Jumat, 23 Maret 2018

MEMBANGUN BUDAYA KERJA KONDUSIF


Keberadaan manusia dapat dilihat dari berbagai persfektif yang unik. Dalam pandangan pendidikan, manusia sebagai homo educandum yaitu sosok yang memerlukan internalisasi nilai-nilai dan latihan keterampilan agar menjadi insan terdidik, dalam pandangan ekonomi, manusia adalah homo economicus, yaitu wujud yang memerlukan kebutuhan ekonomis untuk dapat melangsungkan kehidupannya, berbeda pula menurut pandangan politik, bahwa manusia tidak lebih dari sosok yang berusaha membujuk, mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk memenuhi kepentingannya.
Terlepas dari berbagai sudut pandang di atas, sesungguhnya manusia memiliki karakteristik berbeda satu dengan lainnya sehingga memberi ruang bagi terbentuknya interaksi, upaya saling melengkapi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, bahkan sinergi yang mewujudkan prestasi besar yang tidak dapat raih secara individual. Kondisi ini mendorong lahirnya budaya (culture) yang dijadikan sebuah kesepakatan bersama bahkan menjadi power yang tidak terelakkan dari satu organisasi, seperti dikatakan Owens (1991: 171) bahwa budaya (culture) sebagai istilah abstrak yang mengkaji secara factual perilaku manusia dalam organisasi, bukan saja diperoleh melalui interaksi semata melainkan juga kekuatan yang tidak kasat mata (intangible forces) dalam organisasi tersebut. Budaya menunjuk kepada refleksi norma-norma, perilaku-perilaku, asumsi-asumsi dan kepercayaan-kepercayaan dalam sebuah organisasi.
Dengan demikian, setiap orang dituntut memahami dan memiliki budaya yang dianut, yakni bagaimana mengerjakan sesuatu pada organisasi tempatnya bekerja. Secara ideal, budaya kerja menekankan pada kesempurnaan pelayanan, kompetensi, dan dedikasi terhadap organisasi dimana kita bekerja. Hal tersebut merefleksikan cara seseorang merasakan tempat kerja serta keinginan untuk mendukung konsep kesejahteraan pribadi dikaitkan dengan kesejahteraan organisasi pada umumnya. Keahlian, kreativitas, kecerdasan, motivasi yang tinggi, serta pola pikir dan persepsi yang sama tentang nilai dan kepercayaan dapat membantu tentang bagaimana seharusnya bertindak dan berperilaku kerja yang sesungguhnya.
Budaya Kerja Yang Kondusif
Budaya   merupakan   perilaku,   nilai   symbol   dan   makna  pada suatu kelompok orang yang menjadi suatu tradisi dan anutan dalam berbagai kegiatan. Budaya berasal dari istilah culture yang berarti kesopanan dan terpelajar. Menurut Bomard (1995 : 11) kata budaya mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu: (1) program kolektif suatu pikiran; (2) sistem nilai dan kepercayaan; (3) cara untuk mengatasi persoalan pada suatu kelompok orang; dan (4) cara untuk mengerjakan sesuatu.
Makna lain dikemukakan oleh Kotter dan Heskett (1997: 3-4) yang memberikan definisi budaya sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk atau karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Definisi di atas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Perruci (1977: 64) bahwa budaya sebagai segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat serta termasuk juga akumulasi atau sejarah dari objek-objek ini atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu.
Membentuk budaya kerja dalam organisasi bukanlah satu perkara mudah dan tidak boleh dicapai dalam masa yang singkat. Dalam usaha untuk membentuk budaya kerja dalam organisasi, maka orientasi haruslah bergerak di atas landasan yang betul sebagai prasyarat bagi tercapainya budaya kerja yang maksimal. Oleh karena itu, dalam meletakkan sendi-sendi budaya kerja yang kondusif perlu memperhatikan beberapa hal : 1. komitmen setiap orang yang ada dalam organisasi untuk bekerja secara loyal. Komitmen dari setiap orang yang bekerja sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi. Setiap item pekerjaan perlu dilakukan dengan sepenuh hati atas kehendak organisasi dengan menampikkan segala kepentingan lain khususnya kepentingan pribadi. Penting bagi sesebuah organisasi mewujudkan 'mind-set' yang berorientasi kepada hasil agar setiap pekerja lebih comited terhadap pekerjaanya. 2. mempunyai kualitas kesadaran yang tinggi, yaitu sadar akan keberadaan diri dalam lingkup organisasi dan sadar akan peran dan fungsi organisasi secara kelembagaan. Sulit terwujud sebuah organisasi yang kondusif manakala tidak terbentuk kesadaran bersama anggota organisasi, dampaknya adalah sikap saling menunggu, saling mempersepsi dan bahkan pandangan negatif yang melahirkan statement i’m ok and you are not ok, padahal prasyarat sebuah organisasi yang baik jika anggotanya selalu berpikir i’m ok and you are ok sehingga terbentuk kesetaraan dan kebersamaan, percaya diri dan menghargai potensi orang lain, serta menyadari akan karakteristik dan keunikan orang lain.  3. bersedia menerima perubahan yang mengarah pada pemenuhan tuntutan lingkungan, karena hanya organisasi yang siap berubahlah yang bisa surfive di tengah pergumulan yang semakin hebat ketika dunia terus bergerak berubah dengan cepat.
Untuk memastikan posisi suatu organisasi yang memiliki budaya kondusif, dapat merujuk kepada pendapat Robbins (1996: 213) tentang sepuluh ciri khas sebuah budaya organisasi sebagai berikut:
1)      Inisiatif individual (individual initiative) yakni tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi individu dalam berinisiatif melakukan inovasi kerja.
2)      Toleransi resiko (risk tolerence) adalah dorongan terhadap anggota agar lebih agresif, inovatif, dan berani mengabil resiko. Semua aktivitas ini adalah resiko, bahkan berdiam diripun adalah sebuah resiko yang harus ditanggung oleh setiap pegawai saat ini dan yang akan datang, maka resiko dari sebuah aksi adalah lebih baik daripada resiko atas berdiam diri.
3)      Arah (direction) yang dapat diartikan sebagai sejauh mana organisasi dapat menciptakan sasaran dan harapan mengenai prestasi secara jelas. Ukuran dan standar menjadi patokan agar setiap aktivitas dapat diukur keberhasilan dan kegagalannya.
4)    Integrasi (integration) yang dapat mengukur sejauh mana   unit- unitdalam    organisasi     dapat    didorong     untuk    bekarya    secara terkoordinasikan. Semua elemen bergerak di atas rel yang benar sebagai sistem yang terkait satu dengan lainnya.
5)      Dukungan  managemen   (management support) mengukur sejauh mana para manajer melakukan komunikasi memberi bantuan, serta memberikan dukungan kepada bawahan. Komunikasi efektif menjadi penting guna mengelola setiap permasalahan mencapai solusi yang tepat.
6)    Pengawasan kerja (control) merupakan sejumlah ketentuan, aturan, dan pengendalian langsung yang digunakan   untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku para pegawai.
7)    Identitas anggota (member identity) mengukur sejauh mana para anggota mampu mengidentifikasikan dirinya   sebagai bagian dari sebuah organisasi, dan bukan sekedar kelompok kerja dalam bidang keahlian professional tertentu.
8)     Sistem imbalan (reward criteria) mengukur sejauh mana    imbalan (misalnya kenaikan gaji dan promosi) diperhitungkan berdasarkan prestasi dan bukan karena senioritas dan analisis subyektif lainnya.
9)     Toleransi terhadap konflik (conflict tolerance) mengukur sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10) Sejauh mana komunikasi orgnisasi dibatasi  oleh hierarki kewenangan formal.
 
Penutup
Tidaklah ada organisasi yang perfect dengan segala aspek-aspeknya, semua ada kelemahan, keterbatasan bahkan kesalahan sekalipun, akan tetapi betapa buruknya jikalau keberadaan suatu organisasi tidak dilakukan upaya menuju perbaikan. Apabila motif awal lahirnya sebuah organisasi diharapkan bisa tumbuh, kemudian berkembang dan bisa maju, maka kenapa tidak bisa diantisipasi aspek-aspek yang mendorong keterpurukan dan kehancuran meskipun hanya sedikit.

Daftar Bacaan
Cregory Bomard, Cross-Cultural Communication(London: Carsel, 1995)
David Cluterbuck, The Power of Empowerment, Terjemahan (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2003)
John P. Kotter dan James L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, Terjemahan: Benyamin Molan (Jakarta:Prenhallindo, 1997)
Kudsen Perruci and Hamby, Basic Structures and firetesesses (USA: WM C.Brown Company Publishers, 1977)
Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concept, Controversies, Application (New Jersey: Englewood Cliff, 1996)
Robert G. Owens, Organizational Behavior in Education (Boston :Allyn and Bacon, 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar