Senin, 16 September 2019

PELAUT DAN PROFESSOR


Suatu sore, professor hendak menyeberang ke pulau tempat tinggalnya. Dia segera melompat ke perahu, dan berpesan kepada si pelaut agar mengantarnya ke pulau dimaksud. Perahu secara perlahan meninggalkan pelabuhan, dan professor duduk tenang di bagian belakang kapal. Dalam perjalanan, professor melihat sang pelaut sebagai seorang yang bodoh, buta huruf dan dia bertanya dengan nada sombong. Have you ever been to school or studied any literature? Pernahkah engkau sekolah atau dapat membaca buku? No, said the sailor innocently. Tidak, jawab si pelaut lugu. Then you've missed out on half of your life. Berarti, engkau telah menyia- nyiakan separoh dari hidupmu. Si pelaut merasa sangat terhina, tetapi tidak bisa menjawab. Dia tetap pada pekerjaannya sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalas. 

Pada pertengahan perjalanan, datanglah badai, dan semakin berkecamuk. Inilah waktu yang tepat untuk balas dendam, gumamnya dalam hati. ( si pelaut) bertanya kepada professor yang sudah pucat pasih. Most revered master professor, do you know how to swim? Professor yang sangat terpelajar, apakah engkau bisa berenang? Tentu saja tidak, jawab professor terbata- bata! Sayang sekali, kalau demikian. Sekarang engkau akan segera menghabiskan seluruh sisa- sisa hidupmu. Kapal ini sebentar lagi tenggelam, dan hanya ada satu jalan keluar, berenang! Sekarang semua buku- buku (teori) berhargamu tidak dapat menolongmu. Engkau menilaiku sebagai seorang bodoh, idiot. Sekarang lihatlah dirimu terjebak ke dalam lumpur seperti seekor keledai. Rumi dalam kitab al- Matsnawi.

Sesungguhnya, setiap kita memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Pada suatu ketika kita adalah orang yang hebat, namun pada saat yang lain menjadi orang yang lemah tidak berdaya. Di situlah letak manusia membutuhkan lainnya, tidak dapat hidup sendiri, harus saling berbagi, menghormati, dan perduli.

Dalam Islam, kita diharuskan belajar karena kelak itu diperlukan untuk menyelamatkan hidup, diajarkan berbagi karena suatu saat kita memerlukan uluran tangan orang lain, diperintahkan untuk menolong karena kita lemah tidak mampu melakukan semua aspek sendiri, dituntut saling kasih sayang karena kita sama-sama dalam satu takdir yakni tidak sempurna.

Senin, 02 September 2019

TANTANGAN PAI DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0


STAI Al-Hamidiyah JAKARTA
DEPOK, 2 September 2019


Assalamualaikum Wr.Wb

الحمد لله الذي علم بالقلم علم علم الإنسان ما لم يعلم. اشهد ان لااله الا الله المالك الحق المبين واشهد ان محمدا رسول الله صادق الوعد الأمين. اللهم صل وسلم على سينا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين ، أما بعد قال الله تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.


Saat ini, kita tengah memasuki era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan terjadinya revolusi dalam bidang digital. Di era ini terjadi proses digitalisasi dalam segenap aspek kehidupan manusia. Perubahan yang sangat signifikan terjadi dari teknologi mekanik dan elektronik kepada teknologi digital berbasis jaringan nirkabel.
Revolusi digital telah mampu mengubah cara pandang, tatanan dan kultur manusia menjadi sangat kompleks. Hal ini disebabkan teknologi informasi sudah mengglobal, tingkat kompetisi pun semakin ketat.
Untuk itu, sarjana muslim harus mampu menjadikan perkembangan teknologi digital sebagai sebuah peluang yang berharga di masa mendatang. Teknologi digital harus mampu menjelma sebagai sarana mengembangkan ilmu, media melakukan perubahan sosial serta kontrol sosial.
Jika tidak demikian hallway, maka sarjana muslim akan mudah ditinggalkan zaman dengan segenap kompetensinya. Sebagaimana tersebut dalam sebuah idiom average is over, bahwa hal yang biasa-biasa saja akan ditinggal. Oleh karena itu diperlukan langkah extra-ordinary –luar biasa--untuk menjadi pribadi yang memiliki keunggulan kompetitif, sehingga menjadi “the winner”, pemenang.

