Sabtu, 16 Mei 2020

KONTEMPLASI RAMADLAN


Oleh: Prof. Nasaruddin Umar
Republika, 1441 H/2020 M
 


Dalam bahasa Arab sangat kaya dengan ragam kata. Setiap kata memiliki arti sama namun penggunaannya berbeda-beda. Kata “tahmid” berasal dari “hamida, yahmadu” berarti segala puji tertuju kepada Allah SWT. Kata ini berarti bersyukur secara spontan yang diungkapkan secara lisan karena mendapatkan nikmat. Sedangkan kata “syukur” juga berarti bersyukur atau berterimakasih yang lebih dari sekedar bertahmid melainkan bertindak mengeluarkan hak-hak orang lain atas nikmat yang diterimanya. Syukur merupakan pujian yang disertai dengan aksi nyata. Kata lain adalah “syakur” yang berarti bersyukur atas penolakan atau atas musibah yang diterimanya.

Kata “tamaddah” diungkapkan sebagai basah basih untuk menghibur seseorang yang baru saja meraih prestasi. Tamaddah ini disampaikan setelah ada prestasi atau kebajikan, sedangkan “tahmid” merupakan kata pujian sebelum dan sesudah ada prestasi atau kebaikan, seperti kita bertahmid kepada Allah kapan saja. Tahmid ini merupakan pujian yang luhur pada suatu obyek tertentu.
Kata “istighfar” merupakan ungkapan spontanitas  seorang hamba yang telah menyadari khilafnya. Ini berbeda dengan “taubat”. Taubat tidak sekedar istighfar. Taubat menuntut adanya persyataran tertentu yakni ungkapan kalimat istighfar yang disertai penyesalan yang dikuatkan dengan adanya iktidak tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut. Menurut Al-Ghazali, taubat ada tiga macam. 1) Taubatnya orang awam karena dosa dan maksiat, 2) Taubatnya orang khawas yakni karena telah meninggalkan amalan sunnah, dan 3) Taubatnya khawasul khawas yaitu taubat karena kurangnya kekhusuan dalam melaksanakan rangkaian ibadah.
Menurut Ibnu Atthaillah, ada dua jenis taubat. Pertama taubat “inabah”, yakni taubat seorang hamba yang didorong oleh rasa takut atas dosa dan maksiat yang telah dilakukannya. Selalu teringat akan balasan dan azab api neraka. Kedua taubat “istijabah” yakni taubat seorang hamba karena rasa malu terhadap kemuliaan Allah SWT.
Kata “alim” dan “arif”. Dalam pandangan tasauf, kata “alim” berakar dari “alima-ya’lamu” berarti memahami atau mengerti. Hal ini mirip dengan arti kata “arofa-ya’rifu”. Alim berarti orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan logikanya, sedangkan arif memiliki makna memahami sesuatu menggunakan kecerdasan batin atau spiritualnya.
Pengungkapan sesuatu yang 99,9 % kemungkinan terjadi maka digunakan kata “idzza”, jika kemungkinannya 99,9 % tidak akan terjadi maka digunakan kata “lau” dan jika separuh-separuh maka digunakan kata “in” Kata lain, misalnya kata “jalasa” yang berarti duduk. Kata ini digunakan bagi mereka yang berdiri kemudian duduk, namun jika diperuntukkan bagi orang yang tidur lalu duduk maka menggunakan kata “qo’ada”. Kedua kata ini memiliki arti duduk namun berbeda penggunaannya.
Kata lain seperti “khauf” dan “khasyyah”. Keduanya memiliki arti takut namun berbeda obyeknya. Kata khauf digunakan apabila obyeknya makhluk seperti binatang, alam, dll, misal dalam QS. Yusuf: 13. Sedangkan bila obyeknya Allah SWT maka katanya menggunakan “khasyyah”, seperti dalam QS. Annisa: 9.
Kata “rahmaniyah” dan “rahimiyah”. Dalam surat Al-A’raf ayat 156 dikatakan : “Siksa Ku akan  Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat Ku untuk orang-orang yang bertakwa yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Ku. Ayat tersebut menggambarkan bahwa rahmat rahmaniyah diberikan kepada seluruh makhluk tanpa dibedakan beriman atau kafir, siapapun yang berusaha mendapatkannya maka akan diberikannya, sehingga kita jumpai banyak orang mendapatkan azab tetapi mendapatkan rizki-Nya. Kata “rahmaniyah” menggambarkan makna generik kasih sayang Allah kepada siapapun penghuni alam semesta ini. Sedangkan kata “arrahim” merupakan kasih sayang spesial dikhususkan kepada hamba tertentu yakni hamba yang mukmin.
Kata “ta’abbud” dan “isti’anah”. Ta’abbud merupakan pendakian hamba menuju Tuhannya melalui ibadah. Setelah sampai pada pendakian paling tinggi maka Allah akan berikan apresiasi berupa pertolongan “isti’anah”. Pertolongan ini diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai balasan atas pengabdian yang dilakukakannya. Maka dalam surat al-fatihah dinyatakan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” kepada Mu lah kami menyembah dan hanya kepada Mu lah kami meminta pertolongan. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada “isti’anah” atau pertolongan tanpa didahului dengan ta’abbud.