Senin, 26 Maret 2018

KEWAJIBAN MENULIS


Prof. Abdurrachman Mas’ud, Ph. D, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dalam sambutan pembukaan acara pembinaan Karya Tulis Ilmiah bagi Widyaiswara di Hotel Aston, Cihampelas, Bandung mengatakan bahwa peningkatan kemampuan menulis Widyaiswara adalah tanggungjawab semua pihak di Badan Litbang dan Diklat.
Menurutnya, bahwa menulis merupakan perintah agama. Barang siapa yang tidak melakukan aktivitas tulis menulis maka akan berdosa karena kewajiban kita sebagai academic people tidak sebatas ibadah ritual mahdhoh saja tetapi ada lagi lainnya seperti menulis. Kita ketahui bahwa peran pena terhadap peradaban manusia sangatlah besar seperti dicontohkan oleh para ulama kita masa lalu yang banyak menghasilkan karya berupa kitab dan buku-buku lainnya yang sangat bermanfaat bagi ummat manusia hingga saat ini.
Untuk mendukung kemampuan menulis, maka kita harus membaca karena tanpa membaca tidak mungkin ada hal yang dapat dituangkan. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran Islam yakni tercantum dalam surat Al-Alaq “iqra” yang berarti bacalah. Tradisi membaca dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan kita yang pada akhirnya kita mampu menuangkan dalam bentuk tulisan.
Siapa yang tidak menulis maka ia abai terhadap peradaban, dan siapa yang abai terhadap peradaban maka abai terhadap dunia ini. Oleh karena itu, sebagai kaum intelektual kita harus menulis yang dapat ditegaskan dalam pernyataan “publish-lah tulisan anda atau anda akan musnah”.
Untuk kita terbiasa menulis maka kita harus melakukan pembiasaan “exercise make impossible, possible” artinya latihan itu menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kepala Badan Litbang dan Diklat mencontohkan pengalamannya ketika menulis sebuah proposal penelitian sebanyak 7 halaman untuk dikirimkan ke Amerika Serikat pada program postdoct dan diterima oleh tim seleksi dari 200 peserta seluruh dunia yang mengajukan. Penulisan proposal ini tentu merupakan buah dari proses dan kebiasaan menulis yang selama ini dilakukan semenjak masih mahasiswa. Reward terhadap 5 proposal yang terpilih sebagai proposal terbaik itu diberikan kesempatan melakukan penelitian selama 6 bulan dengan pembiayaan yang sangat besar full dari Amerika.

MELATIH KEMAMPUAN MENULIS


Menulis merupakan kebiasaan tetapi banyak orang menganggap itu sulit. Sesungguhnya setiap penggosip pasti bisa menulis, karena keduanya memiliki aktivitas sama hanya beda media. Penggosip menggunakan media lisan sedangkan penulis menggunakan pena. Kemampuan menggosip kita ini karena telah sejak lama kita terbiasa dengan tradisi lisan dan jauh dari kebiasaan menulis, mengapa demikian, karena ketika kita anak-anak dulu tidak bisa bicara maka diupayakan oleh orang tua kita di bawa ke orang pintar untuk dikerok lidahnya dengan emas dll, tetapi ketika kita tidak bisa menulis, orang tua kita tidak terlalu menghiraukannya.
Menulis itu seharusnya seperti berbicara yakni mengalir saja, masalahnya kenapa kita sulit menulis karena kita berpikir tertalu serius bahwa menulis itu susah sehingga kita enggan melakukannya, padahal seharusnya kita lakukan saja menulis tentang apapun yang terbesit dalam pikiran.
Dalam menulis kita tidak perlu berpikir dulu tentang huruf besar atau kecilnya, kalimatnya bagus atau tidak, kata-katanya sudah cocok atau belum, termasuk teori yang sesuai atau tidak, terstruktur atau tidak. Jadi, yang lebih penting adalah menuliskan apa- apa yang ada dalam ide apapun bentuknya. Latihan kita dalam menulis dilakukan dengan cara menuangkan ide yang ada dalam kepala kita. Tuliskan apa saja ide-ide yang muncul tanpa harus berpikir dan memikirkannya, jika dalam proses menulis muncul pikiran “susah ya”, maka tulislah kata itu, atau bila terpikir “kok mentok ya”, maka tulis saja kata “mentok ya” itu, dan seterusnya.
Tahap selanjutnya ketika kita sudah menulis adalah melakukan revisi untuk mencocokkan tanda baca, paragraf, dan ketersambungan antarkalimat. Dengan kita menulis tanpa berpikir apapun berarti kita telah menyelamatkan gagasan daripada menyelamatkan tanda baca. Nah, yang sering terjadi adalah kita lebih suka menyelamatkan tanda baca dan lainnya sehingga lupa dengan gagasan yang muncul dalam benak kita.
Setelah tulisan rapih, kemudian langkah berikutnya yang kita lakukan adalah memberikan penguatan dengan memberikan kutipan dari ayat, hadits atau dari teori yang kita baca. Jika tulisan kita ini sudah sedemikian rupa ditata dan dikuatkan dengan berbagai rujukan, maka tulisan kita menjadi lebih bermakna dan ilmiah.
Menurut Dr. Bambang Qomaruzaman, bahwa inti tulisan yang kita pertahankan atau kita tolak adalah “tesis”. Orang Barat selalu bertanya kepada kita “apa tesis anda?”, itu artinya apa yang kita pertahankan itu. Dalam tesis minimal terdapat dua struktur kalimat jadi tidak sekedar informasi. Contoh rerata nilai UN siswa di bawah KKM (ini baru informasi karena baru satu struktur kalimat) jika dilengkapi bahwa rerata nilai UN siswa di bawah KKM disebabkan kualitas guru yang rendah (ini sudah menjadi tesis yang bisa didukung atau ditolak)
Buku, artikel, atau jurnal sebesar apapun, intinya adalah satu kata yakni “tesis”. Contoh inti sebuah buku bahwa pendidikan karekater lebih efektif dilakukan melalui peneladanan. Tesis ini mungkin dibahas dalam buku berbab-bab dari mulai sejarah, definsi, contoh, teori-teori, dll tapi intinya adalah bahwa pendidikan karakter lebih efektif dengan keteladanan.
Terhadap tesis yang dibangun, kita dapat mendukungnya dengan mengumpulkan bukti-bukti yang ada atau kita menolak tesis tersebut dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang benar-benar menolak tesis itu.

KINERJA MENGAJAR GURU


ABSTRAK

Secara teoretik, kinerja mengajar guru dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor internal diantaranya persepsi, sikap, komitmen, motivasi, kepuasan dan emosi, dan faktor eksternal diantaranya kepemimpinan, struktur, budaya, lingkungan, orang, dan imbalan.  Berdasarkan  hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja, dan kinerja mengajar guru dan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, dan komitmen kerja terhadap kinerja mengajar guru.

Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket atau kuesioner dalam bentuk skala Likert. Populasi sebagai unit analisis penelitian adalah guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi sebanyak 489 orang. Sampel penelitian menggunakan desain restricted sample yang terlebih dahulu dikelompokkan secara homogen yaitu kelompok guru sudah disertifikasi dan kelompok guru belum disertifikasi, jumlah sampel diambil sebanyak 20 % dengan teknik proporsional kemudian digenapkan menjadi 100 orang sekaligus sebagai responden penelitian. Teknik analisis data menggunakan analisis jalur (path analysis).

Kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja, dan mengajar guru Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi tergolong baik meskipun terdapat beberapa aspek yang masih lemah. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, dan komitmen kerja memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah.

Untuk meningkatkan kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah di Kota Bekasi direkomendasikan: (1) Kepada Kepala Madrasah agar lebih fokus pada aspek akademik disamping aspek administratif, membuat program lanjutan terkait dengan pembinaan dan pengembangan kinerja mengajar guru terutama peningkatan kualitas proses pembelajaran dalam bentuk supervisi akademik baik klinis maupun non klinis, membuat kegiatan pelatihan guru tentang strategi dan mode-model pembelajaran atau mengikutsertakannya pada kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya. (2) Kepada para guru agar terus berupaya meningkatkan kinerja mengajar melalui kegiatan refleksi, memprogramkan kegiatan lesson study dengan melakukan open lesson bagi guru-guru dalam satu sekolah atau antarsekolah. (3) Kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian dengan melibatkan variabel dan pendekatan lain.

  
PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Dalam proses pengelolaan pendidikan terdapat beberapa unsur penting, yaitu unsur sumber daya manusia, unsur material dan unsur biaya. Unsur sumber daya manusia adalah guru, staf, siswa, unsur material adalah gedung, sarana fisik, sumber belajar, dan unsur biaya adalah pembiayaan proses pendidikan. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain menjadi satu sistem yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan.

      Dari berbagai unsur di atas, guru sebagai unsur manusia memiliki peran  strategis dalam menggerakkan aktivitas pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain menjadi kurang berarti apabila tidak disertai dengan kinerja guru yang memadai, meskipun kinerja guru ini tidak dapat dilepaskan dari sumberdaya pendukung lainnya yang dapat menyebabkan optimalisasi kerja. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan, proses, dan hasil pendidikan.

Kualitas pendidikan secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas guru. Hal ini seperti dikatakan Brandt (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001 : 262), bahwa guru merupakan kunci utama yang memiliki peran besar dalam peningkatan mutu pendidikan, guru berada pada titik sentral dari setiap usaha perbaikan pendidikan yang diarahkan pada perubahan seluruh aspek seperti kurikulum, metode dan pengembangan sarana prasarana. Perubahan dan perbaikan aspek-aspek di atas, tidak akan bermakna apabila melibatkan guru sebagai pelaku pendidikan.

Atas dasar peran kunci guru di atas, bahwa kemampuan mengelola pembelajaran yang berkualitas menjadi kewajiban guru sebagai pendidik yang berhadapan langsung dengan siswa di kelas dan tidak bisa dilepaskan dari tugas pokok dan fungsi yang melekat pada jabatan yang diembannya. Hal ini berarti bahwa kompetensi guru mutlak diperlukan bahkan harus dikembangkan secara simultan guna mendorong terbentuknya pola-pola pembelajaran berkualitas melalui berbagai strategi dan pendekatan efektif dari sisi kebijakan yang dibuat, konten yang diberikan, maupun pelakunya. Kinerja guru dapat mempengaruhi usaha dan aktivitas belajar siswa, hal ini didukung fakta yang dinyatakan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementeriaan Pendidikan Nasional (dalam Sudrajat: 2008), bahwa berdasarkan hasil penelitian pada negara-negara berkembang bahwa faktor yang memberikan kontribusi paling besar terhadap prestasi belajar siswa adalah berasal dari faktor guru sebesar 36%, sedangkan sisanya adalah faktor manajemen sebesar 23%, faktor waktu belajar sebesar 22%, dan faktor sarana fisik sebesar 19%. 

Peran dan urgensi guru sebagai motor pendidikan, secara faktual mengalami kendala besar. Hasil rapat kerja Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004, menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi pendidikan dilihat dari kondisi guru saat ini adalah:  (a) Kualifikasi dan kompetensi guru yang kurang layak, sehingga menghambat peningkatan mutu pendidikan; (b) Kualifikasi akademik guru masih banyak yang di bawah standar minimal yang dipersyaratkan;  dan   (c)   Kompetensi   guru   terhadap   mata   pelajaran  yang diajarkan kurang memadai (Setjen Depdiknas, 2004 : 5). Pada persoalan yang sama, kondisi tidak lebih baik lagi terjadi pada madrasah-madrasah (lembaga pendidikan yang dikelola Kementerian Agama), terdapat 60 % guru madrasah (MI, MTs, dan MA) tidak memiliki kualifikasi yang memadai sebagai guru, sebanyak 20 % guru mengajar di luar bidang keahliannya, dan dari seluruh guru yang ada ternyata hanya 20 % yang layak dari segi kualifikasi pendidikannya (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001 : 262).

Sejalan dengan data di atas, berdasarkan hasil penelitian bahwa skor penguasaan guru terhadap metodologi pembelajaran yang diterapkan di kelas hanya mencapai sekitar 51,81 % dan aspek yang paling rendah terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran dengan skor 37,08% (Umul Hidayat, 2006: 92). Rendahnya penguasaan pada beberapa aspek di atas menunjukkan rendahnya kinerja guru dalam mengajar.

Pada skala lokal, bersamaan dengan political-will Pemerintah mengupayakan peningkatan mutu pendidikan dengan lahirnya berbagai Peraturan Pemerintah dan Permendiknas terkait penyelenggaraan pendidikan, ditemui data statistik penurunan minat masyarakat terhadap madrasah khususnya di Kota Bekasi yang terindikasi pada : 1. Madrasah menjadi alternatif terakhir, sehingga siswa yang masuk ke madrasah pada umumnya merupakan siswa yang tidak diterima di sekolah umum, 2. Semakin sedikitnya siswa yang diserap madrasah, baik dari SMP/MTs ke MA, dari SD/MI ke MTs, apalagi dari TK/RA yang diserap MI (Tim Mapenda Depag Kota Bekasi, 2007).

Sesungguhnya banyak faktor yang dapat mempengaruhi eksistensi minat masyarakat terhadap pendidikan di madrasah, seperti : daya tarik program, kurikulum, kualitas proses pembelajaran, kualitas guru, kualitas kepemimpinan kepala madrasah, penilaian pendidikan, kualitas lulusan, kualitas pengelolaan, kualitas sarana, pelayanan, keterbukaan dan pengawasan madrasah. Apabila berbagai aspek di atas dapat terpenuhi, maka tujuan pendidikan yang sangat mulia dan sarat dengan sinergi berbagai unsur dapat dicapai dengan optimal. Secara empirik, rendahnya minat masyarakat terhadap Madrasah khususnya Madrasah Aliyah, dikuatkan dengan hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya mutu Madrasah Aliyah dilihat dari 8 standar nasional pendidikan yang terindikasi pada rendahnya mutu proses pembelajaran yang berdampak pada rendahnya kompetensi lulusan hanya mencapai 23,7 % yang mampu bersaing dalam memasuki Perguruan Tinggi Negeri dan lemahnya kinerja mengajar guru dalam melakukan interaksi pembelajaran, yaitu hanya 36,6 % (Tim Mapenda Depag Kota Bekasi, 2007: 35).

Persoalan rendahnya kinerja sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti diungkapkan di atas, Wood melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu (job performance) yaitu suatu fungsi dari interaksi atribut individu (individual atribut), yaitu usaha kerja (work effort) yang muncul dari dalam individu tersebut dan dukungan organisasi (organizational support) (Wood, Wallce, Zeffane, 2001 : 91).

Berdasarkan kutipan di atas, teridentifikasi aspek-aspek internal sebagai atribut individu yang berpengaruh terhadap kinerja diantaranya adalah faktor motivasi dalam bekerja dan komitmen organisasi. Motivasi kerja dan komitmen organisasi ini erat kaitannya dengan dorongan dari dalam diri sendiri untuk melakukan, menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan kerja sehingga semua hambatan dapat diselesaikan mencapai hasil kerja yang optimal. Sedangkan aspek-aspek eksternal teridentifikasi variabel kepemimpinan kepala sekolah dan budaya organisasi. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a.      Bagaimanakah kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja dan komitmen kerja guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?

b.      Bagaimanakah pengaruh kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja mangajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?

c.      Bagaimanakah pengaruh budaya madrasah terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?

d.      Bagaimanakah pengaruh motivasi kerja guru terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?

e.      Bagaimanakah pengaruh komitmen kerja guru terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?

f.      Bagaimanakah pengaruh kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja dan komitmen kerja guru terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?



TINJAUAN TEORITIS

    1. Kinerja Mengajar Guru

Kinerja merupakan nilai dari seperangkat perilaku yang berkontribusi baik secara positif maupun negatif terhadap pencapaian tujuan organisasi, artinya kinerja positif akan berkontribusi pada semakin tercapaianya tujuan organisasi, dan semakin negatif kinerja, maka akan berpengaruh terhadap semakin jauh pencapaian tujuan, seperti dikatakan “Job performance is formally defined as the value of the set of employee behaviors that contribute, either positively or negatively, to organizational goal accomplishment” (Jasson A. Colquitt, et.al, 2009: 37).

Kinerja  seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dalam diri sendiri, faktor internal sangat berperan dalam menentukan kualitas kerja dari seseorang. Dengan adanya keinginan dan tekad yang bulat yang berasal dari dalam diri, maka kinerja yang dihasilkan dapat meningkat dengan baik. Lain halnya dengan faktor eksternal, faktor ini memungkinkan seseorang bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh untuk menciptakan kualitas kerja berdasarkan faktor dari luar diri sendiri. Hal ini dapat terjadi dengan adanya dorongan dari pimpinan berupa  penilaian kinerja.

Dikatakan Uzer Usman (2006: 10-19) bahwa indikator kinerja guru dalam proses belajar-mengajar adalah: 1) Kemampuan merencanakan kegiatan belajar mengajar, yang meliputi: a) menguasai garis-garis besar penyelenggaraan pendidikan, b) menyesuaikan analisis materi pelajaran, c) menyusun program semester, d) menyusun program atau pembelajaran; 2) Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar mengajar, meliputi: a) tahap pra instruksional, b) tahap instruksional, c) tahap evaluasi dan tidak lanjut; dan 3) Kemampuan mengevaluasi, meliputi: a) evaluasi normatif, b) evaluasi formatif, c) laporan hasil evaluasi, dan d) pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan.

Dari uraian di atas, proses belajar mengajar di kelas dilakukan melalui tiga tahapan besar, yaitu membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran.



 1).  Membuat Perencanaan Mengajar

Aktivitas guru dalam melakukan rangkaian pembelajaran dimulai dari menyusun rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing, dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya proses belajar mengajar selanjutnya (Soedijarto, 1993 : 96).

Perencanaan mengajar merupakan persiapan yang dibuat sebagai standar atau rambu-rambu dalam proses pembelajaran di kelas. Menurut Fred C. Lunenburg & Beverly J. Irby (2006: 88-89) konten perencanaan pembelajaran adalah meliputi:

1)       Goal, yaitu sasaran umum yang hendak dicapai dalam pembelajaran.

2)       Tujuan, yaitu aspek khusus yang harus dikuasai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran yang mengacu pada pola abcd (audience, behavior, condition, degree).

3)       Menentukan materi yang akan diajarkan.

4)       Level dan karakteristik siswa, yakni memperhitungkan berbagai perbedaan yang memungkinkan berbedanya pencapaian tujuan.

5)       Penilaian, yaitu melakukan penilaian atas tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dinyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Berbagai aspek di atas, menunjukkan kepada keberadaan dan kesiapan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran di kelas yang sekaligus menentukan apakah proses tersebut memiliki kualitas atau bahkan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa keberadaan seorang guru dalam menyiapkan pembelajaran sangat dibutuhkan baik yang terkait langsung dengan teknis pebelajaran di kelas, maupun perencanaan penunjang lainnya seperti melakukan komunikasi dengan orang tua siswa dalam rangka memantau perkembangan belajarnya.



2). Melaksanakan Pembelajaran

Mengajar merupakan tugas menantang dan kompleks karena yang dihadapi adalah manusia yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda tetapi tetap harus dijamin mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, seorang guru memiliki peran supermulti, yaitu sebagai pendidik, pengajar, pelindung, dll.

              Menurut Hammond :

Teaching must build upon and modify students’ prior knowledge, responsive teachers select and use instructional materials that are relevant to students’ experiences outside school, design instructional activities that engage students in personally and culturally appropriate ways, make use of pertinent examples or analogies drawn from students’ daily lives to introduce or clarify new concepts, manage the classroom in ways that take into consideration differences in interaction styles, and use a variety of evaluation strategies that maximize students’ opportunities to display what they actually know in ways that are familiar to them” (Linda Darling Hammond, 2006: 115).

Bahwa mengajar merupakan kegiatan membangun dan memodifikasi materi sesuai pengalaman siswa, memilih dan menggunakan materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman siswa, mendesain aktivitas pembelajaran yang menarik siswa, menggunakan contoh-contoh dalam pembelajaran sesuai yang dialami siswa, mengelola kelas dengan berbagai cara sehingga menentukan gaya interaksi dalam pembelajaran, dan menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi.

Terkait dengan implementasi kegiatan pembelajaran, dalam bab IV pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.

Pembelajaran efektif merupakan tolokukur keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol ada pada peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar (75 %) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku yang positif pada peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan pembangunan. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka diperhatikan beberapa aspek, di antaranya: (1) guru harus membuat persiapan mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode, suara, maupun gerak, (3) waktu selama proses belajar mengajar berlangsung digunakan secara efektif, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar guru cukup tinggi, dan (5) hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera diatasi. Sedemikian rupa lima aspek itu dilaksanakan, sehingga akan terwujud sebuah pembelajaran yang efektif (Abdul Mukti Bisri, 2008 : 1).

Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal diperlukan proses yang produktif melibatkan seluruh peserta didik secara aktif sebagai subyek belajar. Menurut Gredler (2009: 421-422) bahwa kegiatan mengajar dapat dibangun dengan positif dan proaktif, dengan cara:

1)     Merestrukturisasi tujuan kelas dalam strategi belajar mengajar, yaitu tujuan mana yang ditekankan dalam strategi belajar mengajar dan penugasan kelas yang bervariasi yang dapat mendorong ketertarikan siswa

2)   Mengidentifikasi metode evaluasi yang memadai, yaitu kapan evaluasi formatif dilakukan untuk mengidentifikasi kesalahan dalam rangka meningkatkan pembelajaran, merubah konten dinding kelas dengan hasil pekerjaan siswa, penghargaan kelas dilakukan secara konsisten untuk meningkatkan usaha dan kemampuan siswa, meberikan kesempatan pada siswa secara bervariasi untuk mendemonstrasikan apa yang mereka pelajari.

3)   Mengidentifikasi aktivitas kelas, menekankan kompetisi individu, memfasilitasi strategi dan upaya yang efektif, yaitu membuat persentasi waktu untuk aktivitas kompetisi kelompok-kelompok kecil dalam kelas, memberikan penugasan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa melakukan pengambilan keputusan, menentukan aktivitas kelompok yang dapat digunakan dalam meningkatkan pembelajaran kooperatif, menyiapkan permainan individu dan kelompok yang dapat mendorong peningkatan strategi belajar mengajar.

4)   Memberikan feedback berupa statemen verbal, yaitu memberikan pujian yang memadai, menggunakan strategi konstruktif dalam memberikan simpati atas keberhasilan siswa, menggunakan dalam menyemangati siswa agar bertanggungjawab atas proses pembelajaran yang dilakukannya.

Upaya dan strategi yang dilakukan di atas, sesuai dengan peran dan posisi guru di dalam kelas sebagai manajer yang bertugas mengelola kelas dengan efektif untuk mencapai target yang direncanakan, artinya selama interaksi terjadi di dalam kelas, guru merupakan penanggungjawab utama sebagai figur dalam memfasilitasi siswa dengan berbagai strategi dan pendekatan yang paling sesuai dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti kondisi siswa, materi yang akan disampaikan, metode yang digunakan, kondisi lingkungan, serta sarana prasana yang diperlukan.



3).  Melakukan evaluasi

Hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah proses pembelajaran di kelas adalah aspek penilaian. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru mencakup 4 aspek, yakni aspek pengetahuan dan pemahaman konsep (yaitu bagaimana siswa dapat mendemonstrasikan pemahamannya), aspek kemampuan berpikir (yaitu bagaimana siswa dapat berpikir atau menunjukkan indikator bahwa mereka dapat berpikir), aspek keterampilan (yaitu apa yang dapat siswa lakukan yang mengindikasikan adanya perubahan), dan aspek perilaku (yaitu bagaimana perilaku siswa menunjukkan perubahan positif di kelas) (Donald C. Orlich, et al., 2010: 325).

Pelaksanaan evaluasi dan penilaian siswa sangat penting dilakukan guna mengukur kemampuan siswa dan ketercapaian target yang ditetapkan. Evaluasi dan penilaian belajar dilakukan dengan tujuan menetapkan tingkat pemahaman siswa, menilai performan siswa, menetapkan siswa pada kelas selanjutnya, mengidentifikasi kesulitan siswa sehingga memerlukan tugas tambahan. Hal ini seperti dikatakan bahwa pencapaian hasil belajar adalah terpenuhinya kompetensi yang dimiliki siswa dari segi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Balitbang Depdiknas, 2002 : 3).

Menurut Cross dalam Sukardi (2008 : 1) yang dimaksud dengan evaluasi adalah : a process which determines the extent to which objectives have been achieved. Bahwa evaluasi adalah sebuah proses yang menentukan kondisi yang menunjukkan bahwa tujuan telah dapat dicapai. Hal demikian mengindikasikan bahwa jika tujuan belum dicapai maka mengharuskan guru melakukan upaya mendapatkan informasi yang valid tentang kemengapaan bahwa tujuan itu tidak tercapai yang selanjutnya diperlukan tindakan mengantisipasi masalah tersebut. Dengan demikian, penilaian hasil belajar terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang tepercaya yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Keputusan tersebut berhubungan dengan keberhasilan peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi dan penggunaan strategi kedepan yang lebih baik untuk dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Aspek yang dinilai dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar adalah: kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif terkait dengan kemampuan intelektual siswa dalam mendemonstrasikan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah. Aspek afektif terkait dengan target pencapaian yang berhubungan dengan sikap, ketertarikan, nilai, rasa percaya diri, kecenderungan mengambil resiko, dan saikap dalam belajar. Sedangkan psikomotor berkaitan dengan keterampilan fisik seperti kemampuan menggunakan keyboard pada komputer atau kemampuan melakukan shoot pada permainan bola basket (W. James Popham, 2011 : 35). 

Pengukuran kinerja guru memiliki tujuan tertentu, seperti dikatan Maria Asuncao Flores (2010: 47):

Teacher performance appraisal also aims at: (a) contributing to improve teaching practice; (b) contributing to improve teacher development and growth; (c) identifying teachers’ training needs; (d) identifying the factors which influence teachers’ achievements; (e) differentiating and recognising the best professionals; (f) identifying indicators for managerial decisions; (g) promoting cooperation among teachers in order to enhance student achievement; and (h) promoting excellence and quality of the services to the community.

Bahwa tujuan pengukuran kinerja guru adalah: (a) sebagai kontribusi untuk meningkatkan kemampuan praktis guru, (b) sebagai kontribusi dalam peningkatan dan pengembangan guru, (c) untuk mengidentifikasi kebutuhan training bagi guru, (d) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru, (e) untuk membedakan dan memberikan pengakuan terhadapa guru yang professional, (f) untuk mengidentifikasi indikator dalam pengambilan keputusan manajemen, (g) memberikan promosi guru agar melakukan peningkatan prestasi siswa, (h) mempromosikan kualitas dan pelayanan terbaik terhadap masyarakat.

               

 2. Kepemimpinan Kepala Madrasah

Istilah kepemimpinan melukiskan hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam suatu organisasi yang dapat bekerjasama. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mau berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan bersama. Artinya bahwa kepemimpinan adalah tindakan yang dapat menyebabkan orang lain secara perorangan maupun kelompok yang bersama-sama bekerja mencapai satu tujuan.

Locke (1997: 3-4) mengatakan kepemimpinan sebagai proses membujuk (inducing) orang lain  untuk    mengambil   langkah dan melakukan kegiatan atau tindakan  menuju   suatu    sasaran bersama. Definisi ini mengkategorikan tiga unsur :

1)     Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept);  kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, sehingga pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan orang lain,

2)     Kepemimpinan merupakan suatu proses, dan

3)     Kepemimpinan harus mampu membujuk orang lain untuk mengambil tindakan, antara lain dengan cara menggunakan otoritas yang terlegitimasi yang dimiliki, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi yang dibuat.

Kepemimpinan  adalah sesuatu yang unik, kepemimpinan tidak pernah sama dalam memimpin.  Kepemimpinan  terkait dengan beberapa tema umum,  tentang tujuan, harapan, inspirasi, pengaruh  dan dilakukan secara berulang-ulang  guna memengaruhi terjadinya perubahan yang menuntut kemampuan berkomunikasi dan  berhubungan   dengan seluruh anggota organisasi, terutama bawahannya, karena pemimpin dan pekerja saling membutuhkan,  agar tujuan organisasi   dapat    terwujud

Dari sudut pandang kepemimpinan, menurut Pidarta (2009:19) bahwa peran kepala sekolah adalah sebagai manager, administrator, motor humas, leader, dan supervisor. Kepala sekolah sebagai manajer berarti sosok yang melakukan proses pengelolaan organisasi. Kata proses mempunyai arti bahwa manajemen merupakan cara kerja yang dilaksanakan secara sistematis. Manajemen dalam suatu organisasi merupakan suatu satuan kerja yang terdiri dari beberapa bagian  yang dikoordinasikan dan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sifat pekerjaan manajemen, yakni mengkordinasikan pekerjaan orang yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen.

Manajer yang mengelola dan mengendalikan kegiatan pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Peran dan tugasnya sebagai pimpinan, tidak terlepas dari upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran; termasuk menstimulasi, menyeleksi, pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan-tujuan  pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran (Mulyasa, 2002 : 155).

Hal ini ditegaskan  bahwa praktek manajemen menunjukkan bahwa fungsi atau kegunaan manajemen (planning, organizing, actuating, dan controlling) secara langsung ataupun tidak langsung selalu bersangkutan dengan unsur manusia. Perencanaan (planning) meliputi  serangkaian keputusan termasuk tujuan, membuat program, menentukan metode, dan prosedur serta menetapkan jadwal  pelaksanaan. Mengorganisasikan (organizing) selain mengatur unsur-unsur lain juga selalu menyangkut unsur-unsur manusia. Mengaktualisasikan (actuating) adalah proses menggerakkan anggota organisasi, sedangkan pengontrolan (controlling) diadakan agar pelaksanaan manajemen (manusia) selalu dapat meningkatkan hasil kerjanya (Handayaningrat, 1996 : 6). Pengarahan mencakup kegiatan mempengaruhi anggota organisasi agar berprestasi sedemikian rupa sehingga mendukung tercapainya tujuan. Pengawasan adalah suatu usaha untuk mengetahui bahwa  hasil yang dicapai organisasi sesuai dengan prestasi yang direncanakan. Pengorganisasian adalah pengelompokan kegiatan yang diwadahi dalam unit-unit yang melaksanakan rencana dan menetapkan hubungan antara pimpinan dan bawahan di setiap unit.

Menurut Leslie W. Rue & Lloyd L. Byars (2010 : 5-6), terdapat lima aktivitas dasar yang harus dilakukan seorang manajer, yaitu:

1)     Planning, yaitu menentukan tujuan yang efektif dalam melakukan penilaian pekerjaan yang dilakukan. Terdapat tiga tahapan dalam perencanaan ini yaitu menilain kondisi peralatan yang ada, menilai perilaku pegawai, dan ketersediaan material.

2)     Organizing, yaitu mendistribusikan setiap pekerjaan kepada pegawai baik secara individual maupun kelompok.

3)     Staffing, yaitu fokus kegiatan pada bagaimana mendapatkan dan mengembangkan kualitas pegawai.

4)     Leading, yaitu menunjukkan dan menghubungkan perilaku pegawai dengan tujuan pekerjaan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan dari pekerjaan yang dilakukan.

5)     Controlling, yaitu menentukan seberapa baik sebuah pekerjaan yang dilakukan dibandingkan dengan rencana yang ditetapkan.   

Peran sebagai administrator, seorang kepala sekolah dituntut memahami aspek-aspek administrasi sekolah, seperti administrasi sumber daya manusia, administrasi kurikulum, administrasi keuangan dan administrasi sarana prasarana. Seperti dikatakan Ahmad Sanusi dalam Idochi Anwar (2003: 77-79) bahwa kemampuan kepala sekolah dengan misi profesionalnya terdiri atas : 1) Kemampuan dalam administrasi sekolah yang meliputi kemampuan tujuan, kemampuan proses dan kemampuan teknis manajerial; 2) Pengetahuan dalam administrasi sekolah yang meliputi berbagai pengetahuan yang relevan dengan proses administratif dan bidang teknis; serta 3) Komitmen dalam administrasi sekolah yang meliputi orientasi kearah perbaikan syarat keunggulan professional, aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar yang profesional, dan dedikasi terhadap pengembangan konsep yang lengkap.

              Peran sebagai motor atau penggerak, kepala sekolah fokus pada aktivitas mempengaruhi dan mendorong perilaku yang terkait dengan kegiatan sekolah yaitu berfokus pada proses belajar mengajar, mendorong adanya kolaborasi antarkomponen, menganalisis hasil yang dicapai, mensupport setiap kebutuhan pembelajaran, mengelola kurikulum, pembelajaran dan penilaian hasil belajar, seperti dikatakan : The principal as instructional leader focusing on learning, encouraging collaboration, analyzing results, providing support, aligning curriculum, instruction, and assessment. (Fred C. Lunenburg & Beverly J. Irby, 2006: 14).

Peran sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah memiliki dua fungsi, yaitu : 1) mengusahakan keefektifan organisasi pendidikan, yaitu terkait dengan upaya menciptakan etos kerja yang baik, mengusahakan tenaga pendidik yang memiliki ekspektasi yang tinggi, mengembangkan kualitas tenaga pendidik dan menyediakan kondisi kerja yang baik, 2) mengusahakan kesuksesan lembaga pendidikan / sekolah yaitu meliputi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemimpinan, memiliki tujuan yang jelas, penekanan pada kualitas, dan melakukan evaluasi dan monitoring (Ara Hidayat & Imam Machali, 2010: 83).

Terkait dengan posisi sebagai supervisor, kepala sekolah memiliki dua tanggungjawab besar, yaitu

1)     Menyiapkan supervisi dengan efektif bagi para guru, dan

2)     Menyiapkan kondisi, membantu dan mendukung kebutuhan para guru untuk terlibat dalam kegiatan supervisi yang menjadi bagian dari kegiatan rutin mereka (Sergiovanni & Starra: 2002, 5)

Secara spesifik, kepemimpinan kepala madrasah di lingkungan Kementerian agama dituntut memiliki beberapa kompetensi, yaitu kompetensi utama yakni kemampuannya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pimpinan, kompetensi akademik yaitu berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki kepala madrasah, kompetensi praktis, yaitu kemampuan teknis kepala madrasah dalam mengelola madrasah, dan kompetensi penunjang, yaitu kemampuan membangun hubungan atau komunikasi dengan berbagai pihak dan kemampuan mengambangkan diri secara terus menerus. Empat kompetensi kepala madrasah yang diharapkan di atas, selayaknya tampak dalam perilaku kepemimpinannya dalam hal : 1) mengambil inisiatif dalam mengembangkan kemampuan diri, selalu mengambangkan kemampuan kepemimpinannya, melakukan refleksi dan riset atas kepemimpinannya, mengikuti pelatihan dan pertemuan yang terkait dengan pendidikan, melakukan dialog-dialog informal dengan guru tentang proses pendidikan, membantu kesulitan guru dan tenaga kependidikan lainnya, dan mendorong kerjasama serta meminta masukan berbagai pihak untuk perbaikan pendidikan dan pengajaran (Zahrotun Nihayah & Alvinar Aziz, 2008: 7-8)

             

  3. Budaya Madrasah

Budaya   merupakan   perilaku,   nilai   simbol   dan   makna   dalam masyarakat yang menjadi suatu tradisi dan anutan dalam berbagai kegiatan. Budaya berasal dari bahasa Inggris culture yang berarti kesopanan dan terpeiajar. Menurut Bomard Gregory (1995: 11) Kata budaya ini mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu: (1) program kolektif suatu pikiran; (2) system nilai dan kepercayaan; (3) cara untuk mengatasi persoalan pada suatu kelompok orang; dan (4) cara untuk mengerjakan sesuatu.

  Budaya sebagai nilai dan keyakinan bersama merupakan dasar utama identitas organisasi, dalam bentuk tempat kerja menyenangkan, kepuasan, kesetiaan/loyalitas, kehangatan, keramahan, kebanggaan, semangat kebersamaan, stabilitas sistem sosial, dan pencapaian tujuan jangka panjang. Seperti diungkapkan Kreitner et.al (2007: 76):

“Organizational culture is share values and beliefs that underlie a company’s identity. Function of organizational culture, (1) organizational identity: fun place to work, satisfaction, loyalty; (2) collective commitment: sense of warmth, friendliness, individual pride, and company spirit; (3) social system stability: perceived as positive and reinforcing; (4) sense-making device: to accomplish long term goal.

Pendapat di atas sejalan dengan pernyataan bahwa budaya organisasi sekolah memiliki elemen sebagai berikut:

1)  Beliefs, yaitu keyakinan yang dianut oleh guru terhadap aturan yang dibuat sekolah seperti terkait dengan proses pembelajaran, disiplin, dan hubungan antara orang tua dengan sekolah.

1)     Values, yaitu nilai yang dapat menjadikan sekolah lebih berharga.

2)     Norms and standards, yaitu apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh guru, supervisor dan kepala sekolah, sehingga dapat diketahui dengan jelas aktivitas apa yang mendapatkan ganjaran dan aktivitas apa yang perlu mendapatkan hukuman.

3)     Pattern of behaviors, yaitu tentang apa yang dapat diterima, sikap dan perilaku, serta kebiasaan dan ritual mana yang perlu dijaga di sekolah (Sergiovanni & Starra: 2002, 321)

Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 merupakan satu kesatuan dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Dijelaskan Pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) yaitu Pendidikan Dasar Berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang  sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang  sederajat. Kemudian untuk pendidikan menengah dikatakan bahwa Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang  sederajat. Kemudian pada Pasal 51 ayat (1) disbutkan dengan lugas bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (UU Sisdiknas No. 20, 2003: 9).

Budaya madrasah merupakan penjabaran dari nilai yang diterapkan di sekolah, norma yang ada dan diberlakukan di sekolah, serta harapan dan kebiasaan yang menggambarkan interaksi timbal balik antara satu anggota dengan lainnya, hal ini seperti dikatakan : School cultures can be inferred from the values, norms, expectations and traditions that describe human interaction with the system (Philip Hallinger & Kenneth Leithwood, 1996: 105).

Pendapat di atas, diperkuat dengan pernyataan : The core elements of school culture : 1. A shared sense of purpose and vision, 2. Norms, values, beliefs and assumptions, 3. Rituals, traditions and ceremonies, 4. History and stories, 5. People and relationships, and 6. Architecture, artifacts, and symbols (Kent D. Peterson & Terrence E. Deal, 2009: 12). Bahwa budaya sekolah memiliki elemen inti sepeti visi dan tujuan, norma, nilai, asumsi dan keyakinan, ritual, seremoni dan kebiasaan, sejarah,hubungan antarsesama dan simbol-simbol arsitektur.

Berbagai elemen dan dimensi dalam budaya sekolah sesungguhnya kembali pada peran anggota organisasi itu untuk menciptakan dan mempengaruhinya. Jika anggota organisasi sekolah berperilaku baik maka akan membentuk budaya yang baik, seperti diungkapkan: School culture consist of attitudes, beliefs and values, feelings, and opinions that are shared by a significant number of its influential members and that are communicated  to others. (Ronald W Rebore & Angela L.E. Walmsley, 2007: 62). Bahwa budaya sekolah terdiri dari perilaku, keyakinan dan nilai, perasan dan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh anggota organisasi tersebut dalam mengkomunikasikannya.

Bahwa budaya sekolah menekankan pada pencapaian prestasi akademik oleh siswa didik melalui pengkondisian lingkungan atau iklim belajar yang dialami siswa karena efektifitas sebuah sekolah secara akademik tergantung pada kejelasan tujuan yang dibuat sejalan dengan prestasi yang di raih siswa, kesamaan harapan antara guru dan orang tua sehingga terjadi kesepahaman pelaksanaan pendidikan, dan upaya mendesain stuktur yang dapat memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar, seperti diungkapkan:

“A school-level culture press in the direction of academic achievement helps shape the environment (and climate) in which the student learns. An academically effective school would be likely to have clear goals related to student achievement, teachers and parents with high expectations, and a structure designed to maximize opportunities for students to learn” (Ron Renchler, 1992: 4).



Terkait dengan harapan pencapaian tujuan pembelajaran melalui pembentukan budaya sekolah, dikatakan : “Positive school cultures encourage civility, respectful language usage, and modes of communication that bind school actors together and facilitate open discussion and thoughtful decision-making”. (Virginia Rhodes, Douglas Stevens, Annette Hemmings, 2011: 83). Bahwa budaya sekolah yang positif senantiasa mendorong kesopanan dalam berinteraksi, penggunaan bahasa yang baik dalam melaksanakan pekerjaan, serta dibuka pola diskusi terbuka menyangkut berbagai penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.

Orientasi atau fokus dari pembentukan budaya sekolah diarahkan pada pencapaian tujuan pembelajaran yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan secara kelembagaan.

School culture : The extent to which instructional goals are established and communicated, high expectations are held for student progress, instructional problems are discussed, student academic accomplishments are recognized, parents are informed about student progress, faculty morale is high, and an orderly, academic environment exists within the school”. (Ronald H. Heck, 1996:  85).

Bahwa dalam budaya sekolah, pencapaian tujuan pembelajaran harus dibuat dan dikomunikasikan baik dalam konteks pencapaian tujuan dalam skala lembaga maupun dalam kelas belajar mengajar, harapan atas keberhasilan siswa dibangun dari perkembangan belajar siswa dengan melakukan upaya dan strategi mengantarkan mereka mencapai tujuan yang diinginkan, setiap ada masalah dalam pembelajaran maka harus didiskusikan baik secara vertikal dengan pimpinan maupun secara horizontal dengan sesama guru, pengakuan terhadap kemampuan akademik siswa dengan memberikan penghargaan, adanya pelaporan terhadap orang tua tentang perkembangan siswa secara rutin sehingga terbangun kerjasama yang kuat untuk mengantar siswa mencapai tujuan yang diinginkan, moralitas yang tinggi dari seluruh civitas akademik sekolah, dan eksistensi lingkungan akademik yang terus dibangun dengan mengdepankan nilai-nilai rasionalitas yang tinggi.

Sama halnya dengan organisasi lainnya, budaya sekolah kokoh terbentuk oleh anggota yang ada di dalamnya, seperti diungkapkan Lea Hubbard, Hugh Mehan, Mary Kay stein (2006: 7), bahwa:

“Every school culture has its own culture that is socially constructed by the members within it. One important dimension of organizational culture involves individuals’ use of everyday routines to handle the complexity of organizational decision making. A second dimension involves conflicts that arise over differences in individuals’ values, beliefs, and taken for granted, often unstated, assumptions about the contentious issues that arise in educational reforms efforts. A third dimension involves the political forces that shape organizations and influence their attempts at change”.



Artinya, bahwa setiap sekolah memiliki budaya tersendiri yang dibangun oleh anggota yang ada di dalamnya. Diantara dimensi penting dalam sebuah organisasi sekolah adalah rutinitas individu menghandel kompleksitas kebijakan organisasi, dimensi kedua adalah konflik yang muncul akibat perbedaan nilai, keyakinan, asumsi tentang usaha reformasi pendidikan, dan dimensi ketiga adalah kekuatan politik yang mempengaruhi perubahan.



5. Motivasi Kerja

Kata motivasi diambil dari kata motif yang diartikan dengan kekuatan di dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat melakukan sesuatu. Motif tidak dapat dilihat secara langsung tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah laku individu itu berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga yang memunculkan tindakan tertentu. Setiap orang bergerak untuk bertingkah laku, berbuat untuk mencapai suatu tujuan karena adanya motivasi di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan kata motivasi yang dalam bahasa Inggris disebut “motivation”  dan berasal dari kata Latin yang disebut “Movere” yang berarti to move dalam bahasa Inggris. To move diartikan dengan bergerak atau berpindah. Sedangkan dalam psikologi, motivasi adalah meliputi faktor-faktor yang menimbulkan, menopang dan perilaku langsung untuk mencapai tujuan (Camile B. Wortman: 1985, 305).

Secara rinci Ibrahim Kocabas (2009: 3) menguraikan tentang konsep motivasi menurut berbagai ahli, yaitu:

“Concepts of motivation include the expenditure of effort to achieve a goal (Martin, 2000); creating forces that power and drive behaviors (Bursalioglu, 2002); improving a situation perceived to be difficult by an individual, meeting needs (Dull, 1981); providing driving forces to urge us into action (Gene, 1987), developing a physiological and psychological process which takes into account individual desires, goals, tendencies, behavior, self-interest, selection, preference, willpower and drive (Srekli & Tevruz, 1997); a consideration of both intrinsic and extrinsic forces that actuate, direct and maintain behaviors (Gursel, 1997); increasing employees' willingness to work and making them believe that they will satisfy their personal needs best if they work efficiently in the organization (Yuksel, 1998)”.

Berdasarkan kutipan di atas, motivasi merupakan upaya mencapai tujuan yang diharapkan, upaya menciptakan kekuatan yang mendorong perilaku secara kontinyu, upaya memperbaiki situasi yang dirasakan sulit, upaya menyediakan dorongan untuk melakukan tindakan, upaya mengembangkan aspek psikologis dan fisioogis dengan memperhatikan tujuan, keinginan, kecenderungan, perilaku, ketertarikan, pilihan, kekuatan dan dorongan, kekuatan intrinsik dan ekstrinsik untuk melakukan sesuatu secara langsung, kesediaan bekerja untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, dan keyakinan akan kepuasan dalam bekerja jika bekerja dengan efektif.

              Menurut Mulyasa (2002 : 120) motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan kerja. Motivasi adalah proses yang berawal dari kebutuhan psikologis maupun psikis pada diri seseorang, sehingga perilaku aktif atau dorongan yang mengarah pada tujuan dan insentif. Dengan demikian, motivasi memiliki tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu: kebutuhan, dorongan, dan rangsangan. Jadi, kunci untuk memahami proses adanya motivasi dalam diri seseorang adalah terletak pada makna dan hubungan di antara tiga unsur tersebut yang tidak dapat dipsahkan satu sama lainnya.

              Motivasi merupakan suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Motif yang bersifat potensial biasanya aktualisasinya disebut motivasi. Dengan demikian, motivasi umumnya diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, sehingga dapat mempengaruhi prestasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Oleh karena itu, jika seorang guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka mereka akan terdorong dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah, sehingga diperoleh hasil kerja yang maksimal (Elis Supartini, 2001 : 1).

              Motivasi dalam kajian psikologi berperan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan keinginan, arah intensitas, dan keajegan perilaku yang diarahkan pada pencapaian tujuan. Motivasi dalam pengertian ini mencakup konsep-konsep seperti kebutuhan untuk berprestasi, berafiliasi, kebiasaan dan keinginan untuk mengetahui sesuatu. Dari batasan seperti ini, motivasi digolongkan berdasarkan motif-motif, yaitu motif bawaan dan motif yang dipelajari. Motif bawaan memang sudah ada sejak seseorang itu dilahirkan sehingga tidak perlu dipelajari. Misalnya, makan, minum, dan seksual. Sedangkan motif yang dipelajari adalah motif yang timbul karena dipelajari, misalnya, belajar, bekerja, mencari kedudukan, jabatan, dan pengembangan karir (Thomas L Good dan Jere E. Brophy, 1991: 360).

              Hasil penelitian E. Stephanie Atkinson (2000: 45) menunjukkan bahwa, kurangnya memotivasi guru ditunjukkan dengan kemampuan, kemajuan dan hasil siswa yang negatif. Terdapat pula keterkaitan antara motivasi kerja guru dengan motivasi belajar siswa, dan motivasi kerja guru dengan desain kurikulum dan proses implementasi kurikulum pembelajaran.  Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa faktor motivasi kerja guru berperan penting dalam mendukung proses pembelajaran yang produktif dan mampu merangsang pembelajaran menjadi lebih bermutu sehingga diharapkan outputnya dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang diharapkan.

Motivasi ada yang bersumber intrinsik dan ekstrinsik, keduanya memiliki peran dan fungsi yang khas (Armstrong, 2003: 51), seperti diuraikan sebagai berikut:

1)       Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik ini muncul dari isi jabatan dan jenis pekerjaan itu sendiri selama pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan atau paling tidak mengarahkan orang tersebut pada pencapaian tujuannya. Faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsic adalah tanggungjawab, kebebasan untuk bertindak, lingkup untuk menggunakan dan mengembangkan keterampilan dan kemampuan kerja, serta peluang yang menarik dan menantang untuk mencapai peningkatan.

2)     Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik bersumber dari daya tarik setelah pekerjaan selesai dan orang yang memotivasinya. Motivasi ini bersumber dari manajemen yang mendukungnya terutama dalam bentuk imbalan, kompensasi atau promosi.

Menurut Arendt and Sneed (2010: 7) bahwa motivasi bekerja pegawai dapat didorong oleh empat faktor, yaitu:

1)     Komunikasi, yakni komunikasi verbal dan non verbal antara pimpinan dengan pegawai.

2)     Ganjaran dan hukuman, yakni berupa insentif, ucapan terimakasih dan waktu libur, sedangkan hukuman bisa berupa sanksi administrasi yang diberikan oleh pimpinan

3)     Motivasi internal, yakni berupa kepuasan dalam menjalankan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

4)     Sumber daya lain, yakni ketersediaan bahan yang digunakan dalam menjalankan pekerjaan.

Uraian di atas, bahwa motivasi merupakan pemberian daya penggerak yang dapat menciptkan kegairahan kerja seseorang agar orang tersebut mau bekerjasama, bekerja lebih efektif dan terintegrasi dengan semua daya upaya orang tersebut untuk mencapai tingkat kepuasan yang tinggi (Malayu Hasibuan, 2001: 4).

Tingkat tinggi rendahnya motivasi kerja guru setelah dilakukannya sertifikasi dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dikatakan:

The basic differences that distinguish motivated individuals from unmotivated ones are ( 1) continuity in taking an interest and paying attention, (2) enthusiasm to make an effort and spend the required time to perform the behavior, (3) concentrating on the subject, devoting the self and relinquishing the desired behavior in the face of a difficulty, persevering and showing determination to accomplish the desired end”.(Nadir Celikoz, 2010: 14).

Bahwa guru yang memiliki motivasi kerja dan yang tidak memiliki motivasi dapat dibedakan dari: 1) kontinuitas perhatian, ketertarikan dan perhatian terhadap pekerjaannya, 2) antusiasme dalam kerja dan menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan, 3) kosentrasi dalam mengerjakan pekerjaan, menghadapi setiap kesulitan kerja, dan menunjukkan kebulatan tekad dalam menyelesaikan pekerjaan.



   5. Komitmen Kerja

Dalam konteks kehidupan organisasi, konsep komitmen mengarahkan seseorang untuk mengategorikan perbedaan-perbedaan individu dalam masalah nilai dan motif secara lebih sederhana. Menurut Benkgoff (1997: 3) komitmen adalah derajat kepedulian pegawai dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi. Shaw, Delery & Abdulla (2003: 3) mendefinisikan komitmen sebagai hasil dari investasi atau kontribusi terhadap oranisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap organisasi. Definisi di atas, mengandung pengertian bahwa komitmen organisasi pada intinya adalah suatu sikap psikologis yang menggambarkan hubungan internal individu dengan organisasinya. Hubungan tersebut dapat dilihat dari keterlibatan atau partisipasinya dalam menopang kemajuan organisasi. Adanya keterlibatan yang tinggi dalam upaya memajukan organisasi menggambarkan bahwa anggota organisasi memiliki komitmen yang tinggi.

Menurut DeJoy et.al (2004: 88) Komitmen  mengacu kepada ikatan psikologis karyawan terhadap organisasi, nilai yang ditempatkan sebagai afiliasi dengan organisasi, dan derajat dimana karyawan mau untuk meningkatkan diri atas nama organisasi. Dalam konteks ini, Newstrom & Davis (1996: 260) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi lazim pula disebut loyalitas pegawai (employee loyality) adalah suatu tingkat atau derajat identifikasi diri pegawai dengan organisasi dan keinginan-keinginannya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott & Burroughs (2000: 2) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi. Definisi-definisi tersebut menekankan bahwa komitmen organisasi sebagai bentuk ikatan psikologi karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi juga dianggap sebagai loyalitas terhadap organisasi sehingga dapat mendorong karyawan atau anggota organisasi untuk senantiasa berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemajuan organisasi.

Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimiliki. Seperti dikatakan Meyer and Allen (1997), Meyer et al. (1993) dalam Hunton & Norman (2010: 71-73) bahwa komitmen organisasi memiliki tiga dimensi, yaitu

1)     Affective Commitment, komitmen ini merupakan emosi pegawai pegawai terhadap organisasi, menerima nilai-nilai organisasi dan ingin tetap menjadi bagian dalam organisasi tersebut. Komitmen ini sangat baik untuk organisasi karena pegawai menginginkan dan merefleksikan sikap positif dalam bekerja dan usaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya.

2)     Continuance Commitment,  pada komitmen ini, pegawai melihat investasi apa yang diberikan terhadap organisasi, mereka berpikir komitmen terhadap waktu dan usaha yang dilakukan dengan harapan mereka merasakan apa yang mereka butuhkan untuk menjadi bagian dalam organisasi itu. Mereka berpikir bahwa dengan meninggalkan pekerjaan tersebut mereka akan kehilangan pilihan sehingga mereka berada dalam organissasi karena tidak ada pilihan pekerjaan lainnya. Kebanyakan mereka ini adalah orang-orang yang selalu mempertimbangkan kesehatan dan isu-isu keluarga dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, dan baginya kepuasan kerja tidak menjadi hal yang utama.

3)     Normative Commitment, pada komitmen ini, pegawai melihat dan merasa bertanggungjawab berada dalam organisasi, mereka berpikir bahwa organisasi memperlakukan dengan baik dalam mengadapi dan memberikan imbalan. Dengan demikian, komitmen dibangun oleh pegawai dengan ikatan organisasi yang kuat dengan adanya rewards and punishments.

Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota yang loyal akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin akan melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pagawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

Secara rinci dijelaskan tentang komitmen guru di sekolah, yaitu sebagai berikut:

“The objects of teacher commitment can be categorized into three dimensions: school organization, teaching profession, and students (Elliot & Crosswell, 2002; Eirestone & Pennell, 1993; Eirestone & Rosenblum, 1988). In the first place, teacher commitment to school organization like an organizational commitment refers to agreed-on organizational values or goals and building a strong staff unity (Mowday et al., 1979). Organizational teacher commitment has three major components: a strong belief in and acceptance of the organization's goals and values, a willingness to exert considerable effort on behalf of the organization, and a strong intent or desire to remain with the organization (Mowday et al., 1979).  Next, teacher commitment to the teaching profession as an occupational commitment is a positive affective attachment to one's occupation (Somech & Bogler, 2002). This indicates the extent to which one is engaged in carrying out the specific tasks in the workplace or the degree of importance that work plays in one's life (Brown & Leigh, 1996).  Also, this commitment leads to an interest in student achievement as well as strong concerns with the craft aspects of the teacher's job (Eirestone & Rosenblum, 1988). Thus, teachers committed to the teaching profession are thought to be more satisfied with the job and are likely to identify themselves as teachers. Finally, teacher commitment to students like a client commitment represents teacher devotion to their student behavior and learning (Dannetta, 2002; Elliott & Crosswell, 2002; Nias, 1981). Teacher commitment to students includes teachers' willingness to help students and take responsibility for student learning and school life. This commitment also seems to be related to emotional bonds with students such as personal caring”.(Insim Park, 2005: 463-464)



Artinya, bahwa obyek komitmen guru menyangkut tiga dimensi, yaitu dimensi organisasi sekolah, dimensi profesi mengajar, dan dimensi siswa. Dimensi komitmen terhadap organisasi sekolah diantaranya setuju terhadap nilai-nilai dan tujuan sekolah yang didalamnya terdapat tiga komponen yaitu keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan sekolah, bekerja untuk kepentingan organisasi sekolah, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, dimensi komitmen terhadap profesi sebagai guru adalah komitmen terhadap satu pekerjaan yang didalamnya terdapat beberapa aspek yaitu melaksanakan tugas-tugas sebagai guru, perhatian terhadap keberhasilan siswa, kerajinan dalam bekerja, puas dengan pekerjaan sebagai guru, dan mengidentifikasi profesi sebagai guru, dimensi terakhir adalah komitmen terhadap siswa adalah rasa selalu ingin membantu kesulitan siswa, bertanggungjawab atas proses belajar siswa dan kehidupan sekolah, serta tanggungjawab terkait dengan kondisi emosi siswa.

Uraian di atas, sesungguhnya komitmen merupakan kehendak untuk bertingkah laku dan berbuat untuk kepentingan lembaga serta keinginannya untuk tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkembang untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki perasaan memiliki organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam organisasi dan adanya loyalitas terhadap organisasi.

Kesungguhan dan loyalitas guru terhadap organisasi sekolah yang merupakan wujud dari komitmennya terlihat dari berbagai sikap dan perilaku yang dijalankannya, seperti dikatakan Reyes dalam  Nordin Abd Razak, I Guti Ngurah Darmawan, John P. Keeves (2009 : 187), bahwa :

“A committed teacher was likely to: 1)be less tardy, work harder, and be less inclined to leave the workplace; 2) devote more time to extra-curricular activities in order to accomplish the goals of the educational organization; 3) perform work better; 4) influence student achievement; 5) believe and act upon the goals of the school; 6) exert efforts beyond personal interest; and 7) intend to remain a member of the school system”.



Seorang guru yang memiliki komitmen tinggi menurut Reyes di atas terlihat dari : 1) aktivitas kerjanya yang tidak terlambat, kerja keras, dan tidak meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, 2) banyak menggunakan waktu untuk kegiatan ekstra dalam rangka mencapai tujuan sekolah, 3) bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai tuntutan zaman, 4) mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan melalui berbagai teknik dan pendekatan, 5) percaya dan bertindak sesuai tujuan yang digariskan sekolah dengan mentaati segala bentuk aturan dan ketentuan yang berlaku, 6) bekerja tidak mementingkan kepentingan pribadi akan tetapi mementingkan kepentingan siswa dan lembaga secara lebih luas, 7) tetap berkeinginan menjadi anggota organisasi sekolah dengan menunjukkan sikap yang loyal dan bekerja dengan gigih.

Uraian di atas diperkuat dengan pernyataan : “High levels of commitment have been associated with lower rates of teacher absenteeism, increased job satisfaction, high expectations of students, and slight increases in student performance” (Lia M. Daniels,et.al, 2011: 91). Bahwa level komitmen seorang guru dapat dilihat dari rendahnya ketidakhadiran dalam menjalankan pekerjaan, adanya peningkatan kepuasan kerja, memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan siswa dan adanya peningkatan kinerja siswa sebagai bentuk hasil belajar yang bimbing oleh guru.

Keberadaan komitmen pegawai terhadap organisasinya, tidak terlepas dari unsur-unsur yang mempengaruhinya. M. Kay Alderman (2004: 116-117) mengidentifikasi tiga hal yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang, yaitu intensitas mencapai tujuan, partisipasi mencapai tujuan dan pengaruh rekan kerja. Goal Intensity. Komitmen berkaitan dengan intensitas tujuan atau seberapa kuat pikiran dan mental dalam usaha mencapai tujuan (Locke & Latham, 1990). Demikian pula kejelasan tujuan yang mendorong kesadaran proses mencari informasi tentang upaya dan kemampuan dalam mencapai tujuan tersebut (Schutz, 1989). Goal Participation. Betapa pentignya motivasi seseorang dalam partisipasi mencapai tujuan karena seringkali tujuan itu ditentukan oleh orang lain baik di rumah, sekolah maupun dalam pekerjaan lainnya Peer Influence. Salah satu faktor yang mempengaruhi guru dalam usaha dan komitmen pencapaian tujuan adalah rekan kerjanya. Kelompok yang kuat dapat mendorong meningkatkan komitmen untuk mencapai tujuan (Locke & Latham, 1990).



METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitaif, metode survey dan teknik analisisnya adalah analisis jalur. Obyek penelitian guru Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi, waktu pelaksanaan penelitian  bulan Juli– September 2012. Populasi adalah subyek atau keseluruhan wilayah yang akan diteliti. Populasi target seluruh guru Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi sebanyak 489 orang, sedangkan sampelnya diambil 20 % yakni 100 orang.

Instrumen penelitian menggunakan model skala Likert, yaitu jenis skala yang digunakan untuk mengukur persepsi atau sikap seseorang dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan dan responden diminta untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang telah disiapkan. Pengujian validitas instrumen menggunakan korelasi Product Moment untuk mengetahui validitas atau keabsahan butir instrument, sedangkan untuk mengetahui reliabilitas instrumen menggunkan rumus alpha cronbach. Teknik analisis data menggunakan path analysis atau analisis jalur melalui media SPSS 16.



HASIL PENELITIAN

a.    Kinerja Mengajar

Kinerja mengajar guru meliputi perencanaan mengajar, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan perbaikan atau pengembangan. Deskripsi variabel kinerja mengajar guru dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 45 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi.  Dari empat dimensi yakni perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan perbaikan atau pengembangan, dimensi perencanaan pembelajaran terdiri dari 4 butir pertanyaan dan selurunya memiliki kriteria baik, dimensi pelaksanaan pembelajaran memiliki 32 pertanyaan, 29 butir memiliki kriteria cukup dan baik dan sisanya 3 butir memiliki kurang baik (yaitu menggunakan strategi yang menyenangkan, menggunakan metode yang bervariasi, dan menggunaan media pembelajaran yang menarik minat belajar siswa), dan dimensi perbaikan atau pengembangan memiliki 2 butir pertanyaan, 1 butir memiliki kriteria cukup baik dan 1 butir memiliki kriteria kurang baik yakni (yaitu melakukan refleksi atas aktivitas pembelajaran yang dilakukannya).  



b.    Kepemimpinan Kepala Madrasah

Kepemimpinan kepala madrasah meliputi dimensi sebagai pengelola pembelajaran, sebagai supervisor, dan sebagai leader. Deskripsi variabel kepemimpinan kepala mardasah dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 35 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi . Secara umum kepemimpinan kepala madrasah dengan 3 dimensinya cukup dan baik. Dimensi sebagai pengelola pembelajaran memiliki 14 butir pertanyaan dengan kriteria seluruhnya baik, dimensi sebagai supervisor memiliki 13 pertanyaan memiliki kriteria cukup baik kecuali aspek melakukan supervisi akademik secara terprogram memiliki kritria kurang baik, dimensi ketiga adalah sebagai leader yang memiliki 8 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.
 

c. Budaya Madrasah

Budaya madrasah meliputi dimensi dukungan manajemen, identitas sekolah, dan interaksi kerja. Deskripsi variabel budaya mardasah dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 36 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi. Budaya Madrasah Aliyah dengan 3 dimensi yaitu dukungan manajemen, identitas sekolah dan interaksi kerja secara umum memiliki kriteria baik. Dimensi dukungan manajemen memiliki 14 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dimensi identitas sekolah memiliki 14 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan terakhir dimensi interaksi kerja memiliki 8 pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik. 



d. Motivasi Kerja

Motivasi kerja guru memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi harapan, dorongan dan imbalan. Deskripsi variabel motivasi kerja dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 30 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi. Motivasi kerja guru dengan 3 dimensi secara umum memiliki kriteria baik. Artinya bahwa  motivasi kerja guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi tergolong baik.



e. Komitmen Kerja

Komitmen kerja guru memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi komitmen terhadap organisasi, komitmen terhadap profesi dan komitmen terhadap siswa. Deskripsi variabel komitmen kerja dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 27 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi. Variabel komitmen kerja guru dengan tiga dimensinya memiliki kriteria baik. Dimensi komitmen terhadap organisasi memiliki 13 butir pertanyaan dengan rata-rata memiliki cukup baik, dimensi komitmen terhadap profesi memiliki 7 butir pertanyaan dengan rata-rata memiliki kriteria baik, dan dimensi terakhir adalah dimensi komitmen terhadap siswa memiliki 7 butir pertanyaan dan rata-rata memiliki kriteria baik.  Secara umum variabel komitmen kerja guru memiliki skor rata-rata (3.00 + 3.05 + 3.05) : 3 = 9.1 : 3 = 3,03 dengan kriteria baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel komitmen kerja guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi tergolong baik. Hasil perhitungan jalur dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1.

Persamaan Jalur  Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Melalui

Variabel Lain dan Pengaruh Total

Pengaruh Variabel
Pengaruh Kausal
Pengaruh Total
Pengaruh langsung
Pengaruh Tidak langsung Melalui 
X2
X3
X4
X1 terhadap Y
0.265
-
-
-
0.265
X1 terhadap Y
0.265
(0.439) x (0.240)
-
-
0.265 + 0.105 = 0. 370 
X1 terhadap Y
0.265
(0.439) x (0.240)
(0.617) x (0.287)
-
0.265 + 0.105 + 0.177 = 0.547
X1 terhadap Y
0.265
(0.439) x (0.240)
(0.617) x (0.287)
().584) x (0.340)
0.265 + 0.105 + 0.177 + 0.198 = 0.745
X1 terhadap Y
0.265
-
(0.617) x (0.287)
-
0.265 + 0.177 = 0.442
X1 terhadap Y
0.265
-
(0.617) x (0.287)
(0.584) x (0.340)
0.265 + 0.177 + 0.198 = 0.640
X1 terhadap Y
0.265
-
-
(0.584) x (0.340)
0.265 + 0.198 = 0.463






X2 terhadap Y
0.240
-
-
-
0,240
X2 terhadap Y
0.240
-
(0.582) x (0.287)
-
0,240 + 0.167 = 0.407
X2 terhadap Y
0.240
-
(0.582) x (0.287)
(0.606) x (0.340)
0.240 + 0.167 + 0.206 = 0.613
X2 terhadap Y
0.240
-
-
(0.606) x (0.340)
0.240 +0.206 = 0.446






X3 terhadap Y
0.287
-
-
-
0.287
X3 terhadap Y
0.287
-
-
(0.675 ) x (0.340)
0.287 + 0.229 = 0.516






X4 terhadap Y
0.340
-
-
-
0.340






X1,X2, X3, X4 terhadap Y
0.944
-
-
-
0.0944



Berdasarkan tabel di atas, diperoleh skor koefisien jalur 0.265 dan nilai sig. 0.023. Ternyata nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.023 < 0.05, artinya kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara prositif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru. Skor koefisien jalur budaya madrasah sebesar 0.240 dan nilai sig. 0.036. Ternyata nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.036 <  0.05, artinya budaya madrasah berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru,  skor koefisien jalur motivasi kerja sebesar 0.240 dan nilai sig. 0.030. Ternyata nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.030 <  0.05, artinya motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru, skor koefisien jalur  komitmen kerja sebesar 0.340 dan nilai sig. 0.012. Ternyata nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.012 < 0.05,  artinya komitmen kerja berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru, terakhir diperoleh skor koefisien jalur 34.85 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0.000. Karena nilai sig. < 0.05 artinya kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja secara bersama-sama berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
 
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

1.    Kinerja Mengajar

Kinerja mengajar guru memiliki empat dimensi yakni perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan perbaikan atau pengembangan. Dari empat dimensi tersebut di atas, dua dimensi memiliki kriteria sangat baik yaitu dimensi perencanaan dan evaluasi pembelajaran, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu pelaksanaan pembelajaran dan perbaikan memiliki kriteria baik.

Dalam konteks di Madrasah Aliyah Kota Bekasi, secara umum dikatakan bahwa rata-rata kinerja guru memiliki kriteria baik. Beberapa aspek memiliki kriteria baik, beberapa aspek lain tergolong cukup baik dan terdapat pula aspek dengan kategori kurang baik yakni pada aspek penggunaan strategi pembelajaran yang menyenangkan, penggunaan metode yang bervariasi, penggunaan media pembelajaran yang menyenangkan minat belajar siswa. Hal ini berarti kecenderungan proses pembelajaran masih sering dilakukan dengan pola-pola konvensional dan belum banyak menggunakan metode atau model-model pembelajaran kooperatif, interaktif yang menyenangkan dan saat ini berkembang.

Klasifikasi baik dan cukup baik pada setiap aspek dari dimensi kinerja mengajar guru di atas, bahwa dimensi perencanaan pembelajaran memiliki kriteria baik, dimensi pelaksanaan pembelajaran memiliki 32 secara umum memiliki kriteria cukup baik dan hanya beberapa aspek yang memiliki kriteria kurang baik (yaitu menggunakan strategi yang menyenangkan, menggunakan metode yang bervariasi, dan menggunakan media pembelajaran yang menarik), dimensi evaluasi pembelajaran seluruhnya memiliki kriteria baik, dan dimensi perbaikan atau pengembangan secara umum memiliki kriteria cukup baik akan tetapi pada aspek melakukan refleksi atas aktivitas pembelajaran tergolong kurang baik.  

Setelah dilakukan uji perbedaan antara guru yang sudah disertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi diperoleh gambaran sebagai berikut: Dimensi perencanaan pembelajaran yang terdiri dari 4 butir pertanyaan, perbedaan guru tersertifikasi dan belum tersertifikasi terdapat pada aspek menentukan tujuan dan sumber belajar dimana guru yang belum tersertifikasi memiliki kriteria cukup baik sedangkan guru tersertifikasi seluruh butir memiliki kriteria baik. Dimensi pelaksanaan pembelajaran dengan 32 pertanyaan, terdapat beberapa butir yang berbeda yaitu pada aspek menjelaskan pelajaran, pengelolaan waktu belajar yang efektif, pelibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran untuk guru tersertifikasi memiliki kriteria baik dan untuk guru yang belum tersertifikasi memiliki kriteria cukup baik. Pada dimensi evaluasi pembelajaran dengan 7 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik. Dimensi terakhir adalah perbaikan atau pengembangan dengan 2 butir pertanyaan, guru tersertifikasi maupun belum tersertifikasi memiliki kriteria cukup baik kecuali pada aspek melakukan refleksi atas kegiatan pembelajaran yang dilakukannya, kedua kelompok guru tersebut  memiliki kriteria kurang baik.  

Gambaran tersebut di atas, bahwa ternyata guru madrasah aliyah di Kota Bekasi yang sudah dan yang belum disertifikasi memiliki kinerja yang sama atau tidak memiliki perbedaan meskipun sekilas terlihat tampak perbedaan akan tetapi setelah dilakukan uji beda mean ternyata keduanya sama atau tidak berbeda.

Dengan demikian bahwa program sertifikasi guru yang diharapkan dapat mendorong kinerja guru ternyata tidak banyak berpengaruh mengubah kinerja guru lebih baik daripada guru yang belum disertifikasi. Hal ini berarti, program sertifikasi guru baru sampai pada tahap mensejahterakan guru dengan diberikannya tunjangan profesi dan belum menyentuh atau meningkatkan kinerja mereka.

Masih lemahnya kinerja mengajar guru khusus pada aspek pelaksanaan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang bervariasi, menunjukkan bahwa program sertifikasi yang telah diikuti tidak lebih sebagai acara seremonial yang diikuti sekedar menggugurkan kewajiban sebagai seorang pendidik untuk kemudian berhak mendapatkan legalisasi sertifikat profesi. Hal ini terbukti, meskipun dalam program PLPG diberikan materi tentang metodologi pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan) ternyata ketika kembali ke tempat tugasnya masig-masing, pembelajaran kembali semula dengan menggunakan pola konvensional dengan pendekatan monolog ceramah.

Hal lain, adalah kurangnya keterbukaan para guru dalam komunikasi profesi dalam bentuk refleksi atas proses belajar mengajar yang telah dilakukannya. Pada aspek ini, hasil penelitian menunjukkan masih rendah, artinya bahwa guru menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar sehingga tidak terbuka dengan orang lain untuk memberikan penilaian atas apa yang dilakukannya, belum terbangunnya budaya diskusi dan saling mengkoreksi, lemahnya daya kritisi dan kepedulian dalam mengelola pembelajaran yang berkualitas, serta sikap puas terhadap pekerjaan yang telah dilakukannya. Maka hasilnya adalah proses pembelajaran tidak berubah menjadi lebih baik meskipun sebagian besar guru telah mengikuti program sertifikasi yang diharapkan dapat mendongkrak kinerja mereka.

Dari sudut pandang eksternal, sekembalinya guru yang telah disertifikasi ke tempat tugas masing-masing kurang dilakukan pengawasan, pembinaan dan pengembangan oleh kepala sekolah melalui supervisi akademik yang rutin dan kontinyu sehingga bekal yang telah diperoleh guru ketika mengikuti PLPG tidak berbekas, guru mengajar secara konvensional tanpa ada pemantauan dan pengawasan bahkan reward and punishment. Terlepasnya aspek akademis dari pantauan kepala madrasah juga merupakan rangkaian akibat dari padatnya aktivitas kepala madrasah untuk mengurus masalah administrasi dan keuangan serta bantuan lainnya, kepala madrasah harus turun tangan mengelola dan mengamankan laporan keuangan, akhirnya energi kepala madrasah tidak mampu menyentuh hal esensial dalam pendidikan yakni proses pembelajaran.



2.    Kepemimpinan Kepala Madrasah

              Kepemimpinan kepala madrasah adalah tindakan kepala madrasah dalam mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang guru dengan menggunakan pendekatan tertentu agar mereka mau bekerja secara optimal dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.         

Kepemimpinan kepala madrasah memiliki 3 dimensi yaitu dimensi sebagai pengelola pembelajaran, dimensi sebagai supervisor dan dimensi sebagai seorang leader yang secara umum hanya pada dimensi sebagai supervisor aspek melakukan penilaian / pengukuran dan melakukan pengawasan yang memiliki kriteria cukup.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan variasi pada kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 0.265 atau determinasinya 7.02 %. Temuan ini memberikan penegasan pada apa yang dikemukakan oleh Gatewood, Taylor dan Farrel (1995: 492) yang mengatakan bahwa, leadership, on the other hand, focuses almost exclusively on the people aspects of getting job done-inspiring, motivating, directing, and gaining commitment to organizational activities and goals”. Kepemimpinan berfokus pada aspek orang agar mereka melakukan tugasnya dengan terinspirasi, termotivasi, terarah dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan organisasi yang telah dicanangkan. Pernyataan ini bahwa kepemimpinan kepala madrasah merupakan tindakan atau perilaku dapat diukur dari keadaan dan aktivitas bawahannya yaitu para guru dan staf apakah mereka termotivasi, memiliki inspirasi, dan terarah untuk melakukan tugas sesuai dengan tanggungjawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Semakin bawahan termotivasi dan bekerja dengan optimal berarti kepemimpinan semakin berperan dan berdampak positif terhadap kinerja bawahannya.

Pernyataan di atas, diperkuat Middlewood & Cardono (2001 : 23) bahwa kontribusi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi sangatlah besar, yaitu: 1).  Karena pemimpin merupakan hal yang khusus, membutuhkan aktivitas tinggi, menyatu dalam manajemen, 2) Pemimpinan sangat penting atau mendasar dalam hal memberikan ide atau gagasan perkembangan, pertumbuhan, perubahan dan perbaikan organisasi, 3) Kepemimpinan tidak dapat dipikirkan akan tetapi bisa dpelajari, 4) Kepemimpinan merupakan suatu yang sangat kompleks terkait interaksi pengetahuan, keterampilan dan kualitas, 5) Kualitas kepemimpinan yang sukses adalah terdapat didalamnya kekuatan menghadapi tantangan, pengambilan resiko, percaya diri, kreativitas dan kemampuan mengatasi persoalan yang bercabang.

Peran kepemimpinan kepala madrasah ini tentunya terkait dengan kemampuan yang dimiliki sebagai seorang leader dalam mengendalikan dan mengelola semua sumbser daya agar dapat berjalan optimal. Seperti dikatakan   Gwynn (1990 : 16) bahwa tugas kepala sekolah diimplementasikan dalam : (1) membantu guru agar mereka lebih mengerti/memahami siswa, (2) membantu mengembangkan dan memperbaiki hubungan antarindividu ataupun kelompok guru, (3) membantu guru agar mereka dapat lebih efektif dalam menyajikan pengajaran, (4) membantu guru agar mereka dapat meningkatkan metode mengajar yang lebih efektif, (5) meningkatkan keterampilan guru, (6) membantu guru agar mereka dapat mengevaluasi diri dan pekerjaannya, (8) membantu guru agar mereka merasa aman bekerja, (9) membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah dan (10) membantu guru agar mereka dapat memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolah yang telah dicapai.

 Kepemimpinan kepala madrasah adalah bagian penting dalam manajemen sekolah. Kepala madrasah harus merencanakan dan mengorganisasikan setiap komponen dalam rangka mempengaruhi para guru dan pegawai lainnya yang terkait dengan sistem sekolah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seperti dikatakan Leithwood et al dalam Kara S. Finnigan (2010: 165) : Three areas of instructional leadership (1) the development of a shared vision and overall sense of purpose, (2) changing school norms and bringing staff into contact with new ideas and practices, and (3) promoting trust and respect and being approachable. Bahwa kepala madrasah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah memiliki tiga wilayah, yaitu mengembangkan visi dan tujuan, merubah norma sekolah dengan ide-ide baru, dan mengembangkan sikap percaya dan menghormati. Hal ini seperti ditegaskan tentang karakteristik kepemimpinan di lingkungan Kementerian Agama, diantaranya dilandasi dengan iman dan takwa sebagai pondasi, ikhlas dalam bekerja, memiliki semangat juang yang tinggi untuk mencapai tujuan, sederhana, pantang menyerah, terbuka, merakyat dan berperan sebagai pelayan masyarakat (Ahmad Gozali & A. Choloq Aly Ma’mur, 2009: 120-125)

Peran dalam mengembangkan visi, penggunaan ide-ide baru dan sikap kerja sama saling menghormati dalam bekerja sesungguhnya diarahkan pada upaya mendorong kinerja bawahan semakin baik, hal ini terbukti bahwa kepemimpinan kepala madrasah berpangruh positif terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kepemimpinan kepala madrasah ini merupakan variabel yang memiliki pengaruh besar ketiga setelah komitmen dan motivasi kerja. Adanya Sumbangan atau pengaruh signifikan kepemimpinan terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah se-kota Bekasi seiring dengan dukungan teori di atas, bahwa pemimpin merupakan penggerak roda organisasi, apalagi di Kota Bekasi mayoritas madrasah adalah swasta yang dimiliki oleh pribadi-pribadi terutama para tokoh masyarakat dan kiyai, kepemimpinan madrasah lebih banyak dipegang oleh pemilik yang merupakan tokoh masyarakat sehingga mendorong ketaatan dan kepatuhan para guru kepada kepala madrasah sebagai wujud loyalitas terhadap lembaga dimana mereka bekerja.

Lemahnya aspek supervisi akademik oleh kepala madrasah pada penelitian ini terbukti bahwa kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah khususnya pada dimensi pelaksanaan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan masih lemah, bergaris lurus dengan lemahnya pengawasan dan supervisi kepala madrasah. Hal ini menunjukkan pula bahwa sertifikasi guru melalui program PLPG tidak memberikan dampak positif pada perubahan pola mengajar guru setelah kembali ke tempat tugasnya ketika tidak dilakukan pengawasan dan supervisi oleh kepala madrasah secara terprogram.

Bila dipotret dari standar kepala sekolah berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007, bahwa kepala sekolah harus memiliki lima macam kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi supervisi, maka berdasarkan hasil penelitian di atas, kepala Madrasah Aliyah di Kota Bekasi secara nyata belum optimal dalam hal pelaksanaan kompetensi bidang supervisi yang dampaknya berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru.



3.    Budaya Madrasah

Budaya madrasah adalah sekumpulan nilai, norma, keyakinan, pandangan dan aturan organisasi yang disepakati sebagai pegangan dan standar pelaksanaan kerja guru dan pegawai lainnya yang harus diikuti dan dilaksanakan, serta simbol-simbol lainnya seperti benda-benda seni yang ada di madrasah, kegiatan rutin, kebiasaan, dan perayaan-perayaan yang menjadi ciri khas madrasah, dukungan sosial, sanksi dan hadiah yang ada dan diberlakukan di madrasah, dan visi, misi, tujuan, kurikulum yang dikembangkan dan ingin dicapai.

Budaya madrasah ini memiliki 3 dimensi yaitu dukungan manajemen, identitas sekolah dan interaksi kerja yang secara umum memiliki kriteria baik. Dimensi dukungan manajemen memiliki 14 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dimensi identitas sekolah memiliki 14 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan terakhir dimensi interaksi kerja memiliki 8 pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya madrasah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan variasi pada budaya madrasah berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh budaya madrasah terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 0.240 atau determinasinya 0.0576 atau sebesar 5.76 %.

Budaya sekolah memiliki beberapa elemen yaitu : The core elements of school culture : 1. A shared sense of purpose and vision, 2. Norms, values, beliefs and assumptions, 3. Rituals, traditions and ceremonies, 4. History and stories, 5. People and relationships, and 6. Architecture, artifacts, and symbols (Kent D. Peterson & Terrence E. Deal, 2009: 12). Bahwa budaya sekolah memiliki elemen inti sepeti visi dan tujuan, norma, nilai, asumsi dan keyakinan, ritual, seremoni dan kebiasaan, sejarah, hubungan antarsesama dan simbol-simbol arsitektur.

Berbagai elemen dan dimensi dalam budaya madrasah sesungguhnya kembali pada peran anggota organisasi itu untuk menciptakan dan mempengaruhinya. Jika anggota organisasi madrasah berperilaku baik maka akan membentuk budaya yang baik, seperti diungkapkan: School culture consist of attitudes, beliefs and values, feelings, and opinions that are shared by a significant number of its influential members and that are communicated  to others. (Ronald W Rebore & Angela L.E. Walmsley, 2007: 62). Bahwa budaya sekolah terdiri dari perilaku, keyakinan dan nilai, perasan dan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh anggota organisasi tersebut dalam mengkomunikasikannya.

Pernyataan di atas, diperkuat Ron Renchler (1992: 4) bahwa budaya sekolah menekankan pada pencapaian prestasi akademik melalui pengkondisian lingkungan atau iklim belajar siswa karena efektifitas sebuah sekolah secara akademik tergantung pada kejelasan tujuan yang dibuat sejalan dengan prestasi yang di raih siswa, kesamaan harapan antara guru dan orang tua, dan upaya mendesain stuktur yang dapat memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar, seperti dungkapkan:

“A school-level culture press in the direction of academic achievement helps shape the environment (and climate) in which the student learns. An academically effective school would be likely to have clear goals related to student achievement, teachers and parents with high expectations, and a structure designed to maximize opportunities for students to learn” (Ron Renchler, 1992: 4).

Budaya madrasah ternyata memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja mengajar guru, hal ini menunjukkan bahwa kesamaan nilai, norma dan keseragaman menjadi pegangan para guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Hal di atas, menunjukkan budaya pada prinsipnya menekankan kepada perilaku bekerja sesuai dengan norma-norma yang ada. Apabila budaya kerja berjalan dengan baik, maka dapat dipastikan kinerja anggota organisasi itu baik pula, dan begitu juga sebaliknya.

Karakteristik budaya madrasah berbeda dengan udaya sekolah pada umumnya, madrasah dengan kondisi mayoritas swasta yang tumbuh dan berkembang atas dasar partisipasi masyarakat mendorong kecintaan terhadap lembaga yang dibentuknya dan berasaskan kesamaan visi. Oleh karena itu, sesuai dengan misi pendirian awal madrasah yakni untuk mentransmisikan nilai-nilai islam sekaligus sebagai jawaban atas kolonialisme Belanda sehingga memudarnya semangat keagamaan (Ara Hidayat & Imam Machali, 2010: 142), maka budaya yang dikembangkannya pun berdasarkan pada nilai-nilai keislaman, seperti religius, kebersamaan, saling menghormati, saling membantu dan empati serta perilaku lainnya yang didasarkan pada ajaran islam. 



4.    Motivasi Kerja

Motivasi kerja adalah dorongan bagi guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang bersumber dari dalam diri sendiri (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) untuk melakukan proses pembelajaran dan bimbingan terhadap siswa untuk mecapai tujuan pendidikan yang direncanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Motivasi kerja guru memiliki 3 dimensi yang secara umum memiliki kriteria baik. Dimensi harapan memiliki 12 butir pertanyaan dengan kriteria baik tetapi ada beberapa butir yang tergolong sangat baik (yaitu tentang keamanan dalam bekerja, peningkatan karir, adanya umpan balik, dan otoritas kepemimpinan), dimensi dorongan memiliki 12 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan terakhir dimensi imbalan memiliki 6 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan variasi pada motivasi kerja berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 0.254 atau determinasinya 0.0645 atau sebesar 6.45 %.

Temuan penelitian di atas menjadi penegasan bahwa tingkat tinggi rendahnya motivasi kerja guru dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dikatakan:

The basic differences that distinguish motivated individuals from unmotivated ones are (1) continuity in taking an interest and paying attention, (2) enthusiasm to make an effort and spend the required time to perform the behavior, (3) concentrating on the subject, devoting the self and relinquishing the desired behavior in the face of a difficulty, persevering and showing determination to accomplish the desired end”.(Nadir Celikoz, 2010: 14).

Bahwa guru yang memiliki motivasi kerja dan yang tidak memiliki motivasi dapat dibedakan dari: 1) kontinuitas perhatian, ketertarikan dan perhatian terhadap pekerjaannya, 2) antusiasme dalam kerja dan menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan, 3) kosentrasi dalam mengerjakan pekerjaan, menghadapi setiap kesulitan kerja, dan menunjukkan kebulatan tekad dalam menyelesaikan pekerjaan. Artinya, bahwa guru yang memiliki motivasi tinggi dapat dilihat dari bagaimana ia melakukan pekerjaannya.

Pernyataan di atas diperkuat model teori expectancy, yaitu bahwa tinggi rendahnya motivasi seseorang sangat tergantung pada persepsi orang tersebut terhadap keterkaitan antara usaha yang dilakukan, kinerja, dan reward. Terkait dengan hal itu, individu akan termotivasi melakukan pekerjaan apabila ia yakin bahwa usaha yang ia lakukan itu akan dapat meningkatkan kinerjanya, dan kinerja yang ia capai tersebut diyakini akan berdampak terhadap reward yang diterima. Hal demikian, jika yang terjadi sebaliknya, individu tidak yakin dengan usaha yang dilakukan apalagi tidak yakin dengan reward yang akan diterima, maka secara otomatis akan mendorong lemahnya tingkat motivasi (Edwind C. Leonard, 2010: 128).

Uraian di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa motivasi kerja guru berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah  Aliyah se-Kota Bekasi baik secara langsung mapun tidak langsung melalui variabel lain. Jika dilihat dari 3 dimensi motivasi kerja ini ternyata seluruhnya memiliki kriteria baik dan sangat baik sehingga secara nyata dapat mendorong kinerja guru dalam mengajar.

Pertanyaan mendasar mengapa motivasi kerja memiliki pengaruh lebih besar kedua setelah komitmen mengindikasikan bahwa guru Madrasah Aliyah dalam bekerja lebih karena dorongan-dorongan internal, adanya keinginan kuat untuk bekerja sebagai wujud tanggungjawab dan keinginan yang tidak terpaksa oleh faktor eksternal lainnya hal ini sejalan dengan moto Kementerian Agama yakni ikhlas beramal, artinya setiap aspek pekerjaan yang dilakukan seluruh pegawai yang berada di bawahnya diniatkan menjadi salah satu bentuk ibadah yang merupakan perwujudan pengabdian sang makhluk terhadap Khaliknya. Pemaknaan lain dari ikhlas beramal ini juga berarti bahwa setiap jenis pekerjaan tidak saja dibayar dalam bentuk materi yang dapat dinikmati seketika, akan tetapi pekerjaan bisa bernilai transenden menjadi investasi berharga yang tidak terhingga kemaslahatannya untuk kehidupan di kemudian hari.

              Uraian di atas, ditegaskan Elis Supartini (2001 : 1) bahwa motivasi merupakan suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, sehingga dapat mempengaruhi prestasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Oleh karena itu, jika seorang guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka mereka akan terdorong dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah, sehingga diperoleh hasil kerja yang maksimal.



5.    Komitmen Kerja

Komitmen kerja adalah perasaan yang dimiliki anggota organisasi terhadap tempat bekerja yang diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya pada organisasi tersebut untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan.

Komitmen kerja guru memliki 3 dimensi yang seluruhnya memiliki kriteria baik. Dimensi komitmen terhadap organisasi memiliki 13 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dimensi komitmen terhadap profesi memiliki 7 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan dimensi terakhir adalah dimensi komitmen terhadap siswa memiliki 7 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan variasi pada komitmen kerja berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh komitmen kerja terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 0.340 atau determinasinya 0.1156 atau sebesar 11.56 %.

Seorang guru yang memiliki komitmen tinggi terlihat dari perilaku kerjanya yang positif, bertanggungjawab, dan memiliki gairah tinggi, seperti dikatakan Reyes dalam  Nordin Abd Razak, I Guti Ngurah Darmawan, John P. Keeves (2009: 187), bahwa:

“A committed teacher was likely to: 1) be less tardy, work harder, and be less inclined to leave the workplace; 2) devote more time to extra-curricular activities in order to accomplish the goals of the educational organization; 3) perform work better; 4) influence student achievement; 5) believe and act upon the goals of the school; 6) exert efforts beyond personal interest; and 7) intend to remain a member of the school system”.

Artinya seorang guru yang memiliki komitmen tinggi terlihat dari beberapa aspek terkait dengan pekerjaan yang dilakukannya, yaitu: 1) aktivitas kerjanya yang tidak terlambat, kerja keras, dan tidak meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, 2) banyak menggunakan waktu untuk kegiatan ekstra dalam rangka mencapai tujuan sekolah, 3) bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai tuntutan zaman, 4) mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan melalui berbagai teknik dan pendekatan, 5) percaya dan bertindak sesuai tujuan yang digariskan sekolah dengan mentaati segala bentuk aturan dan ketentuan yang berlaku, 6) bekerja tidak mementingkan kepentingan pribadi akan tetapi mementingkan kepentingan siswa dan lembaga secara lebih luas, 7) tetap berkeinginan menjadi anggota organisasi sekolah dengan menunjukkan sikap yang loyal dan bekerja dengan gigih.

Uraian di atas diperkuat dengan pernyataan : “High levels of commitment have been associated with lower rates of teacher absenteeism, increased job satisfaction, high expectations of students, and slight increases in student performance” (Lia M. Daniels,et.al, 2011: 91). Bahwa level komitmen seorang guru dapat dilihat dari rendahnya ketidakhadiran dalam menjalankan pekerjaan, adanya peningkatan kepuasan kerja, memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan siswa dan adanya peningkatan kinerja siswa sebagai bentuk hasil belajar yang bombing oleh guru.

Pernyataan di atas, memberikan gambaran bahwa komitmen seorang guru tidak terlepas dari ikatannya dengan lembaga sebagai tempat ia bekerja, jenis pekerjaan itu sendiri dan keterkaitannya dengan siswa sebagai subyek penting dalam proses pendidikan. Hal ini seperti ditegaskan bahwa komitmen guru menyangkut tiga dimensi, yaitu dimensi organisasi sekolah, dimensi profesi mengajar, dan dimensi siswa. Dimensi komitmen terhadap organisasi sekolah diantaranya setuju terhadap nilai-nilai dan tujuan sekolah yang didalamnya terdapat tiga komponen yaitu keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan sekolah, bekerja untuk kepentingan organisasi sekolah, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, dimensi komitmen terhadap profesi sebagai guru adalah komitmen terhadap satu pekerjaan yang didalamnya terdapat beberapa aspek yaitu melaksanakan tugas-tugas sebagai guru, perhatian terhadap keberhasilan siswa, kerajinan dalam bekerja, puas dengan pekerjaan sebagai guru, dan mengidentifikasi profesi sebagai guru, dimensi terakhir adalah komitmen terhadap siswa adalah rasa selalu ingin membantu kesulitan siswa, bertanggungjawab atas proses belajar siswa dan kehidupan sekolah, serta tanggungjawab terkait dengan kondisi emosi siswa (Insim Park, 2005: 463-464).

Penegasan-penegasan di atas, sesuai dengan hasil temuan penelitian bahwa komitmen kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui variabel lain. Pengaruh variabel komiten kerja ini merupakan pengaruh paling besar dibandingkan dengan pengaruh variabel lainnya yaitu pengaruh kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, dan motivasi kerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa kinerja mengajar guru merupakan satu kesadaran yang bersumber dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan professional, terbukti bahwa komitmen kerja memiliki pengaruh paling besar. 


SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian ini sebagai berikut :

1.      Variabel kepemimpinan kepala madrasah tergolong baik, hanya pada dimensi sebagai supervisor memiliki kriteria cukup dan khusus aspek pelaksanaan supervisi akademik yang masih kurang, variabel budaya madrasah, motivasi dan komitmen kerja seluruh dimensinya memiliki kriteria baik, dan variabel kinerja mengajar terdapat dua dimensi tergolong baik yakni perencanaan dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran, dimensi pelaksanaan pembelajaran tergolong cukup terkecuali pada aspek penggunaan strategi pembelajaran yang menyenangkan, penggunaan metode pembelajaran bervariasi, dan penggunaan media pembelajaran yang menarik masih tergolong kurang baik, sedangkan dimensi perbaikan dan pengembangan tergolong kurang khususnya pada pelaksanaan refleksi setelah pembelajaran. 

2.      Kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.

3.      Budaya madrasah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.

4.      Motivasi kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.

5.      Komitmen kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.

6.      Kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja secara secara bersama-sama berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi. Artinya bahwa kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja dan komitmen kerja merupakan faktor-faktor yang menentukan terhadap kinerja mengajar guru.

Terkait dengan temuan penelitian ini, maka penulis sampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

1.      Kepada para Kepala Madrasah Aliyah untuk fokus pada aspek akademik dengan tidak menyampingkan aspek administratif lainnya, terus mengawal program sertifikasi guru ini dengan membuat program lanjutan terkait dengan pembinaan dan pengembangan kinerja mengajar guru terutama peningkatan kualitas proses pembelajaran dalam bentuk supervisi akademik baik klinis maupun non klinis, melakukan pembinaan kompetensi guru terkait dengan pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan, membuat kegiatan pelatihan guru secara rutin tentang strategi dan mode-model pembelajaran atau mengikutsertakannya pada kegiatan-kegiatan ilmiah yang diselenggarakan lembaga lain.

2.      Kepada para guru agar terus berupaya meningkatkan kinerja mengajar sehingga proses pembelajaran menjadi lebih optimal melalui kegiatan refleksi yang dilakukan antarsesama guru mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran, memprogramkan kegiatan lesson study dengan melakukan open lesson bagi guru-guru dalam satu sekolah atau antarsekolah sehingga dapat diketahui titik kelemahan dan kelebihan proses pembelajaran dan dapat ditingkatkan pada pembelajaran selanjutnya.

3.      Kepada para peneliti lain yang hendak mengkaji dan mendalami masalah kinerja mengajar guru untuk melakukan penelitian tersebut dilihat dari faktor-faktor lain selain variabel yang dikaji dalam penelitian ini. Selain itu, perlu formulasi dan pendekatan lain untuk menganalisis dan memahami masalah kinerja mengajar guru ini terutama dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mengukur kinerja mengajar secara langsung.



DAFTAR PUSTAKA



Alderman, M. Kay. (2004). Motivation for Achievement. Possibilities for Teaching and Learning. USA: New Jersey.

Anwar, Moch. Idochi. (2003). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Bandung : Alfabeta.

Arends, Richard I.  (2008). Learning to Teach. Belajar Untuk Mengajar. Buku 1, Edisi ke 7. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Armstrong, Michael. (2003). The Art of Managing People. A Practical Guide for Line Managers. Ali bahasa: Ramelan & Dwi Prabaningtyas. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Armstrong, Michael. (2003). The Art of Managing People. A Hanbook of Remuneration Strategy and Practice. Buku pertama. Ali bahasa: Ramelan & Dwi Prabaningtyas. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Atkinson, E Stephanie. (2000).  Educational Psychology. Dorchester-on-Thames: Mar 2000. Vol. 20, Iss. 1; pg. 45, 13 pgs.

Benkgoff. (1997). Ignoring Commitment Is Costly : New Approaches Establish the Missing Link Between Organizational Commitment and Performance. Human Relations, 50, (6), 1997.

Daniels, Lia M. et.al. (2011). The Effect of Teacher Candidates’Perceptions of Their Initial Teacher Education Program on Teaching Anxiety,Efficacy, and Commitment. Alberta Journal of Educational Research, Vol. 57, No. 1, Spring 2011.

DeJoy, Schaffet, Wilson. (2004). Vandenberg & Butts, Creating safer workplaces: assessing the determinants and role of safety climate (Journal of Safety research, 35, 2004.

Depdiknas. (2000). Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah & Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Finnigan, Kara S. (2010).  Principal Leadership and Teacher Motivation Under High-Stakes Accountability Policies. Leadership and Policy in Schools, 9:161–189, 2010 Copyright © Taylor & Francis Group, LLC ISSN: 1570-0763 print/1744-5043 online DOI: 10.1080/15700760903216174.

Good, Thomas L & Jere E. Brophy. (1990).  Educational Psychology Realistic Approach. New York: Longman.

Gredler, Margaret. (2009). Learning and Instruction, Theory into Practice. Ohio, New Jersey.

Hallinger, Philip & Kenneth Leithwood. (1996). Culture and Educational Administration. A Case of Finding Out What You don’t Know You don’t Know. Journal of Educational Administration, Vol. 34 No. 5, 1996, pp. 98-116. © MCB University Press, 0957-8234

Hammond, Linda Darling. (2006). Powerful Teacher Education, Lesson From Examplary Programs. USA: Jossey-Bass.

Hasibuan,  Malayu. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Hidayat, Ara & Imam Machali. (2010). Pengelolaan Pendidikan. Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Bandung: Pustaka Educa.

Hidayat, Umul. (2006). Upaya peningkatan kompetensi guru. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan. Vol. 4 No. 2 April-Juni 2006.

Hubbard, Lea, Hugh Mehan, Mary Kay stein. (2006). Reform As Learning: School Reform, Organizational Culture, and Community Politics in San Diego. New York: Routledge.

Hunton, James E & Carolyn Strand Norman. (2010). The Impact of Alternative Telework Arrangements on Organizational Commitment: Insights from a Longitudinal. Journal Of Information Systems. Vol. 24, No. 1 DOI: 10.2308/jis.2010.24.1.67.

Jalal, Fasli & Dedi Supriadi. (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa.

King, Patricia. (1993). Performance Planning & Appraisal : How to Book for Manager. New York: Mc. Grow – Hill Book Company.

Kocabas, Ibrahim. (2009). The Effects Of Sources Of Motivation On Teachers' Motivation Levels. Education. Chula Vista: Summer 2009. Vol. 129, Iss. 4; pg. 10.

Lang, Helmut R & David N. Evans. (2006).  Models, Strategies, and Methods 

Lee, Chriss. 1990. Beyond Team Work, Training: The Magazine of Human Resource Development. New Jersey: Prentice-Hill.

Leithwood, Kenneth and Doris Jantzi. (1997). Explaining Variation in Teachers’ Perceptions of Principals’ Leadership: a Replication. Journal of Educational Administration, Vol. 35 No. 4, 1997, pp. 312-331. © MCB University Press, 0957-8234.

Leonard, Edwin C, JR. (2010). Supervision. Concepts and Practices of Management. USA : Cengage.

Lunenburg, Fred C & Beverly J. Irby. (2006). The Principalship. Vision to Action. USA : Cengage Learning.

Mapenda Departemen Agama Kota Bekasi Tahun 2007

Marsh, Colin. (2008).  Becoming A Teacher, Knowledge, Skill and Issues. Australia: Prentice Hall.

Middlewood, David & Carol Cardono. (2001). Managing Teacher Appraisal and Performance. A Comparative Approach. New York: Routledge Falmer.

Mulyasa . E. (2002).  Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung :  PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. (2003). Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Newton, Colin & Tony Tarrant. (2003). Managing Change in Schools. New York: Chapman and Hall.

Nihayah, Zahrotun & Alvinar Aziz. (2009). Pengembangan Potensi Diri Kepala Madrasah. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusdiklat Tenaga Administrasi Departemen Agama RI.

Orlich, Donald C. et al. (2010). Teaching Strategies a Guide to Effective Instruction, USA : Wadsworth.

Park, Insim. (2005). Teacher Commitment and its Effects on Student Achievement in American High Schools. Educational Research and Evaluation. Vol. 11, No. 5, October 2005.

Pidarta, Made. (2009). Supervisi Pendidikan Kontekstual. Jakarta : Rineka Cipta.

Popham, James W. (2011). Classroom Assessment. What Teacher Need to Know. Sixth Edition. Boston : Pearson Education.

Razak, Nordin Abd,  I. Gusti Ngurah Darmawan , John P. Keeves. (2010). The Influence of Culture on Teacher Commitment. Received: 19 January 2009 / Accepted: 9 December 2009 / Published online: 28 January 2010. Springer Science+Business Media B.V. 2010.

Rebore, Ronald W & Angela L.E. Walmsley. (2007). An Evidence-Based Approach to the Practice of Educational Leadership. USA: Person Education

Renchler, Ron. (1992). Student Motivation, School Culture, and Academic Achievement: What School Leaders Can do. Eugene, OR: ERIC Clearinghouse.

Rue, Leslie W & Lloyd L. Byars. (2010). Supervision. Key Lingk to Productivity. USA: McGraw-Hill.

Sahertian, Piet A. (1994). Profil Pendidikan Profesional. Yogyakarta : Andi Offset.

Shaw, Delery & Abdullah. (2003). Organizational Commitment and Performance Among Guest Workers and Citizens of An Arab Country. Journal of Businees Research.

Soedijarto. (1993). Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sudijono, Anas. (2007). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Pemberdayaan Guru. (Online). Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/. (26 Pebruari 2010).

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktinya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukardi. (2008). Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya. Edisi 1. Yogyakarta: Bumi Aksara.

Supartini, Elis. (2001). Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah. (Online). Tersedia : www.pendidikan.net. (18 Januari 2012).

Supriadi, Dedi. (2003). Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdiknas.

Usman, M. Uzer. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Wood, Jack & Joseph Wallace & Rachid M. Zeffane. (2001). Organizational Behavior a Global Perspectives. Australia : John Willey & Sons.