Minggu, 19 April 2020

TEORI KEPEMIMPINAN : KONTINGENSI DAN JALUR TUJUAN


Teori kontingensi dikenalkan Fiedler (1964, 1967; Fiedler & Gracia, 1987). Teori ini menyatakan bahwa keefektifan pemimpin tergantung pada seberapa sesuai gaya pemimpin dengan situasi yang ada di sekitarnya. Intinya, teori kontingensi terkait dengan gaya dan situasi. Dalam kerangka kerja kontingensi, kepemimpinan termotivasi tugas atau hubungan. Pemimpin yang berorientasi pada tugas fokus pada pencapaian tujuan, sedangkan yang berorientasi pada hubungan peduli dengan pengembangan hubungan antarpribadi.
Dalam teori kontingensi, situasi dicirikan dengan tiga faktor: 1. Hubungan pemimpin-pengikut, 2. Struktur tugas, dan 3. Kekuatan posisi. Faktor pertama hubungan pemimpin-pengikut mencakup suasana kelompok, tingkat keyakinan, kesetiaan, dan daya tarik yang dirasakan pengikut atas kepemimpian seorang pemimpin. Faktor kedua struktur tugas adalah tingkatan tuntutan tugas itu jelas dan disampaikan secara tegas. Tugas yang jelas cenderung memberi lebih banyak kendali bagi pemimpin, sedangkan tugas yang tidak jelas akan mengurangi control pemimpin. Faktor ketiga adalah kekuatan posisi, artinya otoritas yang dimiliki pemimpin dalam memberikan ganjaran dan hukuman, kekuatan mempekerjakan dan memecat pegawai, serta menaikan dan menurunkan jabatan.
Berikutnya adalah teori  jalur tujuan (path-goal) adalah teori yang menekankan peran pimpinan dalam memotivasi bawahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Teori ini merupakan hasil penelitian Evans (1970), House (1971), House dan Dessler (1974), dan House dan Mitchell (1974). Dalam teori ini bahwa untuk meningkatkan kinerja dan kepuasan karyawan dapat dilakukan dengan memusatkan pada motivasi karyawan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa teori kepemimpinan jalur tujuan ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin dapat membantu setiap bawahan di sepanjang jalur untuk dapat mencapai tujuan secara optimal dengan memilih perilaku tertentu yang paling cocok dengan kebutuhan bawahan dan situasi dimana mereka bekerja.
Terdapat dua komponen utama dalam teori jalur tujuan, yaitu karakteristik bawahan dan karakteristik tugas. Karakteristik bawahan menentukan bagaimana perilaku pemimpin dimaknai oleh bawahan dalam konteks pekerjaan tertentu. Hal ini akan menentukan tingkatan dimana bawahan mendapai perilaku seorang pemimpin sebagai sumber penting akan kepuasan dan kepuasan di masa depan. Untuk bawahan yang kebutuhan kuat untuk memiliki hubungan, akan memilih pemimpin yang mendukung. Tentu hal ini berbeda dengan bawahan yang dogmatis dan otoriter, akan cocok dengan gaya kempimpinan yang direktif.
Sedangkan karakteristik tugas mencakup desain tugas bawahan, norma kelompok, dan system otoritas yang jelas maka bawahan akan dapat menyelesaikan pekerjaannya dan pekerjaan tersebut bernilai. Sebaliknya tugas yang tidak jelas dan tidak terstruktur akan membuat ambigu dan memerlukan keterlibatan pimpinan.
Dalam praktek pengendalian bawahan dan tugas tersebut di atas, House (1996) menerbitkan teori jalur tujuan tentang perilaku kepemimpinan, yaitu: 1. Perilaku direktif, 2. Mendukung, 3. Partisipatif, 4. Berorientasi pada prestasi, 5. Bantuan untuk pekerjaan, 6. Proses keputusan berorientasi kelompok, 7. Jejaring kelompok kerja, dan 8.  Perilaku berbasis nilai.

