Rabu, 18 Juli 2018

RB: BUDAYA KERJA ATAU KUMPULAN DOKUMEN


Tentang reformasi birokrasi (RB), sejenak kita renungkan dan berpikir ke belakang. Visi pembangunan Indonesia tahun 2025 terwujudnya “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” lama telah kita dengar. Idealisme dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ini di-breakdown ke dalam 4 pentahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yakni good governance (2005-2009), reformasi birokrasi dan UU ASN (2010-2014), Smart ASN (2015-2019), dan ASN human capital (2020-2025).
Saat ini kita telah memasuki dan berada di ujung era RPJM ke 3 (2015-2019) yakni terciptanya smart ASN yakni ASN yang berwawasan global, menguasai bahasa asing dan iptek, serta mampu berkolaborasi dan memiliki jaringan luas. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah posisi Kementerian Agama benar-benar telah masuk tahap tersebut?. Sementara pekerjaan rumah terkait dengan 8 aspek perubahan sebagai faktor pengungkit masih mengalami banyak kendala. Sisa dua  tahun dalam tahap RPJM ke 3 memerlukan usaha serius semua lapisan jika kita tidak ingin gagal. Mengapa demikian, karena program RB sebagai suatu kebijakan erat kaitanya dengan usaha dan kerja keras pelaku (stakeholder) yang memiliki andil untuk mewujudkannya (Dunn, 2001).
Berbagai perubahan dalam kebijakan RB, secara otomatis menuntut  organisasi harus mentransformasikan dirinya menuju sebuah institusi yang lebih baik. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di era global yang serba terbuka tentu berimplikasi terhadap eksistensi organisasi terkait dengan aspek lainnya yang menurut istilah Hammer dan Champy (1994) dikenal dengan 3 C, yaitu customer, competition, dan change.
Pelanggan, kompetisi, dan perubahan merupakan sebuah proses alami yang lahir sebagai sebuah tekanan yang mendorong adanya RB pada lembaga publik. Menurut Lewin (1951) bahwa pola perbaikan dalam organisasi ini karena adanya saling berhadapan antara kekuatan tekanan (driving force) dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Sedianya, RPJPN di atas merupakan usaha memperkuat driving force sekaligus melemahkan resistences to change.              
Evaluasi dan penilaian terhadap keberhasilan reformasi birokrasi oleh Kemenpan-RB tiada lain adalah upaya untuk mendeteksi kebenaran bahwa Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berada pada garis yang benar melakukan RB yang ditunjukkan dengan bukti (evidence) berupa dokumen yang menggambarkan pelaksaan program tersebut. Artinya, bahwa RB telah dijalankan dan dibudayakan dalam praktek pelaksanaan pekerjaan. Jadi, sesungguhnya RB bukan bagiamana mengumpulkan dokumen selengkap-lengkapnya tetapi bagaimana membuat berbagai perubahan itu menjadi satu budaya yakni program kolektif suatu pikiran tentang bagaimana cara mengerjakan sesuatu dan mengatasi persoalan pekerjaan (Bomard, 1995).
Program RB memang seiring seirama dengan upaya penciptaan budaya dalam kerja yang baik. Dalam RB ending-nya adalah kualitas layanan yang memberikan kepuasan kepada masyarakat, dan budaya kerja merupakan nilai yang menjadi pedoman untuk menghadapi permasalahan eksternal dan penyesuaian integrasi dalam sebuah organisasi sehingga masing-masing anggota organisasi dapat memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berprilaku (Susanto, 1997), serta menekankan pada kesempurnaan pelayanan, kompetensi dan dedikasi (Steimet & Toeki, 1992). Artinya, program RB bergaris lurus dengan penciptaan budaya kerja. Manakala budaya tercipta dengan baik tentu layanan akan semakin baik dan optimal, maka RB pun dapat diraih.
Konsep layanan sebagai substansi pokok dalam RB sesungguhnya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik  menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keanekaragaman kepentingan dan tujuan. Jadi, sangat fatal kesalahan kita jika RB dimaknai sebagai usaha mengumpulkan dokumen untuk dinilai, setelah itu selesai dan tidak membekas pada perilaku kerja, yang benar adalah menciptakan budaya kerja yang efektif dan efisien dalam mengoptimalkan layananan yang dibuktikan/didukungan kelengkapan dokumen.
Di Badan Litbang dan Diklat, Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum (OKH) adalah leading sector pengelolaan program RB pada level sekretariat maupun Badan Litbang. Banyak item pekerjaan yang telah dilakukan menuju keberhasilan RB ini seperti koordinasi terkait pengaturan prosedur kerja, review peraturan perundangan, pemantapan zona integritas. Pada aspek yang telah dibuat dan dikoordinasikan ini, tuntutan selanjutnya adalah implementasi oleh seluruh pegawai. Misalnya, SOP telah dibuat dan disepakati dalam setiap item pekerjaan, idealnya dijadikan tradisi dalam bekerja, peraturan yang telah disiapkan harus menjadi rambu-rambu, dan perilaku kerja yang menjunjung tinggi nilai integritas sesuai dengan perjanjian kinerja yang telah dibuat. Untuk mewujudkan ini tentu tidak lepas dari pengawasan pimpinan (juga masuk dalam ranah penilaian RB) pada setiap level sehingga berdampak pada peningkatan akuntabilitas kerja individu maupun organisasi. Sedangkan pada aspek yang belum dilakukan karena terkait dengan tugas dan fungsi unit lain, maka harus dilakukan koordinasi dan komunikasi. Misalnya adalah terkait organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran, masalah SDM, dan kualitas layanan. Maka harus dilakukan riset evaluasi yang melibatkan Puslitbang yang memiliki kewenangan untuk itu.
Saat ini dokumen terkait kinerja individu dan organisasi masih sangat dibutuhkan untuk menjawab tentang ke-mengapaannya. Secara teoritik, Wright and Taylor (1994) mengidentifikasi 9 dimensi yang dapat menjadi penyebab kemungkinan permasalahan kinerja, yaitu dimensi kejelasan sasaran (goal clarity), dimenasi  kemampuan (ability), dimenasi tingkat kesulitan tugas (task difficulty), dimensi motivasi intrinsik (intrinsic motivation), dimensi motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation), dimensi umpan balik (feedback), dimensi sumber-sumber (resources), dimensi kondisi kerja (working conditions), dan dimensi permasalahan pribadi (personal problems). Untuk memastikan hal yang terjadi di lingkungan Badan Litbang ini maka perlu riset sehingga terjawab apa faktor penyebab permasalahan kinerja tersebut dan dapat dicarikan solusinya. Khusus tentang SDM, saat ini harus menjadi prioritas dilakukan riset dan tindaklanjut pengembangannya menuju smart ASN karena ini menjadi fokus tahapan yang telah dibuat dalam kurun RPJMN ke tiga (2015-2019).
Bila hal ini dilakukan secara terkoordinasi, bisa dipastikan RB sukses dapat kita capai. Secara culture, organisasi akan semakin baik dengan continuous improvement sebagai hasil kajian ilmiah, dan dokumen yang diperlukan dapat dipenuhi sebagaimana aktivitas yang telah dilakukan. Namun sebaliknya, bila mind set RB kita adalah semata-mata pemenuhan dokumen sehingga yang belum tersedia harus ada dan diadakan, maka bisa jadi hal ini dapat dicapai memenuhi nilai yang diharapkan namun substansinya hilang, budaya kerja tetap lemah, kapasitas dan akuntabilitas organisasi tidak bergerak naik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar