Kamis, 22 Maret 2018

PUASA DAN RELIGIUSITAS


Indonesia adalah negara agamis artinya mayoritas penduduknya memeluk agama berlandaskan pada sila Ketuhanan yang Maha Esa sehingga setiap perilaku dan interaksi dalam kehidupan orang Indonesia berlandaskan Ketuhanan. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang terbentuk dari huruf “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Jadi, beragama memiliki arti tidak kacau. Kata kacau dapat dimaknai bercampur aduk, tidak selaras, saling bertabrakan, rusuh, tidak aman, dan tidak tentram. Dengan demikian, orang yang memeluk agama akan berpikir dan bertindak selaras sehingga hidupnya tentram, sebaliknya mereka yang tidak beragama sikap perilakunya tidak selaras dan berdampak pada kehidupan yang tidak tentram.
Realitasnya, terjadi kondisi berbanding terbalik antara kuantitas masyarakat beragama dengan kondisi nyata, ajaran kebaikan setiap agama belum tercermin dalam praktek kehidupan sehari-hari. Fakta menunjukkan bahwa korupsi masih bertebaran dimana-mana, pada tahun 2014 Corruption Perception Index (CPI) yang diterbitkan secara global oleh Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara pada level korupsi cukup tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari rentang skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih), pembunuhan dan pemerkosan juga meningkat tajam, seperti dikutip SindoNews.com pada 1 Januari 2016, bahwa tahun 2015 terjadi peningkatan kasus pembunuhan dan pemerkosaan sebesar 57% dari tahun sebelumnya, begitu juga kekerasan pada anak terus meningkat pada tahun 2016, bulan mei terjadi sebanyak 16.570, pada rentang satu bulan berikutnya bulan Juni bertambah 1500an kasus menjadi 18.078 ini jauh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 2014 sebanyak 461 kasus dan 2015 sebanyak 220 kasus (Republika, 15 Juni 2016, hal. 4).
Fenomena moral atau dalam bahasa agama disebut akhlak di atas, merasuk pada semua kalangan hingga anak didik. Analisis Chandra Adipura dalam Republika (13 Juni 2016) bahwa terdapat korelasi negatif antara perolehan nilai ujian nasional (UN) dengan indeks integritas ujian nasional (IIUN) siswa tahun 2016. Bahwa skor UN cenderung menurun sedangkan skor IIUN meningkat. Korelasi negatif ini dapat diasumsikan bahwa hasil ujian sebelumnya yang baik itu diduga ada kebohongan dan banyak ketidakjujuran karena setelah ada upaya perbaikan proses ujian nasional sehingga IIUN nya meningkat, justru yang terjadi hasil UN nya terbalik menurun, hal demikian tidak dapat dipungkiri dari fakta yang menunjukkan tidak adanya provinsi yang memiliki IIUN 100 % artinya masih terdapat ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional di seluruh provinsi.
Bila persoalan moralitas menjadi masalah dalam masyarakat beragama, maka muncul pertanyaan besar tentang keberagamaan itu sendiri, bahkan bisa diasumsikan bahwa agama hanya pada posisi ingatan berbentuk pengetahuan semata dan tidak atau belum tertanam pada kesadaran yang berwujud akhlak, tidak adanya konektivitas antara pengetahuan agama yang dimiliki dengan perilaku keberagamaannya. Bila dilihat dari definisi Durkheim bahwa hakikat agama merupakan sistem yang terpadu terdiri atas kepercayaan atau keyakinan dan praktik atau pelaksanaan dari keyakinannya itu yang berhubungan dengan hal-hal suci, maka keberagamaan kita belum menjadi sistem yang utuh, masih kacau antara keyakinan dengan prakteknya yang berdampak belum sampai pada ketenteraman. Jadi, bila dimensi dalam beragama itu ada dimensi pengetahuan, dimensi ritual, dimensi penghayatan, dan dimensi pengamalan, maka sepertinya mayoritas kita, tingkat keberagamaannya  masih berkutat pada dimensi pertama dan kedua yaitu dimensi pengetahuan dan ritualitas, tau tentang agama dan melakukan ritual keagamaan tetapi sesungguhnya belum beragama karena belum “kaffah”.
          Kata Khalil Gibran bahwa hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan, semua hasrat dan keinginan adalah buta jika tidak disertai pengetahuan, dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran, dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta.
            Mencermati hal tersebut, paling tidak ada tiga asumsi yang dapat dikemukakan terkait dengan belum tercerminnya perilaku saleh dampak dari ritual ibadah yang dilakukan: pertama, bahwa puasa yang selama ini dilakukan hanya pada tataran menjaga diri dari makan dan minum yang membatalkan puasa dalam konteks fikih, kedua, puasa dilakukan hanya memenuhi syarat dan rukun puasa semata dan belum sampai tahapan menjaga semua panca indera dari maksiat/dosa dan menjaga hati sebagai bentuk ketundukan total kepada sang pencipta, ketiga, puasa dimaknai sebagai rutinitas tahunan sehingga syiar yang ada hanya sebatas bulan ramadhan, seperti penuhnya jamaah shalat pada bulan ramadhan dan upaya menghindari perbuatan dosa hanya pada ramadhan, setelah itu aktivitas ibadah kembali seperti semula dan kejahatan serta kemaksiatan makmur kembali.
          Atas dasar beberapa asumsi di atas, maka hendaknya ibadah puasa tidak hanya pada tataran permukaan untuk memenuhi syarat dan rukun, akan tetapi lebih mendalami makna hakiki sebagai sebuah proses penghambaan diri secara kaffah, karena kualitas proses akan menentukan kualitas hasil yakni menjadi muslim dengan predikat taqwa. Jika dianalogikan dalam cerita pewayangan, kesatria gatotkaca menjadi sakti manderaguna karena proses penggodokan di dalam kawacandradimuka sehingga ia lahir menjadi sosok yang kuat jiwa dan raganya, artinya, bila proses berpuasa dilakukan dengan berkualitas akan menghasilkan dampak yang berkualitas pula karena sudah menjadi sunnatullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar