Jumat, 23 Maret 2018

PENDIDIKAN MULTIKULTUR


Kekisruhan etnik yang merebak di banyak tempat di penjuru wilayah Indonesia merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997an. Krisis ekonomi yang tampak dipermukaan sesungguhnya lebih merupakan derivasi dari krisis esensial yakni mental dan moral hingga merenggut kesadaran tentang makna kebangsaan serta kebanggaan terhadap nilai kebhinekaan.
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan kesadaran atas konsep kearifan budaya, padahal bangsa kita yang besar ini memiliki keluhuran budaya yang diakui oleh dunia seperti dikatakan Engkoswara (2007: 11) bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia mempunyai budaya adiluhung hingga terkenal ke mancanegara, akhlak mulia, semangat juang yang ulet, keramah-tamahan yang indah mempesona, dan seni yang sangat tinggi. Nilai-nilai tersebut kini nampak terkikis dengan munculnya prasangka rasial yang sangat sensitif karena didalamnya melibatkan emosi, sikap, bahkan tindakan seseorang ataupun kelompok terhadap kelompok atau ras lainnya.
Konsep kearifan budaya lokal, dalam kontek kehidupan dan relasi sosial ditengah komunitas majemuk seperti negeri kita ini memiliki kekuatan (power) sekaligus potensi dalam menciptakan kehidupan sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan budaya lokal dalam kontek kehidupan ditengah masyarakat yang pluralis, sejatinya dapat memberikan celah bagi terjalinnya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati karena sesungguhnya budaya nasional yang lebih besar akan kokoh terbangun melalui perwujudan struktur budaya lokal daerah yang beragam dan saling melengkapi. Kita sadar, bahwa semua ini dapat tercipta melalui kerja keras dan keinginan semua pihak dengan mendorong pendidikan yang merata dan berkeadilan sehingga visi Indonesia 2025 yakni Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur dapat diraih.

A.    Pendidikan Multikultur: Harapan atas Otonomi
Pada masa lampau, sistem pendidikan nasional kita bercirikan keseragaman yang diatur oleh Pemerintah pusat dari aspek yang paling besar hingga persoalan teknis di lapangan. Homogenisasi dan penyeragaman pendidikan yang bersifat sentralistik ini berdampak pada tercabutnya peserta didik dari akar budaya dan lingkungan sosialnya, bahkan penyeragaman pendidikan dikatakan sebagai proses membentuk buta huruf fungsional (functional illiteracy) karena peran pendidikan sudah kehilangan makna fungsionalnya (Azra, 2002: 216).
Penyeragaman pada segala aspek pendidikan masa lampau seolah menjadi amanat konstitusional padahal sesungguhnya amanat yang disampaikan adalah terbentuknya kesatuan dan persatuan yang sangat berbeda dengan penyeragaman, sehingga yang terjadi pendidikan bukan lagi sebagai akibat dari sistem birokrasi yang mengharuskan adanya penyeragaman akan tetapi sudah menjadi faktor penyebab yang menguatkan penyeragaman itu sendiri.
Disadari bahwa penyeragaman pada segala aspek pendidikan itu merupakan buah dari sistem sentralistik yang mengharuskan pendidikan masuk pada ranah kepentingan politik, dampaknya adalah ketundukan pada tarik menarik kepentingan penguasa yang pada akhirnya melahirkan rutinitas tanpa kreativitas, pendidikan menjadi proses melangsungkan  apa yang sudah dilakukan, jika yang dilakukan itu usang maka lahir pulalah keusangan, demikian seterusnya bergulir sampai pada akhirnya melahirkan generasi usang, berpikir usang dan stagnan seperti diungkapkan Quraisy Shihab (1996:321) bahwa jika generasi memiliki sistem nilai dan hanya berpikir kini dan sampai disini maka upaya dan ambisinya akan terbatas pada kini dan disini pula. Artinya, jika sebuah generasi dilahirkan dalam kapasitas kedaluarsa maka hanya akan melangsungkan ke-kedaluarsaan, meskipun sejarahnya tidak berulang tetapi cara memahami sejarahnya yang salah karena terpasung oleh sistem dan birokrasi.
Harapan baru muncul dengan lahirnya Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah terkait pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, disusul dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, didalamnya terdapat hal mendasar yakni untuk mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, dan mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh karena itu, UU No. 22/1999 menempatkan otonomi daerah secara utuh kepada daerah kabupaten dan daerah kota yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya.
Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah memberikan implikasi terhadap pelaksanaan sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta pendidikan yang selama ini dikelola. Perubahan yang dilakukan bukan hanya sekedar penyesuaian, tetapi yang diharapkan adalah suatu perubahan yang besar dan sangat mendasar dilihat dari aspek material dan moral yang pernah terabaikan. Material berarti bahwa sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan, pendidikan harus memiliki suatu standar aturan; mekanisme/prosedur dan norma-norma substantif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat bangsa dan negara secara menyeluruh dan merata (berkeadilan). Sedangkan secara moral, berarti bahwa sistem tersebut harus mampu mencerminkan sekaligus memiliki dasar filosofis, mental dan moral dari segenap komponen (steakeholders) pendidikan dan atau pembangunan sehingga proses yang dilewati akan senantiasa diiringi dengan semangat integritas yang berwawasan kebangsaan, jujur, adil, obyektif dan berorientasi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dari berbagai lapisan budaya.
Masyarakat multikultural memiliki tipe/pola tingkah-laku yang khas. Sesuatu yang dianggap sangat tidak normal oleh budaya atau pemahaman tertentu tetapi dianggap normal atau biasa-biasa saja oleh budaya atau pemahaman lain atau sebaliknya. Perbedaan-perbedaan sudut pandang karena berbedanya latar belakang, pemahaman, atau wawasan ini, sering mejadi penyebab gesekan yang mengakibatkan lahirnya ketidak-sepahaman, disinteraksi bahkan konflik yang tajam dalam masyarakat multikultur yang seharunya tidak terjadi karena sesungguhnya adanya perbedaan dan ketidaksepahaman kapan dan dimanapun menjadi warna bagi ciri kehidupan manusia, karena selama ada kehidupan maka pasti terjadi interaksi yang didalamnya terdapat kesamaan sekaligus perbedaan. Kesadaran ini menjadi penting dimaknai oleh masyarakat multikultur dengan mengembalikan hakikat dasar budaya itu sendiri sendiri yang tidak lepas dari aspek manusia dan kemanusiaan, seperti dikatakan Klucklon dalam Kusworo (2010: 112) bahwa sistem nilai budaya dalam masyarakat manapun di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu manyangkut hakikat manusia, hakikat karya, hakikat waktu, hakikat alam, dan hakikat hubungan antarmanusia. Artinya, bangsa kita yang terdiri dari lebih 17.000 kepulauan dan didalamnya banyak suku, ras dan agama ini jelas memiliki perbedaan yang tidak boleh dibeda-bedakan, memiliki karakteristik yang tidak perlu dipertentangkan dan memiliki keyakinan yang perlu dihormati.
Pernyataan bahwa setiap kebudayaan memiliki bentuk yang khas, tingkah laku yang unik, yang memiliki latar budaya yang berbeda. Subkultur yang beragam di Indonesia mau tidak mau ditentukan sebagai bagian dari suatu realitas sosial, meskipun pada hakikatnya subkultur tersebut mempunyai keunikan dan kekhasan dengan berbagai kebiasaan, adat istiadat dan pengalaman lokal, nilai-nilai sosial dan harapan-harapan hidup yang selalu tidak sama dengan budaya dominan. Hal ini berarti bahwa fungsi dan tugas lembaga pendidikan harus mengedepankan pola variatif dan mengakui pluralisme sehingga perbedaan tidak menjadi hambatan tetapi menjadi sumber kekuatan untuk hidup berdampingan. Disadari, bahwa semula pola otonomi (meskipun tidak lepas dari perbedaan persepsi dan diskusi) memberikan peluang bagi kokohnya pendidikan dalam memberikan arah  untuk dimanfaatkannya potensi dan karakteristik wilayah yang harus digalih sebagai sumber kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, makna pendidikan tidak tercabut dari akar sosio-kuturalnya, potensi alam sesuai dengan keragamannya dapat dieksplorasi dan potensi peserta didik  bisa memberi arti. Bila ini berlangsung menjadi siklus berkesinambungan, maka statement bahwa kehidupan yang tidak dipahami karena tidak pernah dipelajari menjadi tidak bernilai untuk dilalui akan dapat dirubah bahwa kehidupan yang ada ini dapat kita pahami karena kita terus mempelajarinya sehingga sangat bernilai untuk dilalui dan kita wariskan untuk generasi mendatang.

B.    Pendidikan Multikultur: Fenomena Pasca Otonomi
Sungguh menakjubkan, dalam blogdetik.com (2012: 1) nampak terinci bahwa  negeri tercinta dengan segala keterbatasannya merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Indonesia memiliki 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu pulau Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas 539.460 km2), pulau Sumatera (473.606 km2) dan Pulau Papua (421.981 km2). Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai di dunia. Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, di Papua saja terdapat 270 suku. Menggunakan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa tersebut. Data dan fakta ini sungguh merupakan keniscayaan bahwa negeri kita ini tidak terelakkan dari multi budaya yang bisa dijadikan kontribusi positif bagi keberlangsungan Negara, akan tetapi bila fenomena sebaliknya menjadi lahan subur untuk mudahnya perpecahan bangsa karena egoisme dan prasangka rasial, maka benar kalau  bangsa kita mengalami kemiskinan yakni kemiskinan yang menghina nilai kemanusiaan, yang membunuh gairah hidup etis dan estetis yang tidak akan segera pulih hanya dengan menambah jumlah rupiah. Kemiskinan ini sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap falsafah hidup dan moralitas manusia karena manusia yang miskin hanya dapat mengembangkan falsafah dan moralitas kemiskinan (Winarno Surakhmad, 2009: 204).
Pernyataan di atas, mendorong arti pentingnya pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datangnya dan berbudaya apapun jenisnya. Harapannya adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa (Ainurrafiq Dawam, 2003: 100).
Oleh karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran pluralis-multikultural, diperlukan rekonstruksi pendidikan sosial keagamaan yang mengarah pada pembentukan kesadaran akan pentingnya kehidupan sosial horizontal dengan tidak mengesampingkan wujud ritual vertikal serta tidak memisahkan secara permanen kesalehan sosial dengan kesalehan vertikal. Dengan demikian, tertanam keyakinan bahwa kita terlahir berbeda-beda dalam banyak hal, baik menyangkut karakteriktik jasadiyah maupun social budaya yang satu sama lain saling menggenapkan dan melengkapi.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup setiap insan yang saling menghormati satu sama lain, menghargai, toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan serta mengakui keragaman budaya yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dengan realitas multikultur yang luar biasa tinggi. Dengan pendidikan multikultural diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap kaku melalui pembenaran subyektif, eksklusif dan menafikan eksistensi kelompok lain, apa pun bentuk perbedaannya dan dimanapun konteksnya.
Kondisi yang diharapkan di atas, tidak lebih dari refleksi peran pendidikan bagi hidup dan kehidupan manusia secara filosofis seperti dikatakan Mohammad Ali (2009: 109), bahwa pengejawantahan peran pendidikan mengarah pada : 1). Pendidikan menjadi inspirasi bahwa setiap insan mempunyai kemampuan dan tanggungjawab melakukan perubahan yang positif, 2) Pendidikan menjadi faktor utama dalam proses transformasi visi menjadi realita, 3) Pendidikan dapat menumbuhkembangkan tata nilai, perilaku dan pola hidup untuk masa depan yang berkelanjutan, 4) Pendidikan merupakan proses pembelajaran tentang bagaimana mengambil keputusanyang mempertingkan faktor keadilan, ekonomi, dan ekologi, 5) Pendidikan dapat membangun kemampuan setiap manusia untuk berpikir jangka panjang.
Melihat fungsi yang demikian luas, maka pendidikan, mulai jenjang terendah sampai jenjang tertinggi, dapat didesain untuk membangun dan memberikan gambaran ideal tentang pluralitas dan multikultural. Pluralitas dan multikultur merupakan kenyataan yang harus diterima di negeri ini sekaligus menjadi tantangan besar yang harus dihadapi, mengapa demikian? Menurut Hodgkinson dalam Arends (2008: 8) bahwa setiap masyarakat dibangun  atas dasar asumsi-asumsi demografik. Bila asumsi-asumsi ini berubah dari kurun waktu ke waktu maka akan terjadi guncangan yang menimpa seluruh sendi-sendi masyarakat. Artinya, bahwa pergumulan yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini sebagai akibat dari perubahan asumsi demografis seperti suku, ras, dan agama hingga merasuk ke dalam aspek pendidikan yang pada akhirnya membutuhkan energi untuk mengelolanya secara efektif dan berkeadilan.
Harapan besar atas otonomi daerah dengan segala kecemerlangan capaian yang diimpikan, saat ini menjadi gejala baru. Jika dulu otonomi menjadi harapan terselesaikannya berbagai masalah pendidikan karena semakin pendeknya ruang birokrasi, terjadi sebaliknya, tumbuh masalah baru yang konon makin sulit dipecahkan. Tidak heran, jika ranah pendidikan yang lebih merupakan proses kultural ditarik kembali masuk wilayah struktural, karena terjadi pola pemaksaan dalam kancah politis.
Konsekuensi dari semua ini sudah dapat diperkirakan bahwa pendidikan terseret dan terombang ambing oleh kekuatan politik, siapa dukung – siapa dapat, mobilisasi besar-besaran terhadap segenap pendidik dan tenaga kependidikan pada kancah pemenangan figur, serta penempatan tokoh tertentu yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.

D. Penutup
Pada masyarakat Indonesia yang multikulur, diperlukan usaha yang serius untuk membangun pemahaman masyarakat yang tidak mengedepankan dimensi perbedaan, tetapi yang lebih penting adalah membangun pemahaman yang dapat menerima keragaman yang ada. Satu persoalan serius yang dihadapi negeri kita ini adalah ancaman benturan dan konflik yang disebabkan oleh faktor pluralitas-multikultural. Jika kondisi ini terus menerus berkembang tanpa adanya solusi yang sistematis dan simultan untuk menyelesaikannya, maka konflik sosial yang destruktif akan menjalar menjadi gejala yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui jalur pendidikan yang menuntut kesadaran semua pihak stakeholder pendidikan dalam memahami makna pendidikan secara filosofis implementatif yang menyatu dalam satu konsep karena filosofi tanpa implementasi menjadi mubazir dan implementasi tanpa filosofi menjadi kabur. Filosofis berarti menggali arti dasar dan yang paling dasar tentang pendidikan, hidup dan kehidupan, sedangkan implementatif berarti mengejawantahkan pemahaman mendasar tentang hal di atas dalam pola-pola pendidikan yang membelajarkan dan pembelajaran yang mendidik.
          
E. Daftar Bacaan
Ali, Mohammad. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. Bandung, Imperial Bhakti Utama: 2009.
Azyumardi Azra. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta, Kompas Media Nusantara: 2002.
Dawam, Ainurrafiq. Emoh Sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press: 2003.
Engkoswara & Danny Meirawan. Revitalisasi Budaya Bangsa Menuju Indonesia Modern dan Sejahtera 2020. Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia: 2007.
Kusworo, Hari. Menyusuri Jalan Terjal Membangun Indonesia Maju. Jakarta, Lembaga Jangka Indonesia: 2010.
Richard I. Arends. Learning to Teach. Belajar untuk Mengajar. Buku I edisi ke Tujuh. Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung, Mizan: 1996.
Surakhmad, Winarno. Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi. Jakarta, Kompas Media Nusantara: 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar