Jumat, 23 Maret 2018

ANALISIS DAMPAK DIKLAT


ABSTRAK

Analisis Dampak Kegiatan Diklat terhadap Peningkatan Kualitas Proses Kerja (Study Kualitatif pada Alumni Diklat di Lingkungan Balai diklat Keagamaan Jakarta).

Kata kunci : Dikat dan kualitas proses kerja
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikuti diklat, mendeskripsikan kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang diperoleh selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan menganalisis kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam meningkatkan kualitas kerja.
Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari 2012 sampai dengan Juni 2013. Metode yang digunakan adalah survey dengan pendekatan kualitatif. Responden adalah guru alumni diklat sebanyak 100 orang yang berasal dari DKI Jakarta, Banten dan Kalimantan Barat. Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan sebagai pedoman melakukan wawancara tentang aspek yang ditanyakan.
Hasil penelitian menunjukkan : Bahwa alumni diklat mendapatkan pengetahun dan keterampilan yang dibutuhkan dan bermanfaat dalam bekerja. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baru selama diklat akan tetapi hanya berupa penguatan atas apa yang telah diterimanya pada kegiatan diklat sejenis yang telah diikutinya. Dalam implementasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, terdapat variasi kendala yang dihadapi, diantaranya kondisi dan setting kelas konvensional, ketersediaan fasilitas, kelebihan jumlah peserta didik, rasa percaya diri guru yang kurang, enggan melakukan kegiatan yang membutuhkan waktu dan kesiapan lebih banyak, kebiasaan dengan kegiatan yang praktis dan mudah, dan lemahnya kegigihan untuk menerapkan apa yang telah diperolehnya ketika tidak dilakukan monitoring oleh kepala sekolah. Pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikuti diklat sesuai dan bermanfaat dalam menunjang kualitas pelaksanaan pekerjaan, akan tetapi dari segi implementasi, ternyata  masih sangat lemah, kebanyakan responden belum menerapkan apa yang dimilikinya dari hasil diklat, pembuatan perangkat pembelajaran hanya sebatas pemenuhan administrasi, pembelajaran masih berjalan konvensioanl dan belum mengaktifkan siswa sebagai subyek belajar, penilaian hasil belajar masih terpaku pada penggunaan instrumen tes tertulis, dan masih langkanya kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru dalam upaya peningkatkan kualitas profesinya.

A.   Latar Belakang Masalah
Salah satu ketentuan yang ditegaskan di dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah dilakukannya standarisasi tenaga pendidik dan kependidikan sebagaimana tercantum didalam pasal 28 ayat 3 bahwa guru diharuskan memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi kepribadian, pedagogi, sosial dan profesional. Ketentuan di atas, menjadi bagian prioritas Pemerintah dengan dicanangkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN (Rencana Program Jangka Menengah Nasional) Tahun 2010–2014 yang mengamanatkan empat misi pembangunan nasional, yaitu (1) memantapkan penataan kembali NKRI, (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia, (3) membangun kemampuan Iptek, dan (4) memperkuat daya saing perekonomian (http : // www. deptan.go.id / pug / admin / satlak / perpres 2010_5.pdf, diakses tanggal 12 Juni 2013)
Seiring dengan sasaran RPJMN di atas, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI merumuskan visi : Tersedianya data dan informasi untuk kebijakan pembangunan bidang agama berbasis riset dan sumber daya manusia Kementerian Agama yang berkualitas, yang kemudian diterjemahkan dalam misinya yaitu meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kehidupan keagamaan, meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan pendidikan agama dan keagamaan, meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan khazanah keagamaan, meningkatkan kualitas pentashihan, pengkajian dan pemeliharaan al-quran, menigkatkan kualitas penelitian dan pengelolaan tata kelola pembangunan bidang agama, meningkatkan kualitas tenaga administrasi, dan meningkatkan kualitas tenaga pendidikan dan teknis keagamaan (Abdul Djamil, 2011: 2).
Diantara fokus misi kementerian Agama di atas, adalah terus diupayakannya peningkatan kualitas sumber daya manusia, salah satunya adalah para tenaga pendidik yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusdiklat dan Balai Diklat Keagamaan seluruh Indonesia seperti yang tercantum didalam pasal 1 ayat 10 dan 11 ketentuan umum Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012.
Upaya tersebut,  seiring dengan realitas yang menunjukkan masih terdapat sejumlah persoalan guru di lingkungan Kementerian Agama seperti: terdapat 60 % guru madrasah (MI, MTs, dan MA) tidak memiliki kualifikasi yang memadai sebagai guru, sebanyak 20 % guru mengajar di luar bidang keahliannya, dan dari seluruh guru yang ada ternyata hanya 20 % yang layak dari segi kualifikasi pendidikannya (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001 : 262). Sejalan dengan itu pula,  hasil penelitian menunjukkan bahwa skor penguasaan guru terhadap metodologi pembelajaran yang diterapkan di kelas hanya mencapai sekitar 51,81 % dan aspek yang paling rendah terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran dengan skor 37,08% (Umul Hidayat, 2006: 92).
Data di atas, menunjukkan bahwa secara empirik ditemui permasalahan guru terutama pada pelaksanaan tugas pokoknya sebagai seorang pendidik yang tidak terlepas dari aktivitas pembuatan perencanaan, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Dalam rangka pengembangan (development) kemampuan guru di atas, maka dilakukan kegiatan diklat guna membantu meningkatkan kemampuan mereka menjadi lebih terampil dan produktif yang dikemas ke dalam berbagai jenis diklat diantaranya diklat reguler yang dilaksanakan di kampus dan diklat di tempat kerja dengan mendatangi langsung lokasi peserta diklat di wilayahnya masing-masing.
Program pelaksanaan diklat bagi guru yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta disadari sebagai salah satu upaya mendorong dan mewujudkan kualitas guru yang profesional seperti yang diamanatkan undang-undang, karena secara teoritis, kualitas pendidikan secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas guru sebagai sub-sistemnya, hal ini seperti dikatakan Brandt dalam Fasli Jalal & Dedi Supriadi (2001 : 262), bahwa guru merupakan kunci utama yang memiliki peran besar dalam peningkatan mutu pendidikan, guru berada pada titik sentral dari setiap usaha perbaikan pendidikan yang diarahkan pada perubahan seluruh aspek seperti kurikulum, metode dan pengembangan sarana prasarana.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimanakah penerapan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan para guru selama mengikuti diklat dalam proses kerja di tempat tugasnya masing-masing. 

B.   Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat diuraikan rumusan penelitian ini sebagai berikut:
1.     Bagaimanakah pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikiuti diklat?
2.     Apa sajakah kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang diperoleh selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas?
3.     Bagaimanakah kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam meningkatkan kualitas kerja?

C.   Tujuan Penelitian
Secara  spesifik, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.     Untuk menganalisis gambaran pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikiuti diklat.
b.     Untuk mendeskripsikan kendala yang dihadapi dalam implementasi pengetahuan yang diperoleh selama diklat dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
c.     Untuk menganalisis kebermanfaatan kegiatan diklat yang telah diikuti dalam meningkatkan kualitas kerja.

D.   Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian akan bernilai besar apabila memiliki manfaat baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini bermanfaat sebagai penguatan terhadap kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, sedangkan secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat:
1.     Sebagai salah satu instrumen evaluasi terkait dengan kebijakan kediklatan yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta sehingga memungkinkan dibuatnya rencana atau pengembangan program lanjutan.
2.     Sebagai salah satu sumber informasi dalam upaya mendorong peningkatan kualitas guru melalui penerapan kebijakan terkait dengan implementasi kegiatan pasca diklat.



E.   Metodologi Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bersifat alami untuk mengeksplorasi data dari sumber-sumber tertentu. Seperti dikatakan Cresweell dalam Juliansyah Noor (2012: 34) bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu usaha mendapatkan gambaran kompleks meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Pebruari 2012 sampai Juni 2013 dengan metode survey, yakni mendatangi langsung sumber informasi yaitu para guru yang telah mengikuti diklat minimal satu kali. Selama proses pengambilan data yang dibutuhkan, posisi penulis sebagai human instrument yaitu sebagai instrumen yang melakukan wawancara face to face dengan responden. Jumlah responden dalam penelitian ini tersebar berasal dari tiga wilayah yakni DKI Jakarta sebanyak 35 orang guru, Banten sebanyak 35 orang guru, dan Kalimantan Barat sebanyak 30 orang, sehingga total jumlah responden adalah 100 orang guru. Sedangkan sebaran responden jika dilihat dari pengalaman mengikuti kegiatan diklat  terlihat bahwa 63 orang responden baru mengikuti kegiatan diklat satu kali, 28 orang responden telah mengikuti kegiatan diklat dua kali, dan 9 orang responden telah mengikuti diklat sebanyak tiga kali.
Teknik analisis data yang dihasilkan dari lapangan menggunakan analisis persentase untuk menentukan pada posisi mana keberadaan responden sesuai dengan aspek yang diteliti dalam penelitian. Sedangkan data yang tidak dilakukan analisis kuantitatif, maka dilakukan analisis kualitatif untuk memberikan gambaran jawaban responden mengenai fenomena yang terjadi.

F.     Kerangka Teoritis
1.     Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan guru adalah jabatan profesi yang menuntut adanya persyaratan tertentu, tidak semua orang mampu melakukan aktivitas mengajar tanpa adanya bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Hal ini seperti diungkapkan Soedijarto (1993 : 96) bahwa suatu jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus karena dalam jabatan tersebut diperlukan kemampuan menganalisis, merencanakan, menyusun program, mengelola (menata), mendiagnosis, dan menilai. Pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional karena pekerjaan ini menuntut pekerjaan menyusun rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing, dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya proses belajar mengajar selanjutnya.
Berkaitan dengan kebutuhan berbagai keterampilan di atas, kegiatan pendidikan dan pelatihan merupakan sarana yang dibutuhkan setiap pegawai di lembaga manapun dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kemampuan kerja. Menurut Bernandian & Russel dalam Gomes (2000: 197) bahwa pelatihan merupakan usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan yang terkait dengan pekerjaannya.
 Sesuai dengan visi Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, yakni: Tersedianya data dan informasi keagamaan yang memadai dalam rangka terwujudnya kebijakan pembangunan agama berbasis hasil riset dan tersedianya sumber daya manusia Kementerian Agama yang berkualitas, yang dilanjutkan dengan misi yang sangat mulia berwawasan masa depan, yaitu:
a.       Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan kehidupan keagamaan;
b.       Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan;
c.       Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan lektur dan khazanah keagamaan;
d.       Meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil-hasil pentashihan mushaf Al-Qur’an, kajian Al-Qur’an, dan sosialisasi Al-Qur’an serta mengoptimalkan fungsi Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal;
e.       Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kementerian Agama;
f.        Penguatan tata kelola Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama;
Maka peran lembaga pendidikan dan pelatihan menjadi sangat urgen guna mendukung ketercapaian visi dan misi khususnya terkait dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, bahwa tujuan dilaksanakannya diklat adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pegawai untuk dapat melakukan tugas secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil sesuai kebutuhan instansi, berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat, dan menciptakan kesamaan dan dinamika pola pikir. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah di atas, secara khusus, tujuan dilaksanakannya diklat teknis di lingkungan Kementerian Agama sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Menteri Agama nomor 4 tahun 2012 pasal 2 poin a, yaitu untuk meningkatkan kompetensi teknis PNS dan Pegawai non-PNS yang meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku agar sesuai dengan standar kompetensi teknis yang dibutuhkan oleh satuan organisasi dan/atau jabatannya.
Secara sederhana, bahwa harapan dan tujuan dari pelaksanaan diklat adalah terpenuhinya kompetensi kognitif, sikap maupun keterampilan yang mendorong profesionalitas kerja. Dalam istilah Puskur Balitbang Depdiknas (2002: 3), bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.  Asmu’i (2011: 3) menegaskan bahwa diklat bagi pegawai merupakan proses pembelajaran yang mengarah pada perubahan kemampuan, sikap, dan perilaku sesuai tujuan dari jenis-jenis diklat. Pembelajaran itu sendiri akan diadopsi dari pengalaman yang dialami pegawai selama mengikuti program diklat baik secara teoretis maupun secara praktis.
Hasil yang dicapai peserta diklat seperti tersebut di atas, diharapkan menjadi bekal yang menunjang profesionalitas kerja setelah kembali ke tempat tugasnya masing-masing. Bagi para guru, pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti diklat dituntut mampu diimplementasikannya dalam proses belajar mengajar di kelas, ada sesuatu yang baru didapatkan tersebut menjadi pemicu inovasi pembelajaran dari waktu ke waktu dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan pendidikan yang membutuhkan energi besar.
Gomes (2000: 209) mengemukakan bahwa keberhasilan sebuah diklat merupakan bentuk efektivitas program pelatihan yang dapat dilihat dari lima aspek berikut:
a.     Reaksi, yaitu seberapa baik peserta menyenangi kegiatan pelatihan.
b.     Belajar, yaitu seberapa jauh peserta mempelajari fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan pendekatan-pendekatan yang terdapat di dalam pelatihan.
c.     Behavior, yaitu seberapa jauh perilaku kerja peserta diklat berubah karena pelatihan yang diikutinya.
d.     Hasil, yaitu peningkatan produktivitas atau penurunan biaya yang dicapai.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan adalah rangkaian kegiatan yang didesain bagi peserta diklat agar memiliki pengetahuan, keterampilan, maupun sikap yang dapat diterapkan dalam  menjalankan pekerjaan yang diembannya sehingga produktivitasnya semakin meningkat.

2.       Kualitas Kerja Guru
Kualitas atau mutu baik di dunia pendidikan maupun lainnya banyak diperbincangkan di abad modern ini karena mutu suatu produk memiliki garis lurus dengan kepuasan pengguna produk tersebut, dan kepuasan pelanggan erat kaitannya dengan eksistensi lembaga sebagai produsennya. Pengertian kualitas / mutu (quality) dapat ditinjau dari dua perspektif konsep. Konsep pertama tentang mutu bersifat absolut atau mutlak dan konsep kedua adalah konsep yang bersifat relatif (Sallis, 2008 : 51-53).
Dalam konsep absolut mutu menunjukkan kepada sifat yang menggambarkan derajat baiknya suatu barang atau jasa yang diproduksi atau dipasok oleh suatu lembaga tertentu. Pada konsep mutu absolut, derajat baik tidaknya produk, barang atau jasa, mencerminkan tingginya harga barang atau jasa itu, dan tingginya standar atau tingginya penilaian lembaga yang memproduksi atau pemasok terhadap barang itu. Sedangkan lawannya absolut adalah mutu dalam konsep relatif, yaitu bahwa derajat mutu bergantung pada penilaian pelanggan atau yang memanfaatkan barang atau jasa itu. Jika pandangan tentang mutu yang bersifat absolut membawa implikasi bahwa dalam memproduksi barang atau jasa digunakan kriteria untuk menilai mutu dan kriteria itu ditentukan oleh produsen atau pemasok barang, maka dalam konsep relatif, mutu sangat erat dengan respon pelanggan.
Secara operasional, makna mutu menurut Sallis di atas ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan dan kebutuhan pelanggan / pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu persepsi).
Kualitas atau mutu kerja guru merupakan gambaran tentang baik buruknya pelaksanaan tugas seorang guru yang disesuaikan dengan kriteria dan spesifikasi yang dipersyaratkan yaitu dari mulai perencanaan sampai dengan evaluasi, seperti dijelaskan Helmut R. Lang & David N. Evans (2006 : 298) bahwa kegiatan mengajar dimulai dengan tahap pertama berupa perencanaan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Kegiatan perencanaan ini mencakup penentuan konten yang diajarkan sesuai kurikulum, tujuan pembelajaran, pertimbangan tentang pengalaman siswa, pemilihan pendekatan pembelajaran, dan penentuan kegiatan pembelajaran. Tahap kedua adalah menjelaskan tujuan pembelajaran yang dikaitkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya dan yang akan dipelajari berikutnya. Tahap ketiga adalah menyajikan dan mengorganisasi kemajuan belajar yang dapat meningkatkan pemahaman dan daya ingat terhadap materi yang telah diajarkan. Tahap keempat adalah melibatkan dan memotivasi belajar siswa dengan memberikan penjelasan yang disertai contoh-contoh sehingga membantu mereka untuk memahami pelajaran. Tahap kelima adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengulang dan mempraktekkan pelajaran yang telah lalu sehingga ada penguatan atas apa yang mereka dapatkan, dan tahap terakhir adalah pemberian tes kepada siswa untuk mengetahui seberapa baik pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan dan seberapa efektif perencanaan pembelajaran yang dibuat itu diimplemenasikan dalam pembelajaran. 
Uraian di atas, bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada intinya dapat disederhanakan menjadi tiga macam yakni membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan melakukan penilaian pembelajaran. Tiga tugas pokok sebagai guru itu dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005: 22-23 dan 44), yaitu standar isi, standar proses dan standar penilaian. Pada pasal 17 poin 1 Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Pada pasal 19 poin 1, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Dan pada pasal 64 poin (1) bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Pada poin (4) penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai, poin (5) penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik, poin (6) penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Pembelajaran efektif merupakan tolok ukur keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol ada pada peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar (75 %) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku yang positif pada peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan pembangunan. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka diperhatikan beberapa aspek, di antaranya: (1) guru harus membuat persiapan mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode, suara, maupun gerak, (3) waktu selama proses belajar mengajar berlangsung digunakan secara efektif, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar guru cukup tinggi, dan (5) hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera diatasi. Sedemikian rupa lima aspek itu dilaksanakan, sehingga akan terwujud sebuah pembelajaran yang efektif (Abdul Mukti Bisri, 2008 : 1).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kerja guru adalah aktivitas pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan dan mengaktifkan siswa, serta melakukan penilaian pembelajaran yang sesuai dengan aspek yang dinilai dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standar yang ditetapkan.

G.    Hasil Penelitian dan Pembahasan

1.     Deskripsi Data
Gambaran data hasil penelitian merupakan jawaban responden atas beberapa pertanyaan yang diajukan berdasarkan aspek yang diteliti. Uraian ini dijelaskan secara berurutan mulai gambaran data tentang aspek pengetahuan, aspek keterampilan dan aspek sikap.
a.       Gambaran Data Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan terdapat tiga pertanyaan yang disampaikan kepada responden dengan gambaran jawabannya sebagai berikut:
Tabel 1.
Jawaban Responden Tentang Aspek Pengetahuan
Yang Dipeoleh Dalam Diklat
No
Aspek
Jawaban
Ya
%
Tdk
%
1
Informasi baru yang didapatkan selama  diklat
89
89%
11
11%
2
Kesesuaian pengetahuan yang diberikan dengan pekerjaan
94
94%
6
6%
3
Kegunaaan pengetahuan hasil diklat untuk melaksanakan kerja
96
96%
4
4%

Jumlah

93%

7%

Dilihat dari aspek pengetahuan yang didapatkan responden secara umum, dapat dikatakan sangat baik yakni 93 % responden menyatakan mendapatkan pengetahuan baru selama mengikuti diklat dan pengetahuan tersebut bermanfaat dalam pelaksanaan pekerjaan di tempat tugasnya.

b.     Gambaran Data Aspek Keterampilan
Gambaran data tentang aspek keterampilan yang diperoleh responden selama mengikuti kegiatan diklat dilakukan melalui wawancara dengan 5 jenis pertanyaan sebagai berikut:
Tabel 2.
Jawaban Responden Tentang Aspek Keterampilan
Yang Diperoleh Dalam Diklat
No
Aspek
Jawaban
Ya
%
Tdk
%
1
Keterampilan baru yang didapatkan selama diklat
77
77%
23
23%
2
Keterampilan yang didapatkan selama diklat sesuai dengan pekerjaan
98
98%
2
2%
3
Kemanfaatan keterampilan yang didapatkan untuk meningkatkan kualitas kerja
100
100%
0
0
4
Keterampilan yang didapatkan diterapkan dalam aktivitas kerja pasca diklat
43
43 %
57
57%

Jumlah

79,5%

20,5%

Dilihat dari aspek keterampilan yang didapatkan selama mengikuti diklat ini, rata-rata 79,5 % responden menyatakan mendapatkan keterampilan selama mengikuti diklat dan keterampilan tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan dan bermanfaat dalam menunjang pelaksanaan kerja. Meskipun skor di atas menunjukkan baik, Akan tetapi terdapat jawaban yang cukup ekstrim khususnya pada aspek penerapan keterampilan yang didapatkan dengan penerapannya di lapangan yakni hanya 43 % responden menyatakan dapat menerapkannya sedangkan sisanya 57 % responden cenderung tidak menerapkan keterampilan yang diperoleh karena berbagai alasan.
Khusus pada aspek keterampilan ini ditanyakan tentang apakah ada kendala yang dihadapi dalam penerapan keterampialn yang diperoleh selama diklat dalam proses pembelajaran di kelas, hasilnya berikut:
Tabel 3.
Jawaban Responden Tentang Ada Tidaknya Kendala
Dalam Implementasi Hasil Diklat
No
Aspek
Jawaban
Ya
%
Tdk
%
1
Adanya kendala dalam menerapkan keterampilan yang diperoleh selama diklat di tempat kerja
93
93%
7
7 %

Jumlah

93%

7%

Pada tabel di atas, ternyata 93 % responden menyatakan terdapat kendala dalam melaksanakan keterampilan yang didapatkan selama diklat, sedangkan sisanya 7 % menyatakan tidak ada kendala kalaupun ada kendala itu dapat diminimalisir dengan melakukan modifikasi sendiri sesuai dengan kondisi yang ada.

c.     Gambaran Data Aspek Sikap
Gambaran data tentang aspek sikap responden setelah mengikuti kegiatan diklat diperoleh gambaran sebagai berikut:
Tabel 4.
Jawaban Responden Tentang Aspek Sikap Bekerja
Setelah Mengikuti Diklat
No
Aspek
Jawaban
Ya
%
Tdk
%
1
Semangat kerja pasca mengikuti diklat
78
78%
22
22 %
2
Optimisme kerja pasca diklat
76
76%
24
24%

Jumlah

77 %

23 %

Dilihat dari aspek sikap bekerja setelah mengikuti diklat tergolong baik yakni 77 % responden memiliki semangat kerja yang tinggi dan sisanya 23 % responden memiliki semangat biasa dan cenderung mengalir saja dalam bekerja.


2.     Pembahasan Hasil Penelitian
Pada pembahasan hasil penelitian ini dikemukakan berbagai temuan kualitatif dan kuantitatif kemudian dianalisis sehingga mendapatkan gambaran yang jelas tentang fakta dan fenomena yang terjadi.
a.     Aspek pengetahuan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata 93 % responden menyatakan mendapatkan informasi baru terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya dan informasi yang diperolehnya itu sesuai dengan tugasnya sebagai seorang guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, respondenpun memberikan jawaban bahwa pengetahuan yang diterimanya bermanfaat atau berguna bagi peningkatan kualitas kerjanya. Sedangkan sisanya sebanyak 7 % responden menyatakan bahwa pengetahuan yang didapatkan selama mengikuti diklat cenderung sama dengan pengetahuan yang pernah diperoleh pada kegiatan diklat yang pernah diikuti sebelumnya, sedangkan terkait dengan kesesuaian dan kegunaan pengetahuan yang didapatkan, mereka menyatakan sangat tipis / kecil karena hal itu merupakan pengulangan yang pengetahuan tersebut cenderung tidak ada pengembangan khususnya bagi peserta diklat yang telah mengikuti beberapa kali diklat.
Berkaian dengan kebaruan pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan diklat seperti dikemukakan di atas, 89 % responden menjawab mendapatkan pengetahuan baru dan sisanya 11 % menjawab tidak. Besarnya jumlah responden yang menyatakan tidak mendapat pengetahuan baru ini merupakan sesuatu yang tidak terelakkan ketika kondisi peserta diklat beragam atau heterogen dari sisi pengalaman mengikuti diklat itu sendiri, ada peserta yang baru mengikuti satu kali bahkan ada yang sudah tiga kali mengikuti diklat. Artinya, bila dilihat dari jenis dan jenjang diklat, terjadi inkonsistensi pemanggilan peserta diklat oleh satuan kerja yang bersangkutan, padahal dalam kegiatan diklat ada persyaratan peserta diklat tertentu, diantaranya disebutkan pada poin 10 persyaratan peserta diklat seperti tercantum dalam kurikulum Pusdiklat tentang diklat teknis fungsional peningkatan kompetensi guru muda (2012: 10) bahwa peserta diklat untuk guru muda persyaratannya adalah mereka harus mengikuti diklat teknis fungsional guru pertama, persyaratan ini juga berlaku pada periode sebelum ada perubahan kurikulum, yaitu dengan pola diklat tingkat dasar, tingkat lanjut, dan tingkat terampil, yakni bahwa diklat tingkat lanjut dan terampil mensyaratkan keikutsertaan mereka pada diklat jenjang dibawahnya. Pernyataan ini mengandung makna kebalikannya bahwa untuk diklat peningkatan kompetensi guru pertama atau diklat tingkat dasar (penamaan diklat dalam kurikulum lama) adalah diperuntukkan bagi guru yang belum pernah mengikuti diklat, tetapi relitas menunjukkan masih sering diikutkannya mereka pada jenjang diklat yang sama. Fakta ini menunjukkan bahwa persyaratan yang digariskan dalam aturan kediklatan nampaknya belum berjalan optimal sehingga yang terjadi adalah pengulangan dalam kegiatan diklat yang sejenis, di sisi lain belum meratanya diklat bagi guru-guru tertentu karena kesempatannya terambil oleh peserta diklat yang sering mengulang.
Untuk aspek kesesuaian materi yang diajarkan selama diklat dengan jenis pekerjaan yang diembannya, secara kuantitatif menunjukkan angka yang sangat besar yakni 94 % responden menyatakan pengetahuan yang didapatkannya cocok dengan pekerjaannya. Kondisi ini memang menjadi penekanan dalam kegiatan diklat, seperti dijelaskan dalam penjelasan latar belakang kurikulum Pusdiklat (2012: 1) bahwa peningkatan kompetensi guru salah satunya ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai bentuk intervensi lembaga agar pegawainya memiliki kompetensi standar sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar. Berbagai jenis diklat dimaksud, diselenggarakan Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan sebagai penyelenggara diklat tingkat pusat dan Balai Diklat Keagamaan sebagai penyelenggara diklat tingkat daerah di lingkungan Kementerian Agama. 
Selanjutnya, sebanyak 6 % responden berpendapat bahwa materi yang disampaikan selama diklat masih ada yang kurang sesuai dengan jenis pekerjaan yang diembannya, hal ini didasarkan pada pemikiran dan keinginan mereka yang menghendaki materi diklat difokuskan pada pengembangan dan peningkatan keterampilan terkait langsung dengan mata pelajaran, sehingga materi yang bersifat tambahan tidak lagi diajarkan selama diklat melainkan hanya materi inti saja. Sebagian kecil pendapat ini kurang sejalan dengan makna dari akar kata diklat itu sendiri, yakni pendidikan dan pelatihan yang di dalamnya terdapat unsur pendidikan sebagai transfer of values dan pelatihan sebagai transfer of knowledge, hal demikian seperti dikatakan Asmu’i (2011: 3), bahwa diklat bagi pegawai merupakan proses pembelajaran yang mengarah pada perubahan kemampuan, sikap, dan perilaku sesuai tujuan dari jenis-jenis diklat. Pembelajaran itu sendiri diadopsi dari pengalaman yang dialami pegawai selama mengikuti program diklat baik secara teoretis maupun secara praktis.
Pada tahun 2013 ini, kebijakan diklat mengalami pembaharuan khususnya pada kurikulum yang diajarkan, didalamnya memasukkan materi ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang pada setiap jenjangnya sebanyak 30 jam pelajaran. Kebijakan ini bukan tanpa maksud, Pusdiklat tenaga teknis pendidikan dan keagamaan memandang bahwa unsur emosional dan spiritual merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan kinerja pegawai, seperti dikatakan Ary Ginanjar Agustian (2011: 14) bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif dan transendental. Atas dasar itu, maka kegiatan diklat dengan kurikulum perubahan pada tahun 2013 materi ESQ menjadi bagian tidak terpisahkan sebagai salah satu upaya mendorong proses kerja pegawai di lingkungan Kementerian Agama yang berkualitas dan bermakna.
Dengan demikian, harapan atau keinginan peserta diklat yang mengarahkan kegiatan diklat hanya difokuskan pada pemberian materi dan keterampilan terkait dengan aspek teknis metodologis tidak sejalan dengan kebijakan yang dikembangkan yang cita-citanya tidak hanya sebatas terampil dan kompeten pada bidangnya, akan tetapi lebih dari itu adalah terciptanya kualitas sumber daya manusia Kementerian Agama yang memiliki nilai-nilai luhur vertikal yang berdampak sosial horizontal.
Pada aspek kegunaan pengetahuan hasil diklat dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, ternyata 96% responden menyatakan sangat berguna, materi-materi diklat yang disampaikan oleh Widyaiswara baik dari dalam maupun dari luar Balai Diklat Keagamaan Jakarta sangat bermanfaat bagi pengembangan proses kerja dan menambah wawasan para responden dalam menjalankan pekerjaannya. Hanya sebagian kecil saja yakni 4 % yang menyatakan bahwa materi yang didapatkan selama diklat kurang bergaris lurus dengan kegunaannya secara praktis dalam menghandel pekerjaan, selain itu, ada responden yang memberikan jawaban bahwa dalam diklat masih banyak ditemukan materi yang teoritis sehingga implementasinya kurang bisa dilakukan, serta munculnya jawaban kurangnya waktu atau jam diklat untuk materi-materi tertentu yang sifatnya praktis dan menuntut latihan secara langsung terutama pada materi tentang pembuatan perangkat pembelajaran, penilaian pembelajaran, penelitian tindakan kelas dan model atau strategi pembelajaran.
Masih ditemukannya sisi-sisi yang lemah pada materi kediklatan khususnya materi yang membutuhkan banyak waktu praktek berdasarkan jawaban responden di atas, membutuhkan pemikiran dan evaluasi secara menyeluruh baik dari sisi kurikulum, peran Widyaiswara, maupun teknis pelaksanaannya yang harus kembali pada konsep dasar dan rumusan tujuan diklat itu sendiri, karena sesungguhnya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat teknis) yang ditanggungjawabi oleh pusdiklat teknis salah satunya bertujuan agar alumni diklat dapat termanfaatkan di lembaga tempat mereka bertugas (Abdul Djamil, 2011: 8). Pernyataan tersebut memberi arti bahwa materi yang diberikan selama diklat sedianya memiliki kebermanfaatan terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran melalui peningkatan kualitas gurunya. Sebaliknya, ketidakmanfaatan pengetahuan yang didapatkan oleh mareka menunjukkan betapa diklat yang diselenggarakan menjadi sebuah seremonial tanpa kelanjutan.

b.     Aspek keterampilan
Poin pertama tentang aspek keterampilan yang ditanyakan kepada responden adalah kebaruan keterampilan yang diterima atau dipelajari selama mengikuti diklat, sebanyak 77 % responden menyatakan mendapatkan keterampilan baru yang dapat mendukung kegiatan belajar mengajar, sedangkan sisanya 23 % menyatakan tidak mendapatkan keterampilan baru akan melainkan keterampilan lama yang pernah diketahui dan dipelajari, tetapi keterampilan yang didapatkannya itu, menurut mereka tetap berfungsi menguatkan atau meyakinkan apa yang telah mereka pelajari dan praktekkan.
Secara spesifik, mayoritas responden menyatakan bahwa kegiatan diklat yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan Jakarta memberikan bekal kemampuan dan keterampilan praktis terhadap para guru yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar, karena selama ini menurut mereka banyak diterima secara teoritis dan kurang aplikatif terutama pandangan para guru yang masih relatif  muda usianya, sehingga mereka membandingkan apa yang diperoleh di dalam kampus dengan yang didapatkan selama mengikuti kegiatan diklat.
Dari 77 % responden yang memberikan jawaban positif, sebagian menyatakan sangat puas dengan kegiatan diklat dan sebagian lainnya menyatakan puas atas keterampilan yang didapatkan dari diklat terutama pada kegiatan diklat di tempat kerja (DDTK). Hal ini sejalan dengan pernyataan Gomes (2000: 209) bahwa keberhasilan sebuah pelatihan diantaranya diukur dari behavior atau perilaku, yaitu seberapa jauh perilaku kerja peserta diklat berubah karena pelatihan yang telah diikutinya, dan hasil diklat, yaitu peningkatan produktivitas atau penurunan biaya karena keterampilan yang telah dimiliki peserta diklat yang semakin membaik.
Menurut responden, kegiatan diklat di tempat kerja yang didatangi langsung oleh widyaiswara dan panitia kegiatan diklat di berbagai wilayah kerja mendapatkan respon positif dan sangat menggembirakan karena berbagai alasan yang dikemukakan seperti jarak yang mudah dijangkau, kesempatan tetap bersama keluarga, dan tidak tertinggalnya kegiatan-kegiatan lainnya yang biasa dilakukan di daerahnya pada sore dan malam harinya, khusus bagi responden wanita menyatakan bahwa kegiatan di tempat kerja memberikan kesempatan bagi kaum hawa untuk mengembangkan wawasan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan kerja akan tetapi tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. 
Tanpa mengurangi nilai dan respeknya responden terhadap kegiatan diklat di tempat kerja yang selama ini dilakukan, terdapat sebagian responden yang menyatakan bahwa mereka tetap berharap ada diklat yang dilaksanakan di Balai diklat Keagamaan di Jakarta dengan alasan keinginannya untuk mendapatkan pengalaman di Balai Diklat sebagai sentral kegiatan diklat, ada nilai refresh dan adanya kesempatan mengakses ke berbagai instansi pusat lainnya yang ada di Jakarta.
Dengan membandingkan kegiatan diklat reguler baik yang dilaksanakan di Jakarta maupun di daerah wilayah kerja  dengan kegiatan diklat di tempat kerja, responden menyatakan bahwa di dalam DDTK mereka lebih banyak  mendapatkan keterampilan praktis disamping wawasan lainnya dibadingkan dengan kegiatan diklat reguler yang konten materinya variatif, teoritis dan terlalu padat dengan ragam dan jenis mata diklat sehingga menurutnya sering membuat kekaburan pemahaman. Selain itu, pada diklat reguler, setting kegiatan lebih bersifat formal dialogis dan suasananya akademis sehingga acapkali pola pembelajaran menggunakan pendekatan diskusi yang mengedepankan kemampuan rasional dibandingkan latihan secara individual yang mendorong peningkatan keterampilan one by one.
Poin kedua adalah kesesuaian keterampilan yang didapatkan responden selama mengikuti kegiatan diklat dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya, sebanyak 98 % responden menyatakan apa yang diterimanya sangat sesuai dengan aktivitas kerjanya sebagai seorang guru, sedangkan sisanya hanya 2 % yang menyatakan bahwa keterampilan yang diperolehnya tidak sesuai dengan jenis pekerjaannya. Terdapat hal menarik dari jawaban 2 orang responden yang menyatakan bahwa keterampilan yang diperolehnya itu tidak sesuai dengan pekerjaannya, menurutnya bahwa proses pendidikan yang penting ada guru dan ada siswa maka disitu terjadi proses pembelajaran, sedangkan yang lainnya adalah perangkat tambahan yang tidak bernilai apa-apa tanpa kendali guru, dua orang responden inipun memberikan sangkalan dengan mengilustrasikan bahwa keberhasilan para kiyai zaman dulu dalam mendidik santrinya yang kini menjadi tokoh dan pemimpin baik formal maupun non formal, adalah hasil dari sebuah proses pendidikan yang tidak banyak menuntut pemenuhan perangkat pembelajaran, konon dahulu pembelajaran bersifat klasikal dan sederhana, akan tetapi menurutnya menghasilkan buah yang luar biasa. Terkait dengan keterampilan guru di atas, menurut responden ini yang penting adalah kemampuan guru dalam menguasai materi yang diajarkan dan dapat disampaikan kepada muridnya, sehingga kegiatan diklat yang diselenggarakan balai diklat maupun instansi lainnya lebih pada penyebaran informasi saja.  
Ketika dilakukan konfirmasi kepada dua reponden di atas tentang semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang setiaap saat berubah khususnya pada aspek yang terkait dengan pendidikan dan harus dikuasai oleh guru, mereka menyatakan bahwa guru adalah orang dewasa yang seyogyanya dapat berpikir tentang apa yang perlu dan mana yang tidak perlu, oleh karenanya, semua itu tidak perlu melalui kegiatan diklat berhari-hari akan tetapi cukup bagi guru membuka buku dan atau internet kapan dan dimanapun karena itu mudah diakses oleh siapapun. Jadi, menurutnya bahwa yang terpenting adalah adanya kesadaran guru dalam memperkaya diri dengan terus membaca dan membaca, belajar dan belajar yang tidak mesti dalam forum formal karena belajar orang dewasa adalah belajar yang mandiri.
Di satu sisi ada benarnya bahwa bagi orang dewasa proses belajar dapat dilakukan secara mandiri dengan menggunakan berbagai sumber, bisa buku, majalah, surat kabat, jurnal dan internet. Namun demikian, fakta di lapangan meskipun surat kabar dan buku ada dimana-mana serta internet  sudah lama bisa diakses, hasil penelitian menunjukkan penguasaan guru-guru madrasah terhadap metodologi pembelajaran yang diterapkan di kelas hanya berkisar 51,81 % dan aspek yang paling rendah terdapat pada aktivitas menganalisis pembelajaran hanya 37,08% (Umul Hidayat, 2006: 92). Kondisi ini memberikan gmambaran  bahwa keberadaan guru masih perlu didorong untuk melakukan kegiatan belajar secara terus menerus melalui penetapan kebijakan, salah satunya adalah melalui penunjukkan sebagai peserta diklat yang mau tidak mau harus diikuti.
Fakta lain ditunjukkan oleh Direktorat Jenderal PMPTK Kemdiknas tahun 2009 bahwa jumlah guru PNS berdasarkan golongannya disebutkan, golongan IIId berjumlah 311,833 orang, golongan IVa  sebanyak 569,611 orang dan golongan IVb sebanyak 13,733 orang (http : // tunas 63. wordpress. com / 2010 / 01 / 30 / data-nasional-2009-jumlah-guru. menurut-golongan. Diakses 16 Maret 2012). Data ini menggambarkan bahwa kebanyakan jumlah guru menggelembung pada kelompok golongan IVa dengan variasi lama tahun tidak naik pangkatnya beragam karena alasan adanya persyaratan membuat karya tulis ilmiah padahal persyaratan lainnya sudah terpenuhi. Fenomena ini kemudian dibuat kebijakan baru dengan lahirnya Permenpan nomor 16 tahun 2009 yang efektif diberlakukan 1 Januari 2013 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, diantara isinya mensyaratkan guru naik pangkat dengan salah satu unsur yang harus dipenuhi yakni karya tulis ilmiah dan jika tidak bisa naik pangkat paling lama 5 tahun maka akan diberikan sanksi kepada yang bersangkutan. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya mendorong guru bisa naik pangkat / golongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tuntutan perkembangan zaman serta berperan sebagai faktor yang dapat menstimulasi guru untuk terus belajar karena jika tidak demikian, diduga jumlah guru yang sangat besar pada golongan tersebut di atas akan tetap tidak beranjak dan tidak berubah, bahkan sebaliknya bisa semakin membengkak lebih banyak. Jika demikian, maka diklat tidak semata membekali pengetahuan dan keterampilan kepada peserta diklat, akan tetapi berfungsi pula sebagai media yang mendorong kesadaran mereka untuk tetap belajar yang teknisnya dapat mereka lakukan kapan dan dimanapun.
Poin ketiga adalah kebermanfaatan keterampilan yang didapatkan responden untuk peningkatan kualitas kerja, sebanyak 100 % responden menyatakan bahwa keterampilan yang diperolehnya sangat bermanfaat untuk kegiatan kerja yakni proses belajar mengajar. Secara serempak, seluruh responden memiliki pendapat yang sama bahwa keterampilan yang didapatkan memiliki manfaat tinggal bagaimana menerapkan, mengembangkan dan memodifikasinya karena membutuhkan perencanaan yang matang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Apabila kondisi ril responden menyatakan bahwa kegiatan diklat dapat mendistribusikan keterampilan kepada setiap guru yang bermanfaat bagi pengembangan kualitas pendidikan, asumsinya, kegiatan diklat telah dilakukan sesuai dengan visi dan misi yang dikembangkan yakni salah satunya adalah meningkatkan kualitas tenaga pendidikan dan teknis keagamaan (Abdul Djamil, 2011: 2). Peningkatan kualitas tenaga pendidikan ini merupakan bagian integral dari upaya Pemerintah secara nasional tentang pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Poin keempat aspek keterampilan ini adalah penerapan keterampialn yang diperoleh responden selama diklat dalam aktivitas kerja sehari-hari. Jawaban responden sebanyak 43 % menyatakan sudah dan dapat menerapkan keterampilan yang diperoleh dalam diklat untuk kegiatan kerja sedangkan sisanya 57 % responden menyatakan belum atau tidak menerapkan keterampilan yang didapatkan untuk  kegiatan kerja.
Bila dilihat dari jawaban-jawaban responden terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan, nampaknya pada poin penerapan ini yang jumlahnya paling rendah dibandingkan pada jawaban atas pertanyaan lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya gap atau jurang yang cukup besar antara pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan responden dengan aplikasinya, apa yang salah sebenarnya dan ada kendala apa sehingga mereka tidak dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan dalam aktivitas kerja yang sesungguhnya, padahal materi diklat yang diberikan bergaris lurus dengan tugas-tugas mereka sebagai seorang pendidik.
Asmui (2011: 3) menyatakan bahwa proses pengembangan individu maupun organisasi harus dilakukan pembelajaran berkesinambungan yang diupayakan melalui aktivasi pegawai untuk mengambil peran dalam mengaplikasikan apa yang dialaminya dari berbagai peristiwa. Pernyataan ini memberikan penegasan secara gamblang bahwa upaya-upaya pengembangan pegawai di lingkungan Kementerian Agama maupun lainnya membutuhkan kesinambungan antara pemberian pengetahuan dan keterampilan dengan implementasinya di tempat tugas melalui usaha mengaktifkan mereka dalam menerapkan apa yang didapatkannya yang tidak terlepas dari pengawasan dan evaluasi pimpinan yang bersangkutan, sehingga tidak terjadi pemutusan rangkaian proses pembinaan yang berkelanjutan.
Jika demikian, program diklat yang mengupayakan pembekalan berbagai pengetahuan dan keterampilan bagi peserta diklat menjadi kurang bernilai jika tidak diteruskan dengan pembinaan dan pemantauan secara simultan oleh pihak terkait. Artinya, peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk membuat program lanjutan pasca diklat yang diikuti oleh guru. Kenyataan ini seiring dengan jawaban-jawaban responden, bahwa pada sekolah-sekolah tertentu yang menerapkan berbagai kemampuan dan teknik dalam pembelajaran atau keterampilan lainnya yang berhubungan dengan tugas keguruan ternyata tidak terlepas dari komunikasi dan koordinasi kepala sekolah, kepedulian kepala sekolah yang terus memantau guru sebagai alumni diklat untuk dapat menerapkan apa yang diperolehya, bahkan ketegasan kepala sekolah yang meminta laporan tentang berbagai materi diklat yang harus dipresentasikan kepada rekan guru lainnya yang tidak mengikuti kegiatan diklat. Hal ini sejalan dengan penegasan T. Soemarman (2010: 31) bahwa leadership atau kepemimpinan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku kerja dengan mengedepankan pendekatan kemitraan, tim kerja dan pengembangan manajemen. Artinya, bahwa perilaku kerja bawahan seiring dengan peran manajerial pimpinan dalam mengendalikan dan mendorong organisasi agar berjalan efektif karena tanpa peran pimpinan tersebut, terbukti proses kerja bawahan berjalan mengalir datar sebagai sebuah rutinitas yang kurang berkembang. Pernyataan ini, ditemukan dari jawaban responden yang cenderung melakukan aktivitas pembelajaran konvensional, monolog, proses penilaian pembelajaran hanya terpaku pada tes tertulis, serta tidak adanya inovasi-inovasi pengembangan diri sebagai upaya peningkatan kualitas profesi, salah satu alasannya adalah karena lepas dari koreksi dan supervisi dari kepala sekolah serta tidak adanya pembinaan dan pengawasan kontinyu atas keterampilan yang telah diperolehnya, sehingga muncul perasaan selesai tanggungjawab mereka atas diklat yang diikutinya sebagai sebuah program yang berbatas waktu.
Materi diklat yang berkaitan langsung dengan pembelajaran diantaranya adalah pembuatan perangkat rencana pembelajaran, strategi dan model pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Di tiga wilayah yakni DKI Jakarta, Banten dan Kalimantan Barat, responden yang telah mengikuti kegiatan diklat khusus tentang pembuatan perencanaan pembelajaran atau diklat reguler yang di dalamnya memuat materi pembuatan rencana pembelajaran, rata-rata mereka memahami tentang teknik pembuatan perangkat tersebut dan ketika dikonfirmasi tentang langkah dan spesifikasi yang ada pada perangkat tersebut mereka secara jelas dapat mengemukakannya, artinya mereka memiliki kemampuan membuat perangkat pembelajaran sesuai dengan yang diperolehnya dalam diklat, akan tetapi pada sebagian mereka ditemukan perangkat pembelajaran yang tidak sinkron antara yang dibuat dengan karakteristik yang ada di sekolah, ternyata perangkat yang ada ini adalah hasil download dari internet atau mengkopi dari rekan guru pada mata pelajaran lain, dan ada pula yang mengkopi dari rekan guru sesama mata pelajaran dari sekolah lain bahkan ada yang memindahkan dari perangkat pembelajaran yang dijual belikan secara umum kemudian dilakukan modifikasi sederhana.
Pada materi lain seperti strategi dan model pembelajaran dan penilaian hasil belajar, ternyata jawaban responden kebanyakan masih menggunakan metode pembelajaran konvensional yang bersifat satu arah dan belum banyak mengaktifkan siswa terlibat sebagai subyek belajar, sementara pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai macam strategi pembelajaran yang menarik dan inovatif hanya sebatas sebagai pengetahuan yang tidak lebih dari kumpulan informasi yang diketahui. Begitu pula pada materi tentang penilaian hasil belajar, hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka masih banyak menggunakan alat tes berupa tes tertulis walaupun sebagian kecil lainnya telah menggunakan bentuk tes lisan dan praktek, akan tetapi bentuk lainnya seperti penugasan, proyek, portofolio dan pengamatan sangat langka dilakukan. Hal lain yang paling rendah dilakukan oleh responden dibandingkan aspek lainnya adalah melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) karena rasa kurang percaya diri dalam melakukan penelitian serta kebingunan dalam melakukan pembimbingan yang diasumsikan belum meratanya kemampuan aplikatif mereka secara individu maupun kepala sekolah dan pengawas dalam mendampingi para guru untuk membuat PTK.
Temuan di atas, menunjukkan bahwa pemahaman dan keterampilan yang didapatkan dari kegiatan diklat belum sepenuhnya dapat mengangkat kreativitas guru yang dilandasi adanya keinginan berubah menjadi lebih baik. Kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang konvensional yang terbelenggu dengan pola pembelajaran  paradigma lama yakni mengajar dan memberi tugas latihan, mengajar dan berceramah, mengajar dan menjelaskan secara monolog membawa dampak munculnya kejenuhan pada siswa bahkan membuat siswa frustasi dan mengalami kebosanan yang berkepanjangan. Kondisi pembelajaran yang tidak bermutu ini jelas sangat merugikan semua pihak terutama siswa karena eksistensi mereka sebagai individu yang harus difasiliasi perkembangannya cenderung terhambat. Oleh karena itu, asumsi tentang akar persoalan belum meningkatnya kualitas output pendidikan sebagai dampak dari kualitas proses pembelajaran, bukan pada pada optimalisasi, penambahan materia atau seringnya mengikuti diklat akan tetapi lebih pada kesadaran individual guru untuk merubah pola tindak (karena pola pikir mereka sudah menyatakan perlu, penting dan berguna tentang keterampilan yang dimilikinya) dalam mengajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, Menurut Surakhmad (2009: 364) tantangan profesionalitas guru tidak sekedar menyelesaikan pekerjaan tetapi lebih dari itu adalah sebuah perjuangan. Perjuangan membutuhkan kesadaran, keinginan, keseriusan dan kerja keras yang muncul bukan karena dipacu tetapi muncul karena tekad.
Ketika ditelusuri lebih dalam tentang hal apa yang menjadi kendala terhadap implementasi pengetahuan dan keterampilan mengajar yang telah dimilikinya karena ternyata 93 % responden menyatakan ada kendala seperti tertera pada tabel 3 di atas, ditemukan variasi kendala diantaranya adalah kebiasaan guru yang tidak mau repot, seperti dalam membuat rencana pembelajaran cukup mengkopi dari berbagai sumber setelah itu didokumenkan sebagai pemenuhan persyaratan administrasi guru, mengajar tidak menggunakan strategi yang variatif dan mengaktifkan siswa karena alasan keterbatasan sarana kelas, kurangnya perangkat pembelajaran, seting tempat duduk dengan formasi meja kursi yang konvensional, dan padatnya siswa yang menyulitkan interaksi serta keterbatasan jam belajar dengan perbandingan jumlah siswa, selain itu dijumpai pula jawaban responden yang kurang percaya diri dengan model pembelajaran yang baru karena belum terbiasa menggunakannya, ada alasan repot karena membutuhkan persiapan sebelumnya dengan media dan kelengkapan yang harus disediakan sehingga pembelajaran dilakukan sebagai kegiatan rutin tanpa melihat dokumen rencana pembelajaran yang dibuat, akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara dokumen rencana dengan aplikasi dalam pembelajarannya.
Dikatakan Reyes dalam Razak, dkk (2009: 187) bahwa guru yang memiliki komitmen tinggi terhadap profesinya ditandai dengan sikap bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai tuntutan zaman dan  selalu berusaha mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan melalui berbagai teknik dan pendekatan. Pernyataan ini, sejalan dengan fakta 43 % responden yang menyatakan dapat menerapkan apa yang didapatkan selama diklat dalam kegiatan pembelajaran, mereka berusaha mengelola kelas sesuai dengan berbagai kemungkinan dengan membuat desain pembelajaran yang disederhanakan berdasarkan situasi dan kondisi. Mereka pun terus melakukan upaya untuk melakukan pembelajaran yang lebih baik didasari dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan rasa penasaran untuk mencoba dan mencoba, ujungnya adalah komitmen terhadap profesi sebagai guru yang tumbuh dari lubuk hati sendiri.
Hampir sama seperti halnya alasan di atas, penggunaan alat atau instrumen evaluasi pembelajaran yang kurang bervariasi oleh guru disebabkan guru tidak mau sulit dan cenderung melakukan yang mudah dan praktis saja, ragam instrumen lainnya yang dianggap tidak praktis dan membutuhkan waktu banyak tidak digunakan oleh mereka, terkait dengan itu, guru sangat langka melakukan analisis butir soal, jikapun ada hanya bersifat temporal karena hal ini cukup membutuhkan waktu dan keseriusan.
c.     Aspek sikap
Jawaban responden pada aspek sikap bekerja dari dua poin pertanyaan rata-rata mereka menjawab memiliki semangat kerja dan rasa optimis terhadap keberhasilan yang dicapai, 77 % mereka menjawab ya dan 23 % menjawab tidak. Jawaban tentang semangat dan rasa optimis ini tidak semata dampak dari kegiatan diklat yang diikutinya akan tetapi merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini mereka.
Secara jelas responden menyatakan bahwa dengan mengikuti kegiatan diklat dapat memberikan motivasi dan inspirasi untuk bekerja lebih baik dari sebelumnya meskipun terkadang semangat itu berubah-ubah seiring dengan berbagai persoalan yang dihadapi. Dalam istilah Surakhmad (2009: 369) bahwa kompetensi yang dimiliki seseorang dari hasil proses belajar harus terkait dengan kemampuan bersikap dan berperilaku dengan pertimbangan teknis dan etis. Sejalan dengan pernyataan ini, responden memberikan pernyataan bahwa kegiatan diklat merupakan salah satu sarana untuk meng-upgrade kemampuan dan media men-cash potensi ruhani sehingga melahirkan semangat bekerja yang tinggi. Seperti dikatakan Bernandian & Russel dalam Gomes (2000: 197) bahwa pelatihan merupakan usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan yang terkait dengan pekerjaannya. Artinya, bahwa kegiatan diklat arahnya adalah untuk memperbaiki perilaku kerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, walhasil produktivitasnya meningkat karena adanya dorongan yang kuat untuk mencapai hasil yang optimal.
Dari hasil penelusuran, didapatkan pula jawaban responden bahwa kegigihan dalam bekerja, erat kaitannya dengan pola pikir dan orientasi guru yang bersangkutan, ketika pola pikir dan orientasinya idealisme dan kepuasan batiniyah, sesungguhnya bekerja disikapi mereka sebagai sebuah ladang ibadah yang bernilai tinggi dari sekedar mendapatkan imbalan insentif yang sangat terbatas sehingga peran dan aktivitasnya dilandasi dengan nilai keyakinan vertikal yang kuat tetapi secara profesional tidak terkurangi, berbeda jika sebaliknya, guru yang orientasi kerjanya hanya sebatas melaksanakan rutinitas dan menggugurkan kewajiban justru memiliki kinerja yang rendah karena aktivitasnya selalu diukur dengan sejumlah materi yang didapatkan. 
Dari jumlah 23 % responden yang menyatakan semangat dan optimismenya rendah, mereka sebenarnya secara rutin bekerja seperti biasa, hanya saja aktivitas kerja berjalan kurang kreatif produktif, mereka mengatakan bahwa bekerja menjalankan tugas dari pimpinan, apa yang diperintahkan mereka menjalankannya sesuai tupoksi. Sikap kerja seperti ini, menurut Ali (2009: 153) tidak akan melahirkan inovasi karena inovasi bersumber dari kreativitas, tanpa kreativitas tidak akan ada inovasi. Penegasan ini nampak seperti yang mengemuka dari jawaban responden yang pasrah atas apapun yang terjadi pada hasil akhir peserta didiknya, pembelajaran mengikuti alur kebijakan khususnya untuk mencapai predikat lulus pada ujian nasional dengan pola yang masih terus berlangsung hingga saat ini, meskipun zaman telah berubah.

H.    Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, dikemukakan uraian ringkas tentang hasil penelitian utnuk menjawab pertanyaan penelitian yang tertera pada bab 1, yaitu:
1.     Alumni diklat mendapatkan pengetahun dan keterampilan yang dibutuhkan dalam bekerja yang tercermin pada materi yang disampaikan selama kegiatan diklat berlangsung, dan apa yang diperolehnya bermanfaat dalam pelaksanaan tugasnya sebagai guru. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baru selama diklat akan tetapi hanya berupa penguatan atas apa yang telah diterimanya pada kegiatan diklat sejenis yang telah diikutinya.
2.     Dalam implementasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam diklat ditemui variasi kendala yang dihadapi, diantaranya adalah kondisi dan setting kelas konvensional, ketersediaan fasilitas, jumlah peserta didik dalam setiap kelas yang terlalu banyak, rasa percaya diri guru yang kurang, enggan melakukan kegiatan yang membutuhkan waktu dan kesiapan lebih banyak, kebiasaan dengan kegiatan yang praktis dan mudah, dan lemahnya kegigihan untuk menerapkan apa yang telah diperolehnya ketika tidak dilakukan monitoring oleh kepala sekolah.
3.     Dari segi kebermanfaatan, ternyata pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selama mengikuti diklat sesuai dan bermanfaat dalam menunjang kualitas pelaksanaan pekerjaan, akan tetapi dari segi implementasi, ternyata  masih sangat lemah, kebanyakan responden belum menerapkan apa yang dimilikinya dari hasil diklat, pembuatan perangkat pembelajaran hanya sebatas pemenuhan administrasi, pembelajaran masih berjalan konvensioanl dan belum mengaktifkan siswa sebagai subyek belajar, penilaian hasil belajar masih terpaku pada penggunaan instrumen tes tertulis, dan masih langkanya kegiatan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru dalam upaya peningkatkan kualitas profesinya.


I.     Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas dan temuan tentang berbagai kelemahan di lapangan, maka perlu penulis rekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.     Diperlukan koordinasi dan penyamaan persepsi antara Balai Diklat Keagamaan Jakarta dengan satuan kerja lain di lingkungan Kementerian Agama, khsusunya di wilayah kerja DKI Jakarta, Banten, dan Kalimantan Barat tentang pentingnya program lanjutan pasca diklat sebagai upaya pembinaan dan pemberdayaan para guru secara berkelanjutan sehingga kompetensi dan profesionalitas mereka terus dapat ditingkatkan.
2.     Perlunya penegasan oleh Balai Diklat Keagamaan Jakarta tentang konsistensi pemanggilan peserta diklat oleh Kantor Wilayah (Kanwil) dan atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kota sebagai mitra Balai Diklat, sehingga penunjukkan peserta diklat sesuai dengan jenis diklat, kriteria yang dipersyaratkan, dan jenjangnya.
3.     Perlunya dukungan pimpinan satuan kerja dalam melakukan perubahan pola-pola pembelajaran yang efektif dan inovatif dengan dilakukannya monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap para guru yang telah mengikuti berbagai macam kegiatan diklat, sehingga pertanggunganjawab mereka tidak sebatas melaporkan hasil diklat akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menggunakan dan mengimplementasikannya.


J.    Daftar Bacaan

Agustian, Ary Ginanjar, 2001,  Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual (ESQ) The ESQ Way 165, Jilid 1. Jakarta: Arga Tilanta.
Asmu’i, 2011, Peningkatan Mutu Pelayanan Kewidyaiswaraan, Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Bisri, Abdul Mukti, 2008, Dinamika Madrasah Model Unggulan, dan Terpadu Sebuah Studi Kebijakan. Ringkasan Disertasi. (Online). Tersedia: http//www.depag.pendis.go.id. (17 Oktober 2009).
Djamil, Abdul, 2011, Arah Kebijakan Diklat dan Peningkatan Peran Widyaiswara, Bandung: Temu Widyaiswara Nasional.
Gomes, Faustino Cardoso, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset.
Hidayat, Umul, 2006, Upaya peningkatan kompetensi guru. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan. Vol. 4 No. 2 April-Juni 2006.
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi, 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Kurikulum Diklat Teknis Fungsional Peningkatan Guru, 2012, Jakarta : Pusdiklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan.
Lang, Helmut R & David N. Evans. (2006).  Models, Strategies, and Methods for Effective Teaching. USA: Pearson Education.  
Mohammad Ali, 2009, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, Bandung: IMTIMA.
Noor, Juliansyah, 2012, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ke-2.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Eka Jaya, 2005.
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis di Lingkungan Kementerian Agama.
Puskur Balitbang Depdiknas, 2002, Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, Jakarta.
Razak, Nordin Abd,  I. Gusti Ngurah Darmawan , John P. Keeves, 2010, The Influence of Culture on Teacher Commitment. Received: 19 January 2009 / Accepted: 9 December 2009 / Published online: 28 January 2010. Springer Science+Business Media B.V. 2010.
Sallis, E, 2008. Total Quality Management In Education. Terjemahan Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi. Yogyakarta : Ircisod.
Soedijarto, 1993, Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soemarman, T, 2010,  Maximazing Training, Memaksimalkan Pelatihan demi Hasil yang Optimal, Malang: Dioma publishing.
Surakhmad, Winarno, 2009, Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar