Jumat, 31 Juli 2020

DIMENSI DALAM BERAGAMA


Agama berasal dari kata “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jika digabung, agama bermakna tidak kacau, atau bahwa orang yang beragama itu tidak kacau kehidupannya. Lantas bagamana jika ada atau bahkan banyak umat beragama namun kacau perilakunya?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah karena banyak faktor. Jika dilihat dari dimensi yang ada dalam beragama, bisa jadi perilaku buruk orang beragama itu karena sesungguhnya ia belum beragama sepenuhnya.
Ada beberapa dimensi dalam beragama, diantaranya pertama dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan terhadap Tuhan beserta ajaranya, kedua dimensi praktis atau ritual yaitu pelaksanaan ibadah yang diperintahkan, ketiga dimensi pengalaman yaitu pengelaman kehadiran sang Khalik pada dirinya, keempat dimensi pengetahuan yakni berbagai informasi tentang ajaran agama, dan kelima dimensi etis yakni tindakan yang sesuai dengan norma dan ajaran sebagai perwujudan iman.
Persoalan keberagamaan manusia saat ini tentu tidak lepas dari dimensi-dimensi tersebut di atas. Jika seseorang telah lengkap memenuhi berbagai dimensi yang ada, maka implementasi keberagamaanya akan benar dan perilakunya baik. Jika terjadi sebaliknya, dapat diasumsikan keberagamaan orang tersebut masih terbatas pada salah satu dimensi tertentu sehingga terjadi split antara ucapan dan tindakannya.
Di era sekarang, terjadi banyak dislokasi perilaku keberagamaan seseorang. Sering kita jumpai orang ramai bermunajat di medsos, orang melaksanakan tawaf mengelilingi ka’bah disibukkan dengan “selfi-selfi”, setiap aktivitas ritual keagamaan diupload di “IG”, belajar ilmu agama tanpa guru tetapi melalui “google”, datang ke kiyai hanya untuk meminta doa banyak rizki, dapat jodoh, menyembuhkan penyakit, naik jabatan, dan segala bentuk “pengasian” lainnya. Itulah mungkin diantara fenomena dislokasi dalam beragama. Casing nya atas nama ibadah, namun substansinya sia-sia karena lebih pada pamer dan ingin mendapatkan perhatian khalayak banyak.
Fenomena keberagamaan lain adalah dipaksakannya pikiran/pendapat/keyakinan orang untuk sama dengan apa yang kita pikirkan dan kita yakini dengan mengatasnakan agama. Padahal Allah secara jelas menyatakan bahwa kita tidak dijadikan satu umat yang sama agar kita kreatif saling berkompetisi dalam kebaikan. Dalam konteks ini perlu kita bedakan tentang agama dan pemahaman tentang agama. Agama dari dahulu hingga sekarang tidak berubah yaitu nash yang ada dalam alqur’an dan hadits nabi, namun orang memahami ayat-ayat alqur’an dan hadits nabi berbeda-beda sehingga melahirkan berbagai aliran baik dalam fikih maupun teologi, itulah yang dimaksud dengan pemahaman tentang agama. Selama ada manusia maka pasti ada perbedaan dan saling berseberangan. Agamanya sama “Islam” ayatnya sama dalam alqur’an namun praktek dalam kehidupannya bisa berbeda karena pemahaman yang berbeda.
Jangan heran jika kita jalan ke Maroko kemudian menjumpai para gadis muslim yang sedang menimang-nimang seekor anjing. Dalam nash alqur’an sama ayatnya tentang “alkalb” namun bagi mazhab Maliki, anjing bukanlah hewan najis, begitu juga bagi kalangan hanafiah. Ini berbeda dengan kita yang ada di mazhab Syafiiyah yang menghukumi najis dan haram memeliharanya. Kita juga menyaksikan pelaksanaan salat Jumat yang berbeda-beda. Bagi Hanafiah cukup dilakukan dengan jumlah makmum 3 orang, kalangan Malikiyah mensyaratkan 12 orang, tapi kalangan Syafiiyah dan Hanabilah mengharuskan 40 orang. Perbedaan pemahaman tentang suatu persoalan ini tidak hanya terjadi pada masalah hukum fikih tapi juga pada persoalan teologi. Ini bukti bahwa perbedaan pandangan tidak akan pernah bisa disatukan dalam memahami suatu ajaran. Oleh karena itu, kita tidak patut memaksakannya hingga melahirkan kekerasan apalagi sampai pada pembunuhan. Agamanya sama tapi pemahaman tentang agama bisa berbeda.

NASEHAT KEMATIAN


Terdapat beberapa kelompok manusia dalam memandang kematian. Ada manusia yang yakin bahwa kematian pasti datang dan itu merupakan pintu gerbang menuju hari pembalasan atas setiap amal perbuatannya. Umat Islam dan beberapa agama lainnya meyakni hal itu, sehingga amal perbuatan yang dilakukan merupakan perwujudan atas keyakinan bahwa semua itu akan ada balasannya. Kelompok lain, ada manusia yang yakin akan datangnya kematian namun hal itu tidak ada pengaruh apapun, mati ya mati setelah itu selesai. Kelompok ini adalah orang ateis hedonis. Mereka tidak percaya adanya Tuhan, tidak ada hari pembalasan, dan hidup di dunia adalah akhir dari segalanya. Kelompok ini berusaha mencapai kenikmatan apapun yang diinginkan di dunia karena tidak ada kenikmatan setelah hidup. Atas keyakinnya, mereka tidak segan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri apabila merasakan kesulitan ekonomi, kesehatan, dan problem duniawi lainnya. Kelompok terakhir adalah meyakini bahwa kematian dapat ditolak dengan cara membuat obat/vaksin sehingga dapat mempertahankan umur manusia, baginya hidup lebih baik daripada mati. Atas keyakinannya, kelompok ini terus berusaha mengembangkan riset yang didukung “google” dengan harapan usia manusia nanti akan mencapai 150 tahun bahkan 500 tahun.
Sebagai muslim, kita percaya dengan kematian dan hari pembalasan. Kematian merupakan perpindahan dari alam dunia ke alam kubur menuju alam akhirat dimana setiap kita akan menerima balasan atas perbuatan yang kita kerjakan. Jika tidak ada kematian, maka tentu tidak ada hari pembalasan. Dengan demikian, akan terjadi hukum rimba siapa kuat, siapa menang, dan siapa dholim akan mengalahkan yang lemah tanpa pertolongan. Tapi dengan adanya kematian dan alam lanjutan setelah dunia, kita semua akan dihadapkan pada peradilan sebagai pertanggungjawaban atas setiap tindakan.
Malaikat Jibril pernah memberikan nasehat kepada Nabi Muhammad SAW tentang kematian :
  1. ‘Isy ma syi’ta fainnaka mayyitun. Hiduplah semaumu, sesunggunya engkau akan mati. 
  2.   Ahbib ma syi’ta fainnaka mufaariquhu. Cintailah apapun sesukamu, sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. 
  3.   I’mal ma syi’ta fainnaka majzii bihi. Lakukan apa saja yang engkau mau, sesungguhnya semua akan ada balasannya.
Tiga nasehat di atas, mengajarkan kita untuk selalu ingat mati, karena itu adalah masa depan yang pasti. Suka tidak suka pasti akan datang kapanpun dan dimanapun tanpa sepengetahuan manusia. Selain itu juga mengajarkan tentang cinta kita pada gemerlapnya dunia yang segera akan kita tinggalkan. Apa yang kita miliki semua pasti berpisah dan tidak akan memberikan pertolongan kepada kita di alam kubur dalam akhirat selain amal baik yang kita kerjakan. Hal ini sebagaimana nasehat yang ketiga bahwa apapun yang kita lakukan pasti ada balasannya. Kita diingatkan untuk terus menabung amal baik sebagai bekal kita kelak.
Sebagai cermin kita di dunia, bahwa hasil riset tentang banyaknya villa mewah di berbagai wilayah ternyata hanya 30 persen pemanfaatannya, perabot rumah tangga yang kita miliki hanya 30 persen yang kita gunakan setiap hari, speed kendaraan yang kita miliki baik mobil maupun motor hanya 30 persennya kita gunakan dalam berkendaraan, HP yang kita bawa-bawa setiap hari hanya 30 persen fasilitas yang tersedia di dalamnya yang kita manfaatkan selebihnya mubazir, harta yang dimiliki manusia juga hanya 30 persen yang dinikmati, sisanya dipersiapkan untuk diwariskan. Jika apa yang kita miliki di dunia hanya 30 persen yang kita gunakan, maka berapa persenkah energy yang kita miliki untuk dipersiapkan bagi kehidupan di akhirat?