Era Disrupsi
We have entered in revolutionary times, kata Bill Gates. Kita sedang memasuki era revolusi informasi. Revolusi informasi ditandai dengan adanya akselerasi teknologi IT dalam segala macam. Saat ini, kita sedang mengalami era disrupsi, kekacauan, gangguan. No ordinary disruption, saat ini dunia sedang terjadi kekacauan yang tidak biasa. Demikian hasil riset Richard Dobbs, James Manyika, and Jonathan Woetzel dalam buku terbarunya.
Ada empat perubahan yang sedang terjadi dan memengaruhi tatanan dunia global.
a.    Akselerasi teknologi informasi.
Terdapat 2/3 warga dunia yang memiliki android, hand phone dan mereka semua terkonek dengan internet. Tinggal 1/3 warga dunia yang tidak memiliki hand phone. Sekarang semua sudah on line system. Pengusaha Taxi konvensional, collaps dan bangkrut. Mereka kalah cepat dengan Uber car. Grab, Gojek, yang tidak perlu kantor luas. Tidak perlu memiliki motor dan mobil. Mereka hanya menyiapkan on line system. Tidak ada yang salah dari Nokia. Nokia hanya kalah cepat merespon kebutuhan pasar. Sehingga Nokia, hampir gulung tikar, dan disalib oleh Samsung. Blackberry sudah tidak kedengaran lagi. Sarjana dan mahasiswa era sekarang, berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Mahasiswa dan sarjana era sekarang, sejatinya multitasking. Mereka bisa mengerjakan dua atau tiga pekerjaan dalam satu waktu.
b.    Aging population ( Populasi yang Semakin Menua).
Di China dan Jepang, seorang dewasa harus merawat enam orang tua. Kedua orang tuanya, dua mertuanya, dan dua orang kakek buyutnya yang masih hidup. Sehingga mereka kewalahan dalam merawat manula. Apa yang terjadi? Mereka merawat orang tua tersebut dengan bantuan robot. Robot lebih praktis merawat para manula daripada seorang pembantu atau perawat.
Bahkan laporan Majalah Tempo, Pebruari 2019, Korea Selatan mengalami Nestapa Para Lansia”. Korsel dengan kemewahan dan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, justeru mengalami problem lansia yang akut. Kalau di negeri kita, dikenal kenakalan remaja, di Korsel justeru mengalami ancaman kriminalitas (perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan) yang dilakukan oleh para lansia. Mereka stress menanggung beban hidup yang demikian berat pada saat mereka sudah lanjut usia. Ini sangat memprihatinkan. Keadaan ini diperparah lagi dengan spirit Konfusianisme yang melemah, tetapi individualisme yang semakin menguat. Pertumbuhan penduduk atau angka kelahiran bayi demikian rendah, masih berkisar 0,09%.
Untuk mengantisipasi nestapa para lansia ini, Jepang sekarang sedang mengembangkan:....a prosperous human centered society , masyarakat yang terpusat pada kemakmuran manusia. Jepang sedang gencar-gencarnya mengembangkan teknologi untuk menolong para manula tadi. Dalam hal memenuhi kebutuhan keseharian, seperti kontrol makanan dan kesehatan, mereka cukup mengandalkan robot dan teknologi yang bisa memberikan informasi yang memadai tentang asupan makanan yang cocok dengan suhu pada hari itu.
c.     Urban Society.
Terdapat 440 kota di dunia ini yang menentukan mobilitas tenaga- tenaga profesional dan lajunya perekonomian dunia. Tianjin, China, Tokyo, Jepang, dst. Sejatinya pendidikan yang modern tidak hanya menyasar masyarakat pedesaan, tetapi juga masyarakat kota. Sehingga, keterampilan adalah suatu kemestian. Apalagi dengan iklan Google, rekasasa IT yang mencari karyawan tanpa ijazah. Ini sesuatu yang mengejutkan dunia pendidikan yang selama ini mementingkan ijazah. Ijazah adalah azimat yang merupakan syarat utama dan pertama para pencari kerja. Job seeker sebelum mereka diterima pada suatu instansi atau perusahaan harus terlebih dahulu menunjukkan ijazah yang telah diraihnya. Google tidak memetingkan ijazah. Google memerlukan skill yang dimiliki oleh calon karyawan. Apakah ini merupakan lonceng kematian perguruan tinggi? KKN harus juga menyasar warga kota. Tidak hanya berorientasi ke desa. Sehingga mereka harus memiliki global dexterity, dan plan of prosperity. Ketangkasan global dan kemampuan untuk merencanakan kesejahteraan hidupnya di masa depan.
d.    Capital, people, investmen.
Dengan melihat sejumlah perubahan revolusioner di atas, perguruan tinggi harus menerapkan strategi baru dalam merespon tuntutan zaman.
Menteri Pendidikan tinggi dan sains Malaysia telah menerapkan kebijakan 2 U and 2 I. Two years in university, and two years in industry. Mahasiswa dua tahun menerima teori di bangku kuliah, dan dua tahun langsung terjun di dunia industri atau masyarakat. Robert W. McChesney and John Nichols dalam bukunya: People Get Ready the Fight Against a jobless economy and a citizenless democracy, 2016. Bahwa The future is now. Masa depan itu dirancang dan ditentukan sekarang. Masa depan itu ya sekarang. Tidak ada yang bisa menentukan takdir, tetapi kita bisa menemukannya dengan cara berlari kencang.
Sekarang kita sedang mengalami “dislokasi agama”. Halmana, otoritas ulama dan tokoh-tokoh agama “didisrupsi”. Muncul “ulama-ulama baru” yang juga berkeinginan “merebut” panggung tokoh-tokoh lama (tua). Tokoh-tokoh agama yang memiliki keilmuan yang mumpuni “kehilangan” pasar dan daya pikat.  Hoaks atas nama agama juga berseliweran di medsos tanpa klarifikasi dari pemegang otoritas keilmuan. Umat menjadi galau dan gelisah. Kita khawatir, jangan sampai Indonesia mengalami “kekosongan spiritual” (spiritual avoid) sebagaimana halnya China sekarang ini. Orang memilih tidak beragama karena agama sudah tidak bisa mencerahkan kehidupan sosial mereka.

Era Kompetisi

Dalam dunia bisnis, persaingan adalah sebuah kemestian. Kalau tidak mampu bersaing, maka sebuah perusahaan akan ditinggal pelanggannya. Sebentar lagi perusahaan tersebut akan collaps. Dalam persaingan yang terpenting adalah berusaha untuk membentuk kompetitif, untuk mengendalikan nasib kita sendiri.
Memasuki abad ke 21, kita dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak akan pentingnya memiliki strategi dan visi yang jelas mengenai cara menampilkan diri yang unik dan berbeda dengan yang lain. Kalau tidak, kita akan ditelan hidup-hidup oleh persaingan yang semakin sengit.
Keunikan dan diferensiasi sangat penting dalam sebuah persaingan. Bahkan sangat boleh jadi persaingan itu dimaknai sebagai pertarungan dalam pengertian yang positif. Untuk itulah dibutuhkan strategi yang jitu.
Visi kita adalah untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul, moderat dan menjadi referensi pendidikan Islam dunia. Kita harus fight untuk mewujudkan competitiveness pendidikan Islam. Daya saing pendidikan Islam sedang dilirik, baik secara nasional maupun internasional. Orientasi program dan kegiatan kita harus mengarah pada visi dan misi tersebut.
Untuk Mewujudkan pendidikan Islam menjadi rujukan Islam dunia, maka Karakteristik dan distingsi pendidikan Islam harus dikedepankan.


Posisi Perguruan Tinggi di Era Akselerasi

Era revolusi IT adalah era akselerasi. Semua serba sibuk dan berlangsung serba cepat. Siapa yang lambat akan terlindas oleh zaman. Ibarat naik kereta super cepat, telat satu menit akan tertinggal, dan berdampak beberapa jam kemudian. Kita harus berlari kencang. Seperti seekor kijang yang hendak diterkam harimau. Pilihannya hanya dua: Berlari kencang dan selamat.  Atau lambat, dan mati diterkam harimau.
Sekarang serba cepat. Semua orang mengalami busy, super sibuk.
Itulah ciri Digital population; Populasi digital.
Bahwa fasilitas dan sarana digital sebagai sarana yang terbaik. Sebab, dengan buku digital, lebih murah, dan lebih cepat. Teknologi adalah alat untuk kemashlahatan. Teknologi harus familiar dengan kita semua. Seperti seirang bapak kalau tertinggal dompetnya pasti tidak balik. Kalau hpnya yang tertinggal, pasti balik.

Selanjutnya, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran kita untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi, di antaranya:
1. Rendahnya Literasi
Indonesia sudah 72 tahun merdeka. Tetapi menurut data masih terdapat sekitar 5,9 juta warganya yang buta huruf. Jawa Timur memiliki angka tertinggi buta aksaranya, sekitar 1.458.184. Meskipun mereka ini melek terhadap aksara arab gundul.
Secara internasional, UNESCO melancarkan gerakan Reading the Past, Writing the Future. Agar warga dunia terbebas dari buta huruf ini.
Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia, kata Nelson Mandela. Kita harus melakukan terobosan untuk menghapus buta aksara ini. Dan patut dicatat, buta aksara melanda hampir semua negara- negara berkembang dan masyarakat muslim. Buta aksara atau literasi masih menjadi masalah yang masif melanda dunia muslim. Rata- rata wilayah yang lebih dikenal sebagai "Bulan Sabit" masih mengalami problem rendahnya literasi.
Rendahnya literasi keagamaan menjadi problem lanjutannya. Bahwa umat kita pada grassroot, akar rumput memiliki pemahaman keagamaan yang belum memadai. Memahami ajaran dan ujaran keagamaan secara "hitam-putih" masih tinggi. Cara pandang agama semacam ini  sangat berbahaya masih keberlangsungan demokrasi dan Islam rahmatan li al- 'alamin.
Kampus harus bergegas merespon perkembangan zaman dan berikhtiar untuk mencetak intelektual publik. Sarjana muslim harus tampil pada garda terdepan dalam menyuarakan Islam moderat, santun, dan menyebarkan kedamaian. Sarjana kita harus terus mengedukasi masyarakat dalam arti sesungguhnya. Bahwa peran-peran profetik semacam harus menjadi bagian yang inheren dalam tugas dan tanggung jawab kita sebagai sarjana muslim.

2. Pendidikan Karakter
Dewasa ini kita menyadari betapa pentingnya memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Setidaknya ada tiga landasan pendidikan karakter (character-building education). yakni:
a)    memasukkan nilai-nilai humanisme, seperti saling menghargai dan menghormati antar sesama. Jepang barangkali bisa menjadi contoh dalam pendidikan karakter yang dimulai sejak pendidikan usia dini. Halmana tradisi dan nilai-nilai luhur mereka tidak tergerus oleh modernitas. Integritas, kejujuran, tanggung jawab, menghormati yang lebih senior, sportifitas, nilai malu terintegrasi dalam kurikulum pendidikan mereka.
b)    mengembangkan karakter keilmuan, yakni dengan menciptakan curiosity, rasa ingin tahu yang tinggi (search of inquiry), sehingga ilmu, kreatifitas dan inovasi dapat berkembang; dan
c)    menanamkan kecintaan dan kebanggaan kepada Indonesia. Pancasila, UUD 1945, Persatuan Indonesia, NKRI adalah pilar-pilar kebangsaan kita dan sudah final.

What Next?
Di era revolusi industri 4.0 ini, kita harus mampu menjawab tantangan atas pesatnya perkembangan pendidikan tinggi tersebut dengan berbagai dinamikanya. Kita harus mampu melakukan berbagai inovasi untuk menciptakan peluang dalam proses industrialisasi teknologi digital ini. Peningkatan kualitas dosen merupakan sebuah keniscayaan yang perlu mendapat perhatian serius dalam mengimbangi derasnya perkembangan keilmuan dan teknologi. Bentuk perhatian bisa dikembangkan dalam bentuk publikasi karya ilmiyah secara simultan. Hal ini penting dilakukan agar bisa mendapatkan recognition yang memadai, baik secara nasional, regional maupun internasional.
Pembenahan infrastruktur kampus juga harus terus dilakukan agar proses pengembangan ilmu dan pembelajaran di kampus dapat berjalan dengan baik. Pembenahan sarana dan prasarana merupakan faktor urgen untuk menunjang keberhasilan berbegai program akademik di perguruan tinggi.
Selain itu Perguruan Tinggi  Keagamaan Islam (PTKI) harus berada pada garda terdepan dalam menyuarakan moderasi Islam. Pimpinan PTKI harus secara tegas menolak berbagai bentuk gerakan dan kegiatan yang mengarah pada radikalisme agama dan berujung pada pelemahan pilar-pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

 Wassalamualaikum Wr.Wb.

Dr. Muhammad Zain, M.Ag

SAMBUTAN MENTERI AGAMA PADA TEMU PENELITI


SAMBUTAN
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA PEMBUKAAN TEMU PENELITI BADAN DLITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Cibubur, 21 Agustus 2019

Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati :
1.     Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
2.     Para narasumber: Prof. Dr. Alwi Shihab, Ph.D, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Prof. Kevin Fogg, Ph.D (Oxford University).
3.     Para Pejabat eselon II, pejabat eselon III dan IV
4.     Para pejabat fungsional peneliti
5.     Para Wartawan Media Elektronik
6.     Hadirin peserta dan seluruh tamu undangan yang berbahagia.

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt karena atas nikmat dan karunia-Nya kita semua dapat menjalankan aktivitas rutin sebagai ASN Kementerian Agama, dan saat ini kita berkumpul dalam satu event kegiatan yakni temu peneliti keagamaan.

Salawat dan salam senantiasa kita sampaikan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad saw, teladan kita semua sehingga atas wasilahnya kita diarahkan pada jalan kebaikan. Semoga kebaikan yang kita terima ini bermanfaat positif bagi bangsa dan negara.

Saudara-saudara sekalian, beberapa hari lalu kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 74 dengan tema ”SDM unggul, Indonesia maju”. Tema ini cukup singkat dan padat namun kaya makna serta memerlukan energi besar untuk mencapainya. Para pendahulu kita (founding fathers) telah berjasa mengantarkan kita menjadi bangsa yang merdeka, bebas dari kecamuk perang, lepas dari cengkeraman penjajah. Giliran kita saatnya mengisi ruang kemerdekaan ini dengan karya nyata untuk menghasilkan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama sebagaimana yang dicita-citakan. Peneliti sebagai kaum intelektual adalah bagian di dalamnya yang diharapkan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Temu riset kali ini bertema “Positioning Peneliti Keagamaan di Era Disrupsi”. Tema ini cukup menarik dan perlu pemikiran bersama para peneliti. Momen ini menjadi sangat berharga jika dapat dirumuskan langkah-langkah nyata peran dan tugas peneliti di era yang serba tidak menentu, relatif cepat pergerakan siklus informasi dan perubahan sendi-sendi kehidupan, dan terlebih lagi tuntutan terhadap peran Kementerian Agama dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas, taat beragama, rukun dan sejahtera lahir batin. Tantangan moderasi beragama, indeks kerukunan umat beragama dan kesalehan sosial,  peta kehidupan umat beragama, layanan pendidikan agama dan kegamaan yang kompetitif, peningkatan kualitas layanan penyelenggaraan haji, good governance, maka para peneliti dituntut memberikan data yang akurat, hasil kajian yang tepat, dan analisis empirik teoritik yang memadai guna mendukung  Visi dan Misi Kemenag di atas.

Di era disrupsi, kebijakan pemerintah selayaknya didasarkan pada hasil-hasil kajian/riset. Sebagaimana pesan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, bahwa Badan pada setiap Kementerian/lembaga berfungsi sebagai supporting agency, yakni unit pendukung yang mensupport kebutuhan data unit teknis, maka peneliti pada Badan Litbang dan Diklat tentu harus melakukan riset/kajian yang sesuai dan dibutuhkan unit lainnya. Hasil penelitian tidak semata-mata menjadi dokumen kenaikan jenjang pangkat dan jabatan melainkan harus memiliki wisdom yang bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, tema/masalah yang diteliti atau dikaji harus benar-benar berdasar pada kebutuhan stakeholder bukan hanya berdasar pada kebutuhan peneliti. Kita harus kembali pada logika dasar kebutuhan penelitian dan mendukung kebijakan pemerintah yang telah dicanangkan dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Hal ini tentu sedkit berbeda antara riset di Perguruan Tinggi yang bersifat eksplorasi pengetahuan untuk mengungkap teori-teori dengan riset Kelitbangan pada Kementerian dan Lembaga yang lebih spesifik pada kebijakan.

Dalam konteks ini, kita harus memperbesar riset-riset kebijakan (policy research) di samping pure research yang melahirkan konsep dan teori-teori keilmuan dalam pemecahan problem-problem sosial. Riset masala-masalah aktual dan yang tak terduga sebelumnya juga terus diantisipasi. Fenomena intoleransi, keberagamaan yang “lugu”, ancaman radikalisme yang bermuara pada terrorisme, gerakan pelemahan keutuhan NKRI harus diwaspadai. Jadi riset-riset Kelitbangan kita harus responsif dan juga futuristik.

Saudara-saudara sekalian, jumlah peneliti pada Kementerian Agama sekitar 167 orang, jika masing-masing menghasilkan 1 hasil riset kebijakan maka dalam setahun terdapat 167 rekomendasi kebijakan yang dapat digunakan oleh unit teknis dalam mengambil langkah-langkah strategis untuk peningkatan kebijakan dan layanan yang berkualitas. Ketersediaan data yang memadai, akurat, dan aktual pada Kementerian Agama merupakan keniscayaan, kebutuhan mendesak yang tidak bisa diabaikan. Mengamati perkembangan isu-isu aktual saat ini, maka perlu antisipasi terkait beberapa hal:
1.     Lahirnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dalam setahun ini ramai dibicarakan dan didiskusikan meskipun belum diketahui seperti apa bentuknya, bagaimana mekanisme kerjanya, dan bagaimana dengan keberadaan unit-unit penelitian pada kementerian dan lembaga. Argumen yang mendasari BRIN ini antara lain: (a) Penguatan lembaga riset, (b) agar tema-tema riset lebih fokus untuk menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan bangsa dan keumatan, (c) Pembinaan SDM peneliti yang lebih kompetitif dan kolaboratif, (d)  efisiensi dan skema pembiayaan riset, (e) kebermanfaatan hasil-hasil riset untuk penemuan teori-teori keilmuan, dukungan penguatan korporasi dan dunia industri, serta stakeholder.  
2.     Perlunya penyelarasan dan penguatan riset/kajian keagamaan dengan amanat yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2017 tentang Rencana Induk Riset Nasional tahun 2017-2045. Riset keagamaan menjadi bagian dari riset sosial, humaniora, dan seni budaya. Merawat kohesi sosial bangsa kita yang majemuk, multietnik dan beragam agama tidaklah mudah. Oleh karenanya dibutuhkan riset-riset yang serius dan mendalam serta mencerahkan. Bahwa kemajemukan adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Bahwa mengelola kemajemukan adalah tugas mulia dan sebuah keniscayaan. Kemajemukan adalah pilar penyangga tegaknya demokrasi di Indonesia. Sekali lagi, riset-riset ilmu sosial humaniora tidaklah lebih rendah dari riset sains dan ilmu-ilmu kealaman. Riset harus kolaboratif dan saling melengkapi.
3.     Semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan Kementerian Agama, sehingga memerlukan riset/evaluasi/dan kajiaan secara terus menerus guna memberikan informasi aspek-aspek yang harus diperbaiki dan ditingkatkan
4.     Kebutuhan data yang serba cepat dan tersedianya berbagai aplikasi yang berperan memudahkan peneliti dalam mengoleksi data, maka mind set penelitian yang harus mengeluarkan dana banyak karena tingginya cost perjalanan dan lainnya harus mulai diubah. Survey-survey yang mungkin dilakukan secara online dan tidak memerlukan konfirmasi dan penjelasan secara metodologis, maka sedianya dilakukan secara cepat, efisien, serta mampu menjangkau responden lebih luas.
5.     Tuntutan publikasi ilmiah hasil-hasil penelitian menjadi sangat penting sebagai bentuk informasi kepada publik atas karya nyata kita sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Hasil penelitian hendaknya tidak berhenti “di lorong sunyi perpustakaan”, tapi harus disampaikan kepada masyarakat dan dimanfaatkan stakeholder.
6.     Ada hasil riset yang dilakukan dosen Universitas Indonesia bahwa salah satu persoalan riset di Indonesia adalah masih menguatnya insularity, penelitian masih terbatas pada sekat kepulauan, “kurang gaul”, maka seyogyanya para peneliti sudah harus berpikir global bukan hanya lokal terbatas pada geografi Indonesia. Peneliti harus memiliki intellectual networking agar terkonek dengan peneliti dunia. Kini zaman sudah terbuka, kompetitif dan sekaligus kolaboratif.  Kapan dan dimanapun kita bisa mengakses informasi dari belahan dunia manapun.
Terakhir saya sampaikan selamat mengikuti kegiatan temu peneliti, hendaknya forum ini dapat menghasilkan sesuatu, bukan sekedar rutinitas sehingga apa yang kita kerjakan memiliki efek positif. Semoga event ini adalah pertemuan yang penuh kenangan. Dan saatnya kita mendengarkan “suara” peneliti.

Wa Allah al-Muwaffiq ila aqwam al-tharieq.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Menteri Agama RI,


Lukman Hakim Saifuddin