Kamis, 16 April 2020

PENDEKATAN DALAM KEPEMIMPINAN


Terdapat beberapa pendekatan dalam melihat kepemimpinan, yaitu pendekatan sifat, pendekatan keterampilan, dan pendekatan gaya. Kajian tentang pendekatan sifat dan karakter seorang pemimpin dikemukakan banyak ahli, diantaranya:
  1. Stogdill (1948), bahwa pemimpin memiliki: kecerdasan, kepekaan, wawasan, tanggungjawab, inisiatif, ketekunan, keyakinan diri, dan kemampuan bersosialisasi. 
  2. Mann (1959), bahwa pemimpin memiliki: kecerdasan, maskulinitas, penyesuaian, kekuasaan, sifat ekstrover.
  3. Stogdill (1974), bahwa pemimpin memiliki: orientasi pada keberhasilan, ketekunan, pemahaman, inisiatif, keyakinan diri, tanggungjawab, suka bekerjasama, toleransi, pengaruh, dan kemampuan bersosialisasi.
  4. Lord, DeVader, Alliger (1986), bahwa pemimpin memiliki: kecerdasan, maskulinitas, dan kekuasaan.
  5. Kirkpatrick dan Locke (1991), bahwa pemimpin memiliki: hasrat, motivasi, integritas, keyakinan diri, kemampuan kognitif, dan pengetahuan akan tugas.
  6. Zaccaro, Kemp, dan Bader (2004), bahwa pemimpin memiliki: kemampuan kognitif, sifat ekstrover, kehati-hatian, kestabilan emosi, sikap terbuka, kemampuan bersosialisasi, motivasi, kecerdasan sosial, kontrol diri, kecerdasan emosional, kemampuan pemecahan masalah. 
Pendekatan kedua tentang kepemimpinan adalah pendekatan keterampilan. Pendekatan ini diawali dengan tulisan artikel Robert Katz (1955) yang berjudul “Skills of an Effective Administrator”. Dalam tulisannya itu, Katz membagi 3 keterampilan administratif dasar, yaitu teknis, manusia, dan konseptual.
Keterampilan teknis adalah  pengetahuan tentang dan keahlian dalam jenis pekerjaan atau aktivitas tertentu mencakup kompetensi bidang, kemampuan analitis, dan kemampuan menggunakan peralatan kerja serta teknik yang tepat. Keterampilan manusia adalah pengetahuan tentang dan kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain. Sedangkan keterampilan konseptual adalah kemampuan untuk bekerja dengan ide dan konsep, menciptakan visi dan rencana strategis untuk organisasi.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan gaya. Penelitian awal mengenai pendekatan gaya ini dilakukan di Ohio State University dan University of Michigan. Intinya terdapat 2 gaya kemepimpinan secara umum yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Pemimpin dengan perilaku tugas berusaha membantu anggotanya untuk dapat mencapai tugas dengan maksimal. Sedangkan perilaku hubungan, pemimpin berusaha membangun para pengikutnya merasa nyama dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dalam situasi dimana mereka berada.  

Sabtu, 11 April 2020

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL


Istilah kepemimpinan transformasional pertama kali dicetuskan oleh Downton pada tahun 1973. Tahun 1978 James MacGragor Burns menulis karya berjudul “Leadership” yang mencoba menghubungkan peran kepemimpinan dan pengikut. Menurut Burns, kepemimpinan dibedakan menjadi dua jenis yaitu traksaksional dan transformasional. Kepemimpinan traksaksional merujuk pada pertukaran yang terjadi antara pemimpin dengan pengikutnya. Misal politisi yang menjanjikan rendahnya pajak setelah ia memenangkan dalam pemilihan, manajer yang menjanjikan promosi bagi pegawai yang mampu mencapai target pekerjaan, guru memberikan nilai untuk siswa yang dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan.
Kepemimpinan transformasional merupakan proses untuk mencapai hubungan yang meningkatkan motivasi dan moralitas bagi diri pemimpin dan pengikutnya. Misalnya Ghandi yang berusaha menaikan harapan bagi jutaan pengikutnya. Selain itu, menurut Burns, ada pula yang disebut dengan kepemimpinan pseudotransformasional. Jenis ini untuk menggambarkan bentuk kepemimpinan yang telah melakukan perubahan namun dengan cara yang negatif dan keluar dari salah satu karakteristik transformasional yaitu “moralitas” seperti Adolf Hitler.
Beberapa faktor yang menjadi ciri pemimpinan transformasional, yaitu: 1) karisma sebagai faktor ideal, pemimpin berperan sebagai teladan bagi para pengikutnya, 2) memotivasi dan menginspirasi pengikut untuk setia dalam organisasi, 3) rangsangan intelektual, yakni peran pemimpin merangsang pengikutnya untuk kreatif dan inovatif serta keyakinan dan nilai yang ada pada diri mereka, 4) memberikan iklim yang mendukung dengan cara mendengarkan kebutuhan setiap pengikut.
Menurut Bennis dan Nanus (1985) terdapat empat strategi utama yang digunakan pemimpin transformasional dalam mengubah organisasi: 1) memiliki visi yang jelas, sederhana, dapat dipahami, menguntungkan, dan menciptakan energi, 2) sebagai arsitek sosial yang berusaha menciptakan tujuan bersama, 3) menciptakan rasa percaya (trust) dalam organisasi dan memberikan pemahaman tentang integritas, 4) melakukan pengorganisasian yang kreatif lewat egoisme positif.
Dari banyak kajian, sesungguhnya kepemimpinan transformasional lebih banyak memberikan dampak, lebih banyak menghasilkan kinerja lebih daripada yang diharapkan, dan menjadi model kepemimpinan yang lebih efektif daripada kepemimpinan transaksional.

Kamis, 09 April 2020

ASTABRATA DALAM CENTINI


Dalam Serat Centini, terdapat ajaran yang dikenal dengan “Astabrata” berupa prasetia seorang pemimpin sehingga menjadi rahmatan lil alamin. Dalam Astabrata terdapat 8 sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu memiliki:
      1.     Sifat sebagai bumi
Bumi merupakan hamparan dimana makhluk hidup di permukaannya. Bumi memiliki banyak kekayaan yang bermanfaat untuk kehidupan makhluk. Memiliki sifat seperti bumi berarti seorang pemimpin harus bermurah hati, legowo, lapang, dan banyak memberi atau berderma.
      2.     Sifat sebagai langit
Langit berada di atas kita, artinya seorang pemimpin harus bersifat sebagai pengayom bagi setiap bawahannya, berperilaku melindungi, membesarkan yang kecil dan meninggikan kemampuan/kapasitas mereka yang masih rendah.
      3.     Sifat sebagai matahari
Matahari memancarkan sinar menerangi jagat raya dan menghidupi setiap makhluk, artinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat menerangi bawahan, bersikap ajeg dan konsisten dalam menjalankan tugasnya.
      4.     Sifat sebagai rembulan
Bulan sebagai penerang di malam hari, artinya seorang pemimpin harus menciptakan suasana yang kondusif dan memberikan ketentraman warganya.
      5.     Sifat sebagai bintang
Bintang bertebaran di atas kepala kita dan bermunculan pada saatnya sehingga bisa menjadi pertanda sesuatu bagi yang memerlukannya, artinya seorang pemimpin harus manju terus pantang mundur, teratur, rapih, dan tertata  dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak.
      6.     Sifat sebagai air
Air memiliki karakteristik dingin dan mengalir ke dataran yang lebih rendah, artinya seorang pemimpin hendaknya bersifat dingin, tidak mengeluh, dan selalu menampung berbagai persoalan yang disampaikan kepadanya. Ia harus berperan menjernihkan berbagai persoalan di masyarakat bagaikan air yang mensucikan benda-benda kotor.
      7.     Sifat sebagai api
Makna positif api adalah panas, artinya bahwa seorang pemimpin harus bersikap membakar dan mematangkan sesuatu serta dapat meleburkan berbagai aspek menjadi satu kesatuan yang bermanfaat.
      8.     Sifat sebagai angin
Angin merupakan entitas yang tidak berwujud namun dapat dirasakan manfaatnya, keberadaannya dapat menelisik ke setiap ruang dan celah. Artinya, bahwa seorang pemimpin harus turun ke masyarakat langsung untuk mengetahui kondisi ril yang terjadi sehingga setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik.