Oleh: Prof. Nasaruddin Umar
Republika, 1441 H/2020 M
Dalam bahasa Arab sangat kaya dengan
ragam kata. Setiap kata memiliki arti sama namun penggunaannya berbeda-beda. Kata
“tahmid” berasal dari “hamida, yahmadu” berarti segala puji
tertuju kepada Allah SWT. Kata ini berarti bersyukur secara spontan yang
diungkapkan secara lisan karena mendapatkan nikmat. Sedangkan kata “syukur” juga berarti bersyukur atau
berterimakasih yang lebih dari sekedar bertahmid melainkan bertindak
mengeluarkan hak-hak orang lain atas nikmat yang diterimanya. Syukur merupakan
pujian yang disertai dengan aksi nyata. Kata lain adalah “syakur” yang berarti bersyukur atas penolakan atau atas musibah
yang diterimanya.
Kata “tamaddah” diungkapkan sebagai basah basih untuk menghibur seseorang
yang baru saja meraih prestasi. Tamaddah ini disampaikan setelah ada prestasi
atau kebajikan, sedangkan “tahmid”
merupakan kata pujian sebelum dan sesudah ada prestasi atau kebaikan, seperti
kita bertahmid kepada Allah kapan saja. Tahmid ini merupakan pujian yang luhur
pada suatu obyek tertentu.
Kata “istighfar” merupakan ungkapan spontanitas seorang hamba yang telah menyadari khilafnya.
Ini berbeda dengan “taubat”. Taubat
tidak sekedar istighfar. Taubat menuntut adanya persyataran tertentu yakni
ungkapan kalimat istighfar yang disertai penyesalan yang dikuatkan dengan
adanya iktidak tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut. Menurut Al-Ghazali,
taubat ada tiga macam. 1) Taubatnya orang awam karena dosa dan maksiat, 2)
Taubatnya orang khawas yakni karena
telah meninggalkan amalan sunnah, dan 3) Taubatnya khawasul khawas yaitu taubat karena kurangnya kekhusuan dalam
melaksanakan rangkaian ibadah.
Menurut Ibnu Atthaillah, ada dua jenis
taubat. Pertama taubat “inabah”,
yakni taubat seorang hamba yang didorong oleh rasa takut atas dosa dan maksiat
yang telah dilakukannya. Selalu teringat akan balasan dan azab api neraka. Kedua
taubat “istijabah” yakni taubat
seorang hamba karena rasa malu terhadap kemuliaan Allah SWT.
Kata “alim” dan “arif”. Dalam
pandangan tasauf, kata “alim” berakar
dari “alima-ya’lamu” berarti memahami
atau mengerti. Hal ini mirip dengan arti kata “arofa-ya’rifu”. Alim berarti orang yang mengetahui sesuatu dengan
menggunakan kecerdasan logikanya, sedangkan arif memiliki makna memahami
sesuatu menggunakan kecerdasan batin atau spiritualnya.
Pengungkapan sesuatu yang 99,9 %
kemungkinan terjadi maka digunakan kata “idzza”,
jika kemungkinannya 99,9 % tidak akan terjadi maka digunakan kata “lau” dan jika separuh-separuh maka
digunakan kata “in” Kata lain,
misalnya kata “jalasa” yang berarti
duduk. Kata ini digunakan bagi mereka yang berdiri kemudian duduk, namun jika
diperuntukkan bagi orang yang tidur lalu duduk maka menggunakan kata “qo’ada”. Kedua kata ini memiliki arti duduk
namun berbeda penggunaannya.
Kata lain seperti “khauf” dan “khasyyah”. Keduanya
memiliki arti takut namun berbeda obyeknya. Kata khauf digunakan apabila obyeknya
makhluk seperti binatang, alam, dll, misal dalam QS. Yusuf: 13. Sedangkan bila
obyeknya Allah SWT maka katanya menggunakan “khasyyah”, seperti dalam QS.
Annisa: 9.
Kata “rahmaniyah” dan “rahimiyah”.
Dalam surat Al-A’raf ayat 156 dikatakan : “Siksa Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki
dan rahmat Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat Ku untuk
orang-orang yang bertakwa yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat Ku. Ayat tersebut menggambarkan bahwa rahmat rahmaniyah diberikan
kepada seluruh makhluk tanpa dibedakan beriman atau kafir, siapapun yang berusaha
mendapatkannya maka akan diberikannya, sehingga kita jumpai banyak orang
mendapatkan azab tetapi mendapatkan rizki-Nya. Kata “rahmaniyah” menggambarkan makna generik kasih sayang Allah kepada
siapapun penghuni alam semesta ini. Sedangkan kata “arrahim” merupakan kasih sayang spesial dikhususkan kepada hamba
tertentu yakni hamba yang mukmin.
Kata “ta’abbud” dan “isti’anah”.
Ta’abbud merupakan pendakian hamba menuju Tuhannya melalui ibadah. Setelah
sampai pada pendakian paling tinggi maka Allah akan berikan apresiasi berupa
pertolongan “isti’anah”. Pertolongan
ini diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai balasan atas pengabdian yang
dilakukakannya. Maka dalam surat al-fatihah dinyatakan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” kepada Mu lah kami menyembah dan
hanya kepada Mu lah kami meminta pertolongan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
tidak ada “isti’anah” atau
pertolongan tanpa didahului dengan ta’abbud.