku tidak paham sama sekali tentang bagaimana kuliah itu, dan akhirnya aku lulus diterima di Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Pulang pergi pesantren di Arjawinangun ke sekolah di Plered selama dua tahun mengingatkanku masa-masa berpacu dalam kemandirian, mengatur waktu, belajar kitab, dan sekolah. Kopayu adalah langganan setia yang berjasa mengantarkan ke sekolah setiap hari, padat dan bergelantungan sudah biasa, bahkan berlarian mengejar mobil berebutan dengan siswa lainnya manjadi makanan setiap hari. Kisah sedih dan menyenangkan sebagai sosok remaja yang telah mengenal perasaan terhadap lawan jenis menjadi bagian yang mewarnai perjalanan siswa SLTA. Tidak dipungkiri memang, perasaan dan jalinan itu ada mengalir seperti air dari hulu ke hilir meskipun tidak jelas targetnya.  
Akhir sebuah cerita di Aliyah, tour ke Yogyakarta berkesan hingga kini, maklumlah orang kampung yang jarang berekreasi kemudian tour sangat jauh, terasa gembira bersama teman-teman, Reni, Yuni, Elvia, Sulastri, Oom, Saroni, Oing, Miftahul Jannah, Nurbani, itu sebagian lainnya dari kawan-kawan yang masih ingat dalam benak. Aku berdoa semoga kawan-kawanku semua senantiasa dalam keberkahan, sehat fisik dan psikisnya, dan sebagian yang belum terkoneksi bisa tersambung lewat jaringan global yang tidak terbatas.

Selasa, 17 April 2018

CERITAKU-3


NEM atau nilai ebtanas murni pada tahun 1986 merupakan ukuran untuk bisa masuk di sebuah sekolah negeri. Pemerintah tidak menerapkan kebijakan tes lagi bagi siswa yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Kalau tidak salah, waktu itu adalah tahun ke dua. Semua siswa saat itu berlomba untuk mendapatkan NEM tinggi agar bisa masuk ke sekolah negeri. Sepertinya saat itu belum banyak sekolah swasta yang bagus, jikapun ada tentu harus membayar uang lebih besar. SMP Negeri Bojong merupakan salah satu SMP Negeri pavorit di Kecamatan Klangenan bagi anak-anak desa Kreyo karena paling dekat dijangkau.
Seingatku, mata ujian ebtanas sebanyak 4 pelajaran; Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Dulu, ujian sekolah benar-benar dilakukan secara serius dan tidak ada anak yang berani menyontek karena pengawas berfungsi mengawasi jalannya ujian. Jika ada rumor ujian yang dilakukan beberapa tahun ke belakang adalah dagelan bahkan ada yang dibocorkan, maka aku dan teman-temanku adalah saksi betapa waktu itu ujian dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.
Berharap memperoleh nilai NEM yang besar namun apadaya hanya bisa memperoleh nilai 23 koma sekian. Tahun sebelumnya nilai terendah untuk bisa masuk ke SMP negeri minimal NEM nya adalah 26. Putus sudah harapan untuk bisa masuk SMP Negeri yang banyak diidamkan oleh siswa. Rupanya orang tuaku memilih jalan lain daripada masuk ke SMP swasta yang konon kualitasnya diragukan ditambah besaran biaya yang cukup tinggi, maka aku didaftarkan di MTsN Arjawinangun, sebuah sekolah lanjutan pertama di bawah Kementerian Agama dulu namanya Departemen Agama.
Melalui informasi yang diperoleh lewat teman orang tuaku, Ibu Halimah, semua persyaratan pendaftaran dan materi yang akan diteskan aku persiapkan dengan baik. Waktu itu memang berbeda kebijakan antara masuk SMP Negeri dengan masuk MTs Negeri. Masuk MTs Negeri, semua pendaftar diharuskan mengikuti tes masuk berupa tertulis dan praktek. Ini memang karena substansi materi yang diajarkan di MTs tidak hanya mata pelajaran umum tetapi banyak materi pecahan mata pelajaran Agama Islam, seperti fikih, alquran hadits, sejarah kebudayaan Islam, akidah akhlak, dan bahasa Arab.
Sedikit masih ingat, waktu tes tertulis berisi materi tentang rukun iman, rukun Islam, dan ihsan ditambah dengan pengetahuan tentang akhlak, sejarah Islam dan bacaan-bacaan doa. Materi praktek saat itu, aku diperintahkan memperagakan solat fardlu dengan membacakan beberapa bacaan solat yang diperintahkan. Aku merasa mudah dan mampu mengerjakan soal-soal tes dan materi praktek. Tentu ini buah dari keterlibatanku dalam kegiatan keagamaan di Musholla. Setiap sore hari berangkat mengaji, menghafal doa-doa, dan ikut dalam rutinitas kegiatan musholla. Solat lima waktu meskipun belum sempurna semuanya dilakukan tetapi ketika kelas 5 dan 6 SD minimal 4 waktu dilaksanakan. Subuh memang waktu yang kita sering lupakan. Peragaan solat pada tes masuk sekolah bagiku adalah hal biasa tidak ada yang aneh karena keseharianku telah dijalani bahkan doa-doanyapun telah hafal. Disitulah mulai ada kesadaran sedikit bahwa ternyata keberhasilan itu harus melalui proses lama dan memerlukan keuletan, betapa tidak? Karena soal-soal ujian dan tes praktek waktu itu semuanya telah aku pelajari di Musholla.
Menunggu beberapa minggu sampai pada waktu pengumuman hasil seleksi dan alhamdulillah aku dinyatakan lulus menjadi siswa MTsN Arjawinangun. Gembira...pastilah, karena kata lulus menunjukkan kita dapat bersaing dengan calon siswa lainnya.
Persiapan masuk sekolah sebagai siswa dilakukan sambil menanti-nantikan hari pertama sekolah. Tiba waktunya masa orientasi siswa baru. Pagi hari bersiap-siap, berpakaian rapih dan naik sepeda menuju desa Panguragan, kira-kira 2 KM naik sepeda ontel bersama teman lainnya menyusuri jalan tanah, Rojana dan Komaruzaman adalah teman yang sama-sama diterima di MTs, juga ada kawan baru dari tetangga desa Bangodua Heri dan Yusuf, juga kawan wanita, siapa ya namanya...sepertinya sudah lupa. Setiap hari masa orientasi beramai-ramai aku semangat bersekolah naik sepeda ditemani senior yang telah masuk tahun sebelumnya, Mukidin dan Kaduni.
Ospek...sarana pengenalan siswa terhadap lingkungan dan pola belajar di sekolah di kenalkan oleh para senior. Sambil berusaha mengenal kakak kelas, juga saling mengenal sesama siswa baru terutama mereka yang satu kelas. Hiruk pikuk dan keramaian selama ospek memiliki kesan tersendiri, interaksi dengan teman di kelas, di luar kelas, di kantin menjadikan situasi makin akrab dan menyenangkan, Somay waktu itu adalah jajan favorit, makan di atas gundukan tanah sambil mendengar alunan lagu Tommy J. Pisah, di Batas Kota Ini judulnya.
Belajar dari alam dengan melihat lingkungan sekitar, perhatian tertuju pada arus bolak balik orang tua yang mengantar dan menjemput putra dan putrinya. Aku termenung memperhatikan anak-anak lain yang turun dari sepeda motor lalu pamit bersalaman mencium tangan orang tuanya, saat pulangpun demikian, mereka bergegas menghampiri orang tua lalu bersalam seperti pagi hari. Heran...kok aku pergi dan pulang sekolah nyelonong saja, cium tangan tidak mengucap salampun tidak pernah. Beberapa hari memperhatikan kedekatan orang tua dengan anak, lalu terbesit aku pengen seperti itu....tapi harus bagaimana ya memulainya. Esok harinya...mungkin ibuku kaget ketika dia memberi uang lalu aku minta salaman cium tangannya, kikuk dan rikuh aku rasakan tapi hari kedua dan selanjutnya sudah terbiasa.  
