Kamis, 12 April 2018

CERITAKU-2


Tahun 1980an, desa Kreyo tergolong desa yang masih sepi dan perekonomian masyarakatnya rendah. Banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membiayainya, mata pencaharian masyarakat petani dan berkebun sangat terbatas dan tidak cukup untuk menunjang kebutuhan pendidikan tidak seperti saat ini digratiskan oleh pemerintah. Selain itu, tentu pola pikir masyarakat tentang makna pendidikan belum mengerti.
Usia 7 tahun sebagai usia masuk sekolah dasar, mendorong kakek mendaftarkanku masuk sekolah dengan mendaftarkan pada seorang guru. Pengelolaan sekolah yang masih serba sederhana dan minat masyarakat menyekolahkan anaknya yang terbatas, mungkin membuat pola rekrutmen siswa baru tidak begitu rumit yang penting mau sekolah dan siap belajar. Di pagi hari, kakeku mendatangi warung kopi dimana ada seorang guru sedang santai menikmati kopinya, lalu aku didaaftarkan sebagai calon peserta didik di Sekolah Dasar Impres. Kakeku berkata: guru!...ini saya daftarkan cucu masuk sekolah. Dengan menggunakan bahasa jawa cirebonan. Lalu sang guru....Pak Dasuki namanya, menjawab ayo sini....coba angkat tangan kananya dan naikkan di atas kepala lalu pegang telinga kiri. Aku menuruti saja apa perintahnya. Ternyata tangan kananku sampai memegang telinga kiri. Pak Dasuki pun menjawab : ohya sudah boleh sekolah karena tangannya sudah sampai pegang telinga kiri. Benar atau tidak metode seperti itu, serius atau tidakkah Pak Dasuki waktu itu untuk mengukur kesiapan belajar anak dilihat dari batas minimal usia, namun benar hal itu aku lakukan.
Usai bincang-bincang dengan kakek Ahmad namanya, lalu Pak Dasuki menulis biodataku dengan banyak bertanya kepada kakek. Sangat mudah dan sederhana pak Dasuki mencatat yang disampaikan kakek dalam secarik kertas bekas bungkus rokok. Siapa namanya dan kapan tanggal lahirnya, serta semua data yang diperlukan dijawablah oleh kakek tanpa konfirmasi dengan akte kenal lahir dan bukti-bukti lainnya. Ditulislah nama ASROI, padahal nama lengkapnya IBNU ASROI, kemudian tanggal lahir CIREBON 12 OKTOBER 1973, padahal yang sebenarnya dalam akte kenal lahir adalah CIREBON 20 JULI 1973. Salahlah semua data yang dimasukkan dan terdokumentasikan dalam data siswa.
Suka duka belajar di sekolah dasar sebagai basic pengembangan mental dan karakter dilalui setahap demi setahap dengan berpindah-pindah tempat sampai 3 kali karena keterbatasan ruang kelas. Lupa-lupa ingat, tahun pertama sekolah di SD Induk berlalu  dengan ruang sangat terbatas bahkan sebagian siswa duduk di lantai dan di kolong meja. Sepertinya aku merasakan belajar di bawah kolong meja. Tentu sama seperti anak kecil lainnya, lepas dari penglihatan guru terasa nyaman bebas bergerak dan bisa bergurau, maklumlah dunia anak itu adalah dunia bermain.
Culun dan lucu, itu predikat untuk anak-anak sepertinya. Bangun pagi dengan sigap tanpa dibangunkan, sadar bahwa aku sudah bersekolah. Bergegas mandi dan berpakaian sekolah tidak lupa pakai minyak rambut merek "minyak goreng alias jelantah", sesekali habis aku colek juga minyak goreng yang tersisa dipenggorengan. Geli memang....tapi itu aku lalui terus. Sampai di sekolah duduk untuk siap mengikuti pelajaran, nah....satu saat ada teman teriak: "ada tukang suntikkkkk.....ada tukang sudat....." lalu loncat dan bertebaranlah semua siswa lewat jendela lari terbirit-birit pulang ke rumah masing-masing karena takut disuntik. Karena ketidakmengertian dan pemahaman yang konyol tentang program Pemerintah untuk memberikan vaksin kepada seluruh siswa SD saat itu membuat aku selalu lari dan pulang kalau melihat ada orang datang menuju kantor guru dengan membawa tas koper. Trauma dengan kata "disuntik atau disudat" membuat aku tidak punya pengalaman divaksin. Kok takut ya disuntik??? Rasanya ada hubungan dengan kata yang sering terucap oleh orang tua waktu itu jika menakut-nakuti anak yang rewel, menangis, dan nakal dengan kata "awas nanti disuntik"
Lepas kelas 1, kebijakan sekolah memindahkan siswa kelas 2 dan 3 di SD Impres yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 200 M. Terkenang guru-guruku waktu itu: Ibu Nining, Ibu Sarah, Ibu Erna, Pak Rifai, Pak Gozali dan Pak Saeful selaku Kepala Sekolah. Hampura guruku yang tidak tersebutkan karena telah sekian lama tidak jumpa sehingga mungkin hilang dari ingatan yang sangat terbatas ini. Terimakasih para pahlawanku yang telah menggiringku ke jalan kebenaran melalui cerita, semangat, motivasi, dan disiplin yang engkau tanamkan dengan ibroh yang sangat banyak.
Keluguan, ketidakpahaman, dan sikap tidak rajin ku akui saat ini dan karena lelahmu guruku saat itu, kini aku menjadi paham tentang apa yang engkau tanamkan susah payah. Melawanku karena belum berilmu dan malasku karena bodohku, memang seperti pepatah bahwa menyesal itu muncul belakangan. Kini mungkin aku dan sebagian teman-temanku hanya bisa bilang: jika saja dulu....maka saya akan..., tetapi menyesali terus tanpa berbuat untuk berubah tentu sia-sia. Maka tetap dengan rasa syukur, aku terus menatap dunia ini penuh dengan optimis.
SD kelas 4, kelasku diboyong pindah lagi ke SD Induk, bersyukur aku bertemu dengan guru yang lain Pak Dasuki yang dulu menerima pendaftaran, Pak Tawala guru muda yang pandai matematika, Pak Ade Arifin, Pak Ukari, Pak Johan, dan Pak Kamad Wirasasmita kepala sekolah yang bertampang serius dan menakutkan. Wahai guru-guruku, saat ini aku sadar tentang berbagai makna yang telah engkau ajarkan, rambutku pernah dijambak karena gondrong, telingaku dijewer akibat bandel, dan dilempar kapur tulis karena tidak memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan, ternyata itu semua pelajaran berharga penuh arti tentang bagaimana kita harus bersikap dalam hidup, saat kapan kita harus bagaimana, dan dimana kita harus berbuat apa. Hari ini aku menyadari itu.
Pola pengelolaan kelas yang berubah seiring kebijakan Pemerintah, saat aku naik ke kelas 5, setiap kelas harus diajar oleh guru kelas bukan guru mata pelajaran, maka dipindahlah kelasku ke gedung Madrasah, tidak terlalu jauh dari SD Induk. Guru kelasku waktu itu adalah Pak Ade Arifin, alhamdulillah saat ini beliau masih sehat dan bugar beraktivitas. Satu tahun lamanya aku belajar dibawah didikan Pak Ade Arifin, semua mata pelajaran beliau ajarkan kepada seluruh siswa setiap hari bergantian. Hal yang paling terkesan adalah pelajaran PSPB saat itu, beliau mengharuskan siswa berkelompok untuk memperagakan percakapan antara Sukarno dan penjajah Belanda. Metode drama, Pak Ade mendorong siswa mempraktekkan dan menyelami isi percakapan yang tersedia dalam teks membuat siswa ingat dalam waktu yang cukup lama.
Terkadang kita tidak mengerti tentang apa yang dilakukan guru, dulu siswa berpikir: ini guru main-main saja mengajarnya dengan drama segala macam, kita juga suudzon: ini guru kayaknya lagi malas menjelaskan sehingga ia menyuruh siswanya bermain drama, sungguh itu hal naif yang sempat terpikir, padahal dalam drama yang diperankan itu Pak Ade sedang melatih kita bersosialisasi dengan sesama, sedang menggali potensi yang terpendam dalam diri siswa, sedang mengangkat kemampuan retorika siswa, sedang membina keberanian kita berbicara, sedang menyemai benih rasa percaya diri, dan segudang rahasia lainnya.
Asyik memang mengenang masa lalu waktu kecil yang penuh dengan misteri pada wajah-wajah polos. Bermain menjadi bagian dari aktivitas yang mewarnai perjalananku mengarungi kehidupan. Bermain panggalan, pletokan, lenjang, dan mobil-mobilan dari susunan potongan bambu produk anak-anak kampung yang jauh dari keramaian dan permainan canggih kaum borjuis. Rasa lapar dan hauspun dilalui dengan mengisap tebu, naik pohon ceri, pohon salam yang sangat menarik buahnya, bahkan mencari buah mangga jatuhan di kebun orang untuk sekedar mengalihkan dari jajanan yang tidak terbeli. Mandi air sungai, bermain bola saat hujan, mancing di sungai walau hanya dapat ikan-ikan kecil, dan mencari belut merupakan pengalaman berharga untuk dapat hidup berani melawan situasi yang saat itu kurang menguntungkan. Bermain jangkrik di sawah dan layang-layang juga tidak terlupakan menjadikan aktivitas bermain semakin bervariasi.
Tidak lupa dengan kewajiban sebagai seorang anak untuk membantu orang tua, sejak kira-kira kelas 4 SD, aku membantu pekerjaan ibuku. Kenyataan saudara-saudaraku lebih banyak laki-laki, mau tidak mau pekerjaan wanitapun (katanya) aku lakukan, menyapu rumah, mencuci piring dan peralatan dapur, dan ngepel lantai...yang terkahir ini sungguh menyenangkan khususnya ketika hari sedang hujan karena bisa sambil bermain hujan-hujanan. Tidak dipungkiri pula, terkadang pekerjaan membantu orang tua....juga karena ada motif lain. Di saat ingin jajan tetapi tidak punya uang, aku berbegas mengambil dua ember sedang, lalu aku pikul mencari air di sumur tetangga untuk keperluan masak dan lainnya. Mungkin ada tanda kebesaran Allah disitu, hanya terbelah oleh jalan, wilayah utara jalan kondisi airnya payau, sedangkan sebelah selatan tidak sehingga layak dikonsumsi. Secara bergantian dengan saudara lainnya aku memikul air untuk memenuhi kebutuhan dua rumah, rumah ibu dan nenek.
Hampir bisa dipastikan, selesai memikul air untuk beberapa gentong penampingan, nenekku menyodorkan uang. Ia bilang “ni buat jajan”...dalam hati berucap ini memang yang kutunggu he he he.
Di penghujung sekolah dasar, aku naik kelas 6 SD dan sekolahpun dipindahkan ke SD Induk lagi. Hal yang paling khas saat duduk di kelas 6 adalah jajanan nasi kuning dengan urab kangkung, gulali, rujak kerupuk, dan es teh. Bagi anak yang orang tuanya mampu, seratus rupiah saat itu bisa mendapatkan semua jajanan itu, tapi aku hanya 50 rupiah tentu hanya sebagian saja yang didapat. Entah mungkin itu karunia atau apa, waktu itu tetap saja aku sekolah dengan rajin meskipun tidak pandai, bahasa lainnya ya...bodohlah....hemmm memang aku ingat waktu SD itu asal sekolah saja tidak pernah belajar di rumah.
Hari demi hari sampai pada saat yang menegangkan adalah tes EBTANAS (evaluasi belajar tahap akhir nasional) untuk mendapatkan nilai NEM (nilai evaluasi murni). Aktivitas ebtanas ini memberi kesan tersendiri karena harus dilakukan di sekolah desa sebelah yang harus ditempuh dengan bersepeda. Layaknya aktivitas baru, ujian ebtanas ini dilalui bercampur antara senang, penuh canda, takut karena banyak siswa lain, dan tegang karena harus mencapai nilai NEM tinggi untuk dapat masuk di sekolah Negeri.
Lulus adalah kata yang sangat menyenangkan. Enam tahun lamanya menimba ilmu di SD, sekolah sambil bermain, pakaian seadanya, pakai kolorpun jadi, sepatu? tentu tidak pernah pakai kecuali hanya kelas 6. Kelas 1 hingga kelas 5 sekolah hanya pakai sandal dan oleh gurupun tidak dilarang karena mereka paham, jangankan disuruh beli sepatu, asal sekolahpun juga masih banyak yang tidak mau. Siap grak!!!!!...di apel terakhir Pak Kamad bilang kalian setelah lulus SD harus melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dan terus lebih tinggi dan jadilah anak pandai berguna untuk nusa, bangsa, negara, dan agama. Meskipun dengan nilai yang sangat terbatas, aku merasa senang karena telah lulus sekolah dasar dan siap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar