Oleh: Faturrahman Kamal (Ketua Majelis
Tabligh PP Muhammadiyah)
“Mengerikan”, mungkin
menjadi kata yang mewakili perasaan galau dan was-was sebagian besar penghuni
planet bumi hari-hari ini. China, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis, Irlandia,
Elsavador, Belgia, Polandia, Argentina, Yordania, Belanda, Denmark, Malaysia,
Filipina, dan Libanon merupakan deretan negera-negara yang mengeluarkan
kebijakan demi menekan penyebaran virus ini, dengan lockdown atau mengunci
akses keluar masuk suatu wilayah.
Tak main-main, Kerajaan
Arab Saudi bahkan melakukan “lockdown” terhadap Haramain : Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi, dua masjid termulia di muka bumi ini. Semuanya atas fatwa para
ulama kredibel dan terkemuka, yang ditindaklanjuti dengan keputusan politik
Kerajaan. Terakhir saya membaca berita, India “lockdown”. Anda lebih paham dari
saya; wa mā adrāka ma India?. Negeri berpenduduk tak kurang dari 750 juta jiwa,
kurang lebih 3 kali jumlah penduduk Indonesia. Tata kotanya ruwet, dengan
persoalan sosial, agama, politik yang kompleks. Anda tau?, hanya dengan 7
korban meninggal dunia, India menyatakan “lockdown”!.
Jika pagi ini anda
konfirmasi via wattsapp ke Pusat Informasi Covid-19 Kemkominfo Republik
Indonesia; anda segera mendapat balasan “Situasi virus corona (COVID-19) 24 Maret
2020 di Indonesia: positif terjangkit virus, 686 orang; sembuh, 30 orang; dan
meninggal dunia, 55 orang. Dan anda masih bebas ke manapun anda suka. Dahsyat!.
Dalam suasana seperti
ini tugas para Ulama (otoritas keagamaan) adalah memastikan tujuan pokok dan
fundamental Syari’ah (maqãshid Syari’ah)
terlaksana dengan baik : “Mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan”
dalam kehidupan dengan “menjaga jiwa manusia” (hifdhu-n-nafsi). Berdasarkan
Dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits, pendapat para Ulama terkemuka, dan kaidah-kaidah
Fiqhiyah diterbitkanlah fatwa tata laksana ibadah umat Islam dalam situasi
pandemi Covid-19 ini. Di antara konten fatwa tersebut; memberlakukan “lockdown”
masjid, mengganti shalat Jum’at dengan shalat Dhuhur di kediaman masing-masing,
serta tidak melaksanakan kegiatan keagamaan dengan konsentrasi massa lainnya.
Namun demikian,
terdapat sementara orang berpandangan bahwa penutupan masjid dalam situasi
pandemi Covod-19 bagian dari upaya melawan perintah Allah untuk memakmurkannya.
Pun pula memberikan kesan merendahkan marwah masjid karena dituduh sebagai
tempat penularan virus corona. Artinya masjid tidak bersih, tidak higienis
padahal orang-orang yang meramaikannya senantiasa berwudlu'. Apakah memang
demikian?
Persoalan sesungguhhya
bukanlah demikian. Jangan ada yang menuduh bahwa para ulama tidak memahami
marwah dan martabat masjid. Jangan pula dipersepsi fatwa para ulama sedunia,
termasuk di Indonesia lemah dalil dan metode pendalilannya. Justeru sebaliknya,
para Ulama terkemuka di dunia, termasuk di Indonesia menunjukkan kepada umat
bagaimana semestinya masjid berada di zona terdepan dalam mewujudkan maslahat
kehidupan, dan terdepan pula dalam upaya meniadakan kerusakan atau mafsadat
kehidupan secara universal. Jangan sampai masjid-masjid kita meninggalkan jejak
sejarah di kemudian hari sebagai episentrum penularan virus corona ini. Dengan
arahan para ulama, masjid menjadi instrumen utama dalam menyelamatkan jiwa
manusia.
Masjid adalah tempat
bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi tubuh manusia. Bahkan
sujud merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya. Sungguh perbuatan
yang tak seyogyanya jika saat-saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa
tak aman dan tak lagi nyaman bersebab was-was Covid-19 yang tak kasat mata itu.
Masjid harus dijaga marwah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum
kemaslahatan hidup. Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan,
pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai tempat yang
justeru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita. Bahkan tempat di mana
manusia milenial saling menunjukkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas
sosial. Wajarlah, dalam pandangan kenabian, tempat tersebut menyandang predikat
tempat yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).
Umat ini tak perlu
menuntut agar masjid kita disamaratakan dengan mal-mal, pusat perbelanjaan,
pusat-pusat hiburan tersebut; yang kemudian latah menebar status provokatif,
"mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar"?. Seraya berburuk
sangka kepada para Ulama penuntun umat.
Ada baiknya, anda
bandingkan kebijaksanaan ulama terkemuka hari ini dengan catatan sejarah yang
ditulis oleh Al-Imãm Al-Hãfizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalãnĩ rahimahullãh dalam
kitabnya, “Badzlul Ma’un fi Fadhlith Tha’un” (450 hlm., ditahqiq oleh Ahmad
‘Ishãm ‘Abd al-Qãdir al-Kãtib, penerbit Dãr al-‘Ãshimah Riyadl).
Pada Bab 5 tentang
“Hal-hal yang disyariatkan pengamalannya setelah mewabahnya Thã’ũn”, beliau
mengkritisi ritual do’a bersama yang dilakukan oleh warga Damasykus ketika
dilanda wabah Tha’un pada tahun 749 H, dan menyatakannya sebagai perbuatan
bid’ah. Menukil dari Al-Manbaji (w. 785), Ibnu Hajar mengisahkan peristiwa masa
itu; di mana masyarakat awam bersama para pembesar negeri keluar menuju tanah
lapang untuk bermunajat dan istighatsah bersama, seperti halnya mereka
menunaikan shalat Istisqã’. Al-Manbaji mengingkari perkumpulan massa ini.
Dilaporkan jumlah penderita Thaún meningkat tajam setelah acara tersebut (hlm.
328-329).
Ibnu Hajar rahimahullāh
melanjutkan, ketika penyakit Tha’un mulai mewabah di Mesir pada 27 Rabi’ul
Akhir 833 H, jumlah penderita yang wafat tidak sampai 40 orang. Sebulan
kemudian, pada tanggal 4 Jumadal Ula, setelah adanya seruan berpuasa tiga hari,
masyarakat berbondong menuju tanah lapang untuk berkumpul dan berdo’a bersama;
jumlah angka kematian melonjak luar biasa. Bahkan dilaporkan lebih dari 1000
orang yang wafat setiap harinya, dan terus bertambah!.
Terjadi pula polemik di
antara para ulama dalam menyikapi peristiwa ini. Ibnu Hajar rahimahullah
memilih untuk berdiam diri di rumahnya, dan tidak mengikuti perkumpulan massa
tersebut (hlm. 329-330). Artinya, dalam bahasa kita hari ini beliau memilih
“lockdown” atau “social/phisycal distancing”.
Dalam kitab ensiklopedi
sejarahnya yang bertajuk “Inba' al-Ghumar bi Abna' al-'Umr”, Ibnu Hajar al-'Asqalani mencatat peristiwa
wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun 827 H, dan menelan korban
meninggal dunia 40 orang setiap harinya, hingga berjumlah 1700 jiwa. Pada masa
tersebut masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah termasuk Masjidil Haram ditutup.
Di antara sebab mengapa kaum muslimun tidak mendatangi masjid karena
kekhawatiran terjadinya penularan penyakit.
Jauh sebelumnya, Ibnu
‘Idzãrĩ al-Marakisyĩ (w. 695), dalam kitabnya “al-Bayãn al-Mughrib fĩ Akhbãr
mulũk al-Andalus wa-l-Maghrib” menulis bahwa pada tahun 395 H telah terjadi wabah penyakit yang
sangat dahsyat di negeri Tunis. Harga-harga melompat tinggi, krisis bahan
makanan pokok, masyarakat sibuk dengan urusan penyakit dan kematian. Bahkan
masjid-masjid di kota Qayrawan kosong, tak didatangi umat. Sementara di
Andalusia, sebagaimana dicatat oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya Tãrikh
al-Islãm; pada tahun 448 H telah terjadi kekeringan yang sangat dahsyat dan
wabah penyakit, sehingga banyak orang meninggal dunia, khususnya di kota
Sevilla, berikut masjid-masjid ditutup. Disebutnya pula dalam kitab “Siar A’lãm
al-Nubalã’, bahwa pada tahun yang sama hal yang sama terjadi pula di Cordoba;
masjid-masjid ditutup. Tahun tersebut dikenal dengan “Ãm al-Jũ’ al-Kabĩr”
(Tahun Kelaparan yang Besar).
Catatan-catatan sejarah
yang saya nukil di atas sekedar seruan agar kita tidak “kuper historis”, lalu
hanya dengan beberapa status yang berseliweran di sosial media dengan mudahnya
kita merendahkan fatwa para Ulama yang kredibel, bukan saja di Indonesia, tapi
di seluruh dunia. Satu lagi, tak perlu reaktif menuntut persamaan antara masjid
dan mal atau sejenisnya, sebab seorang muslim yang cerdas tentu memiliki logika
yang sehat : jika masjid saja “lockdown”, apalagi mall dan pasar !. Kecuali
untuk sedekar memenuhi hajat dasar sandang, pangan, dan papan. Wallãhu A’lamu
bish-shawãb.