Selesai masa-masa ospek, aku mulai belajar dengan berbagai pelajaran yang diberikan. Hal yang sangat baru sekali adalah pelajaran bahasa Arab, disamping baru mengenal, juga sulit dari sisi struktur bahasa, nahwu, shorof, dan penulisannya. Ketidakbiasaan menulis Arab, membuat Aku selalu tertinggal dari teman-teman lainnya. Takjub!...melihat kawan sebelah Sihabudin namanya, anak Karangsembung yang lihai menulis Arab, tidak hanya cepat akan tetapi rapih dan sangat bagus. Mulailah terpanggil keinginan untuk bisa menulis huruf Arab dengan baik, cara yang Aku lakukan adalah melihat dan mengamati terus mereka yang tulisannya bagus terutama mereka para alumni Madrasah Ibtidaiyah, menulis Arab bagi mereka adalah hal biasa dan telah dilalui selama enam tahun.
Ketertarikan terhadap beberapa mata pelajaran keagamaan membuatku punya semangat belajar. Di rumah dibuat jadwal rutin membaca buku, selepas mengaji di Musholla, menyiapkan buku-buku dan perlengkapan sekolah yang hendak dibawa besok pagi, kemudian dilanjutkan dengan mengerjakan PR dan mengulas kembali pelajaran yang telah disampaikan guru sebelumnya. Masih ingat...belajar rutin setiap malam waktu itu sambil menunggu siaran drama radio “Mak Lampir” cerita nenek sakti di gunung Lawu yang cukup menegangkan bahkan membuat hati ciut dengan suara-suara layaknya berada di rumah hantu.
Sikap dan kesadaran belajar muncul tanpa dipaksa dan diperintahkan sang kakek/nenek, semua mengalir meskipun tidak paham harus bagaimana dan akan menjadi apa, cita-cita belum ada dalam benak waktu itu sehingga betapa sulitnya ketika ada yang bertanya apa cita-citamu?. Kondisi ini aku pahami belakangan, karena orang tua kita tidak paham dengan berbagai profesi yang ada, bagaimana cara menempuhnya, dan pendidikan apa yang harus dilaluinya, ditambah lagi dengan kesibukan orang tua yang terus berjibaku dengan urusan ekonomi, pendidikan ya seadanya yang penting sekolah.
Jadi, ketika guru bertanya apa cita-citamu nak? Aku jawab “menjadi anak soleh yang berbakti kepada kedua orang tua” itulah jawabannya, tidak spesifik dan cenderung asal dijawab. Diakui memang karena Aku tidak paham apa itu profesi masa depan dan juga tidak jelas mau jadi apa ke depan karena tidak ada yang mengarahkanku, juga tidak mengerti apa potensi yang aku miliki. Inilah fakta anak kaum “low class society” masyarakat kelas bawah yang tidak tau tentang apa yang terjadi ke depan.
Hal lain adalah ketika muncul pertanyaan apa hobimu nak? Ini pertanyaan yang sulit juga dijawab. Maka seketika aku jawab saja “membaca” padahal kalau saja dicek oleh guru waktu itu, kapan dan berapa banyak membaca buku dalam sehari, yakinlah bahwa aktivitas membaca yang dilakukan belum sesuai dengan kata “hobi”. Kenapa kok sulit ya? Memang karena kondisi memaksa kehidupanku serba terbatas, serba kekurangan, dan kurang menguntungkan. Hobi itu perlu modal bro..., kalo untuk yang primer saja masih kelimpungan, untuk hobi ya nomor 1000 lah. Badminton dulu pernah aku suka dan sering main dengan meminjam raket teman...ketika ingin melanjutkan sesuatu yang klik di hati ternyata orang tuaku tidak mampu membelikannya. Ya sudahlah aku terima saja, wong kondisinya seperti itu.
Kelas 1 semester 2 selama dua bulan aku tidak masuk sekolah karena sakit, entah sakit apa waktu itu yang jelas badan panas dan kalau terkena tiupan angin terasa merinding sehingga tidak pernah keluar rumah. Kondisi fasilitas kesehatan yang belum tersedia banyak di masyarakat dan kemampuan ekonomi yang terbatas, membuat nenekku “mbok Karijem” hanya merawat dan mengobatiku dengan macam-macam jamu dan rebusan daun-daunan, pagi dan sore hari disiapkan air hangat rebusan campur daun jeruk, hanya itu yang dilakukannya tapi sungguh merupakan perjuangan yang tak ternilai harganya.
Sampai pada suatu saat, malam hari kira-kira jam 2 malam, aku terjaga ingin buang air kecil ke toilet, bangun dan berjalan sempoyongan dengan badan terasa panas, kepala pusing dan meriang. Saat kembali dari toliet entah apa yang terjadi ketika berjalan, aku tidak sadar seperti ada yang menggerakkan kaki, aku melangkah dengan sangat cepat dari kamar kecil menuju ruang tengah, dan sampai di ruang paling depan aku pegang tiang rumah erat-erat untuk menahan kaki supaya tidak terus berjalan, maka berhentilah disitu sambil berdiri pegangan tiang, nafas tersengal-sengal. Beberapa menit kemudian, kaki sudah tegak dan tidak mengajak berjalan lagi, lemas yang dirasakan dan mulailah menuju kasur untuk berbaring lagi. Ini pengamalan menegangkan yang tidak terjawab hingga sekarang bahkan keluargapun tidak mengetahui hal yang terjadi saat itu karena aku cenderung diam saja tidak bercerita.
 Kelas 2 MTs, aku berkawan dengan teman-teman baru, banyak pengalaman dan baru yang diperoleh. Lirik kanan dan kiri, muncul rasa minder kok aku tulisannya jelek ya, teman-teman lainnya bagus dan rapih. Terpikir bagaimana ya caranya supaya tulisan latinku bagus seperti mereka. Teman sebangku, Iwan namanya memiliki tulisan yang bagus dan unik, huruf-hurufnya ia buat gaya berbeda dengan tulisan lainnya. Tertarik dengan bentuk tulisan Iwan, aku intip setiap hari bagaimana dia membuat huruf-huruf itu, seminggu aku hafalkan dari a sampai z dan aku tulis berulang-ulang di rumah. Berlembar-lembar kertas bekas aku penuhi dengan tulisan abjad satu per satu bergiliran dengan meniru gaya tulisan temanku itu. Alhamdulillah dalam satu semester aku bisa, tapi karena malu jika sama persis tulisannya, maka bentuk-bentuk variasinya aku hilangkan dan dibuat beda. Ya meskipun saat ini tulisanku tidak indah sekali namun sudah cukup baik dan standar.
Naik kelas 3 bergabung dengan teman-teman yang cukup pandai, Saeful Ibad, anak Indramayu yang jago bahasa Arab dan lihai membaca kitab kuning. Busyrol Karim anak pendiam yang jago hampir semua mata pelajaran. Aku banyak menimba ilmu dari mereka berdua. Namun kekagumanku pada Saeful Ibad lebih tinggi dibanding lainnya, mungkin karena minatku terhadap mata pelajaran keagamaan labih tinggi dari lainnya. Di kelas 3 lah aku banyak bertanya tentang bahasa Arab baik ke teman maupun ke guru “Pak Ridwan” guru bijak yang sangat kharismatis.
Berbekal perteman dengan mereka yang pandai, aku mulai belajar buku-buku “shorof” dengan menghafalkan berbagai bentuk perubahan kata dalam bahasa Arab. Mulai mengenal tsulasi mujarrod dan ada tsulasi mazid dan lain sebagainya. Setiap habis solat isya aku bernyanyi-nyanyi sendiri, mulut komat kamit menghafalkan tashrifan yang sangat banyak bentuknya. Pada saat itulah aku mulai menyenangi pelajaran bahasa Arab yang kata Pak Ridwan adalah pintu memahami ajaran Islam.
Perjalanan sekolah di MTsN Arjawinangun selama 3 tahun dengan bersepeda, naik angkutan pedesaan bahkan naik truk dengan cara mencegatnya di jalanan. Desa Panguragan adalah tempat transit penitipan sepeda anak-anak sekolah setelah itu berganti naik mobil angkutan pedesaan atau truk menuju Arjawinangun, namun bila ingin uang jajan lebih banyak maka harus mengayuh sepeda hingga sekolah kurang lebih jaraknya 10 KM, lumayanlah transport naik angkutan 100 rupiah pulang pergi bisa untuk tambah beli jajanan di sekolah.
Banyak hal yang aku dapatkan selama itu, pelajaran keagamaan yang cukup banyak, nasehat guru tentang arti tertib, rapih dan semangat sangat terasa hari ini. Ibu Mulyani, sosok wali kelas berbadan besar dan gemuk selalu memberikan wejangan-wejangan tentang harga diri, simpati, kharisma, serta kepribadian yang harus diutamakan. Saat itulah, muncul banyak kesadaran dalam hidup: membaca buku tanpa disuruh, mencuci pakaian sendiri, bahkan seiring dengan masa puber remaja awal, pakaianku serba rapih dan bersih. Setiap hari Jumat libur sekolah berbeda dengan sekolah umum lainnya yang libur di hari Minggu, dengan triskaan menggunakan arang yang dibakar aku rutin menyetrika pakaianku sendiri, maklumlah saat itu semua serba terbatas. Pengalaman yang menyebalkan adalah berbekasnya setrikaan di baju atau celana akibat terlalu panas karena memang zaman jadul, suhu panas bergantung pada bara api yang ada di dalamnya.
Entah bagaimana sejarah dan siapa yang memulainya, satu rumah dengan pekarangan tidak terlalu luas menjadi tempat penitipan gratis anak-anak sekolah, setiap hari aku dan teman-teman selalu menitipkan sepeda itu dengan meletakkannya di bawah pohon. Hanya dengan bilang “nitip bu”....dan pulangnya mengucap “kesuwun” bereslah semua hingga berjalan bertahun-tahun. Di akhir tahun menjelang lulus, terbesit ide bersama-teman-teman, apa yang bisa kita berikan kepada ibu rumah tempat penitipan sepeda gratis ini. Sepakat, kita patungan memberikan hadiah berupa makanan dan lainnya. Tersenyum si ibu, mungkin ada rasa kaget juga karena dia mungkin tidak berharap apa-apa dari anak sekolah, ikhlas menolong sesama itu yang terlihat dari wajah ibu tua orang kampung yang memiliki ciri jiwa sosial tinggi.

Kamis, 12 April 2018

CERITAKU-2


Tahun 1980an, desa Kreyo tergolong desa yang masih sepi dan perekonomian masyarakatnya rendah. Banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membiayainya, mata pencaharian masyarakat petani dan berkebun sangat terbatas dan tidak cukup untuk menunjang kebutuhan pendidikan tidak seperti saat ini digratiskan oleh pemerintah. Selain itu, tentu pola pikir masyarakat tentang makna pendidikan belum mengerti.
Usia 7 tahun sebagai usia masuk sekolah dasar, mendorong kakek mendaftarkanku masuk sekolah dengan mendaftarkan pada seorang guru. Pengelolaan sekolah yang masih serba sederhana dan minat masyarakat menyekolahkan anaknya yang terbatas, mungkin membuat pola rekrutmen siswa baru tidak begitu rumit yang penting mau sekolah dan siap belajar. Di pagi hari, kakeku mendatangi warung kopi dimana ada seorang guru sedang santai menikmati kopinya, lalu aku didaaftarkan sebagai calon peserta didik di Sekolah Dasar Impres. Kakeku berkata: guru!...ini saya daftarkan cucu masuk sekolah. Dengan menggunakan bahasa jawa cirebonan. Lalu sang guru....Pak Dasuki namanya, menjawab ayo sini....coba angkat tangan kananya dan naikkan di atas kepala lalu pegang telinga kiri. Aku menuruti saja apa perintahnya. Ternyata tangan kananku sampai memegang telinga kiri. Pak Dasuki pun menjawab : ohya sudah boleh sekolah karena tangannya sudah sampai pegang telinga kiri. Benar atau tidak metode seperti itu, serius atau tidakkah Pak Dasuki waktu itu untuk mengukur kesiapan belajar anak dilihat dari batas minimal usia, namun benar hal itu aku lakukan.
Usai bincang-bincang dengan kakek Ahmad namanya, lalu Pak Dasuki menulis biodataku dengan banyak bertanya kepada kakek. Sangat mudah dan sederhana pak Dasuki mencatat yang disampaikan kakek dalam secarik kertas bekas bungkus rokok. Siapa namanya dan kapan tanggal lahirnya, serta semua data yang diperlukan dijawablah oleh kakek tanpa konfirmasi dengan akte kenal lahir dan bukti-bukti lainnya. Ditulislah nama ASROI, padahal nama lengkapnya IBNU ASROI, kemudian tanggal lahir CIREBON 12 OKTOBER 1973, padahal yang sebenarnya dalam akte kenal lahir adalah CIREBON 20 JULI 1973. Salahlah semua data yang dimasukkan dan terdokumentasikan dalam data siswa.
Suka duka belajar di sekolah dasar sebagai basic pengembangan mental dan karakter dilalui setahap demi setahap dengan berpindah-pindah tempat sampai 3 kali karena keterbatasan ruang kelas. Lupa-lupa ingat, tahun pertama sekolah di SD Induk berlalu  dengan ruang sangat terbatas bahkan sebagian siswa duduk di lantai dan di kolong meja. Sepertinya aku merasakan belajar di bawah kolong meja. Tentu sama seperti anak kecil lainnya, lepas dari penglihatan guru terasa nyaman bebas bergerak dan bisa bergurau, maklumlah dunia anak itu adalah dunia bermain.
Culun dan lucu, itu predikat untuk anak-anak sepertinya. Bangun pagi dengan sigap tanpa dibangunkan, sadar bahwa aku sudah bersekolah. Bergegas mandi dan berpakaian sekolah tidak lupa pakai minyak rambut merek "minyak goreng alias jelantah", sesekali habis aku colek juga minyak goreng yang tersisa dipenggorengan. Geli memang....tapi itu aku lalui terus. Sampai di sekolah duduk untuk siap mengikuti pelajaran, nah....satu saat ada teman teriak: "ada tukang suntikkkkk.....ada tukang sudat....." lalu loncat dan bertebaranlah semua siswa lewat jendela lari terbirit-birit pulang ke rumah masing-masing karena takut disuntik. Karena ketidakmengertian dan pemahaman yang konyol tentang program Pemerintah untuk memberikan vaksin kepada seluruh siswa SD saat itu membuat aku selalu lari dan pulang kalau melihat ada orang datang menuju kantor guru dengan membawa tas koper. Trauma dengan kata "disuntik atau disudat" membuat aku tidak punya pengalaman divaksin. Kok takut ya disuntik??? Rasanya ada hubungan dengan kata yang sering terucap oleh orang tua waktu itu jika menakut-nakuti anak yang rewel, menangis, dan nakal dengan kata "awas nanti disuntik"
Lepas kelas 1, kebijakan sekolah memindahkan siswa kelas 2 dan 3 di SD Impres yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 200 M. Terkenang guru-guruku waktu itu: Ibu Nining, Ibu Sarah, Ibu Erna, Pak Rifai, Pak Gozali dan Pak Saeful selaku Kepala Sekolah. Hampura guruku yang tidak tersebutkan karena telah sekian lama tidak jumpa sehingga mungkin hilang dari ingatan yang sangat terbatas ini. Terimakasih para pahlawanku yang telah menggiringku ke jalan kebenaran melalui cerita, semangat, motivasi, dan disiplin yang engkau tanamkan dengan ibroh yang sangat banyak.
Keluguan, ketidakpahaman, dan sikap tidak rajin ku akui saat ini dan karena lelahmu guruku saat itu, kini aku menjadi paham tentang apa yang engkau tanamkan susah payah. Melawanku karena belum berilmu dan malasku karena bodohku, memang seperti pepatah bahwa menyesal itu muncul belakangan. Kini mungkin aku dan sebagian teman-temanku hanya bisa bilang: jika saja dulu....maka saya akan..., tetapi menyesali terus tanpa berbuat untuk berubah tentu sia-sia. Maka tetap dengan rasa syukur, aku terus menatap dunia ini penuh dengan optimis.
SD kelas 4, kelasku diboyong pindah lagi ke SD Induk, bersyukur aku bertemu dengan guru yang lain Pak Dasuki yang dulu menerima pendaftaran, Pak Tawala guru muda yang pandai matematika, Pak Ade Arifin, Pak Ukari, Pak Johan, dan Pak Kamad Wirasasmita kepala sekolah yang bertampang serius dan menakutkan. Wahai guru-guruku, saat ini aku sadar tentang berbagai makna yang telah engkau ajarkan, rambutku pernah dijambak karena gondrong, telingaku dijewer akibat bandel, dan dilempar kapur tulis karena tidak memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan, ternyata itu semua pelajaran berharga penuh arti tentang bagaimana kita harus bersikap dalam hidup, saat kapan kita harus bagaimana, dan dimana kita harus berbuat apa. Hari ini aku menyadari itu.
Pola pengelolaan kelas yang berubah seiring kebijakan Pemerintah, saat aku naik ke kelas 5, setiap kelas harus diajar oleh guru kelas bukan guru mata pelajaran, maka dipindahlah kelasku ke gedung Madrasah, tidak terlalu jauh dari SD Induk. Guru kelasku waktu itu adalah Pak Ade Arifin, alhamdulillah saat ini beliau masih sehat dan bugar beraktivitas. Satu tahun lamanya aku belajar dibawah didikan Pak Ade Arifin, semua mata pelajaran beliau ajarkan kepada seluruh siswa setiap hari bergantian. Hal yang paling terkesan adalah pelajaran PSPB saat itu, beliau mengharuskan siswa berkelompok untuk memperagakan percakapan antara Sukarno dan penjajah Belanda. Metode drama, Pak Ade mendorong siswa mempraktekkan dan menyelami isi percakapan yang tersedia dalam teks membuat siswa ingat dalam waktu yang cukup lama.
Terkadang kita tidak mengerti tentang apa yang dilakukan guru, dulu siswa berpikir: ini guru main-main saja mengajarnya dengan drama segala macam, kita juga suudzon: ini guru kayaknya lagi malas menjelaskan sehingga ia menyuruh siswanya bermain drama, sungguh itu hal naif yang sempat terpikir, padahal dalam drama yang diperankan itu Pak Ade sedang melatih kita bersosialisasi dengan sesama, sedang menggali potensi yang terpendam dalam diri siswa, sedang mengangkat kemampuan retorika siswa, sedang membina keberanian kita berbicara, sedang menyemai benih rasa percaya diri, dan segudang rahasia lainnya.
Asyik memang mengenang masa lalu waktu kecil yang penuh dengan misteri pada wajah-wajah polos. Bermain menjadi bagian dari aktivitas yang mewarnai perjalananku mengarungi kehidupan. Bermain panggalan, pletokan, lenjang, dan mobil-mobilan dari susunan potongan bambu produk anak-anak kampung yang jauh dari keramaian dan permainan canggih kaum borjuis. Rasa lapar dan hauspun dilalui dengan mengisap tebu, naik pohon ceri, pohon salam yang sangat menarik buahnya, bahkan mencari buah mangga jatuhan di kebun orang untuk sekedar mengalihkan dari jajanan yang tidak terbeli. Mandi air sungai, bermain bola saat hujan, mancing di sungai walau hanya dapat ikan-ikan kecil, dan mencari belut merupakan pengalaman berharga untuk dapat hidup berani melawan situasi yang saat itu kurang menguntungkan. Bermain jangkrik di sawah dan layang-layang juga tidak terlupakan menjadikan aktivitas bermain semakin bervariasi.
Tidak lupa dengan kewajiban sebagai seorang anak untuk membantu orang tua, sejak kira-kira kelas 4 SD, aku membantu pekerjaan ibuku. Kenyataan saudara-saudaraku lebih banyak laki-laki, mau tidak mau pekerjaan wanitapun (katanya) aku lakukan, menyapu rumah, mencuci piring dan peralatan dapur, dan ngepel lantai...yang terkahir ini sungguh menyenangkan khususnya ketika hari sedang hujan karena bisa sambil bermain hujan-hujanan. Tidak dipungkiri pula, terkadang pekerjaan membantu orang tua....juga karena ada motif lain. Di saat ingin jajan tetapi tidak punya uang, aku berbegas mengambil dua ember sedang, lalu aku pikul mencari air di sumur tetangga untuk keperluan masak dan lainnya. Mungkin ada tanda kebesaran Allah disitu, hanya terbelah oleh jalan, wilayah utara jalan kondisi airnya payau, sedangkan sebelah selatan tidak sehingga layak dikonsumsi. Secara bergantian dengan saudara lainnya aku memikul air untuk memenuhi kebutuhan dua rumah, rumah ibu dan nenek.
Hampir bisa dipastikan, selesai memikul air untuk beberapa gentong penampingan, nenekku menyodorkan uang. Ia bilang “ni buat jajan”...dalam hati berucap ini memang yang kutunggu he he he.
Di penghujung sekolah dasar, aku naik kelas 6 SD dan sekolahpun dipindahkan ke SD Induk lagi. Hal yang paling khas saat duduk di kelas 6 adalah jajanan nasi kuning dengan urab kangkung, gulali, rujak kerupuk, dan es teh. Bagi anak yang orang tuanya mampu, seratus rupiah saat itu bisa mendapatkan semua jajanan itu, tapi aku hanya 50 rupiah tentu hanya sebagian saja yang didapat. Entah mungkin itu karunia atau apa, waktu itu tetap saja aku sekolah dengan rajin meskipun tidak pandai, bahasa lainnya ya...bodohlah....hemmm memang aku ingat waktu SD itu asal sekolah saja tidak pernah belajar di rumah.
Hari demi hari sampai pada saat yang menegangkan adalah tes EBTANAS (evaluasi belajar tahap akhir nasional) untuk mendapatkan nilai NEM (nilai evaluasi murni). Aktivitas ebtanas ini memberi kesan tersendiri karena harus dilakukan di sekolah desa sebelah yang harus ditempuh dengan bersepeda. Layaknya aktivitas baru, ujian ebtanas ini dilalui bercampur antara senang, penuh canda, takut karena banyak siswa lain, dan tegang karena harus mencapai nilai NEM tinggi untuk dapat masuk di sekolah Negeri.
Lulus adalah kata yang sangat menyenangkan. Enam tahun lamanya menimba ilmu di SD, sekolah sambil bermain, pakaian seadanya, pakai kolorpun jadi, sepatu? tentu tidak pernah pakai kecuali hanya kelas 6. Kelas 1 hingga kelas 5 sekolah hanya pakai sandal dan oleh gurupun tidak dilarang karena mereka paham, jangankan disuruh beli sepatu, asal sekolahpun juga masih banyak yang tidak mau. Siap grak!!!!!...di apel terakhir Pak Kamad bilang kalian setelah lulus SD harus melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dan terus lebih tinggi dan jadilah anak pandai berguna untuk nusa, bangsa, negara, dan agama. Meskipun dengan nilai yang sangat terbatas, aku merasa senang karena telah lulus sekolah dasar dan siap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.