Kamis, 19 Juli 2018

AICIS 16


International Conference on Islamic Studies (AICIS) hajat tahunan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam ke 16 di gelar di IAIN Raden Intan Lampung tanggal 1 sampai dengan 4 Nopember 2016. Kali ini tema yang diusung adalah “The Contribution of Indonesian Islam to The World Civilization”. Di sela-sela sambutan pada acara pembukaan di Ballroom Hotel Novotel yang terletak di Jl. Gatot Subroto nomor 136 Lampung, Prof. Dr. Kamarudin Amin selaku ketua panitia menegaskan bahwa kegiatan AICIS merupakan refleksi akademik yang diikuti oleh para akademisi dan ilmuan dari berbagai negara seperti Tunisia, Australia, Mesir,  Brunei Darussalam, Philipina, dan Malaysia. 
Kata sambutan Kamarudin Amin yang merupakan Dirjen Pendidikan Islam disampaikan dengan tiga bahasa yakni Indonesia, Arab dan Inggris, ia menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam yang memiliki karakteristik demokratis dan menjunjung tinggi toleransi. Hal ini menurutnya bisa dilihat dengan adanya berbagai organisasi Islam yang moderat (moderate islamic organization) seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar dan sebagainya. Oleh karenanya, karakteristik moderasi Islam Indonesia ini diharapkan memiliki peran dan andil besar dalam menciptakan peradaban dunia sebagaimana tema dalam kegiatan AICIS.
AICIS ke 16 dinilai Kamarudin sebagai kegiatan AICIS yang paling spektakuler dibandingkan dengan sebelumnya, hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama karena baru kali ini AICIS dilaksanakan di kampus dari sebelumnya yang selalu di hotel, Kedua substansi dan formula kegiatan yang begitu meriah dan lengkap tidak hanya pemaparan makalah tetapi di dalamnya dibuat forum-forum penting, seperti forum pimpinan Perguruan Tinggi Islam, forum pascasarjana se-Indonesia, koordinasi kopertais wilayah 1 sampai 13 untuk membahas berbagai persoalan strategis, Ajang pertemuan pengelola jurnal di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam se-Indonesia, dan pameran karya akademik dosen termasuk di dalamnya pameran hasil-hasil kelitbangan yang dilakukan oleh bagian umum dan perpustakaan dan puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
M. Ridho Ficardo, gubernur Lampung turut memberikan kata sambutan dalam AICIS ke 16 ini. Sosok yang masih sangat muda dan energik ini memberikan sambutan hangat sembari mempromosikan provinsi Bandar Lampung sebagai sebuah provinsi yang penuh keberagaman, toleransi sangat tinggi, dan membaurnya mereka satu sama lain dengan penuh kebersamaan. Oleh karena itu, menurutnya bahwa menjadi gubernur lampung itu seolah menjadi presiden karena Lampung merupakan Indonesia mini yang di dalamnya terdapat semua unsur dan sangat bervariasi meskipun penduduknya 60 % adalah berasal dari Jawa dan sisanya campuran termasuk penduduk asli Lampung.
Dalam sambutannya, Ficardo mengharapkan bahwa forum AICIS agar menghasilkan sesuatu yang kongkrit jangan sampai jadi menara gading yang indah dipandang tetapi kurang dirasakan masyarakat. Untuk itu, ia meminta Perguruan Tinggi Agama dan pesantern untuk bersatu dan bekerjasama dengan pihak Pemda untuk turun ke tengah-tengah masyarakat dan menerapkan berbagai program ril yang dibutuhkan masyarakat, Nah, untuk mendukung semua itu tentunya perlu dana, maka pemda Lampung siap membantu dan menganggarkannya, kata Ficardo.
Di hadapan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin dan seluruh peserta yang hadir, Ficado juga menyampaikan harapannya dari forum AICIS ini: 1. Bahwa Bandara Raden Intan di Tanjung Karang sedang mengalamai renovasi besar-besaran untuk disiapkan menjadi Bandara Internasional dan kedepan sangat memohon kepada Menteri Agama agar Bandara ini dijadikan embarkasi untuk haji dan umroh. Beliau mengatakan bahwa bila Bandara Raden Intan menjadi embarakasi maka setiap tahunnya dapat dihemat anggaran sebanayk 20 Milyar dan ini bisa digunakan untuk kegiatan pembangunan lainnya, 2. Hasil AICIS ini bermanfaat untuk masyarakat luas dan berkontribusi bagi pembangunan Indonesia bahkan dunia, dan 3. Pemda Lampung siap menyediakan lahan seluas 50 sampai 100 hektar untuk perubahan IAIN Lampung menjadi UIN sehingga pengembangan UIN dapat dilakukan sesuai harapan. 
Berdasarkan laporan panitia, terdapat lebih dari 1600 tulisan/makalah yang masuk dalam daftar catatan panitia, setelah dilakukan seleksi terpilih 1345 makalah yang memenuhi syarat, kemudian diambil sebanyak 224 makalah untuk dipresentasikan. Kamarudin menjelaskan bahwa sejumlah makalah yang diberi kesempatan untuk dipresentasikan ini dibagi menjadi dua kategori yakni kategori A dan B. Makalah kategori A sebanyak 120 makalah dan nanti akan diterbitkan dalam jurnal internasional yang terindek Scopus dan sisanya sebanya 104 makalah masuk kategori B dan akan diterbitkan ke jurnal nasional oleh panitia pelaksana. Janji Dirjen Pendis ini tidak luput dari sambutan tepuk tangan yang cukup meriah dari para peserta.
Kegiatan AICIS ini diharapkan dapat memacu tumbuhnya karya tulis yang lebih banyak dan berkualitas sehingga lahir pula banyak jurnal di UIN dan IAIN yang terindek Scopus selain yang sudah ada yakni di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan UIN Sunan Ampel Surabaya. Harapan ini, seiring dengan potensi yang cukup baik di lingkungan Kementerian Agama dengan telah terbitnya kurang lebih 2000 jurnal, 417 diantaranya telah dapat diakses secara online, serta keseluruhan jumlah dosen bergelar doktor telah mencapai 3500 orang dari jumlah 31500 orang.
Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifuddin dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan AICIS ke 16 dan dukungan gubernur Lampung dan seluruh jajarannya. Menurut Lukman bahwa kegiatan AICIS yang sangat spektakuler ini diharapkan menghasilkan sesuatu yang spektakuler pula khususnya tentang apa itu Islam Indonesia? Seiring dengan pernyataannya, Lukman menjelaskan bahwa bahwa minimal ada 3 karakteristik dalam Islam Indonesia itu, yaitu: 1. Moderasi. Islam Indonesia adalah Islam moderat yang sangat berbeda dengan Islam di negara lain. Ciri moderasi Islam ini dapat dilihat dari paham ketauhidan yang dipegang yakni Asy’ariyah, ajaran fikihnya 4 imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali), dan nilai tasaufnya al-Gazali. 2. Islam Indonesia senantiasa menjaga tradisi yang sebelumnya berkembang, ini sangat berbeda dengan Islam di negara lainnya yang cenderung merubah secara radikal setiap masuknya Islam ke negara tersebut dengan menghapus tradisi lama sehingga sering menjadi sikap inklusif. 3. Islam berkembang di Indonesia menitik tekankan pada cinta tanah air, sehingga nasionalisme yang berkembang di Indonesia merupakan pengjawantahan dari sikap keislaman warganya, sehingga tidak dapat dipisahkan antara keislaman dan keindonesiaan.
Menteri berharap dari kegiatan AICIS ini dapat dicapai beberapa hal, diantaranya: 1. AICIS ke 16 dapat merumuskan apa itu Islam Indonesia tetapi tidak merasa bahwa kita adalah yang paling benar keislamannya karena implementasi ajaran Islam ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Contohnya, wujud penerapan Islam tentang menghormati wanita di Arab Saudi dalam bentuk membatasi dan melarang wanita menyetir mobil sendiri keluar rumah, hal ini berbeda dengan di Indonesia. Tidak hanya memberikan kebebasan dalam berkendaraan, di Indoneisa wanita bisa menjadi hakim agama karena kompetensi dan kualitasnya yang mumpuni bahkan hasil-hasil keputusannyapun tidak kalah dari keputusan hakim laki-laki. 2. Islam Indonesia hendaknya memberikan kemaslahatan bagi dunia, memberikan kedamaian bagi masyarakat, dan mensejahterakan alam. 3. Dengan AICIS ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas keagamaan dan kualitas pendidikan keagamaan agar lebih baik dari waktu ke waktu yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia serta dapat menjadi contoh bahkan model bagi negara-negara lain. 4. Menurut Lukman, bahwa Menteri Agama sering mendapatkan kritik dari dari berbagai pihak bahwa Islam Indonesia sulit diterapkan di negara-negara lain sehingga perlu dicarikan solusi dan strategi tentang bagaimana menerapkan Islam Indonesia di kancah dunia.

Rabu, 18 Juli 2018

RB: BUDAYA KERJA ATAU KUMPULAN DOKUMEN


Tentang reformasi birokrasi (RB), sejenak kita renungkan dan berpikir ke belakang. Visi pembangunan Indonesia tahun 2025 terwujudnya “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” lama telah kita dengar. Idealisme dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ini di-breakdown ke dalam 4 pentahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yakni good governance (2005-2009), reformasi birokrasi dan UU ASN (2010-2014), Smart ASN (2015-2019), dan ASN human capital (2020-2025).
Saat ini kita telah memasuki dan berada di ujung era RPJM ke 3 (2015-2019) yakni terciptanya smart ASN yakni ASN yang berwawasan global, menguasai bahasa asing dan iptek, serta mampu berkolaborasi dan memiliki jaringan luas. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah posisi Kementerian Agama benar-benar telah masuk tahap tersebut?. Sementara pekerjaan rumah terkait dengan 8 aspek perubahan sebagai faktor pengungkit masih mengalami banyak kendala. Sisa dua  tahun dalam tahap RPJM ke 3 memerlukan usaha serius semua lapisan jika kita tidak ingin gagal. Mengapa demikian, karena program RB sebagai suatu kebijakan erat kaitanya dengan usaha dan kerja keras pelaku (stakeholder) yang memiliki andil untuk mewujudkannya (Dunn, 2001).
Berbagai perubahan dalam kebijakan RB, secara otomatis menuntut  organisasi harus mentransformasikan dirinya menuju sebuah institusi yang lebih baik. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di era global yang serba terbuka tentu berimplikasi terhadap eksistensi organisasi terkait dengan aspek lainnya yang menurut istilah Hammer dan Champy (1994) dikenal dengan 3 C, yaitu customer, competition, dan change.
Pelanggan, kompetisi, dan perubahan merupakan sebuah proses alami yang lahir sebagai sebuah tekanan yang mendorong adanya RB pada lembaga publik. Menurut Lewin (1951) bahwa pola perbaikan dalam organisasi ini karena adanya saling berhadapan antara kekuatan tekanan (driving force) dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Sedianya, RPJPN di atas merupakan usaha memperkuat driving force sekaligus melemahkan resistences to change.              
Evaluasi dan penilaian terhadap keberhasilan reformasi birokrasi oleh Kemenpan-RB tiada lain adalah upaya untuk mendeteksi kebenaran bahwa Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berada pada garis yang benar melakukan RB yang ditunjukkan dengan bukti (evidence) berupa dokumen yang menggambarkan pelaksaan program tersebut. Artinya, bahwa RB telah dijalankan dan dibudayakan dalam praktek pelaksanaan pekerjaan. Jadi, sesungguhnya RB bukan bagiamana mengumpulkan dokumen selengkap-lengkapnya tetapi bagaimana membuat berbagai perubahan itu menjadi satu budaya yakni program kolektif suatu pikiran tentang bagaimana cara mengerjakan sesuatu dan mengatasi persoalan pekerjaan (Bomard, 1995).
Program RB memang seiring seirama dengan upaya penciptaan budaya dalam kerja yang baik. Dalam RB ending-nya adalah kualitas layanan yang memberikan kepuasan kepada masyarakat, dan budaya kerja merupakan nilai yang menjadi pedoman untuk menghadapi permasalahan eksternal dan penyesuaian integrasi dalam sebuah organisasi sehingga masing-masing anggota organisasi dapat memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berprilaku (Susanto, 1997), serta menekankan pada kesempurnaan pelayanan, kompetensi dan dedikasi (Steimet & Toeki, 1992). Artinya, program RB bergaris lurus dengan penciptaan budaya kerja. Manakala budaya tercipta dengan baik tentu layanan akan semakin baik dan optimal, maka RB pun dapat diraih.
Konsep layanan sebagai substansi pokok dalam RB sesungguhnya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik  menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keanekaragaman kepentingan dan tujuan. Jadi, sangat fatal kesalahan kita jika RB dimaknai sebagai usaha mengumpulkan dokumen untuk dinilai, setelah itu selesai dan tidak membekas pada perilaku kerja, yang benar adalah menciptakan budaya kerja yang efektif dan efisien dalam mengoptimalkan layananan yang dibuktikan/didukungan kelengkapan dokumen.
Di Badan Litbang dan Diklat, Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum (OKH) adalah leading sector pengelolaan program RB pada level sekretariat maupun Badan Litbang. Banyak item pekerjaan yang telah dilakukan menuju keberhasilan RB ini seperti koordinasi terkait pengaturan prosedur kerja, review peraturan perundangan, pemantapan zona integritas. Pada aspek yang telah dibuat dan dikoordinasikan ini, tuntutan selanjutnya adalah implementasi oleh seluruh pegawai. Misalnya, SOP telah dibuat dan disepakati dalam setiap item pekerjaan, idealnya dijadikan tradisi dalam bekerja, peraturan yang telah disiapkan harus menjadi rambu-rambu, dan perilaku kerja yang menjunjung tinggi nilai integritas sesuai dengan perjanjian kinerja yang telah dibuat. Untuk mewujudkan ini tentu tidak lepas dari pengawasan pimpinan (juga masuk dalam ranah penilaian RB) pada setiap level sehingga berdampak pada peningkatan akuntabilitas kerja individu maupun organisasi. Sedangkan pada aspek yang belum dilakukan karena terkait dengan tugas dan fungsi unit lain, maka harus dilakukan koordinasi dan komunikasi. Misalnya adalah terkait organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran, masalah SDM, dan kualitas layanan. Maka harus dilakukan riset evaluasi yang melibatkan Puslitbang yang memiliki kewenangan untuk itu.
Saat ini dokumen terkait kinerja individu dan organisasi masih sangat dibutuhkan untuk menjawab tentang ke-mengapaannya. Secara teoritik, Wright and Taylor (1994) mengidentifikasi 9 dimensi yang dapat menjadi penyebab kemungkinan permasalahan kinerja, yaitu dimensi kejelasan sasaran (goal clarity), dimenasi  kemampuan (ability), dimenasi tingkat kesulitan tugas (task difficulty), dimensi motivasi intrinsik (intrinsic motivation), dimensi motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation), dimensi umpan balik (feedback), dimensi sumber-sumber (resources), dimensi kondisi kerja (working conditions), dan dimensi permasalahan pribadi (personal problems). Untuk memastikan hal yang terjadi di lingkungan Badan Litbang ini maka perlu riset sehingga terjawab apa faktor penyebab permasalahan kinerja tersebut dan dapat dicarikan solusinya. Khusus tentang SDM, saat ini harus menjadi prioritas dilakukan riset dan tindaklanjut pengembangannya menuju smart ASN karena ini menjadi fokus tahapan yang telah dibuat dalam kurun RPJMN ke tiga (2015-2019).
Bila hal ini dilakukan secara terkoordinasi, bisa dipastikan RB sukses dapat kita capai. Secara culture, organisasi akan semakin baik dengan continuous improvement sebagai hasil kajian ilmiah, dan dokumen yang diperlukan dapat dipenuhi sebagaimana aktivitas yang telah dilakukan. Namun sebaliknya, bila mind set RB kita adalah semata-mata pemenuhan dokumen sehingga yang belum tersedia harus ada dan diadakan, maka bisa jadi hal ini dapat dicapai memenuhi nilai yang diharapkan namun substansinya hilang, budaya kerja tetap lemah, kapasitas dan akuntabilitas organisasi tidak bergerak naik.

KELEMBAGAAN DAN TATALAKSANA DALAM PMPRB


Penilaian Mandiri Reformasi Birokrasi (PMPRB) terus bergulir. Pada bulan September 2017 Kementerian PAN&RB melakukan visitasi dalam rangka melakukan penilaian terhadap berbagai aspek reformasi yang telah dan sedang dilakukan oleh Kementerian Agama. Tak luput dari program itu, Kepala Badan Litbang dan Diklat pada tahun 2017 ini fokus melalukan penataan bidang kelembagaan dan ketatalaksanaan terkait penelitian dan pengembangan.
Upaya refomasi birokrasi pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama semata-mata dalam bingkai pencapaian visi “terwujudnya bahan penyusunan kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan, dan tersedianya sumberdaya manusia profesional di lingkungan Kementerian Agama”. Visi tersebut secara garis besar terdiri atas dua aspek, yaitu aspek kelitbangan dan aspek kediklatan. Untuk mencapai aspek pertama, Badan Litbang dan Diklat memiliki misi yang salah satunya adalah “meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan”.
Pada bidang kelembagaan, Badan Litbang dan Diklat melakukan sebuah proses perubahan substansial yang difokuskan pada dua aspek penting, yakni penjaminan mutu pelaksanaan penelitian dan pengembangan dan penyusunan pedoman pelaksanaan penelitian dan pengembangan. Dua hal penting ini serius digagas dan didorong oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat seiring dengan perkembangan dan dinamika kehidupan keagamaan di masyarakat yang semakin meningkat baik dalam konteks pemikiran maupun dalam praktek perilaku keagamaan. Kondisi ini berakibat sering terjadinya perbedaan bahkan gesekan antarkelompok masyarakat yang secara otomatis tugas dan tanggungjawab Badan Litbang dan Diklat semakin tidak ringan, bahkan volume dan heterogenitasnyapun semakin bertambah.
Terdapat dua aspek penting yang melatar belakangi perlu dilakukannya penjaminan mutu dan pembuatan pedoman kelitbangan rangka pengembangan kapasitas kelembagaan, yaitu:
1.     Aspek strategik-substansif, bahwa program penelitian dan pengembangan secara substansial sangat dibutuhkan dalam kerangka pembangunan bidang agama yang merupakan salah satu investasi penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mencakup dimensi lahir dan batin, material dan spiritual. Pembangunan bidang agama sangat potensial dalam upaya mewujudkan agenda meningkatkan moralitas bangsa, kedamaian, kecerdasan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pembangunan bidang agama perlu secara terus menerus didukung melalui penyediaan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang relavan dan berkualitas. Suatu kebijakan tanpa didukung oleh data yang akurat dapat berdampak negatif secara luas, dan tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
2.     Aspek kemanfaatan, saat ini di Kementerian Agama bahwa setiap kebijakan didorong berbasis riset. Hal ini tentu akan mendorong kecenderungan meningkatnya pemanfaatan hasil-hasil kelitbangan untuk memenuhi kebutuhan data terkait dengan kebijakan. Artinya, para pengambil keputusan membutuhkan data dan hasil kelitbangan dalam rangka menyusun dan menetapkan kebijakan. Peranan data dan informasi kelitbangan menjadi sangat signifikan digunakan mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, implementasi sampai tahap evaluasi program atau pengukuran pencapaian kinerja kelembagaan.
Bidang kedua adalah tatalaksana. Badan Litbang dan Diklat akan dan sedang melakukan penyusunan standar-standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan penelitian, melakukan penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan penelitian, dan instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas pelaksanaan penelitian. Berbagai aspek di atas, sesunggunya karena peningkatan kualitas hasil penelitian dan pengembangan (kelitbangan) merupakan keniscayaan. Selain dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan profesionalitas dan akuntabilitas pelaksanaan program sesuai standar kualitas yang telah ditetapkan secara internal, peningkatan kualitas hasil kelitbangan juga dimaksudkan untuk memberikan penjaminan mutu kelitbangan kepada pihak eksternal atau pengguna terutama unit kerja eselon I selain Badan Litbang dan Diklat di Kementerian Agama. Peningkatan kualitas merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kultur akademik, termasuk di dalamnya kegiatan kelitbangan yang perlu perbaikan dan peningkatan mutu secara terus menerus (continous improvement).
Reformasi kelembagaan dan ketatalaksanaan penelitian dan pengembangan ini tentu diharapkan bermanfaat bagi internal dan eksternal. Manfaat internal diharapkan dirasakan secara personal oleh pelaksana penelitian dan pengembangan, seperti pimpinan, peneliti, litkayasa, dan pelaksana, serta secara institusional oleh Badan Litbang dan Diklat sebagai lembaga. Sedangkan manfaat eksternal diharapkan dirasakan oleh pemangku kepentingan (stakeholders) dan pengguna (users) hasil-hasil kelitbangan baik yang berada dalam lingkup Kementerian Agama maupun luar Kementerian Agama.

KEPATUHAN K/L DALAM REFORMASI BIROKRASI


Tuntutan masyarakat terhadap perbaikan kualitas birokrasi publik telah lama diimpikan khalayak banyak. Era demokratisasi telah memperkuat posisi masyarakat sipil untuk memperoleh hak-haknya ketika berhubungan dengan birokrasi. Dalam konteks ini, birokrasi publik yang diharapkan adalah bersifat demokratis, efisien, responsif dan non partisipan. Apabila birokrasi pada Kementerian dan Lembaga tidak dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas maka otomatis akan ditinggalkan bahkan terdistorsi oleh kompetisi antarlembaga.
          Dalam perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi publik tradisional (Old Public Administration) ke model administrasi publik baru (new public management), dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new public service). Menurut Denhardt and Denhardt (dalam Agus Dwiyanto, 2005 : 143) bahwa model new public service, pelayanan harus berlandaskan teori demokrasi yang mengajarkan adanya persamaan hak antarwarga negara. Dalam model ini, kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di dalam masyarakat. Birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggungjawab kepada masyarakat secara keseluruhan. Peranan pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai kepentingan dari warga Negara dan berbagai kelompok komunitas yang ada. Jadi, dalam model ini, birokrasi lembaga publik tidak hanya sekedar akuntabel pada berbagai aturan hukum, melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, norma politik yang berlaku, standar professional dan kepentingan warga Negara.
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 meliputi 8 aspek area perubahan yakni organiasi, tata laksana, sumber daya manusia, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan, perundang-undangan dan pola pikir/budaya kerja. Layanan publik merupakan salah satu aspek dari 8 area yang dicanangkan. Setelah beberapa tahun berjalan, kita perlu menengok bagaimanakah kualitas kepatuhan Kementerian dan Lembaga dalam memberikan layanan terhadap masyarakat. Kategorisasi kepatuhan dibagi menjadi tiga kelompok. Zona hijau termasuk kepatuhan tinggi, zona kuning termasuk kepatuhan sedang, dan zona merah termasuk kepatuhan rendah.
Berdasarkan hasil penilaian Ombudsman selama 3 tahun terhadap kepatuhan penyelenggara pelayanan publik terhadap standar pelayanan publik yang hasilnya diharapkan menjadi acuan peningkatan kualitas pelayanan publik. Secara umum menunjukkan bahwa kepatuhan Pemerintah Pusat terhadap implementasi standar pelayanan publik masih harus ditingkatkan. Dari 14 Kementerian, hanya 5 Kementerian yang berada pada zona hijau, dan dari 6 lembaga, hanya ada 2 Lembaga berada pada zona hijau. Kementerian Agama berada pada zona kuning dengan rata-rata skor capaiannya adalah 72,00.
Kementerian Agama masuk pada kelompok zona kuning, artinya bahwa tingkat kepatuhan dalam memberikan layanan publik berada pada kelompok sedang. Tidak terlalu buruk memang tetapi hal ini harus menjadi pendorong dilakukannya upaya-upaya menuju zona hijau. Bukan hal yang tidak mungkin dicapai apabila adanya kesadaran dari seluruh pegawai Kementerian Agama dalam menjalankan aktivitas kerjanya sesuai dengan 5 nilai budaya kerja yang telah ditetapkan yakni 1) Integritas, yaitu sebagai pegawai yang selaras antara hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan, 2) Profesional, yaitu dapat bekerja secara disiplin, kompeten, tepat waktu dan mencapai hasil berkualitas, 3) Inovatif, yaitu selalu berkreasi lebih baik dengan tidak mengabaikan kebaikan yang telah ada, 4) Tanggungjawab, yaitu bekerja secara tuntas dan konsekuen, dan 5) Keteladanan, yaitu menjadi pribadi yang patut diteladani dan dicontoh orang lain. 
Kata kunci keberhasilan penerapan 5 nilai budaya kerja sebagai asas pencapaian program reformasi birokrasi adalah kesadaran setiap individu atas tugas dan kewajibannya sebagai ASN yang bertanggungjawab secara vertikal dan horizontal, jadi, bekerja bukan karena pimpinan, bekerja tidak hanya mengumpulkan dokumen, dan bekerja tidak semata-mata asal menggugurkan kewajiban.