Kamis, 22 Maret 2018

SENTRALITAS IBADAH DALAM ISLAM


Dalam konsep Islam, semua ibadah bersifat sentralistik yakni terpusat kepada Allah SWT akan tetapi berdampak horizontal, artinya sahnya ibadah itu harus diniatkan karena Allah meskipun Allah tidak menerima manfaat apapun dari ibadah yang dilakukan ummatnya itu namun sebaliknya tentu bernilai pahala bagi yang melakukannya dan kemaslahatan bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu hadits nabi bahwa “asshiyamu junnatun” bahwa puasa itu adalah benteng yakni bagi yang melakukannya dan bermanfaat bagi sekitarnya, dalam surat al-Ankabut ayat 45 bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar tentu bagi yang melakukannya bahkan lingkungan sekitar turut merasakan kenyamannya, begitu pula zakat yang memiliki dampak sosial secara langsung dinikmati oleh mereka yang kurang mampu.
Berpuasa adalah aktivitas ibadah yang bersifat rahasia dan tidak bisa diketahui oleh orang lain seperti ibadah mahdhoh lainnya yakni sholat, zakat, dan haji. Kerahasiaan ibadah puasa memberi makna yang luar biasa dalam mendidik pribadi agar terhindar dari sifat riya dan pamer kebaikan kepada orang lain, dari kegiatan puasa yang dilakukannya dan menurunkan hawa nafsu dan kesombongan. juga supaya terbebas dari sikap minder karena kondisi fisiknya yang melemah karena tidak adanya asupan makanan. Hal ini sesungguhnya bahwa kita tidak diperkenankan mengunggulkan kehebatan kita karena suatu saat akan hadir orang-orang lemah dan nista untuk menguji kehebatan kita itu, dan sebaliknya kita juga harus terbebaskan dari sikap rendah diri atas kelemahan dan kekurangan yang kita miliki karena pasti akan hadir orang-orang hebat di sekeliling kita.
Bila al-Ghazali membagi puasa kedalam 3 kategori, yakni puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa orang khusus dari yang khusus, bisa jadi puasa mayoritas kita masih ada pada kelompok orang awam tidak tergolong orang-orang khusus apalagi khususnya orang yang khusus sehingga tidak berdampak apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Hal ini bisa menjadi isyarat bahwa kualitas perilaku dan ibadah kita pasca bulan ramadhan menjadi gambaran tentang seberapa baik dan ada pada kategori mana puasa yang telah kita lakukan. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus meningkat kebaikannya.
Ada statement bahwa siapa yang solatnya baik maka akan baik pula seluruh perilakunya, benarkah? Jika kembali ke surat al-Ankabut 45 di atas tentu benar dan terjamin, yakni dengan memaknai setiap bacaan dan gerakan solat kemudian diamalkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Bagitu pula haji yang ukuran kemabrurannya dilihat pasca pelaksanaannya. Bahkan Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa haji yang kedua dan seterusnya hukumnya haram apabila disekitar orang yang berhaji itu terdapat tetangga kelaparan dan atau tidak mengenyam pendidikan.
Ummat muslim yang telah selesai menjalankan ibadah puasa dan juga bentuk ritual ibadah lainnya seperti shalat, haji, dan zikir, seyogyanya semakin meningkat amal kebaikannya, meningkat kesalehan vertikal dalam bentuk ibadah mahdhah dan kesalehan sosial sebagai perwujudan kualitas dirinya yang telah dilakukan proses pembinaan berulang kali. Ilustrasinya seperti dalam cerita pewayangan, kesatria Gatotkaca menjadi sakti manderaguna karena proses penggodokan di dalam kawacandradimuka sehingga ia lahir menjadi sosok yang kuat jiwa dan raganya. Pun jika berbagai ibadah dilakukan secara berkualitas akan menghasilkan efek yang berkualitas pula, karena kualitas proses akan menentukan kualitas hasil yakni menjadi muslim dengan predikat taqwa yakni insan yang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat karena senantiasa ada dalam lindungannya.
Pesan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini adalah misi produktif agar kita selalu melakukan perubahan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Namun demikian, fenomena di negeri tercinta ini menunjukkan hampir di semua wilayah dan lapisan masyarakat terjadi kekejian, kemaksiatan, dan perilaku dosa lainnya, nampak tidak ada korelasi antara ibadah yang telah dijalankan bertahun-tahun dengan kesalehan yang ada sehingga perlu direnungkan apa masalahnya dan faktor apa yang menyebabkan rangkaian ibadah vertikal (hablumminallah) yang dilakukan dengan kemaslahatan semesta menjadi terputus, bahkan seolah-olah puasa, shalat dan haji menjadi tidak berdampak terhadap perbaikan perilaku dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal terbaik yang patut kita lakukan adalah tafakkur dan ibda binnafsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar