Selasa, 17 April 2018

CERITAKU-3


NEM atau nilai ebtanas murni pada tahun 1986 merupakan ukuran untuk bisa masuk di sebuah sekolah negeri. Pemerintah tidak menerapkan kebijakan tes lagi bagi siswa yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Kalau tidak salah, waktu itu adalah tahun ke dua. Semua siswa saat itu berlomba untuk mendapatkan NEM tinggi agar bisa masuk ke sekolah negeri. Sepertinya saat itu belum banyak sekolah swasta yang bagus, jikapun ada tentu harus membayar uang lebih besar. SMP Negeri Bojong merupakan salah satu SMP Negeri pavorit di Kecamatan Klangenan bagi anak-anak desa Kreyo karena paling dekat dijangkau.
Seingatku, mata ujian ebtanas sebanyak 4 pelajaran; Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Dulu, ujian sekolah benar-benar dilakukan secara serius dan tidak ada anak yang berani menyontek karena pengawas berfungsi mengawasi jalannya ujian. Jika ada rumor ujian yang dilakukan beberapa tahun ke belakang adalah dagelan bahkan ada yang dibocorkan, maka aku dan teman-temanku adalah saksi betapa waktu itu ujian dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.
Berharap memperoleh nilai NEM yang besar namun apadaya hanya bisa memperoleh nilai 23 koma sekian. Tahun sebelumnya nilai terendah untuk bisa masuk ke SMP negeri minimal NEM nya adalah 26. Putus sudah harapan untuk bisa masuk SMP Negeri yang banyak diidamkan oleh siswa. Rupanya orang tuaku memilih jalan lain daripada masuk ke SMP swasta yang konon kualitasnya diragukan ditambah besaran biaya yang cukup tinggi, maka aku didaftarkan di MTsN Arjawinangun, sebuah sekolah lanjutan pertama di bawah Kementerian Agama dulu namanya Departemen Agama.
Melalui informasi yang diperoleh lewat teman orang tuaku, Ibu Halimah, semua persyaratan pendaftaran dan materi yang akan diteskan aku persiapkan dengan baik. Waktu itu memang berbeda kebijakan antara masuk SMP Negeri dengan masuk MTs Negeri. Masuk MTs Negeri, semua pendaftar diharuskan mengikuti tes masuk berupa tertulis dan praktek. Ini memang karena substansi materi yang diajarkan di MTs tidak hanya mata pelajaran umum tetapi banyak materi pecahan mata pelajaran Agama Islam, seperti fikih, alquran hadits, sejarah kebudayaan Islam, akidah akhlak, dan bahasa Arab.
Sedikit masih ingat, waktu tes tertulis berisi materi tentang rukun iman, rukun Islam, dan ihsan ditambah dengan pengetahuan tentang akhlak, sejarah Islam dan bacaan-bacaan doa. Materi praktek saat itu, aku diperintahkan memperagakan solat fardlu dengan membacakan beberapa bacaan solat yang diperintahkan. Aku merasa mudah dan mampu mengerjakan soal-soal tes dan materi praktek. Tentu ini buah dari keterlibatanku dalam kegiatan keagamaan di Musholla. Setiap sore hari berangkat mengaji, menghafal doa-doa, dan ikut dalam rutinitas kegiatan musholla. Solat lima waktu meskipun belum sempurna semuanya dilakukan tetapi ketika kelas 5 dan 6 SD minimal 4 waktu dilaksanakan. Subuh memang waktu yang kita sering lupakan. Peragaan solat pada tes masuk sekolah bagiku adalah hal biasa tidak ada yang aneh karena keseharianku telah dijalani bahkan doa-doanyapun telah hafal. Disitulah mulai ada kesadaran sedikit bahwa ternyata keberhasilan itu harus melalui proses lama dan memerlukan keuletan, betapa tidak? Karena soal-soal ujian dan tes praktek waktu itu semuanya telah aku pelajari di Musholla.
Menunggu beberapa minggu sampai pada waktu pengumuman hasil seleksi dan alhamdulillah aku dinyatakan lulus menjadi siswa MTsN Arjawinangun. Gembira...pastilah, karena kata lulus menunjukkan kita dapat bersaing dengan calon siswa lainnya.
Persiapan masuk sekolah sebagai siswa dilakukan sambil menanti-nantikan hari pertama sekolah. Tiba waktunya masa orientasi siswa baru. Pagi hari bersiap-siap, berpakaian rapih dan naik sepeda menuju desa Panguragan, kira-kira 2 KM naik sepeda ontel bersama teman lainnya menyusuri jalan tanah, Rojana dan Komaruzaman adalah teman yang sama-sama diterima di MTs, juga ada kawan baru dari tetangga desa Bangodua Heri dan Yusuf, juga kawan wanita, siapa ya namanya...sepertinya sudah lupa. Setiap hari masa orientasi beramai-ramai aku semangat bersekolah naik sepeda ditemani senior yang telah masuk tahun sebelumnya, Mukidin dan Kaduni.
Ospek...sarana pengenalan siswa terhadap lingkungan dan pola belajar di sekolah di kenalkan oleh para senior. Sambil berusaha mengenal kakak kelas, juga saling mengenal sesama siswa baru terutama mereka yang satu kelas. Hiruk pikuk dan keramaian selama ospek memiliki kesan tersendiri, interaksi dengan teman di kelas, di luar kelas, di kantin menjadikan situasi makin akrab dan menyenangkan, Somay waktu itu adalah jajan favorit, makan di atas gundukan tanah sambil mendengar alunan lagu Tommy J. Pisah, di Batas Kota Ini judulnya.
Belajar dari alam dengan melihat lingkungan sekitar, perhatian tertuju pada arus bolak balik orang tua yang mengantar dan menjemput putra dan putrinya. Aku termenung memperhatikan anak-anak lain yang turun dari sepeda motor lalu pamit bersalaman mencium tangan orang tuanya, saat pulangpun demikian, mereka bergegas menghampiri orang tua lalu bersalam seperti pagi hari. Heran...kok aku pergi dan pulang sekolah nyelonong saja, cium tangan tidak mengucap salampun tidak pernah. Beberapa hari memperhatikan kedekatan orang tua dengan anak, lalu terbesit aku pengen seperti itu....tapi harus bagaimana ya memulainya. Esok harinya...mungkin ibuku kaget ketika dia memberi uang lalu aku minta salaman cium tangannya, kikuk dan rikuh aku rasakan tapi hari kedua dan selanjutnya sudah terbiasa.  
Selesai masa-masa ospek, aku mulai belajar dengan berbagai pelajaran yang diberikan. Hal yang sangat baru sekali adalah pelajaran bahasa Arab, disamping baru mengenal, juga sulit dari sisi struktur bahasa, nahwu, shorof, dan penulisannya. Ketidakbiasaan menulis Arab, membuat Aku selalu tertinggal dari teman-teman lainnya. Takjub!...melihat kawan sebelah Sihabudin namanya, anak Karangsembung yang lihai menulis Arab, tidak hanya cepat akan tetapi rapih dan sangat bagus. Mulailah terpanggil keinginan untuk bisa menulis huruf Arab dengan baik, cara yang Aku lakukan adalah melihat dan mengamati terus mereka yang tulisannya bagus terutama mereka para alumni Madrasah Ibtidaiyah, menulis Arab bagi mereka adalah hal biasa dan telah dilalui selama enam tahun.
Ketertarikan terhadap beberapa mata pelajaran keagamaan membuatku punya semangat belajar. Di rumah dibuat jadwal rutin membaca buku, selepas mengaji di Musholla, menyiapkan buku-buku dan perlengkapan sekolah yang hendak dibawa besok pagi, kemudian dilanjutkan dengan mengerjakan PR dan mengulas kembali pelajaran yang telah disampaikan guru sebelumnya. Masih ingat...belajar rutin setiap malam waktu itu sambil menunggu siaran drama radio “Mak Lampir” cerita nenek sakti di gunung Lawu yang cukup menegangkan bahkan membuat hati ciut dengan suara-suara layaknya berada di rumah hantu.
Sikap dan kesadaran belajar muncul tanpa dipaksa dan diperintahkan sang kakek/nenek, semua mengalir meskipun tidak paham harus bagaimana dan akan menjadi apa, cita-cita belum ada dalam benak waktu itu sehingga betapa sulitnya ketika ada yang bertanya apa cita-citamu?. Kondisi ini aku pahami belakangan, karena orang tua kita tidak paham dengan berbagai profesi yang ada, bagaimana cara menempuhnya, dan pendidikan apa yang harus dilaluinya, ditambah lagi dengan kesibukan orang tua yang terus berjibaku dengan urusan ekonomi, pendidikan ya seadanya yang penting sekolah.
Jadi, ketika guru bertanya apa cita-citamu nak? Aku jawab “menjadi anak soleh yang berbakti kepada kedua orang tua” itulah jawabannya, tidak spesifik dan cenderung asal dijawab. Diakui memang karena Aku tidak paham apa itu profesi masa depan dan juga tidak jelas mau jadi apa ke depan karena tidak ada yang mengarahkanku, juga tidak mengerti apa potensi yang aku miliki. Inilah fakta anak kaum “low class society” masyarakat kelas bawah yang tidak tau tentang apa yang terjadi ke depan.
Hal lain adalah ketika muncul pertanyaan apa hobimu nak? Ini pertanyaan yang sulit juga dijawab. Maka seketika aku jawab saja “membaca” padahal kalau saja dicek oleh guru waktu itu, kapan dan berapa banyak membaca buku dalam sehari, yakinlah bahwa aktivitas membaca yang dilakukan belum sesuai dengan kata “hobi”. Kenapa kok sulit ya? Memang karena kondisi memaksa kehidupanku serba terbatas, serba kekurangan, dan kurang menguntungkan. Hobi itu perlu modal bro..., kalo untuk yang primer saja masih kelimpungan, untuk hobi ya nomor 1000 lah. Badminton dulu pernah aku suka dan sering main dengan meminjam raket teman...ketika ingin melanjutkan sesuatu yang klik di hati ternyata orang tuaku tidak mampu membelikannya. Ya sudahlah aku terima saja, wong kondisinya seperti itu.
Kelas 1 semester 2 selama dua bulan aku tidak masuk sekolah karena sakit, entah sakit apa waktu itu yang jelas badan panas dan kalau terkena tiupan angin terasa merinding sehingga tidak pernah keluar rumah. Kondisi fasilitas kesehatan yang belum tersedia banyak di masyarakat dan kemampuan ekonomi yang terbatas, membuat nenekku “mbok Karijem” hanya merawat dan mengobatiku dengan macam-macam jamu dan rebusan daun-daunan, pagi dan sore hari disiapkan air hangat rebusan campur daun jeruk, hanya itu yang dilakukannya tapi sungguh merupakan perjuangan yang tak ternilai harganya.
Sampai pada suatu saat, malam hari kira-kira jam 2 malam, aku terjaga ingin buang air kecil ke toilet, bangun dan berjalan sempoyongan dengan badan terasa panas, kepala pusing dan meriang. Saat kembali dari toliet entah apa yang terjadi ketika berjalan, aku tidak sadar seperti ada yang menggerakkan kaki, aku melangkah dengan sangat cepat dari kamar kecil menuju ruang tengah, dan sampai di ruang paling depan aku pegang tiang rumah erat-erat untuk menahan kaki supaya tidak terus berjalan, maka berhentilah disitu sambil berdiri pegangan tiang, nafas tersengal-sengal. Beberapa menit kemudian, kaki sudah tegak dan tidak mengajak berjalan lagi, lemas yang dirasakan dan mulailah menuju kasur untuk berbaring lagi. Ini pengamalan menegangkan yang tidak terjawab hingga sekarang bahkan keluargapun tidak mengetahui hal yang terjadi saat itu karena aku cenderung diam saja tidak bercerita.
 Kelas 2 MTs, aku berkawan dengan teman-teman baru, banyak pengalaman dan baru yang diperoleh. Lirik kanan dan kiri, muncul rasa minder kok aku tulisannya jelek ya, teman-teman lainnya bagus dan rapih. Terpikir bagaimana ya caranya supaya tulisan latinku bagus seperti mereka. Teman sebangku, Iwan namanya memiliki tulisan yang bagus dan unik, huruf-hurufnya ia buat gaya berbeda dengan tulisan lainnya. Tertarik dengan bentuk tulisan Iwan, aku intip setiap hari bagaimana dia membuat huruf-huruf itu, seminggu aku hafalkan dari a sampai z dan aku tulis berulang-ulang di rumah. Berlembar-lembar kertas bekas aku penuhi dengan tulisan abjad satu per satu bergiliran dengan meniru gaya tulisan temanku itu. Alhamdulillah dalam satu semester aku bisa, tapi karena malu jika sama persis tulisannya, maka bentuk-bentuk variasinya aku hilangkan dan dibuat beda. Ya meskipun saat ini tulisanku tidak indah sekali namun sudah cukup baik dan standar.
Naik kelas 3 bergabung dengan teman-teman yang cukup pandai, Saeful Ibad, anak Indramayu yang jago bahasa Arab dan lihai membaca kitab kuning. Busyrol Karim anak pendiam yang jago hampir semua mata pelajaran. Aku banyak menimba ilmu dari mereka berdua. Namun kekagumanku pada Saeful Ibad lebih tinggi dibanding lainnya, mungkin karena minatku terhadap mata pelajaran keagamaan labih tinggi dari lainnya. Di kelas 3 lah aku banyak bertanya tentang bahasa Arab baik ke teman maupun ke guru “Pak Ridwan” guru bijak yang sangat kharismatis.
Berbekal perteman dengan mereka yang pandai, aku mulai belajar buku-buku “shorof” dengan menghafalkan berbagai bentuk perubahan kata dalam bahasa Arab. Mulai mengenal tsulasi mujarrod dan ada tsulasi mazid dan lain sebagainya. Setiap habis solat isya aku bernyanyi-nyanyi sendiri, mulut komat kamit menghafalkan tashrifan yang sangat banyak bentuknya. Pada saat itulah aku mulai menyenangi pelajaran bahasa Arab yang kata Pak Ridwan adalah pintu memahami ajaran Islam.
Perjalanan sekolah di MTsN Arjawinangun selama 3 tahun dengan bersepeda, naik angkutan pedesaan bahkan naik truk dengan cara mencegatnya di jalanan. Desa Panguragan adalah tempat transit penitipan sepeda anak-anak sekolah setelah itu berganti naik mobil angkutan pedesaan atau truk menuju Arjawinangun, namun bila ingin uang jajan lebih banyak maka harus mengayuh sepeda hingga sekolah kurang lebih jaraknya 10 KM, lumayanlah transport naik angkutan 100 rupiah pulang pergi bisa untuk tambah beli jajanan di sekolah.
Banyak hal yang aku dapatkan selama itu, pelajaran keagamaan yang cukup banyak, nasehat guru tentang arti tertib, rapih dan semangat sangat terasa hari ini. Ibu Mulyani, sosok wali kelas berbadan besar dan gemuk selalu memberikan wejangan-wejangan tentang harga diri, simpati, kharisma, serta kepribadian yang harus diutamakan. Saat itulah, muncul banyak kesadaran dalam hidup: membaca buku tanpa disuruh, mencuci pakaian sendiri, bahkan seiring dengan masa puber remaja awal, pakaianku serba rapih dan bersih. Setiap hari Jumat libur sekolah berbeda dengan sekolah umum lainnya yang libur di hari Minggu, dengan triskaan menggunakan arang yang dibakar aku rutin menyetrika pakaianku sendiri, maklumlah saat itu semua serba terbatas. Pengalaman yang menyebalkan adalah berbekasnya setrikaan di baju atau celana akibat terlalu panas karena memang zaman jadul, suhu panas bergantung pada bara api yang ada di dalamnya.
Entah bagaimana sejarah dan siapa yang memulainya, satu rumah dengan pekarangan tidak terlalu luas menjadi tempat penitipan gratis anak-anak sekolah, setiap hari aku dan teman-teman selalu menitipkan sepeda itu dengan meletakkannya di bawah pohon. Hanya dengan bilang “nitip bu”....dan pulangnya mengucap “kesuwun” bereslah semua hingga berjalan bertahun-tahun. Di akhir tahun menjelang lulus, terbesit ide bersama-teman-teman, apa yang bisa kita berikan kepada ibu rumah tempat penitipan sepeda gratis ini. Sepakat, kita patungan memberikan hadiah berupa makanan dan lainnya. Tersenyum si ibu, mungkin ada rasa kaget juga karena dia mungkin tidak berharap apa-apa dari anak sekolah, ikhlas menolong sesama itu yang terlihat dari wajah ibu tua orang kampung yang memiliki ciri jiwa sosial tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar