ABSTRAK
Secara
teoretik, kinerja mengajar guru dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor
internal diantaranya persepsi, sikap, komitmen, motivasi, kepuasan dan emosi,
dan faktor eksternal diantaranya kepemimpinan, struktur, budaya, lingkungan,
orang, dan imbalan. Berdasarkan
hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kepemimpinan kepala madrasah,
budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja, dan kinerja mengajar guru dan untuk mengetahui
pengaruh kepemimpinan kepala madrasah,
budaya madrasah, motivasi kerja, dan komitmen kerja terhadap kinerja mengajar guru.
Metode penelitian yang digunakan adalah survey
dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket atau
kuesioner dalam bentuk skala Likert. Populasi sebagai unit analisis penelitian
adalah guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi sebanyak 489 orang. Sampel
penelitian menggunakan desain restricted
sample yang terlebih dahulu dikelompokkan secara homogen yaitu kelompok
guru sudah disertifikasi dan kelompok guru belum disertifikasi, jumlah sampel
diambil sebanyak 20 % dengan teknik proporsional kemudian digenapkan menjadi
100 orang sekaligus sebagai responden penelitian. Teknik analisis data
menggunakan analisis jalur (path analysis).
Kepemimpinan kepala madrasah, budaya
madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja, dan mengajar guru Madrasah Aliyah
Se-Kota Bekasi tergolong baik meskipun terdapat beberapa aspek yang masih
lemah. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa kepemimpinan kepala madrasah,
budaya madrasah, motivasi kerja, dan komitmen kerja memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah.
Untuk meningkatkan kinerja mengajar guru di Madrasah
Aliyah di Kota Bekasi direkomendasikan: (1) Kepada Kepala Madrasah agar lebih fokus pada aspek
akademik disamping aspek administratif, membuat program lanjutan terkait dengan
pembinaan dan pengembangan kinerja mengajar guru terutama peningkatan kualitas
proses pembelajaran dalam bentuk supervisi akademik baik klinis maupun non
klinis, membuat kegiatan pelatihan guru tentang strategi dan mode-model
pembelajaran atau mengikutsertakannya pada kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
(2) Kepada para guru agar terus berupaya meningkatkan kinerja mengajar melalui
kegiatan refleksi, memprogramkan kegiatan lesson
study dengan melakukan open lesson
bagi guru-guru dalam satu sekolah atau antarsekolah. (3) Kepada peneliti
selanjutnya agar melakukan penelitian dengan melibatkan variabel dan pendekatan
lain.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Dalam
proses pengelolaan pendidikan terdapat beberapa unsur penting, yaitu unsur
sumber daya manusia, unsur material dan unsur biaya. Unsur sumber daya manusia
adalah guru, staf, siswa, unsur material adalah gedung, sarana fisik, sumber
belajar, dan unsur biaya adalah pembiayaan proses pendidikan. Unsur-unsur
tersebut saling berkaitan satu sama lain menjadi satu sistem yang tidak
terpisahkan dalam proses pendidikan.
Dari berbagai unsur di atas, guru sebagai unsur
manusia memiliki peran strategis dalam
menggerakkan aktivitas pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain menjadi
kurang berarti apabila tidak disertai dengan kinerja guru yang memadai,
meskipun kinerja guru ini tidak dapat dilepaskan dari sumberdaya pendukung
lainnya yang dapat menyebabkan optimalisasi kerja. Dengan kata lain, guru
merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan, proses, dan
hasil pendidikan.
Kualitas pendidikan secara
keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas guru. Hal ini seperti
dikatakan Brandt (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001 : 262), bahwa guru
merupakan kunci utama yang memiliki peran besar dalam peningkatan mutu
pendidikan, guru berada pada titik sentral dari setiap usaha perbaikan
pendidikan yang diarahkan pada perubahan seluruh aspek seperti kurikulum,
metode dan pengembangan sarana prasarana. Perubahan dan perbaikan aspek-aspek
di atas, tidak akan bermakna apabila melibatkan guru sebagai pelaku pendidikan.
Peran dan urgensi guru sebagai motor pendidikan, secara faktual mengalami
kendala besar. Hasil rapat kerja Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004, menunjukkan
bahwa
masalah yang dihadapi pendidikan dilihat dari kondisi guru saat ini
adalah: (a) Kualifikasi dan kompetensi
guru yang kurang layak, sehingga menghambat peningkatan mutu pendidikan; (b)
Kualifikasi akademik guru masih banyak yang di bawah standar minimal yang dipersyaratkan; dan
(c) Kompetensi guru
terhadap mata pelajaran
yang diajarkan kurang memadai (Setjen Depdiknas, 2004 : 5). Pada persoalan yang sama, kondisi
tidak lebih baik lagi terjadi pada madrasah-madrasah (lembaga pendidikan yang
dikelola Kementerian Agama), terdapat 60 % guru madrasah (MI, MTs, dan MA)
tidak memiliki kualifikasi yang memadai sebagai guru, sebanyak 20 % guru
mengajar di luar bidang keahliannya, dan dari seluruh guru yang ada ternyata
hanya 20 % yang layak dari segi kualifikasi pendidikannya (Fasli Jalal &
Dedi Supriadi, 2001 : 262).
Sejalan dengan data di
atas, berdasarkan hasil penelitian bahwa skor penguasaan guru terhadap
metodologi pembelajaran yang diterapkan di kelas hanya mencapai sekitar 51,81 %
dan aspek yang paling rendah terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran
dengan skor 37,08% (Umul Hidayat, 2006: 92). Rendahnya penguasaan pada beberapa
aspek di atas menunjukkan rendahnya kinerja guru dalam mengajar.
Pada skala lokal, bersamaan dengan political-will Pemerintah mengupayakan peningkatan
mutu pendidikan dengan lahirnya berbagai Peraturan Pemerintah dan Permendiknas terkait
penyelenggaraan pendidikan, ditemui data statistik penurunan
minat masyarakat terhadap madrasah khususnya di Kota Bekasi yang terindikasi
pada : 1. Madrasah menjadi alternatif terakhir, sehingga siswa yang
masuk ke madrasah pada umumnya merupakan siswa yang tidak diterima di sekolah
umum, 2. Semakin sedikitnya siswa yang diserap madrasah, baik dari SMP/MTs ke
MA, dari SD/MI ke MTs, apalagi dari TK/RA yang diserap MI (Tim Mapenda Depag
Kota Bekasi, 2007).
Sesungguhnya
banyak faktor yang dapat mempengaruhi eksistensi minat masyarakat terhadap
pendidikan di madrasah, seperti : daya tarik program, kurikulum, kualitas
proses pembelajaran, kualitas guru, kualitas kepemimpinan kepala madrasah,
penilaian pendidikan, kualitas lulusan, kualitas pengelolaan, kualitas sarana,
pelayanan, keterbukaan dan pengawasan madrasah. Apabila berbagai aspek di atas
dapat terpenuhi, maka tujuan pendidikan yang sangat mulia dan sarat dengan
sinergi berbagai unsur dapat dicapai dengan optimal. Secara empirik, rendahnya
minat masyarakat terhadap Madrasah khususnya Madrasah Aliyah, dikuatkan dengan
hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya mutu Madrasah Aliyah dilihat dari 8
standar nasional pendidikan yang terindikasi pada rendahnya mutu proses
pembelajaran yang berdampak pada rendahnya kompetensi lulusan hanya mencapai
23,7 % yang mampu bersaing dalam memasuki Perguruan Tinggi Negeri dan lemahnya
kinerja mengajar guru dalam melakukan interaksi pembelajaran, yaitu hanya 36,6
% (Tim Mapenda Depag Kota Bekasi, 2007: 35).
Persoalan
rendahnya kinerja sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, seperti diungkapkan di atas, Wood melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja individu (job performance) yaitu suatu fungsi
dari interaksi atribut individu (individual atribut), yaitu usaha
kerja (work effort) yang muncul dari dalam individu tersebut dan
dukungan organisasi (organizational support) (Wood, Wallce, Zeffane,
2001 : 91).
Berdasarkan kutipan di atas, teridentifikasi aspek-aspek internal sebagai
atribut individu yang berpengaruh terhadap kinerja diantaranya adalah faktor
motivasi dalam bekerja dan komitmen organisasi. Motivasi kerja dan komitmen
organisasi ini erat kaitannya dengan dorongan dari dalam diri sendiri untuk
melakukan, menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan kerja sehingga semua
hambatan dapat diselesaikan mencapai hasil kerja yang optimal. Sedangkan
aspek-aspek eksternal teridentifikasi variabel kepemimpinan kepala sekolah dan
budaya organisasi. Berdasarkan identifikasi masalah di
atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya dalam pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah kepemimpinan kepala madrasah, budaya
madrasah, motivasi kerja dan komitmen kerja guru di Madrasah Aliyah Se-Kota
Bekasi?
b. Bagaimanakah pengaruh kepemimpinan kepala madrasah
terhadap kinerja mangajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?
c. Bagaimanakah pengaruh budaya madrasah terhadap
kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?
d. Bagaimanakah pengaruh motivasi kerja guru terhadap
kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?
e. Bagaimanakah pengaruh komitmen kerja guru terhadap
kinerja mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?
f. Bagaimanakah pengaruh kepemimpinan kepala madrasah,
budaya madrasah, motivasi kerja dan komitmen kerja guru terhadap kinerja
mengajar guru di Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi?
TINJAUAN TEORITIS
1. Kinerja Mengajar Guru
Kinerja merupakan nilai dari seperangkat
perilaku yang berkontribusi baik secara
positif maupun negatif terhadap pencapaian tujuan organisasi, artinya kinerja
positif akan berkontribusi pada semakin tercapaianya tujuan organisasi, dan
semakin negatif kinerja, maka akan berpengaruh terhadap semakin jauh pencapaian
tujuan, seperti dikatakan “Job
performance is formally defined as the value of the set of employee behaviors
that contribute, either positively or negatively, to organizational goal
accomplishment” (Jasson A. Colquitt, et.al, 2009: 37).
Kinerja seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
timbul dalam diri sendiri, faktor internal sangat berperan dalam menentukan
kualitas kerja dari seseorang. Dengan adanya keinginan dan tekad yang bulat
yang berasal dari dalam diri, maka kinerja yang dihasilkan dapat meningkat
dengan baik. Lain halnya dengan faktor eksternal, faktor ini memungkinkan
seseorang bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh untuk menciptakan kualitas
kerja berdasarkan faktor dari luar diri sendiri. Hal ini dapat terjadi dengan
adanya dorongan dari pimpinan berupa
penilaian kinerja.
Dikatakan Uzer Usman (2006:
10-19) bahwa indikator kinerja guru dalam
proses belajar-mengajar adalah: 1) Kemampuan merencanakan kegiatan belajar mengajar, yang meliputi: a) menguasai garis-garis besar
penyelenggaraan pendidikan, b) menyesuaikan analisis materi pelajaran, c) menyusun program semester, d)
menyusun program atau pembelajaran; 2) Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar, meliputi: a) tahap pra instruksional, b) tahap instruksional, c)
tahap evaluasi dan tidak lanjut; dan 3) Kemampuan mengevaluasi, meliputi: a)
evaluasi normatif, b) evaluasi formatif, c) laporan hasil evaluasi, dan d)
pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan.
Dari uraian di atas, proses belajar mengajar
di kelas dilakukan melalui tiga tahapan besar, yaitu membuat perencanaan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran.
1).
Membuat Perencanaan Mengajar
Aktivitas guru dalam melakukan rangkaian pembelajaran dimulai dari menyusun
rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing,
dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan
efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya
proses belajar mengajar selanjutnya (Soedijarto, 1993 : 96).
Perencanaan mengajar merupakan persiapan yang dibuat sebagai standar
atau rambu-rambu dalam proses pembelajaran di kelas. Menurut Fred C. Lunenburg
& Beverly J. Irby (2006: 88-89) konten perencanaan pembelajaran adalah
meliputi:
1)
Goal, yaitu sasaran umum yang hendak dicapai
dalam pembelajaran.
2)
Tujuan, yaitu aspek khusus yang harus
dikuasai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran yang mengacu pada pola
abcd (audience, behavior, condition,
degree).
3)
Menentukan materi yang akan diajarkan.
4)
Level dan karakteristik siswa, yakni
memperhitungkan berbagai perbedaan yang memungkinkan berbedanya pencapaian
tujuan.
5)
Penilaian, yaitu melakukan penilaian atas
tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005
dinyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya
tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan
penilaian hasil belajar.
Berbagai
aspek di atas, menunjukkan kepada keberadaan dan kesiapan seorang guru dalam
melakukan proses pembelajaran di kelas yang sekaligus menentukan apakah proses
tersebut memiliki kualitas atau bahkan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa
keberadaan seorang guru dalam menyiapkan pembelajaran sangat dibutuhkan baik
yang terkait langsung dengan teknis pebelajaran di kelas, maupun perencanaan
penunjang lainnya seperti melakukan komunikasi dengan orang tua siswa dalam
rangka memantau perkembangan belajarnya.
2). Melaksanakan
Pembelajaran
Mengajar merupakan
tugas menantang dan kompleks karena yang dihadapi adalah manusia yang
masing-masing memiliki karakteristik berbeda tetapi tetap harus dijamin
mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, seorang guru memiliki peran supermulti,
yaitu sebagai pendidik, pengajar, pelindung, dll.
Menurut Hammond :
“Teaching must build upon and modify
students’ prior knowledge, responsive teachers select and use instructional
materials that are relevant to students’ experiences outside school, design
instructional activities that engage students in personally and culturally
appropriate ways, make use of pertinent examples or analogies drawn from
students’ daily lives to introduce or clarify new concepts, manage the
classroom in ways that take into consideration differences in interaction
styles, and use a variety of evaluation strategies that maximize students’
opportunities to display what they actually know in ways that are familiar to
them” (Linda Darling Hammond, 2006: 115).
Bahwa
mengajar merupakan kegiatan membangun dan memodifikasi materi sesuai pengalaman
siswa, memilih dan menggunakan materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman
siswa, mendesain aktivitas pembelajaran yang menarik siswa, menggunakan
contoh-contoh dalam pembelajaran sesuai yang dialami siswa, mengelola kelas
dengan berbagai cara sehingga menentukan gaya interaksi dalam pembelajaran, dan
menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi.
Terkait dengan implementasi kegiatan
pembelajaran, dalam bab IV pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun
2005, dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai bakat, minat dan
perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.
Pembelajaran
efektif merupakan tolokukur keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses
pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat
secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Sebab dalam proses
pembelajaran aktivitas yang menonjol ada pada peserta didik. Kualitas
pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi
hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan
berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar (75 %) peserta didik
terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses
pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi,
semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi
hasil, proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah
laku yang positif pada peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian
besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan
berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan
bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan
pembangunan. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka
diperhatikan beberapa aspek, di antaranya: (1) guru harus membuat persiapan
mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi
yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis
dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode,
suara, maupun gerak, (3) waktu selama proses belajar mengajar berlangsung
digunakan secara efektif, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar guru
cukup tinggi, dan (5) hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam
kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera
diatasi. Sedemikian rupa lima aspek itu dilaksanakan, sehingga
akan terwujud sebuah pembelajaran yang efektif (Abdul Mukti Bisri, 2008 :
1).
Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal diperlukan proses yang
produktif melibatkan seluruh peserta didik secara aktif sebagai subyek belajar.
Menurut Gredler (2009: 421-422) bahwa kegiatan mengajar dapat dibangun
dengan positif dan proaktif, dengan cara:
1)
Merestrukturisasi tujuan kelas dalam strategi
belajar mengajar, yaitu tujuan mana yang ditekankan dalam strategi belajar
mengajar dan penugasan kelas yang bervariasi yang dapat mendorong ketertarikan
siswa
2) Mengidentifikasi metode evaluasi yang memadai, yaitu kapan evaluasi
formatif dilakukan untuk mengidentifikasi kesalahan dalam rangka meningkatkan
pembelajaran, merubah konten dinding kelas dengan hasil pekerjaan siswa,
penghargaan kelas dilakukan secara konsisten untuk meningkatkan usaha dan
kemampuan siswa, meberikan kesempatan pada siswa secara bervariasi untuk
mendemonstrasikan apa yang mereka pelajari.
3) Mengidentifikasi aktivitas kelas, menekankan kompetisi individu,
memfasilitasi strategi dan upaya yang efektif, yaitu membuat persentasi waktu
untuk aktivitas kompetisi kelompok-kelompok kecil dalam kelas, memberikan
penugasan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa melakukan pengambilan
keputusan, menentukan aktivitas kelompok yang dapat digunakan dalam
meningkatkan pembelajaran kooperatif, menyiapkan permainan individu dan
kelompok yang dapat mendorong peningkatan strategi belajar mengajar.
4) Memberikan feedback berupa
statemen verbal, yaitu memberikan pujian yang memadai, menggunakan strategi
konstruktif dalam memberikan simpati atas keberhasilan siswa, menggunakan dalam
menyemangati siswa agar bertanggungjawab atas proses pembelajaran yang
dilakukannya.
Upaya dan
strategi yang dilakukan di atas, sesuai dengan peran dan posisi guru di dalam
kelas sebagai manajer yang bertugas mengelola kelas dengan efektif untuk
mencapai target yang direncanakan, artinya selama interaksi terjadi di dalam
kelas, guru merupakan penanggungjawab utama sebagai figur dalam memfasilitasi
siswa dengan berbagai strategi dan pendekatan yang paling sesuai dengan
mempertimbangkan berbagai hal seperti kondisi siswa, materi yang akan
disampaikan, metode yang digunakan, kondisi lingkungan, serta sarana prasana
yang diperlukan.
3). Melakukan evaluasi
Hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah proses pembelajaran di kelas
adalah aspek penilaian. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru
mencakup 4 aspek, yakni aspek pengetahuan dan pemahaman konsep (yaitu bagaimana
siswa dapat mendemonstrasikan pemahamannya), aspek kemampuan berpikir (yaitu
bagaimana siswa dapat berpikir atau menunjukkan indikator bahwa mereka dapat
berpikir), aspek keterampilan (yaitu apa yang dapat siswa lakukan yang
mengindikasikan adanya perubahan), dan aspek perilaku (yaitu bagaimana perilaku
siswa menunjukkan perubahan positif di kelas) (Donald C. Orlich, et al., 2010:
325).
Pelaksanaan evaluasi dan penilaian siswa sangat penting dilakukan guna
mengukur kemampuan siswa dan ketercapaian target yang ditetapkan. Evaluasi dan
penilaian belajar dilakukan dengan tujuan menetapkan tingkat pemahaman siswa, menilai
performan siswa, menetapkan siswa pada kelas selanjutnya, mengidentifikasi
kesulitan siswa sehingga memerlukan tugas tambahan. Hal ini seperti dikatakan
bahwa pencapaian hasil belajar adalah terpenuhinya kompetensi yang dimiliki
siswa dari segi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Balitbang Depdiknas, 2002
: 3).
Menurut Cross dalam Sukardi (2008 :
1) yang dimaksud dengan evaluasi adalah : a process which determines the
extent to which objectives have been achieved. Bahwa evaluasi adalah sebuah
proses yang menentukan kondisi yang menunjukkan bahwa tujuan telah dapat
dicapai. Hal demikian mengindikasikan bahwa jika tujuan belum dicapai maka
mengharuskan guru melakukan upaya mendapatkan informasi yang valid tentang
kemengapaan bahwa tujuan itu tidak tercapai yang selanjutnya diperlukan
tindakan mengantisipasi masalah tersebut. Dengan demikian, penilaian hasil belajar terkait dengan pengambilan keputusan tentang
pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses
pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang tepercaya yang
menjadi dasar pengambilan keputusan. Keputusan tersebut berhubungan dengan
keberhasilan peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi dan
penggunaan strategi kedepan yang lebih baik untuk dapat mengoptimalkan
pencapaian tujuan.
Aspek
yang dinilai dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar adalah: kognitif, afektif
dan psikomotor. Aspek kognitif terkait dengan kemampuan intelektual siswa dalam
mendemonstrasikan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah. Aspek afektif
terkait dengan target pencapaian yang berhubungan dengan sikap, ketertarikan,
nilai, rasa percaya diri, kecenderungan mengambil resiko, dan saikap dalam
belajar. Sedangkan psikomotor berkaitan dengan keterampilan fisik seperti
kemampuan menggunakan keyboard pada komputer atau kemampuan melakukan shoot
pada permainan bola basket (W. James Popham, 2011 : 35).
Pengukuran kinerja guru memiliki tujuan tertentu, seperti dikatan Maria
Asuncao Flores (2010: 47):
Teacher
performance appraisal also aims at: (a) contributing to improve teaching
practice; (b) contributing to improve teacher development and growth; (c)
identifying teachers’ training needs; (d) identifying the factors which
influence teachers’ achievements; (e) differentiating and recognising the best
professionals; (f) identifying indicators for managerial decisions; (g)
promoting cooperation among teachers in order to enhance student achievement;
and (h) promoting excellence and quality of the services to the community.
Bahwa tujuan pengukuran kinerja guru adalah: (a) sebagai kontribusi untuk
meningkatkan kemampuan praktis guru, (b) sebagai kontribusi dalam peningkatan
dan pengembangan guru, (c) untuk mengidentifikasi kebutuhan training bagi guru,
(d) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru,
(e) untuk membedakan dan memberikan pengakuan terhadapa guru yang professional,
(f) untuk mengidentifikasi indikator dalam pengambilan keputusan manajemen, (g)
memberikan promosi guru agar melakukan peningkatan prestasi siswa, (h)
mempromosikan kualitas dan pelayanan terbaik terhadap masyarakat.
2. Kepemimpinan Kepala Madrasah
Istilah kepemimpinan melukiskan hubungan antara pimpinan
dan bawahan dalam suatu organisasi yang dapat bekerjasama. Kepemimpinan
merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing dan mengarahkan
atau mengelola orang lain agar mau berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan
bersama. Artinya bahwa kepemimpinan adalah
tindakan yang dapat menyebabkan orang lain secara perorangan maupun kelompok
yang bersama-sama bekerja mencapai satu tujuan.
Locke
(1997: 3-4) mengatakan kepemimpinan sebagai proses membujuk (inducing) orang lain untuk
mengambil langkah dan melakukan
kegiatan atau tindakan menuju suatu
sasaran bersama. Definisi ini mengkategorikan tiga unsur :
1)
Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept); kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan
orang lain, sehingga pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan
inspirasi dan berelasi dengan orang lain,
2)
Kepemimpinan merupakan suatu proses, dan
3)
Kepemimpinan harus mampu membujuk orang lain
untuk mengambil tindakan, antara lain dengan cara menggunakan otoritas yang
terlegitimasi yang dimiliki, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi
organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi yang dibuat.
Kepemimpinan
adalah sesuatu yang unik, kepemimpinan tidak pernah sama dalam
memimpin. Kepemimpinan terkait dengan beberapa tema umum, tentang tujuan, harapan, inspirasi, pengaruh dan dilakukan secara berulang-ulang guna memengaruhi terjadinya perubahan yang
menuntut kemampuan berkomunikasi dan
berhubungan dengan seluruh
anggota organisasi, terutama bawahannya, karena pemimpin dan pekerja saling
membutuhkan, agar tujuan organisasi dapat
terwujud
Dari sudut pandang kepemimpinan, menurut Pidarta (2009:19) bahwa peran
kepala sekolah adalah sebagai manager,
administrator, motor humas, leader, dan supervisor. Kepala sekolah sebagai manajer berarti sosok yang
melakukan proses pengelolaan organisasi. Kata proses mempunyai arti bahwa
manajemen merupakan cara kerja yang dilaksanakan secara sistematis. Manajemen
dalam suatu organisasi merupakan
suatu satuan kerja yang terdiri dari beberapa bagian yang dikoordinasikan dan bekerjasama dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan. Sifat pekerjaan manajemen, yakni
mengkordinasikan pekerjaan orang yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen.
Manajer yang mengelola dan mengendalikan kegiatan pendidikan di sekolah
adalah kepala sekolah. Peran dan tugasnya sebagai pimpinan, tidak terlepas dari
upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran; termasuk menstimulasi, menyeleksi,
pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi
tujuan-tujuan pendidikan, bahan
pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran (Mulyasa, 2002
: 155).
Hal ini ditegaskan bahwa praktek
manajemen menunjukkan bahwa fungsi atau kegunaan manajemen (planning, organizing, actuating, dan
controlling) secara langsung ataupun tidak langsung selalu bersangkutan
dengan unsur manusia. Perencanaan (planning)
meliputi serangkaian keputusan termasuk
tujuan, membuat program, menentukan metode, dan prosedur serta menetapkan
jadwal pelaksanaan. Mengorganisasikan (organizing) selain mengatur
unsur-unsur lain juga selalu menyangkut unsur-unsur manusia. Mengaktualisasikan
(actuating) adalah proses
menggerakkan anggota organisasi, sedangkan pengontrolan (controlling) diadakan agar pelaksanaan manajemen (manusia) selalu
dapat meningkatkan hasil kerjanya (Handayaningrat, 1996 : 6). Pengarahan mencakup kegiatan mempengaruhi anggota organisasi agar
berprestasi sedemikian rupa sehingga mendukung tercapainya tujuan. Pengawasan
adalah suatu usaha untuk mengetahui bahwa
hasil yang dicapai organisasi sesuai dengan prestasi yang direncanakan.
Pengorganisasian adalah pengelompokan kegiatan yang diwadahi dalam unit-unit
yang melaksanakan rencana dan menetapkan hubungan antara pimpinan dan bawahan
di setiap unit.
Menurut
Leslie W. Rue & Lloyd L. Byars (2010 : 5-6), terdapat lima aktivitas dasar
yang harus dilakukan seorang manajer, yaitu:
1)
Planning, yaitu menentukan tujuan yang efektif dalam
melakukan penilaian pekerjaan yang dilakukan. Terdapat tiga tahapan dalam
perencanaan ini yaitu menilain kondisi peralatan yang ada, menilai perilaku
pegawai, dan ketersediaan material.
2)
Organizing, yaitu mendistribusikan setiap pekerjaan
kepada pegawai baik secara individual maupun kelompok.
3)
Staffing, yaitu fokus kegiatan pada bagaimana
mendapatkan dan mengembangkan kualitas pegawai.
4)
Leading, yaitu menunjukkan dan menghubungkan perilaku
pegawai dengan tujuan pekerjaan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan
dari pekerjaan yang dilakukan.
5)
Controlling, yaitu menentukan seberapa baik sebuah
pekerjaan yang dilakukan dibandingkan dengan rencana yang ditetapkan.
Peran
sebagai administrator, seorang kepala sekolah dituntut memahami aspek-aspek
administrasi sekolah, seperti administrasi sumber daya manusia, administrasi
kurikulum, administrasi keuangan dan administrasi sarana prasarana. Seperti
dikatakan Ahmad Sanusi dalam Idochi Anwar (2003: 77-79) bahwa kemampuan kepala
sekolah dengan misi profesionalnya terdiri atas : 1) Kemampuan dalam
administrasi sekolah yang meliputi kemampuan tujuan, kemampuan proses dan
kemampuan teknis manajerial; 2) Pengetahuan dalam administrasi sekolah yang
meliputi berbagai pengetahuan yang relevan dengan proses administratif dan
bidang teknis; serta 3) Komitmen dalam administrasi sekolah yang meliputi
orientasi kearah perbaikan syarat keunggulan professional, aktif berpartisipasi
dalam kegiatan belajar mengajar yang profesional, dan dedikasi terhadap
pengembangan konsep yang lengkap.
Peran
sebagai motor atau penggerak, kepala sekolah fokus pada aktivitas
mempengaruhi dan mendorong perilaku yang terkait dengan kegiatan sekolah yaitu
berfokus pada proses belajar mengajar, mendorong adanya kolaborasi
antarkomponen, menganalisis hasil yang dicapai, mensupport setiap kebutuhan
pembelajaran, mengelola kurikulum, pembelajaran dan penilaian hasil belajar,
seperti dikatakan : The principal as
instructional leader focusing on learning, encouraging collaboration, analyzing
results, providing support, aligning curriculum, instruction, and assessment. (Fred
C. Lunenburg & Beverly J. Irby, 2006: 14).
Peran sebagai seorang
pemimpin, kepala sekolah memiliki dua fungsi, yaitu : 1) mengusahakan
keefektifan organisasi pendidikan, yaitu terkait dengan upaya menciptakan etos
kerja yang baik, mengusahakan tenaga pendidik yang memiliki ekspektasi yang
tinggi, mengembangkan kualitas tenaga pendidik dan menyediakan kondisi kerja yang
baik, 2) mengusahakan kesuksesan lembaga pendidikan / sekolah yaitu meliputi
pelaksanaan fungsi-fungsi kepemimpinan, memiliki tujuan yang jelas, penekanan
pada kualitas, dan melakukan evaluasi dan monitoring (Ara Hidayat & Imam
Machali, 2010: 83).
Terkait dengan posisi sebagai supervisor, kepala sekolah memiliki dua
tanggungjawab besar, yaitu
1)
Menyiapkan supervisi dengan efektif bagi para
guru, dan
2)
Menyiapkan kondisi, membantu dan mendukung
kebutuhan para guru untuk terlibat dalam kegiatan supervisi yang menjadi bagian
dari kegiatan rutin mereka (Sergiovanni & Starra: 2002, 5)
Secara
spesifik, kepemimpinan kepala madrasah di lingkungan Kementerian agama dituntut
memiliki beberapa kompetensi, yaitu kompetensi utama yakni kemampuannya dalam
menjalankan tugas sebagai seorang pimpinan, kompetensi akademik yaitu berkaitan
dengan pengetahuan yang dimiliki kepala madrasah, kompetensi praktis, yaitu
kemampuan teknis kepala madrasah dalam mengelola madrasah, dan kompetensi
penunjang, yaitu kemampuan membangun hubungan atau komunikasi dengan berbagai
pihak dan kemampuan mengambangkan diri secara terus menerus. Empat kompetensi
kepala madrasah yang diharapkan di atas, selayaknya tampak dalam perilaku
kepemimpinannya dalam hal : 1) mengambil inisiatif dalam mengembangkan
kemampuan diri, selalu mengambangkan kemampuan kepemimpinannya, melakukan
refleksi dan riset atas kepemimpinannya, mengikuti pelatihan dan pertemuan yang
terkait dengan pendidikan, melakukan dialog-dialog informal dengan guru tentang
proses pendidikan, membantu kesulitan guru dan tenaga kependidikan lainnya, dan
mendorong kerjasama serta meminta masukan berbagai pihak untuk perbaikan
pendidikan dan pengajaran (Zahrotun Nihayah & Alvinar Aziz, 2008: 7-8)
3. Budaya Madrasah
Budaya
merupakan perilaku, nilai
simbol dan makna
dalam masyarakat yang menjadi suatu tradisi dan anutan dalam
berbagai kegiatan. Budaya berasal
dari bahasa Inggris culture yang berarti kesopanan dan terpeiajar. Menurut Bomard Gregory (1995: 11) Kata
budaya ini mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu: (1) program kolektif
suatu pikiran; (2) system nilai dan kepercayaan; (3) cara untuk mengatasi persoalan pada suatu kelompok orang; dan
(4) cara untuk mengerjakan
sesuatu.
Budaya sebagai
nilai dan keyakinan bersama merupakan dasar utama identitas organisasi, dalam
bentuk tempat kerja menyenangkan, kepuasan, kesetiaan/loyalitas, kehangatan,
keramahan, kebanggaan, semangat kebersamaan, stabilitas sistem sosial, dan
pencapaian tujuan jangka panjang. Seperti diungkapkan Kreitner et.al (2007:
76):
“Organizational culture is share values and
beliefs that underlie a company’s identity. Function of organizational culture,
(1) organizational identity: fun place to work, satisfaction, loyalty; (2)
collective commitment: sense of warmth, friendliness, individual pride, and
company spirit; (3) social system stability: perceived as positive and reinforcing;
(4) sense-making device: to accomplish long term goal.
Pendapat di atas sejalan dengan
pernyataan bahwa budaya organisasi sekolah memiliki elemen sebagai berikut:
1) Beliefs, yaitu keyakinan yang dianut
oleh guru terhadap aturan yang dibuat sekolah seperti terkait dengan proses
pembelajaran, disiplin, dan hubungan antara orang tua dengan sekolah.
1) Values, yaitu nilai yang dapat menjadikan sekolah lebih
berharga.
2)
Norms and standards, yaitu apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh
guru, supervisor dan kepala sekolah, sehingga dapat diketahui dengan jelas
aktivitas apa yang mendapatkan ganjaran dan aktivitas apa yang perlu
mendapatkan hukuman.
3) Pattern of behaviors, yaitu tentang apa yang dapat diterima, sikap dan
perilaku, serta kebiasaan dan ritual mana yang perlu dijaga di sekolah
(Sergiovanni & Starra: 2002, 321)
Madrasah dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 merupakan satu
kesatuan dengan lembaga pendidikan umum lainnya.
Dijelaskan Pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) yaitu
Pendidikan Dasar Berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau
bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat. Kemudian untuk
pendidikan menengah dikatakan bahwa Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Kemudian pada Pasal 51 ayat (1) disbutkan dengan lugas bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (UU Sisdiknas No.
20, 2003: 9).
Budaya madrasah merupakan penjabaran dari nilai yang
diterapkan di sekolah, norma yang ada dan diberlakukan di sekolah, serta
harapan dan kebiasaan yang menggambarkan interaksi timbal balik antara satu anggota
dengan lainnya, hal ini seperti dikatakan : School
cultures can be inferred from the values, norms, expectations and traditions
that describe human interaction with the system (Philip Hallinger &
Kenneth Leithwood, 1996: 105).
Pendapat di atas, diperkuat dengan pernyataan : The core elements of school culture : 1. A
shared sense of purpose and vision, 2. Norms, values, beliefs and assumptions,
3. Rituals, traditions and ceremonies, 4. History and stories, 5. People and
relationships, and 6. Architecture, artifacts, and symbols (Kent D.
Peterson & Terrence E. Deal, 2009: 12). Bahwa budaya sekolah memiliki
elemen inti sepeti visi dan tujuan, norma, nilai, asumsi dan keyakinan, ritual,
seremoni dan kebiasaan, sejarah,hubungan antarsesama dan simbol-simbol arsitektur.
Berbagai elemen dan dimensi dalam budaya sekolah
sesungguhnya kembali pada peran anggota organisasi itu untuk menciptakan dan
mempengaruhinya. Jika anggota organisasi sekolah berperilaku baik maka akan
membentuk budaya yang baik, seperti diungkapkan: School culture consist of attitudes, beliefs and values, feelings, and
opinions that are shared by a significant number of its influential members and
that are communicated to others.
(Ronald W Rebore & Angela L.E. Walmsley, 2007: 62). Bahwa budaya sekolah
terdiri dari perilaku, keyakinan dan nilai, perasan dan pandangan yang sangat
dipengaruhi oleh anggota organisasi tersebut dalam mengkomunikasikannya.
Bahwa budaya sekolah menekankan pada pencapaian prestasi
akademik oleh siswa didik melalui pengkondisian lingkungan atau iklim belajar
yang dialami siswa karena efektifitas sebuah sekolah secara akademik tergantung
pada kejelasan tujuan yang dibuat sejalan dengan prestasi yang di raih siswa,
kesamaan harapan antara guru dan orang tua sehingga terjadi kesepahaman
pelaksanaan pendidikan, dan upaya mendesain stuktur yang dapat memaksimalkan
kesempatan bagi siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar, seperti
diungkapkan:
“A
school-level culture press in the direction of academic achievement helps shape
the environment (and climate) in which the student learns. An academically
effective school would be likely to have clear goals related to student
achievement, teachers and parents with high expectations, and a structure
designed to maximize opportunities for students to learn” (Ron
Renchler, 1992: 4).
Terkait dengan harapan pencapaian tujuan pembelajaran
melalui pembentukan budaya sekolah, dikatakan : “Positive school cultures encourage civility, respectful language usage,
and modes of communication that bind school actors together and facilitate open
discussion and thoughtful decision-making”. (Virginia Rhodes, Douglas
Stevens, Annette Hemmings, 2011: 83). Bahwa budaya sekolah yang positif
senantiasa mendorong kesopanan dalam berinteraksi, penggunaan bahasa yang baik
dalam melaksanakan pekerjaan, serta dibuka pola diskusi terbuka menyangkut
berbagai penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.
Orientasi atau fokus dari pembentukan budaya sekolah diarahkan pada
pencapaian tujuan pembelajaran yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan
secara kelembagaan.
“School culture : The extent to which instructional goals are
established and communicated, high expectations are held for student progress,
instructional problems are discussed, student academic accomplishments are
recognized, parents are informed about student progress, faculty morale is
high, and an orderly, academic environment exists within the school”. (Ronald H. Heck, 1996: 85).
Bahwa dalam budaya sekolah,
pencapaian tujuan pembelajaran harus dibuat dan dikomunikasikan baik dalam
konteks pencapaian tujuan dalam skala lembaga maupun dalam kelas belajar
mengajar, harapan atas keberhasilan siswa dibangun dari perkembangan belajar
siswa dengan melakukan upaya dan strategi mengantarkan mereka mencapai tujuan
yang diinginkan, setiap ada masalah dalam pembelajaran maka harus didiskusikan
baik secara vertikal dengan pimpinan maupun secara horizontal dengan sesama
guru, pengakuan terhadap kemampuan akademik siswa dengan memberikan
penghargaan, adanya pelaporan terhadap orang tua tentang perkembangan siswa
secara rutin sehingga terbangun kerjasama yang kuat untuk mengantar siswa
mencapai tujuan yang diinginkan, moralitas yang tinggi dari seluruh civitas
akademik sekolah, dan eksistensi lingkungan akademik yang terus dibangun dengan
mengdepankan nilai-nilai rasionalitas yang tinggi.
Sama
halnya dengan organisasi lainnya, budaya sekolah kokoh terbentuk oleh anggota
yang ada di dalamnya, seperti diungkapkan Lea Hubbard, Hugh Mehan, Mary Kay
stein (2006: 7), bahwa:
“Every
school culture has its own culture that is socially constructed by the members
within it. One important dimension of organizational culture involves
individuals’ use of everyday routines to handle the complexity of
organizational decision making. A second dimension involves conflicts that
arise over differences in individuals’ values, beliefs, and taken for granted,
often unstated, assumptions about the contentious issues that arise in
educational reforms efforts. A third dimension involves the political forces
that shape organizations and influence their attempts at change”.
Artinya,
bahwa setiap sekolah memiliki budaya tersendiri yang dibangun oleh anggota yang
ada di dalamnya. Diantara dimensi penting dalam sebuah organisasi sekolah
adalah rutinitas individu menghandel kompleksitas kebijakan organisasi, dimensi
kedua adalah konflik yang muncul akibat perbedaan nilai, keyakinan, asumsi
tentang usaha reformasi pendidikan, dan dimensi ketiga adalah kekuatan politik
yang mempengaruhi perubahan.
5. Motivasi Kerja
Kata
motivasi diambil dari kata motif yang diartikan dengan kekuatan di dalam diri
individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat melakukan
sesuatu. Motif tidak dapat dilihat secara langsung tetapi dapat
diinterpretasikan dari tingkah laku individu itu berupa rangsangan, dorongan,
atau pembangkit tenaga yang memunculkan tindakan tertentu. Setiap orang bergerak untuk bertingkah laku, berbuat untuk mencapai
suatu tujuan karena adanya motivasi di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan
kata motivasi yang dalam bahasa Inggris disebut “motivation” dan berasal dari
kata Latin yang disebut “Movere” yang
berarti to move dalam bahasa Inggris.
To move diartikan dengan bergerak
atau berpindah. Sedangkan dalam psikologi, motivasi adalah meliputi
faktor-faktor yang menimbulkan, menopang dan perilaku langsung untuk mencapai
tujuan (Camile B. Wortman: 1985, 305).
Secara
rinci Ibrahim Kocabas (2009: 3) menguraikan tentang konsep motivasi menurut
berbagai ahli, yaitu:
“Concepts
of motivation include the expenditure of effort to achieve a goal (Martin,
2000); creating forces that power and drive behaviors (Bursalioglu, 2002);
improving a situation perceived to be difficult by an individual, meeting needs
(Dull, 1981); providing driving forces to urge us into action (Gene, 1987),
developing a physiological and psychological process which takes into account
individual desires, goals, tendencies, behavior, self-interest, selection,
preference, willpower and drive (Srekli & Tevruz, 1997); a consideration of
both intrinsic and extrinsic forces that actuate, direct and maintain behaviors
(Gursel, 1997); increasing employees' willingness to work and making them
believe that they will satisfy their personal needs best if they work
efficiently in the organization (Yuksel, 1998)”.
Berdasarkan
kutipan di atas, motivasi merupakan upaya mencapai tujuan yang diharapkan,
upaya menciptakan kekuatan yang mendorong perilaku secara kontinyu, upaya
memperbaiki situasi yang dirasakan sulit, upaya menyediakan dorongan untuk
melakukan tindakan, upaya mengembangkan aspek psikologis dan fisioogis dengan
memperhatikan tujuan, keinginan, kecenderungan, perilaku, ketertarikan,
pilihan, kekuatan dan dorongan, kekuatan intrinsik dan ekstrinsik untuk
melakukan sesuatu secara langsung, kesediaan bekerja untuk mencapai pemenuhan
kebutuhan, dan keyakinan akan kepuasan dalam bekerja jika bekerja dengan
efektif.
Menurut Mulyasa (2002 : 120)
motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan kerja.
Motivasi adalah proses yang berawal dari kebutuhan psikologis maupun psikis
pada diri seseorang, sehingga perilaku aktif atau dorongan yang mengarah pada
tujuan dan insentif. Dengan demikian, motivasi memiliki tiga unsur yang saling
berkaitan, yaitu: kebutuhan, dorongan, dan rangsangan. Jadi, kunci untuk
memahami proses adanya motivasi dalam diri seseorang adalah terletak pada makna
dan hubungan di antara tiga unsur tersebut yang tidak dapat dipsahkan satu sama
lainnya.
Motivasi merupakan suatu kekuatan
yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Motif yang bersifat
potensial biasanya aktualisasinya disebut motivasi. Dengan demikian, motivasi
umumnya diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, sehingga dapat mempengaruhi
prestasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Oleh karena itu,
jika seorang guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka mereka akan
terdorong dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah, sehingga diperoleh
hasil kerja yang maksimal(Elis
Supartini, 2001 : 1).
Motivasi dalam kajian psikologi
berperan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan keinginan, arah
intensitas, dan keajegan perilaku yang diarahkan pada pencapaian tujuan.
Motivasi dalam pengertian ini mencakup konsep-konsep seperti kebutuhan untuk
berprestasi, berafiliasi, kebiasaan dan keinginan untuk mengetahui sesuatu.
Dari batasan seperti ini, motivasi digolongkan berdasarkan motif-motif, yaitu
motif bawaan dan motif yang dipelajari. Motif bawaan memang sudah ada sejak
seseorang itu dilahirkan sehingga tidak perlu dipelajari. Misalnya, makan,
minum, dan seksual. Sedangkan motif yang dipelajari adalah motif yang timbul
karena dipelajari, misalnya, belajar, bekerja, mencari kedudukan, jabatan, dan
pengembangan karir (Thomas L Good dan Jere E. Brophy, 1991: 360).
Hasil penelitian E. Stephanie
Atkinson (2000: 45) menunjukkan bahwa, kurangnya memotivasi guru ditunjukkan
dengan kemampuan, kemajuan dan hasil siswa yang negatif. Terdapat pula
keterkaitan antara motivasi kerja guru dengan motivasi belajar siswa, dan
motivasi kerja guru dengan desain kurikulum dan proses implementasi kurikulum
pembelajaran. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa faktor motivasi kerja guru berperan penting dalam mendukung
proses pembelajaran yang produktif dan mampu merangsang pembelajaran menjadi
lebih bermutu sehingga diharapkan outputnya dapat menghasilkan siswa yang
memiliki kemampuan dan keterampilan yang diharapkan.
Motivasi
ada yang bersumber intrinsik dan ekstrinsik, keduanya memiliki peran dan fungsi
yang khas (Armstrong, 2003: 51), seperti diuraikan sebagai berikut:
1)
Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik ini muncul dari isi jabatan dan jenis pekerjaan itu
sendiri selama pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan atau paling tidak
mengarahkan orang tersebut pada pencapaian tujuannya. Faktor yang mempengaruhi
motivasi intrinsic adalah tanggungjawab, kebebasan untuk bertindak, lingkup
untuk menggunakan dan mengembangkan keterampilan dan kemampuan kerja, serta
peluang yang menarik dan menantang untuk mencapai peningkatan.
2)
Motivasi ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik bersumber dari daya tarik setelah pekerjaan selesai dan orang yang
memotivasinya. Motivasi ini bersumber dari manajemen yang mendukungnya terutama
dalam bentuk imbalan, kompensasi atau promosi.
Menurut
Arendt and Sneed (2010: 7) bahwa motivasi bekerja pegawai dapat didorong oleh
empat faktor, yaitu:
1)
Komunikasi, yakni komunikasi verbal dan non
verbal antara pimpinan dengan pegawai.
2)
Ganjaran dan hukuman, yakni berupa insentif,
ucapan terimakasih dan waktu libur, sedangkan hukuman bisa berupa sanksi
administrasi yang diberikan oleh pimpinan
3)
Motivasi internal, yakni berupa kepuasan
dalam menjalankan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
4)
Sumber daya lain, yakni ketersediaan bahan
yang digunakan dalam menjalankan pekerjaan.
Uraian di
atas, bahwa motivasi merupakan pemberian daya penggerak yang dapat menciptkan
kegairahan kerja seseorang agar orang tersebut mau bekerjasama, bekerja lebih
efektif dan terintegrasi dengan semua daya upaya orang tersebut untuk mencapai
tingkat kepuasan yang tinggi (Malayu Hasibuan, 2001: 4).
Tingkat tinggi rendahnya motivasi kerja guru setelah dilakukannya
sertifikasi dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dikatakan:
“The basic differences that distinguish
motivated individuals from unmotivated ones are ( 1) continuity in taking an
interest and paying attention, (2) enthusiasm to make an effort and spend the
required time to perform the behavior, (3) concentrating on the subject,
devoting the self and relinquishing the desired behavior in the face of a
difficulty, persevering and showing determination to accomplish the desired
end”.(Nadir Celikoz, 2010: 14).
Bahwa guru yang
memiliki motivasi kerja dan yang tidak memiliki motivasi dapat dibedakan dari:
1) kontinuitas perhatian, ketertarikan dan perhatian terhadap pekerjaannya, 2)
antusiasme dalam kerja dan menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan,
3) kosentrasi dalam mengerjakan pekerjaan, menghadapi setiap kesulitan kerja,
dan menunjukkan kebulatan tekad dalam menyelesaikan pekerjaan.
5. Komitmen Kerja
Dalam
konteks kehidupan organisasi, konsep komitmen mengarahkan seseorang untuk
mengategorikan perbedaan-perbedaan individu dalam masalah nilai dan motif
secara lebih sederhana. Menurut Benkgoff (1997: 3) komitmen adalah derajat
kepedulian pegawai dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi. Shaw,
Delery & Abdulla (2003: 3) mendefinisikan komitmen sebagai hasil dari
investasi atau kontribusi terhadap oranisasi, atau suatu pendekatan psikologis
yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi
intensitas tinggi terhadap organisasi. Definisi di atas, mengandung pengertian
bahwa komitmen organisasi pada intinya adalah suatu sikap psikologis yang
menggambarkan hubungan internal individu dengan organisasinya. Hubungan tersebut dapat dilihat dari keterlibatan atau partisipasinya dalam
menopang kemajuan organisasi. Adanya keterlibatan yang tinggi dalam upaya
memajukan organisasi menggambarkan bahwa anggota organisasi memiliki komitmen
yang tinggi.
Menurut DeJoy et.al (2004: 88) Komitmen
mengacu kepada ikatan psikologis karyawan terhadap organisasi, nilai
yang ditempatkan sebagai afiliasi dengan organisasi, dan derajat dimana
karyawan mau untuk meningkatkan diri atas nama organisasi. Dalam konteks ini,
Newstrom & Davis (1996: 260) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi
lazim pula disebut loyalitas pegawai (employee
loyality) adalah suatu tingkat atau derajat identifikasi diri pegawai
dengan organisasi dan keinginan-keinginannya untuk meneruskan partisipasi aktifnya
dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott & Burroughs (2000: 2)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi
individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi. Definisi-definisi
tersebut menekankan bahwa komitmen organisasi sebagai bentuk ikatan psikologi
karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi juga dianggap sebagai
loyalitas terhadap organisasi sehingga dapat mendorong karyawan atau anggota
organisasi untuk senantiasa berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemajuan
organisasi.
Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan
komitmen organisasi yang dimiliki. Seperti dikatakan Meyer and Allen (1997), Meyer et al. (1993) dalam Hunton & Norman (2010: 71-73)
bahwa komitmen organisasi memiliki tiga dimensi, yaitu
1)
Affective Commitment, komitmen ini merupakan emosi pegawai pegawai terhadap organisasi,
menerima nilai-nilai organisasi dan ingin tetap menjadi bagian dalam organisasi
tersebut. Komitmen ini sangat baik untuk organisasi karena pegawai
menginginkan dan merefleksikan sikap positif dalam bekerja dan usaha dengan
sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya.
2)
Continuance Commitment, pada komitmen ini, pegawai melihat
investasi apa yang diberikan terhadap organisasi, mereka berpikir komitmen
terhadap waktu dan usaha yang dilakukan dengan harapan mereka merasakan apa
yang mereka butuhkan untuk menjadi bagian dalam organisasi itu.
Mereka berpikir bahwa dengan meninggalkan pekerjaan tersebut mereka akan
kehilangan pilihan sehingga mereka berada dalam organissasi karena tidak ada
pilihan pekerjaan lainnya. Kebanyakan mereka ini adalah orang-orang yang selalu
mempertimbangkan kesehatan dan isu-isu keluarga dalam melakukan pemutusan
hubungan kerja, dan baginya kepuasan kerja tidak menjadi hal yang utama.
3)
Normative Commitment, pada komitmen
ini, pegawai melihat dan merasa bertanggungjawab berada dalam organisasi,
mereka berpikir bahwa organisasi memperlakukan dengan baik dalam mengadapi dan
memberikan imbalan. Dengan demikian, komitmen dibangun oleh pegawai dengan
ikatan organisasi yang kuat dengan adanya rewards
and punishments.
Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang
berdasarkan continuance. Pegawai yang
ingin menjadi anggota yang loyal akan memiliki keinginan untuk menggunakan
usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa
menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga
mungkin akan melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen
normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung
dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif
menimbulkan perasaan kewajiban pada pagawai untuk memberi balasan atas apa yang
telah diterimanya dari organisasi.
Secara rinci dijelaskan tentang komitmen guru di sekolah, yaitu sebagai
berikut:
“The objects of teacher commitment can be categorized into
three dimensions: school organization, teaching profession, and students
(Elliot & Crosswell, 2002; Eirestone & Pennell, 1993; Eirestone & Rosenblum, 1988). In the first
place, teacher commitment to school organization like an organizational
commitment refers to agreed-on organizational values or goals and building a
strong staff unity (Mowday et al., 1979). Organizational teacher commitment has
three major components: a strong belief in and acceptance of the organization's
goals and values, a willingness to exert considerable effort on behalf of the
organization, and a strong intent or desire to remain with the organization
(Mowday et al., 1979). Next, teacher
commitment to the teaching profession as an occupational commitment is a
positive affective attachment to one's occupation (Somech & Bogler, 2002).
This indicates the extent to which one is engaged in carrying out the specific
tasks in the workplace or the degree of importance that work plays in one's
life (Brown & Leigh, 1996). Also,
this commitment leads to an interest in student achievement as well as strong
concerns with the craft aspects of the teacher's job (Eirestone &
Rosenblum, 1988). Thus, teachers committed to the teaching profession are
thought to be more satisfied with the job and are likely to identify themselves
as teachers. Finally, teacher commitment to students like a client commitment
represents teacher devotion to their student behavior and learning (Dannetta,
2002; Elliott & Crosswell, 2002; Nias, 1981). Teacher commitment to
students includes teachers' willingness to help students and take
responsibility for student learning and school life. This commitment also seems
to be related to emotional bonds with students such as personal caring”.(Insim
Park, 2005: 463-464)
Artinya, bahwa obyek komitmen guru menyangkut tiga
dimensi, yaitu dimensi organisasi sekolah, dimensi profesi mengajar, dan
dimensi siswa. Dimensi komitmen terhadap organisasi sekolah diantaranya setuju
terhadap nilai-nilai dan tujuan sekolah yang didalamnya terdapat tiga komponen
yaitu keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan sekolah, bekerja untuk
kepentingan organisasi sekolah, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi, dimensi komitmen terhadap profesi sebagai guru adalah komitmen
terhadap satu pekerjaan yang didalamnya terdapat beberapa aspek yaitu
melaksanakan tugas-tugas sebagai guru, perhatian terhadap keberhasilan siswa,
kerajinan dalam bekerja, puas dengan pekerjaan sebagai guru, dan
mengidentifikasi profesi sebagai guru, dimensi terakhir adalah komitmen
terhadap siswa adalah rasa selalu ingin membantu kesulitan siswa,
bertanggungjawab atas proses belajar siswa dan kehidupan sekolah, serta
tanggungjawab terkait dengan kondisi emosi siswa.
Uraian di atas, sesungguhnya komitmen merupakan kehendak untuk bertingkah
laku dan berbuat untuk kepentingan lembaga serta keinginannya untuk tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang
memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan
berkembang untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu
lama. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki perasaan
memiliki organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam organisasi dan adanya
loyalitas terhadap organisasi.
Kesungguhan dan loyalitas guru
terhadap organisasi sekolah yang merupakan wujud dari komitmennya terlihat dari
berbagai sikap dan perilaku yang dijalankannya, seperti dikatakan Reyes
dalam Nordin Abd Razak, I Guti Ngurah
Darmawan, John P. Keeves (2009 : 187), bahwa :
“A committed teacher was likely to: 1)be less tardy, work
harder, and be less
inclined to leave the workplace; 2) devote more time to extra-curricular
activities in order to accomplish the goals of the educational organization; 3)
perform work better; 4) influence student achievement; 5) believe and act upon
the goals of the school; 6) exert efforts beyond personal interest; and 7)
intend to remain a member of the school system”.
Seorang guru yang memiliki komitmen
tinggi menurut Reyes di atas terlihat dari : 1) aktivitas kerjanya yang tidak
terlambat, kerja keras, dan tidak meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya,
2) banyak menggunakan waktu untuk kegiatan ekstra dalam rangka mencapai tujuan
sekolah, 3) bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai
tuntutan zaman, 4) mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang
diinginkan melalui berbagai teknik dan pendekatan, 5) percaya dan bertindak
sesuai tujuan yang digariskan sekolah dengan mentaati segala bentuk aturan dan
ketentuan yang berlaku, 6) bekerja tidak mementingkan kepentingan pribadi akan
tetapi mementingkan kepentingan siswa dan lembaga secara lebih luas, 7) tetap
berkeinginan menjadi anggota organisasi sekolah dengan menunjukkan sikap yang
loyal dan bekerja dengan gigih.
Uraian di
atas diperkuat dengan pernyataan : “High
levels of commitment have been associated with lower rates of teacher
absenteeism, increased job satisfaction, high expectations of students, and
slight increases in student performance” (Lia M. Daniels,et.al, 2011: 91).
Bahwa level komitmen seorang guru dapat dilihat dari rendahnya ketidakhadiran
dalam menjalankan pekerjaan, adanya peningkatan kepuasan kerja, memiliki
harapan tinggi terhadap keberhasilan siswa dan adanya peningkatan kinerja siswa
sebagai bentuk hasil belajar yang bimbing oleh guru.
Keberadaan
komitmen pegawai terhadap organisasinya, tidak terlepas dari unsur-unsur yang
mempengaruhinya. M. Kay Alderman (2004: 116-117) mengidentifikasi tiga hal yang
dapat mempengaruhi komitmen seseorang, yaitu intensitas mencapai tujuan,
partisipasi mencapai tujuan dan pengaruh rekan kerja. Goal Intensity. Komitmen berkaitan dengan intensitas
tujuan atau seberapa kuat pikiran dan mental dalam usaha mencapai tujuan (Locke
& Latham, 1990). Demikian pula kejelasan tujuan yang mendorong kesadaran
proses mencari informasi tentang upaya dan kemampuan dalam mencapai tujuan
tersebut (Schutz, 1989). Goal Participation. Betapa pentignya motivasi
seseorang dalam partisipasi mencapai tujuan karena seringkali tujuan itu
ditentukan oleh orang lain baik di rumah, sekolah maupun dalam pekerjaan
lainnya Peer Influence. Salah satu faktor yang mempengaruhi guru dalam
usaha dan komitmen pencapaian tujuan adalah rekan kerjanya. Kelompok yang kuat
dapat mendorong meningkatkan komitmen untuk mencapai tujuan (Locke &
Latham, 1990).
METODOLOGI
PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitaif, metode survey dan teknik analisisnya adalah
analisis jalur. Obyek penelitian guru Madrasah Aliyah Se-Kota Bekasi, waktu
pelaksanaan penelitian bulan Juli– September
2012. Populasi adalah subyek atau keseluruhan wilayah yang akan diteliti. Populasi target seluruh guru
Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi sebanyak 489 orang, sedangkan sampelnya diambil
20 % yakni 100 orang.
Instrumen penelitian
menggunakan model skala Likert, yaitu jenis skala yang digunakan untuk mengukur
persepsi atau sikap seseorang dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan dan
responden diminta untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang telah
disiapkan. Pengujian validitas instrumen menggunakan korelasi Product Moment untuk mengetahui
validitas atau keabsahan butir instrument, sedangkan untuk mengetahui
reliabilitas instrumen menggunkan rumus alpha cronbach. Teknik analisis data
menggunakan path analysis atau
analisis jalur melalui media SPSS 16.
HASIL PENELITIAN
a.
Kinerja Mengajar
Kinerja mengajar guru meliputi
perencanaan mengajar, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan
perbaikan atau pengembangan. Deskripsi
variabel kinerja mengajar guru dalam penelitian ini diperoleh melalui
perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 45 butir pertanyaan yang
dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota
Bekasi. Dari
empat dimensi yakni perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran dan perbaikan atau pengembangan, dimensi perencanaan
pembelajaran terdiri dari 4 butir pertanyaan dan selurunya memiliki kriteria
baik, dimensi pelaksanaan pembelajaran memiliki 32 pertanyaan, 29 butir
memiliki kriteria cukup dan baik dan sisanya 3 butir memiliki kurang baik
(yaitu menggunakan strategi yang menyenangkan, menggunakan metode yang
bervariasi, dan menggunaan media pembelajaran yang menarik minat belajar
siswa), dan dimensi perbaikan atau pengembangan memiliki 2 butir pertanyaan, 1
butir memiliki kriteria cukup baik dan 1 butir memiliki kriteria kurang baik
yakni (yaitu melakukan refleksi atas aktivitas pembelajaran yang
dilakukannya).
b. Kepemimpinan Kepala Madrasah
Kepemimpinan kepala madrasah meliputi
dimensi sebagai pengelola pembelajaran, sebagai supervisor, dan sebagai leader.
Deskripsi variabel kepemimpinan kepala
mardasah dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rata-rata terhadap
skor jawaban dari 35 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru dan kepala
madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi . Secara umum kepemimpinan kepala madrasah dengan 3 dimensinya
cukup dan baik. Dimensi sebagai pengelola pembelajaran memiliki 14
butir pertanyaan dengan kriteria seluruhnya baik, dimensi sebagai supervisor
memiliki 13 pertanyaan memiliki kriteria cukup baik kecuali aspek melakukan
supervisi akademik secara terprogram memiliki kritria kurang baik, dimensi
ketiga adalah sebagai leader yang memiliki 8 butir pertanyaan dan seluruhnya
memiliki kriteria baik.
c. Budaya Madrasah
Budaya madrasah meliputi dimensi dukungan
manajemen, identitas sekolah, dan interaksi kerja. Deskripsi variabel budaya mardasah dalam penelitian ini diperoleh
melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 36 butir pertanyaan
yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah
Kota Bekasi. Budaya Madrasah Aliyah dengan 3
dimensi yaitu dukungan manajemen, identitas sekolah dan interaksi kerja secara
umum memiliki kriteria baik. Dimensi dukungan manajemen memiliki 14 butir
pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dimensi identitas sekolah
memiliki 14 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan terakhir
dimensi interaksi kerja memiliki 8 pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria
baik.
d. Motivasi Kerja
Motivasi kerja guru memiliki tiga dimensi,
yaitu dimensi harapan, dorongan dan imbalan. Deskripsi variabel motivasi kerja dalam penelitian ini diperoleh
melalui perhitungan rata-rata terhadap skor jawaban dari 30 butir pertanyaan
yang dijawab oleh guru dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah
Kota Bekasi. Motivasi kerja guru dengan 3 dimensi secara umum memiliki kriteria baik. Artinya
bahwa motivasi kerja guru Madrasah
Aliyah di Kota Bekasi tergolong baik.
e. Komitmen Kerja
Komitmen kerja guru memiliki tiga dimensi,
yaitu dimensi komitmen terhadap organisasi, komitmen terhadap profesi dan
komitmen terhadap siswa. Deskripsi
variabel komitmen kerja dalam penelitian ini diperoleh melalui perhitungan
rata-rata terhadap skor jawaban dari 27 butir pertanyaan yang dijawab oleh guru
dan kepala madrasah sebagai responden di Madrasah Aliyah Kota Bekasi. Variabel
komitmen kerja guru dengan tiga dimensinya memiliki kriteria baik. Dimensi
komitmen terhadap organisasi memiliki 13 butir pertanyaan dengan rata-rata
memiliki cukup baik, dimensi komitmen terhadap profesi memiliki 7 butir pertanyaan
dengan rata-rata memiliki kriteria baik, dan dimensi terakhir adalah dimensi
komitmen terhadap siswa memiliki 7 butir pertanyaan dan rata-rata memiliki
kriteria baik. Secara umum variabel
komitmen kerja guru memiliki skor rata-rata (3.00 + 3.05 + 3.05) : 3 = 9.1 : 3
= 3,03 dengan kriteria baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel
komitmen kerja guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi tergolong baik. Hasil
perhitungan jalur dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel
1.
Persamaan Jalur Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Melalui
Variabel Lain dan Pengaruh
Total
Pengaruh Variabel
|
Pengaruh Kausal
|
Pengaruh Total
|
Pengaruh langsung
|
Pengaruh Tidak langsung Melalui
|
X2
|
X3
|
X4
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
-
|
-
|
-
|
0.265
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
(0.439) x (0.240)
|
-
|
-
|
0.265 + 0.105 = 0. 370
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
(0.439) x (0.240)
|
(0.617) x (0.287)
|
-
|
0.265 + 0.105 + 0.177 = 0.547
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
(0.439) x (0.240)
|
(0.617) x (0.287)
|
().584) x (0.340)
|
0.265 + 0.105 + 0.177 + 0.198 = 0.745
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
-
|
(0.617) x (0.287)
|
-
|
0.265 + 0.177 = 0.442
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
-
|
(0.617) x (0.287)
|
(0.584) x (0.340)
|
0.265 + 0.177 + 0.198 = 0.640
|
X1 terhadap Y
|
0.265
|
-
|
-
|
(0.584) x (0.340)
|
0.265 + 0.198 = 0.463
|
|
|
|
|
|
|
X2 terhadap Y
|
0.240
|
-
|
-
|
-
|
0,240
|
X2 terhadap Y
|
0.240
|
-
|
(0.582) x (0.287)
|
-
|
0,240 + 0.167 = 0.407
|
X2 terhadap Y
|
0.240
|
-
|
(0.582) x (0.287)
|
(0.606) x (0.340)
|
0.240 + 0.167 + 0.206 = 0.613
|
X2 terhadap Y
|
0.240
|
-
|
-
|
(0.606) x (0.340)
|
0.240 +0.206 = 0.446
|
|
|
|
|
|
|
X3 terhadap Y
|
0.287
|
-
|
-
|
-
|
0.287
|
X3 terhadap Y
|
0.287
|
-
|
-
|
(0.675 ) x (0.340)
|
0.287 + 0.229 = 0.516
|
|
|
|
|
|
|
X4 terhadap Y
|
0.340
|
-
|
-
|
-
|
0.340
|
|
|
|
|
|
|
X1,X2, X3, X4
terhadap Y
|
0.944
|
-
|
-
|
-
|
0.0944
|
Berdasarkan tabel di atas,
diperoleh skor koefisien jalur 0.265 dan nilai sig. 0.023. Ternyata nilai sig.
lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.023 < 0.05, artinya
kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara prositif dan signifikan
terhadap kinerja mengajar guru. Skor koefisien jalur budaya madrasah sebesar
0.240 dan nilai sig. 0.036. Ternyata nilai sig.
lebih kecil dari nilai probabilitas 0.05 atau 0.036 < 0.05, artinya budaya madrasah berpengaruh
terhadap kinerja mengajar guru, skor koefisien jalur motivasi kerja
sebesar 0.240 dan nilai sig. 0.030.
Ternyata nilai sig. lebih kecil dari
nilai probabilitas 0.05 atau 0.030 <
0.05, artinya motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru,
skor koefisien jalur komitmen kerja sebesar
0.340 dan nilai sig. 0.012. Ternyata
nilai sig. lebih kecil dari nilai
probabilitas 0.05 atau 0.012 < 0.05, artinya
komitmen kerja berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru, terakhir diperoleh
skor koefisien jalur 34.85 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0.000. Karena nilai sig. < 0.05 artinya kepemimpinan
kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja, komitmen kerja secara
bersama-sama berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja
mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
1. Kinerja
Mengajar
Kinerja mengajar guru memiliki
empat dimensi yakni perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran dan perbaikan atau pengembangan. Dari empat dimensi
tersebut di atas, dua dimensi memiliki kriteria sangat baik yaitu dimensi perencanaan
dan evaluasi pembelajaran, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu pelaksanaan
pembelajaran dan perbaikan memiliki kriteria baik.
Dalam konteks di
Madrasah Aliyah Kota Bekasi, secara umum dikatakan bahwa rata-rata kinerja guru
memiliki kriteria baik. Beberapa aspek memiliki kriteria baik, beberapa aspek
lain tergolong cukup baik dan terdapat pula aspek dengan kategori kurang baik
yakni pada aspek penggunaan strategi pembelajaran yang menyenangkan, penggunaan
metode yang bervariasi, penggunaan media pembelajaran yang menyenangkan minat
belajar siswa. Hal ini berarti kecenderungan proses pembelajaran masih sering
dilakukan dengan pola-pola konvensional dan belum banyak menggunakan metode
atau model-model pembelajaran kooperatif, interaktif yang menyenangkan dan saat
ini berkembang.
Klasifikasi baik dan cukup baik
pada setiap aspek dari dimensi kinerja mengajar guru di atas, bahwa dimensi
perencanaan pembelajaran memiliki kriteria baik, dimensi pelaksanaan
pembelajaran memiliki 32 secara umum memiliki kriteria cukup baik dan hanya
beberapa aspek yang memiliki kriteria kurang baik (yaitu menggunakan strategi
yang menyenangkan, menggunakan metode yang bervariasi, dan menggunakan media
pembelajaran yang menarik), dimensi evaluasi pembelajaran seluruhnya memiliki kriteria
baik, dan dimensi perbaikan atau pengembangan secara umum memiliki kriteria
cukup baik akan tetapi pada aspek melakukan refleksi atas aktivitas
pembelajaran tergolong kurang baik.
Setelah dilakukan uji perbedaan
antara guru yang sudah disertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi
diperoleh gambaran sebagai berikut: Dimensi perencanaan pembelajaran yang
terdiri dari 4 butir pertanyaan, perbedaan guru tersertifikasi dan belum
tersertifikasi terdapat pada aspek menentukan tujuan dan sumber belajar dimana
guru yang belum tersertifikasi memiliki kriteria cukup baik sedangkan guru
tersertifikasi seluruh butir memiliki kriteria baik. Dimensi pelaksanaan
pembelajaran dengan 32 pertanyaan, terdapat beberapa butir yang berbeda yaitu
pada aspek menjelaskan pelajaran, pengelolaan waktu belajar yang efektif,
pelibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran untuk guru tersertifikasi
memiliki kriteria baik dan untuk guru yang belum tersertifikasi memiliki
kriteria cukup baik. Pada dimensi evaluasi pembelajaran dengan 7 butir
pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik. Dimensi terakhir adalah perbaikan
atau pengembangan dengan 2 butir pertanyaan, guru tersertifikasi maupun belum
tersertifikasi memiliki kriteria cukup baik kecuali pada aspek melakukan refleksi
atas kegiatan pembelajaran yang dilakukannya, kedua kelompok guru tersebut memiliki kriteria kurang baik.
Gambaran
tersebut di atas, bahwa ternyata guru madrasah aliyah di Kota Bekasi yang sudah
dan yang belum disertifikasi memiliki kinerja yang sama atau tidak memiliki
perbedaan meskipun sekilas terlihat tampak perbedaan akan tetapi setelah
dilakukan uji beda mean ternyata
keduanya sama atau tidak berbeda.
Dengan demikian
bahwa program sertifikasi guru yang diharapkan dapat mendorong kinerja guru ternyata
tidak banyak berpengaruh mengubah kinerja guru lebih baik daripada guru yang
belum disertifikasi. Hal ini berarti, program sertifikasi guru baru sampai pada
tahap mensejahterakan guru dengan diberikannya tunjangan profesi dan belum
menyentuh atau meningkatkan kinerja mereka.
Masih lemahnya
kinerja mengajar guru khusus pada aspek pelaksanaan pembelajaran yang aktif,
kreatif dan menyenangkan dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang
bervariasi, menunjukkan bahwa program sertifikasi yang telah diikuti tidak
lebih sebagai acara seremonial yang diikuti sekedar menggugurkan kewajiban
sebagai seorang pendidik untuk kemudian berhak mendapatkan legalisasi
sertifikat profesi. Hal ini terbukti, meskipun dalam program PLPG diberikan
materi tentang metodologi pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan) ternyata ketika kembali ke tempat tugasnya
masig-masing, pembelajaran kembali semula dengan menggunakan pola konvensional
dengan pendekatan monolog ceramah.
Hal lain, adalah
kurangnya keterbukaan para guru dalam komunikasi profesi dalam bentuk refleksi
atas proses belajar mengajar yang telah dilakukannya. Pada aspek ini, hasil
penelitian menunjukkan masih rendah, artinya bahwa guru menganggap dirinya
sebagai satu-satunya sumber belajar sehingga tidak terbuka dengan orang lain
untuk memberikan penilaian atas apa yang dilakukannya, belum terbangunnya
budaya diskusi dan saling mengkoreksi, lemahnya daya kritisi dan kepedulian
dalam mengelola pembelajaran yang berkualitas, serta sikap puas terhadap
pekerjaan yang telah dilakukannya. Maka hasilnya adalah proses pembelajaran
tidak berubah menjadi lebih baik meskipun sebagian besar guru telah mengikuti
program sertifikasi yang diharapkan dapat mendongkrak kinerja mereka.
Dari sudut
pandang eksternal, sekembalinya guru yang telah disertifikasi ke tempat tugas
masing-masing kurang dilakukan pengawasan, pembinaan dan pengembangan oleh
kepala sekolah melalui supervisi akademik yang rutin dan kontinyu sehingga
bekal yang telah diperoleh guru ketika mengikuti PLPG tidak berbekas, guru
mengajar secara konvensional tanpa ada pemantauan dan pengawasan bahkan reward and punishment. Terlepasnya aspek
akademis dari pantauan kepala madrasah juga merupakan rangkaian akibat dari
padatnya aktivitas kepala madrasah untuk mengurus masalah administrasi dan
keuangan serta bantuan lainnya, kepala madrasah harus turun tangan mengelola
dan mengamankan laporan keuangan, akhirnya energi kepala madrasah tidak mampu
menyentuh hal esensial dalam pendidikan yakni proses pembelajaran.
2.
Kepemimpinan Kepala Madrasah
Kepemimpinan kepala madrasah adalah tindakan kepala madrasah dalam
mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang guru
dengan menggunakan pendekatan tertentu agar mereka mau bekerja secara optimal
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan
yang diharapkan.
Kepemimpinan
kepala madrasah memiliki 3 dimensi yaitu dimensi sebagai pengelola
pembelajaran, dimensi sebagai supervisor dan dimensi sebagai seorang leader
yang secara umum hanya pada dimensi sebagai supervisor aspek melakukan
penilaian / pengukuran dan melakukan pengawasan yang memiliki kriteria cukup.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan
variasi pada kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh terhadap perubahan
variasi pada kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh kepemimpinan kepala
madrasah terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 0.265 atau
determinasinya 7.02 %. Temuan ini memberikan penegasan pada apa yang
dikemukakan oleh Gatewood, Taylor dan Farrel (1995: 492) yang mengatakan
bahwa, leadership, on the other hand,
focuses almost exclusively on the people aspects of getting job done-inspiring,
motivating, directing, and gaining commitment to organizational activities and
goals”. Kepemimpinan berfokus pada aspek orang
agar mereka melakukan tugasnya dengan terinspirasi, termotivasi, terarah dan
memiliki komitmen untuk mencapai tujuan organisasi yang telah dicanangkan.
Pernyataan ini bahwa kepemimpinan kepala madrasah merupakan tindakan atau
perilaku dapat diukur dari keadaan dan aktivitas bawahannya yaitu para guru dan
staf apakah mereka termotivasi, memiliki
inspirasi, dan terarah untuk melakukan tugas sesuai dengan tanggungjawabnya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Semakin bawahan termotivasi dan
bekerja dengan optimal berarti kepemimpinan semakin berperan dan berdampak
positif terhadap kinerja bawahannya.
Pernyataan
di atas, diperkuat Middlewood & Cardono (2001 : 23) bahwa kontribusi
kepemimpinan dalam pengembangan organisasi sangatlah besar, yaitu: 1). Karena pemimpin merupakan hal yang khusus,
membutuhkan aktivitas tinggi, menyatu dalam manajemen, 2) Pemimpinan sangat
penting atau mendasar dalam hal memberikan ide atau gagasan perkembangan,
pertumbuhan, perubahan dan perbaikan organisasi, 3) Kepemimpinan tidak dapat
dipikirkan akan tetapi bisa dpelajari, 4) Kepemimpinan merupakan suatu yang
sangat kompleks terkait interaksi pengetahuan, keterampilan dan kualitas, 5)
Kualitas kepemimpinan yang sukses adalah terdapat didalamnya kekuatan
menghadapi tantangan, pengambilan resiko, percaya diri, kreativitas dan
kemampuan mengatasi persoalan yang bercabang.
Peran kepemimpinan
kepala madrasah ini tentunya terkait dengan kemampuan yang dimiliki sebagai
seorang leader dalam mengendalikan dan mengelola semua sumbser daya agar dapat
berjalan optimal. Seperti dikatakan Gwynn (1990 : 16) bahwa tugas
kepala sekolah diimplementasikan dalam : (1) membantu guru agar mereka lebih
mengerti/memahami siswa, (2) membantu mengembangkan dan memperbaiki hubungan
antarindividu ataupun kelompok guru, (3) membantu guru agar mereka dapat lebih
efektif dalam menyajikan pengajaran, (4) membantu guru agar mereka dapat
meningkatkan metode mengajar yang lebih efektif, (5) meningkatkan keterampilan
guru, (6) membantu guru agar mereka dapat mengevaluasi diri dan pekerjaannya,
(8) membantu guru agar mereka merasa aman bekerja, (9) membantu guru dalam
melaksanakan kurikulum di sekolah dan (10) membantu guru agar mereka dapat
memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan
sekolah yang telah dicapai.
Kepemimpinan kepala
madrasah adalah bagian penting dalam manajemen sekolah. Kepala madrasah harus
merencanakan dan mengorganisasikan setiap komponen dalam rangka mempengaruhi
para guru dan pegawai lainnya yang terkait dengan sistem sekolah untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan. Seperti dikatakan Leithwood et al dalam Kara S. Finnigan (2010: 165) : Three areas of instructional leadership (1)
the development of a shared vision and overall sense of purpose, (2) changing
school norms and bringing staff into contact with new ideas and practices, and
(3) promoting trust and respect and being approachable. Bahwa kepala
madrasah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah memiliki tiga wilayah, yaitu
mengembangkan visi dan tujuan, merubah norma sekolah dengan ide-ide baru, dan
mengembangkan sikap percaya dan menghormati. Hal ini seperti ditegaskan tentang
karakteristik kepemimpinan di lingkungan Kementerian Agama, diantaranya
dilandasi dengan iman dan takwa sebagai pondasi, ikhlas dalam bekerja, memiliki
semangat juang yang tinggi untuk mencapai tujuan, sederhana, pantang menyerah,
terbuka, merakyat dan berperan sebagai pelayan masyarakat (Ahmad Gozali &
A. Choloq Aly Ma’mur, 2009: 120-125)
Peran dalam mengembangkan visi, penggunaan
ide-ide baru dan sikap kerja sama saling menghormati dalam bekerja sesungguhnya
diarahkan pada upaya mendorong kinerja bawahan semakin baik, hal ini terbukti
bahwa kepemimpinan kepala madrasah berpangruh positif terhadap kinerja mengajar
guru di Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kepemimpinan kepala madrasah ini merupakan
variabel yang memiliki pengaruh besar ketiga setelah komitmen dan motivasi
kerja. Adanya Sumbangan atau pengaruh signifikan kepemimpinan terhadap kinerja
mengajar guru di Madrasah Aliyah se-kota Bekasi seiring dengan dukungan teori
di atas, bahwa pemimpin merupakan penggerak roda organisasi, apalagi di Kota
Bekasi mayoritas madrasah adalah swasta yang dimiliki oleh pribadi-pribadi
terutama para tokoh masyarakat dan kiyai, kepemimpinan madrasah lebih banyak
dipegang oleh pemilik yang merupakan tokoh masyarakat sehingga mendorong
ketaatan dan kepatuhan para guru kepada kepala madrasah sebagai wujud loyalitas
terhadap lembaga dimana mereka bekerja.
Lemahnya aspek supervisi akademik oleh kepala
madrasah pada penelitian ini terbukti bahwa kinerja mengajar guru Madrasah
Aliyah khususnya pada dimensi pelaksanaan pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan masih lemah, bergaris lurus dengan lemahnya pengawasan dan
supervisi kepala madrasah. Hal ini menunjukkan pula bahwa sertifikasi guru
melalui program PLPG tidak memberikan dampak positif pada perubahan pola
mengajar guru setelah kembali ke tempat tugasnya ketika tidak dilakukan
pengawasan dan supervisi oleh kepala madrasah secara terprogram.
Bila dipotret dari standar kepala sekolah
berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007, bahwa
kepala sekolah harus memiliki lima macam kompetensi yaitu kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan,
dan kompetensi supervisi, maka berdasarkan hasil penelitian di atas, kepala
Madrasah Aliyah di Kota Bekasi secara nyata belum optimal dalam hal pelaksanaan
kompetensi bidang supervisi yang dampaknya berpengaruh terhadap kinerja
mengajar guru.
3.
Budaya Madrasah
Budaya madrasah adalah sekumpulan nilai, norma,
keyakinan, pandangan dan aturan organisasi yang disepakati sebagai pegangan dan
standar pelaksanaan kerja guru dan pegawai lainnya yang harus diikuti dan
dilaksanakan, serta simbol-simbol lainnya seperti benda-benda seni yang ada di
madrasah, kegiatan rutin, kebiasaan, dan perayaan-perayaan yang menjadi ciri
khas madrasah, dukungan sosial, sanksi dan hadiah yang ada dan diberlakukan di
madrasah, dan visi, misi, tujuan, kurikulum yang dikembangkan dan ingin
dicapai.
Budaya madrasah ini memiliki 3
dimensi yaitu dukungan manajemen, identitas sekolah dan interaksi kerja yang
secara umum memiliki kriteria baik. Dimensi dukungan manajemen memiliki 14
butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dimensi identitas
sekolah memiliki 14 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan
terakhir dimensi interaksi kerja memiliki 8 pertanyaan dan seluruhnya memiliki
kriteria baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya madrasah berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan
variasi pada budaya madrasah berpengaruh terhadap perubahan variasi pada
kinerja mengajar guru. Besaran pengaruh budaya madrasah terhadap kinerja
mengajar guru adalah sebesar 0.240 atau determinasinya 0.0576 atau sebesar 5.76
%.
Budaya
sekolah memiliki beberapa elemen yaitu : The
core elements of school culture : 1. A shared sense of purpose and vision, 2.
Norms, values, beliefs and assumptions, 3. Rituals, traditions and ceremonies,
4. History and stories, 5. People and relationships, and 6. Architecture,
artifacts, and symbols (Kent D. Peterson & Terrence E. Deal, 2009: 12).
Bahwa budaya sekolah memiliki elemen inti sepeti visi dan tujuan, norma, nilai,
asumsi dan keyakinan, ritual, seremoni dan kebiasaan, sejarah, hubungan
antarsesama dan simbol-simbol arsitektur.
Berbagai
elemen dan dimensi dalam budaya madrasah sesungguhnya kembali pada peran
anggota organisasi itu untuk menciptakan dan mempengaruhinya. Jika anggota
organisasi madrasah berperilaku baik maka akan membentuk budaya yang baik,
seperti diungkapkan: School culture
consist of attitudes, beliefs and values, feelings, and opinions that are
shared by a significant number of its influential members and that are communicated to others. (Ronald W Rebore & Angela
L.E. Walmsley, 2007: 62). Bahwa budaya sekolah terdiri dari perilaku, keyakinan
dan nilai, perasan dan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh anggota
organisasi tersebut dalam mengkomunikasikannya.
Pernyataan
di atas, diperkuat Ron Renchler (1992: 4) bahwa budaya sekolah menekankan pada
pencapaian prestasi akademik melalui pengkondisian lingkungan atau iklim
belajar siswa karena efektifitas sebuah sekolah secara akademik tergantung pada
kejelasan tujuan yang dibuat sejalan dengan prestasi yang di raih siswa,
kesamaan harapan antara guru dan orang tua, dan upaya mendesain stuktur yang
dapat memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengikuti proses belajar
mengajar, seperti dungkapkan:
“A school-level culture press in the
direction of academic achievement helps shape the environment (and climate) in
which the student learns. An academically effective school would be likely to
have clear goals related to student achievement, teachers and parents with high
expectations, and a structure designed to maximize opportunities for students
to learn” (Ron Renchler,
1992: 4).
Budaya madrasah
ternyata memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja mengajar guru, hal ini
menunjukkan bahwa kesamaan nilai, norma dan keseragaman menjadi pegangan para
guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Hal di atas, menunjukkan budaya pada prinsipnya
menekankan kepada perilaku bekerja sesuai dengan norma-norma yang ada. Apabila budaya kerja berjalan dengan baik, maka
dapat dipastikan kinerja anggota organisasi itu baik pula, dan begitu juga sebaliknya.
Karakteristik
budaya madrasah berbeda dengan udaya sekolah pada umumnya, madrasah dengan
kondisi mayoritas swasta yang tumbuh dan berkembang atas dasar partisipasi
masyarakat mendorong kecintaan terhadap lembaga yang dibentuknya dan berasaskan
kesamaan visi. Oleh karena itu, sesuai dengan misi pendirian awal madrasah
yakni untuk mentransmisikan nilai-nilai islam sekaligus sebagai jawaban atas
kolonialisme Belanda sehingga memudarnya semangat keagamaan (Ara Hidayat &
Imam Machali, 2010: 142), maka budaya yang dikembangkannya pun berdasarkan pada
nilai-nilai keislaman, seperti religius, kebersamaan, saling menghormati,
saling membantu dan empati serta perilaku lainnya yang didasarkan pada ajaran
islam.
4.
Motivasi Kerja
Motivasi kerja
adalah dorongan
bagi guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang bersumber dari dalam
diri sendiri (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) untuk melakukan proses
pembelajaran dan bimbingan terhadap siswa untuk mecapai tujuan pendidikan yang
direncanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Motivasi kerja guru memiliki 3
dimensi yang secara umum memiliki kriteria baik. Dimensi harapan memiliki 12
butir pertanyaan dengan kriteria baik tetapi ada beberapa butir yang tergolong
sangat baik (yaitu tentang keamanan dalam bekerja, peningkatan karir, adanya
umpan balik, dan otoritas kepemimpinan), dimensi dorongan memiliki 12 butir
pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik, dan terakhir dimensi imbalan
memiliki 6 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan
variasi pada motivasi kerja berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja
mengajar guru. Besaran pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja mengajar guru
adalah sebesar 0.254 atau determinasinya 0.0645 atau sebesar 6.45 %.
Temuan penelitian di atas menjadi
penegasan bahwa tingkat tinggi rendahnya motivasi kerja guru dapat dilihat dari
berbagai aspek, seperti dikatakan:
“The
basic differences that distinguish motivated individuals from unmotivated ones
are (1) continuity in taking an interest and paying attention, (2) enthusiasm
to make an effort and spend the required time to perform the behavior, (3)
concentrating on the subject, devoting the self and relinquishing the desired
behavior in the face of a difficulty, persevering and showing determination to
accomplish the desired end”.(Nadir Celikoz, 2010: 14).
Bahwa guru yang memiliki motivasi kerja dan yang tidak
memiliki motivasi dapat dibedakan dari: 1) kontinuitas perhatian, ketertarikan
dan perhatian terhadap pekerjaannya, 2) antusiasme dalam kerja dan menghabiskan
waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan, 3) kosentrasi dalam mengerjakan
pekerjaan, menghadapi setiap kesulitan kerja, dan menunjukkan kebulatan tekad
dalam menyelesaikan pekerjaan. Artinya, bahwa guru yang memiliki motivasi
tinggi dapat dilihat dari bagaimana ia melakukan pekerjaannya.
Pernyataan di atas diperkuat model teori expectancy, yaitu bahwa tinggi rendahnya
motivasi seseorang sangat tergantung pada persepsi orang tersebut terhadap
keterkaitan antara usaha yang dilakukan, kinerja, dan reward. Terkait dengan hal itu, individu akan termotivasi melakukan
pekerjaan apabila ia yakin bahwa usaha yang ia lakukan itu akan dapat
meningkatkan kinerjanya, dan kinerja yang ia capai tersebut diyakini akan
berdampak terhadap reward yang
diterima.
Hal demikian, jika yang terjadi sebaliknya, individu tidak yakin dengan usaha
yang dilakukan apalagi tidak yakin dengan reward yang akan diterima, maka
secara otomatis akan mendorong lemahnya tingkat motivasi (Edwind C. Leonard,
2010: 128).
Uraian di atas
sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa motivasi kerja guru
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru di
Madrasah Aliyah se-Kota Bekasi baik
secara langsung mapun tidak langsung melalui variabel lain. Jika dilihat dari 3
dimensi motivasi kerja ini ternyata seluruhnya memiliki kriteria baik dan
sangat baik sehingga secara nyata dapat mendorong kinerja guru dalam mengajar.
Pertanyaan
mendasar mengapa motivasi kerja memiliki pengaruh lebih besar kedua setelah
komitmen mengindikasikan bahwa guru Madrasah Aliyah dalam bekerja lebih karena
dorongan-dorongan internal, adanya keinginan kuat untuk bekerja sebagai wujud
tanggungjawab dan keinginan yang tidak terpaksa oleh faktor eksternal lainnya
hal ini sejalan dengan moto Kementerian Agama yakni ikhlas beramal, artinya
setiap aspek pekerjaan yang dilakukan seluruh pegawai yang berada di bawahnya
diniatkan menjadi salah satu bentuk ibadah yang merupakan perwujudan pengabdian
sang makhluk terhadap Khaliknya. Pemaknaan lain dari ikhlas beramal ini juga
berarti bahwa setiap jenis pekerjaan tidak saja dibayar dalam bentuk materi
yang dapat dinikmati seketika, akan tetapi pekerjaan bisa bernilai transenden
menjadi investasi berharga yang tidak terhingga kemaslahatannya untuk kehidupan
di kemudian hari.
Uraian
di atas, ditegaskan Elis Supartini (2001 : 1) bahwa motivasi merupakan suatu
kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang
diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, sehingga dapat mempengaruhi prestasi
seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Oleh karena itu, jika
seorang guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka mereka akan terdorong
dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, melaksanakan,
dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah, sehingga diperoleh hasil
kerja yang maksimal.
5.
Komitmen Kerja
Komitmen kerja
adalah perasaan yang dimiliki anggota organisasi terhadap tempat bekerja yang
diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya pada organisasi tersebut untuk mencapai
tujuan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan.
Komitmen kerja guru memliki 3
dimensi yang seluruhnya memiliki kriteria baik. Dimensi komitmen terhadap
organisasi memiliki 13 butir pertanyaan seluruhnya memiliki kriteria baik,
dimensi komitmen terhadap profesi memiliki 7 butir pertanyaan seluruhnya
memiliki kriteria baik, dan dimensi terakhir adalah dimensi komitmen terhadap
siswa memiliki 7 butir pertanyaan dan seluruhnya memiliki kriteria baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen kerja berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru, artinya perubahan variasi
pada komitmen kerja berpengaruh terhadap perubahan variasi pada kinerja
mengajar guru. Besaran pengaruh komitmen kerja terhadap kinerja mengajar guru
adalah sebesar 0.340 atau determinasinya 0.1156 atau sebesar 11.56 %.
Seorang guru yang memiliki komitmen
tinggi terlihat dari perilaku kerjanya yang positif, bertanggungjawab, dan
memiliki gairah tinggi, seperti dikatakan Reyes dalam Nordin Abd
Razak, I Guti Ngurah Darmawan, John P. Keeves (2009: 187), bahwa:
“A committed teacher was likely to: 1) be less tardy, work
harder, and be less inclined to leave the workplace; 2) devote more time to
extra-curricular activities in order to accomplish the goals of the educational
organization; 3) perform work better; 4) influence student achievement; 5)
believe and act upon the goals of the school; 6) exert efforts beyond personal
interest; and 7) intend to remain a member of the school system”.
Artinya seorang guru yang memiliki
komitmen tinggi terlihat dari beberapa aspek terkait dengan pekerjaan yang
dilakukannya, yaitu: 1) aktivitas kerjanya yang tidak terlambat, kerja keras,
dan tidak meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, 2) banyak menggunakan
waktu untuk kegiatan ekstra dalam rangka mencapai tujuan sekolah, 3) bekerja
lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai tuntutan zaman, 4)
mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan melalui
berbagai teknik dan pendekatan, 5) percaya dan bertindak sesuai tujuan yang
digariskan sekolah dengan mentaati segala bentuk aturan dan ketentuan yang
berlaku, 6) bekerja tidak mementingkan kepentingan pribadi akan tetapi
mementingkan kepentingan siswa dan lembaga secara lebih luas, 7) tetap
berkeinginan menjadi anggota organisasi sekolah dengan menunjukkan sikap yang
loyal dan bekerja dengan gigih.
Uraian di
atas diperkuat dengan pernyataan : “High
levels of commitment have been associated with lower rates of teacher
absenteeism, increased job satisfaction, high expectations of students, and
slight increases in student performance” (Lia M. Daniels,et.al, 2011: 91).
Bahwa level komitmen seorang guru dapat dilihat dari rendahnya ketidakhadiran
dalam menjalankan pekerjaan, adanya peningkatan kepuasan kerja, memiliki
harapan tinggi terhadap keberhasilan siswa dan adanya peningkatan kinerja siswa
sebagai bentuk hasil belajar yang bombing oleh guru.
Pernyataan
di atas, memberikan gambaran bahwa komitmen seorang guru tidak terlepas dari
ikatannya dengan lembaga sebagai tempat ia bekerja, jenis pekerjaan itu sendiri
dan keterkaitannya dengan siswa sebagai subyek penting dalam proses pendidikan.
Hal ini seperti ditegaskan bahwa komitmen guru menyangkut tiga dimensi, yaitu
dimensi organisasi sekolah, dimensi profesi mengajar, dan dimensi siswa.
Dimensi komitmen terhadap organisasi sekolah diantaranya setuju terhadap
nilai-nilai dan tujuan sekolah yang didalamnya terdapat tiga komponen yaitu
keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan sekolah, bekerja untuk
kepentingan organisasi sekolah, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi,
dimensi komitmen terhadap profesi sebagai guru adalah komitmen terhadap satu
pekerjaan yang didalamnya terdapat beberapa aspek yaitu melaksanakan
tugas-tugas sebagai guru, perhatian terhadap keberhasilan siswa, kerajinan
dalam bekerja, puas dengan pekerjaan sebagai guru, dan mengidentifikasi profesi
sebagai guru, dimensi terakhir adalah komitmen terhadap siswa adalah rasa
selalu ingin membantu kesulitan siswa, bertanggungjawab atas proses belajar
siswa dan kehidupan sekolah, serta tanggungjawab terkait dengan kondisi emosi
siswa (Insim Park, 2005: 463-464).
Penegasan-penegasan
di atas, sesuai dengan hasil temuan penelitian bahwa komitmen kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah se-Kota
Bekasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui variabel lain.
Pengaruh variabel komiten kerja ini merupakan pengaruh paling besar
dibandingkan dengan pengaruh variabel lainnya yaitu pengaruh kepemimpinan
kepala madrasah, budaya madrasah, dan motivasi kerja. Fenomena ini menunjukkan
bahwa kinerja mengajar guru merupakan satu kesadaran yang bersumber dari dalam
dirinya sendiri untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan professional,
terbukti bahwa komitmen kerja memiliki pengaruh paling besar.
SIMPULAN DAN
REKOMENDASI
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan
penelitian ini sebagai berikut :
1.
Variabel kepemimpinan kepala madrasah tergolong baik, hanya
pada dimensi sebagai supervisor memiliki kriteria cukup dan khusus aspek
pelaksanaan supervisi akademik yang masih kurang, variabel budaya madrasah,
motivasi dan komitmen kerja seluruh dimensinya memiliki kriteria baik, dan
variabel kinerja mengajar terdapat dua dimensi tergolong baik yakni perencanaan
dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran, dimensi pelaksanaan pembelajaran
tergolong cukup terkecuali pada aspek penggunaan strategi pembelajaran yang menyenangkan,
penggunaan metode pembelajaran bervariasi, dan penggunaan media pembelajaran
yang menarik masih tergolong kurang baik, sedangkan dimensi perbaikan dan
pengembangan tergolong kurang khususnya pada pelaksanaan refleksi setelah
pembelajaran.
2.
Kepemimpinan kepala madrasah berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
3.
Budaya madrasah berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
4.
Motivasi kerja berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
5.
Komitmen kerja berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
6.
Kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi
kerja, komitmen kerja secara secara bersama-sama berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap kinerja mengajar guru Madrasah Aliyah di Kota Bekasi.
Artinya bahwa kepemimpinan kepala madrasah, budaya madrasah, motivasi kerja dan
komitmen kerja merupakan faktor-faktor yang menentukan terhadap kinerja
mengajar guru.
Terkait
dengan temuan penelitian ini, maka penulis sampaikan beberapa rekomendasi
sebagai berikut :
1.
Kepada para Kepala Madrasah Aliyah untuk fokus pada aspek
akademik dengan tidak menyampingkan aspek administratif lainnya, terus mengawal
program sertifikasi guru ini dengan membuat program lanjutan terkait dengan
pembinaan dan pengembangan kinerja mengajar guru terutama peningkatan kualitas
proses pembelajaran dalam bentuk supervisi akademik baik klinis maupun non
klinis, melakukan pembinaan kompetensi guru terkait dengan pelaksanaan
pembelajaran yang menyenangkan, membuat kegiatan pelatihan guru secara rutin
tentang strategi dan mode-model pembelajaran atau mengikutsertakannya pada
kegiatan-kegiatan ilmiah yang diselenggarakan lembaga lain.
2.
Kepada para guru agar terus berupaya meningkatkan kinerja
mengajar sehingga proses pembelajaran menjadi lebih optimal melalui kegiatan
refleksi yang dilakukan antarsesama guru mata pelajaran atau rumpun mata
pelajaran, memprogramkan kegiatan lesson
study dengan melakukan open lesson
bagi guru-guru dalam satu sekolah atau antarsekolah sehingga dapat diketahui
titik kelemahan dan kelebihan proses pembelajaran dan dapat ditingkatkan pada
pembelajaran selanjutnya.
3.
Kepada para peneliti lain yang hendak mengkaji dan mendalami
masalah kinerja mengajar guru untuk melakukan penelitian tersebut dilihat dari
faktor-faktor lain selain variabel yang dikaji dalam penelitian ini. Selain
itu, perlu formulasi dan pendekatan lain untuk menganalisis dan memahami
masalah kinerja mengajar guru ini terutama dengan pendekatan deskriptif
kualitatif untuk mengukur kinerja mengajar secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Alderman, M. Kay.
(2004). Motivation for Achievement.
Possibilities for Teaching and Learning. USA: New Jersey.
Armstrong, Michael.
(2003). The Art of Managing People. A
Practical Guide for Line Managers. Ali bahasa: Ramelan & Dwi
Prabaningtyas. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Armstrong, Michael.
(2003). The Art of Managing People. A
Hanbook of Remuneration Strategy and Practice. Buku pertama. Ali bahasa:
Ramelan & Dwi Prabaningtyas. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Daniels, Lia M. et.al. (2011). The Effect of Teacher Candidates’Perceptions of Their Initial Teacher
Education Program on Teaching Anxiety,Efficacy, and Commitment. Alberta Journal of Educational Research,
Vol. 57, No. 1, Spring 2011.
Finnigan, Kara S.
(2010). Principal
Leadership and Teacher Motivation Under High-Stakes Accountability Policies.
Leadership and Policy in Schools, 9:161–189, 2010 Copyright ©
Taylor & Francis Group, LLC ISSN: 1570-0763 print/1744-5043 online DOI:
10.1080/15700760903216174.
Gredler, Margaret. (2009). Learning and Instruction, Theory into
Practice. Ohio, New Jersey.
Hallinger, Philip
& Kenneth Leithwood. (1996). Culture and Educational Administration. A
Case of Finding Out What You don’t Know You don’t Know. Journal of Educational
Administration, Vol. 34 No. 5, 1996, pp. 98-116. © MCB University Press, 0957-8234
Hammond, Linda Darling. (2006). Powerful Teacher Education, Lesson
From Examplary Programs. USA: Jossey-Bass.
Hasibuan, Malayu.
(2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat, Umul. (2006). Upaya peningkatan kompetensi guru. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama
Dan Keagamaan. Vol. 4 No. 2 April-Juni 2006.
Hubbard, Lea, Hugh
Mehan, Mary Kay stein. (2006). Reform As
Learning: School Reform, Organizational Culture, and Community Politics in San
Diego. New York: Routledge.
Hunton, James E & Carolyn Strand Norman. (2010). The
Impact of Alternative Telework Arrangements
on Organizational Commitment:
Insights from a Longitudinal. Journal
Of Information Systems. Vol. 24, No. 1 DOI:
10.2308/jis.2010.24.1.67.
Kocabas, Ibrahim. (2009). The Effects Of Sources Of Motivation On
Teachers' Motivation Levels. Education. Chula
Vista: Summer 2009. Vol. 129, Iss. 4;
pg. 10.
Lang, Helmut R & David N. Evans. (2006). Models, Strategies, and Methods
Leithwood, Kenneth
and Doris Jantzi. (1997). Explaining Variation in Teachers’
Perceptions of Principals’
Leadership: a Replication. Journal of Educational
Administration, Vol. 35 No. 4, 1997, pp. 312-331. © MCB University Press,
0957-8234.
Lunenburg, Fred C & Beverly J. Irby. (2006). The
Principalship. Vision to Action. USA : Cengage Learning.
Middlewood, David
& Carol Cardono. (2001). Managing
Teacher Appraisal and Performance. A Comparative Approach. New York:
Routledge Falmer.
Orlich, Donald C. et al. (2010). Teaching
Strategies a Guide to Effective Instruction, USA : Wadsworth.
Park, Insim. (2005). Teacher Commitment and its Effects on Student Achievement in American High Schools. Educational Research and Evaluation. Vol.
11, No. 5, October 2005.
Pidarta, Made. (2009). Supervisi
Pendidikan Kontekstual. Jakarta : Rineka Cipta.
Razak, Nordin Abd, I. Gusti Ngurah
Darmawan , John P. Keeves. (2010). The
Influence of Culture on Teacher Commitment. Received: 19 January
2009 / Accepted: 9 December 2009 / Published online: 28 January 2010. Springer Science+Business Media B.V.
2010.
Rebore, Ronald W
& Angela L.E. Walmsley. (2007). An
Evidence-Based Approach to the Practice of Educational Leadership. USA:
Person Education
Renchler, Ron. (1992). Student Motivation, School
Culture, and Academic Achievement: What School Leaders Can do. Eugene, OR:
ERIC Clearinghouse.
Sudijono, Anas.
(2007). Pengantar Statistik Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi
dan Praktinya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukardi. (2008). Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya.
Edisi 1. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Usman, M. Uzer. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Wood, Jack & Joseph Wallace & Rachid M. Zeffane.
(2001). Organizational Behavior a Global Perspectives. Australia : John Willey & Sons.