Agama berasal dari kata
“a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jika digabung, agama
bermakna tidak kacau, atau bahwa orang yang beragama itu tidak kacau
kehidupannya. Lantas bagamana jika ada atau bahkan banyak umat beragama namun
kacau perilakunya?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah karena
banyak faktor. Jika dilihat dari dimensi yang ada dalam beragama, bisa jadi
perilaku buruk orang beragama itu karena sesungguhnya ia belum beragama
sepenuhnya.
Ada beberapa dimensi
dalam beragama, diantaranya pertama dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan terhadap Tuhan beserta ajaranya, kedua
dimensi praktis atau ritual yaitu pelaksanaan ibadah yang diperintahkan, ketiga
dimensi pengalaman yaitu pengelaman kehadiran sang Khalik pada dirinya, keempat
dimensi pengetahuan yakni berbagai informasi tentang ajaran agama, dan kelima
dimensi etis yakni tindakan yang sesuai dengan norma dan ajaran sebagai
perwujudan iman.
Persoalan keberagamaan
manusia saat ini tentu tidak lepas dari dimensi-dimensi tersebut di atas. Jika
seseorang telah lengkap memenuhi berbagai dimensi yang ada, maka implementasi
keberagamaanya akan benar dan perilakunya baik. Jika terjadi sebaliknya, dapat
diasumsikan keberagamaan orang tersebut masih terbatas pada salah satu dimensi
tertentu sehingga terjadi split
antara ucapan dan tindakannya.
Di era sekarang,
terjadi banyak dislokasi perilaku keberagamaan seseorang. Sering kita jumpai
orang ramai bermunajat di medsos, orang melaksanakan tawaf mengelilingi ka’bah
disibukkan dengan “selfi-selfi”,
setiap aktivitas ritual keagamaan diupload di “IG”, belajar ilmu agama tanpa
guru tetapi melalui “google”, datang
ke kiyai hanya untuk meminta doa banyak rizki, dapat jodoh, menyembuhkan
penyakit, naik jabatan, dan segala bentuk “pengasian” lainnya. Itulah mungkin
diantara fenomena dislokasi dalam beragama. Casing
nya atas nama ibadah, namun substansinya sia-sia karena lebih pada pamer dan
ingin mendapatkan perhatian khalayak banyak.
Fenomena keberagamaan lain
adalah dipaksakannya pikiran/pendapat/keyakinan orang untuk sama dengan apa
yang kita pikirkan dan kita yakini dengan mengatasnakan agama. Padahal Allah
secara jelas menyatakan bahwa kita tidak dijadikan satu umat yang sama agar
kita kreatif saling berkompetisi dalam kebaikan. Dalam konteks ini perlu kita
bedakan tentang agama dan pemahaman tentang agama. Agama dari dahulu hingga
sekarang tidak berubah yaitu nash yang ada dalam alqur’an dan hadits nabi,
namun orang memahami ayat-ayat alqur’an dan hadits nabi berbeda-beda sehingga
melahirkan berbagai aliran baik dalam fikih maupun teologi, itulah yang
dimaksud dengan pemahaman tentang agama. Selama ada manusia maka pasti ada
perbedaan dan saling berseberangan. Agamanya sama “Islam” ayatnya sama dalam
alqur’an namun praktek dalam kehidupannya bisa berbeda karena pemahaman yang
berbeda.
Jangan heran jika kita
jalan ke Maroko kemudian menjumpai para gadis muslim yang sedang
menimang-nimang seekor anjing. Dalam nash alqur’an sama ayatnya tentang “alkalb” namun bagi mazhab Maliki, anjing
bukanlah hewan najis, begitu juga bagi kalangan hanafiah. Ini berbeda dengan
kita yang ada di mazhab Syafiiyah yang menghukumi najis dan haram
memeliharanya. Kita juga menyaksikan pelaksanaan salat Jumat yang berbeda-beda.
Bagi Hanafiah cukup dilakukan dengan jumlah makmum 3 orang, kalangan Malikiyah
mensyaratkan 12 orang, tapi kalangan Syafiiyah dan Hanabilah mengharuskan 40
orang. Perbedaan pemahaman tentang suatu persoalan ini tidak hanya terjadi pada
masalah hukum fikih tapi juga pada persoalan teologi. Ini bukti bahwa perbedaan
pandangan tidak akan pernah bisa disatukan dalam memahami suatu ajaran. Oleh
karena itu, kita tidak patut memaksakannya hingga melahirkan kekerasan apalagi
sampai pada pembunuhan. Agamanya sama tapi pemahaman tentang agama bisa
berbeda.