Kamis, 22 Maret 2018

PENGELOLAAN HAJI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG


Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara pen-support cukup tinggi dalam penyelenggaraan haji setiap tahun. Pelaksanaan ibadah haji memiliki makna besar bernilai spiritual yang merupakan wujud kepasrahan individual terhadap sang Khaliq sebagai penyempurnaan atas keislamannya memenuhi rukun yang terakhir dan sekaligus perjalanan wisata yang memiliki daya tarik tersendiri untuk mengenali nilai-nilai historis sepanjang penyebaran dan perkembangan Islam di Makkah al Mukarromah dan Madinal al Munawaroh, bahkan haji berimplikasi terhadap pembentukan kesalehan sosial sebagai ukuran ke-mabruran haji seseorang. Disadari, bahwa pelaksanaan ibadah haji berperan dalam pembentukan karakter bangsa  menuju masyarakat madani (Civil Society) yang harus didukung oleh pemegang kebijakan melalui regulasi yang jelas dan pasti sehingga terjaminnya pelaksanaan ibadah haji yang profesional, akuntabel dan adil yang mampu memfasilitasi ritual ibadah tersebut dengan aman, nyaman, dan penuh keikhlasan seiring dengan besarnya peran ibadah haji dalam memperkokoh pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

PENDAHULUAN
Pada setiap bulan Zulhijjah, seperti biasanya terjadi peristiwa besar dan bersejarah bagi ummat muslim. Bagaimana tidak, pada bulan ini pada setiap tahunnya diramaikan dengan aktivitas kaum muslimin melakukan perjalanan  spiritual menuju ke Makkah al Mukarromah untuk menunaikan salah satu tugas vertikal dalam rangka penghambaan dirinya kepada sang Khaliq secara total dalam bentuk ibadah haji. Setidaknya ada 2 juta manusia berkumpul disana untuk tujuan mengabdikan dirinya kepada Allah SWT pada setiap tahunnya.
Indonesia termasuk Negara yang cukup besar mensupport jama’ah haji ke tanah suci Makkah, bahkan nyaris tidak didapati tahun yang  kuotanya tidak terpenuhi dari serbuan jama’ah yang hendak berhaji, malah sebaliknya, untuk mendapatkan jatah kuota tahun ini, calon jama’ah sudah harus mendaftarkan dirinya beberapa tahun sebelumnya, sungguh ini merupakan animo yang tinggi dan positif manakala banyak orang Indonesia berduyun-duyun melakukan kegiatan spiritual.
Dengan biaya yang cukup besar hingga mencapai 3.500 dollar jika dikalikan dengan rupiah kira-kira 35 jutaan per orang untuk dapat melakukan ziarah ke tanah suci, masyarakat Indonesia tidak surut niat dan minatnya untuk berhaji, dengan tekad yang kuat dan keinginan yang tinggi apapun persiapannya mereka lakukan bahkan bagi mereka yang ekonomi pas-pasanpun secara all-out terus maju. Seolah ada daya tarik tersendiri, ibadah haji menjadi idola ummat islam, mungkin disamping esensinya adalah ibadah mahdhah yang pasti mendapatkan balasan dari Allah SWT (sesuai janjinya dalam al Qur’an), berhaji juga merupakan perjalanan wisata dengan berziarah mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti bukit shafa marwa, jabal nur, dll.

HAKEKAT IBADAH HAJI
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan berbagai perubahan. Akan tetapi, bentuk-bentuk umum tata laksana ibadah haji tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Agama Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan menyimpang dari syariatnya, sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. Pelaksanaan ibadah haji memang tidak terlepas dari ajaran nabi sebelum Muhammad SAW. Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim, ritual sa'i, berlari antara bukit Shafa dan Marwah didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
Penyerahan secara total kepada Allah SWT setiap individu selama melakukan ibadah haji di Baitullah sebagai derivasi dari komitmen “ inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin“ bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah robbul ‘alamin, merupakan ikrar yang keluar dari sanubari sebagai wujud akselerasi spiritualitas yang dapat merefleksikan sikap positif baik secara vertikal kepada Allah maupun secara horizontal terhadap sesama manusia bahkan binatang dan tumbuhan. Dengan demikian, pasca berhaji seyogyanya dapat mewujudkan sosok insan ideal yang cerdas secara spiritual dan emosional untuk mencapai  haji yang mabrur. Haji mabrur berarti haji yang diterima oleh Allah SWT dengan indikasi semakin membaiknya perlaku dalam kehidupan sehari-hari yang sangat korelatif dengan upaya penyembuhan bangsa dari krisis moral berkelanjutan yang hingga saat ini masih menimpa negeri tercinta ini.
Penekanan kemabruran haji seseorang pada perubahan sikap dan perilaku individual subyektif (taqorrub ilallah) maupun sosial obyektif (khoirun naas anfa’uhum linnas) sepulang dari haji menunjukkan betapa haji memiliki nilai religius sentralistis terfokus kepada Allah SWT yang memiliki dampak horizontal bukan karena kuantitas pelaksanaan haji yang berulang akan tetapi lebih karena pemaknaan terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan nyata sebagai bentuk kesalehan sosial, seperti di ungkapkan Ahmad Tafsir bahwa pelaksanaan ibadah haji yang kedua, ketiga dan seterusnya bisa berubah hukumnya tidak lagi sunnah tetapi menjadi haram apabila disekitar orang yang berhaji itu masih dijumpai masyarakat yang kelaparan atau tidak sekolah.
Pada konteks Indonesia, apabila setiap tahunnya ada 200 ribu jama’ah berasal dari Indonesia melakukan ibadah haji ke tahan suci, maka berarti ada 200 ribu orang yang secara ikhlas melakukan pencerahan spiritual tanpa ada paksaan dari siapapun yang diasumsikan berdampak pada semakin positifnya perilaku dalam bertindak dan berbuat. Semakin banyaknya masyarakat yang berperilaku positif maka tentunya semakin kondusif kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Perilaku negatif dapat diminimalisir, penyakit masyarakat dapat ditekan dan kejahatan lainnya berkurang, secara otomatis stabilitas bangsa ini semakin kokoh dan berintegritas tinggi. Betapa tidak, karena sesungguhnya ajaran islam tidak hanya bersifat spiritualistik melainkan juga memperhatikan aspek keduniawian atau skularistik (Engineer: 1987). Seiring dengan hal tersebut, aktivitas berhaji dapat menjadi pondasi bagi pembangunan karakter bangsa melalui pencerahan mental spiritual dan sosial emosional yang perlu didukung oleh Pemerintah agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Aspek spiritualistik, seperti diungkap oleh Engineer di atas, menunjukkan bahwa berhaji perlu didukung guna meningkatkan kualitas diri menjadi insan bertakwa yang memiliki kesejahteraan bathiniyah diukur dari kedekatannya kepada Allah SWT dan terus membesarkanNya sebagai Zat yang diyakini secara total mampu mendorong setiap aktivitas, aksi dan reaksi bukan karena faktor lain. Di sisi lain, aspek skularitas tidak dapat dilepaskan dari kenyataan ekonomis yang menjadi kebutuhan manusia akan biaya dan kemampuan material lainnya selama pelaksanaan ibadah haji. Terlepas dari statement bahwa orang yang berhaji berarti memiliki kesiapan secara materi, aspek efektivitas dan efisiensi biaya perlu menjadi kajian tersendiri yang harus dicarikan solusinya.
Apabila aspek spiritualitas bersifat individual subyektif sangat pribadi dan menjadi urusan setiap insan dengan Khaliqnya, maka keberadaannya hanya diketahui oleh dirinya melalui pengakuan jujur bersumber dari hati nurani. Akan tetapi pada tataran skularistik yang bersifat sosial obyektif, maka pelaksanaan ibadah haji sangat erat kaitannya dengan penilaian masyarakat luas, analisis ekonomis, kajian manajemen, bahkan benchmark atau pembanding dengan pelaksanaan ibadah haji yang diselanggarakan oleh negara lain. Maka, pada aspek kedua ini, muncul banyak variabel masalah yang membutuhkan regulasi dan keterlibatan pemegang otoritas untuk berjuang mensukseskan pelaksanaan sebuah ibadah masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya.   

PELAKSANAAN IBADAH HAJI DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG
Bermula dari tuntutan reformasi politik tahun 1998, muncul berbagai isu perubahan. Salah satu hasilnya, adalah disahkan dan diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Artinya, bangsa ini memiliki pedoman penyelenggaraan haji yang diharapkan mampu merubah proses pelaksanaan ibadah haji lebih baik.
Reformasi politik memang telah mengubah banyak segi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk berubahnya manajemen pemerintahan ke arah yang lebih demokratis, transparan dan tidak sentralistik, termasuk adanya perubahan UU Nomor 17 Tahun 1999 dengan lahirnya Undang-Undang nomor 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji yang terdiri terdiri dari 17 bab dan 69 pasal, yang kemudian mengalami revisi dengan lahirnya Undang-Undang nomor 34 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji menjadi undang-undang. Lahirnya UU nomor 34 tahun 2009 dalam rangka mengatasi terjadinya kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh negara yang akan menunaikan ibadah haji harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional termasuk juga jemaah haji Indonesia.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji yang tercantum dalam asas dan tujuan haji, pada pasal 2, disebutkan  bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Dan pada pasal 3, Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
Kewajiban Pemerintah adalah menjamin pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan rencana yang dipersipakan, mana yang harus dilakukan, item apa yang tidak urgen dan bagaimana proses pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan prosedur yang tepat. Jikalau efektivitas penyelenggaraan ibadah haji dapat dilakukan, maka efisiensi biaya dapat dicapai sehingga masyarakat tidak terbebani dengan besarnya biaya / ongkos naik haji tersebut.
Pada pasal 6, dijelaskan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Artinya, bahwa secara teknis operasional, Pemerintah dituntut menyiapkan seluruh keperluan jemaah haji sesuai dengan hak yang harus diterima oleh jemaah haji seperti diungkapkan dalam pasal 7: bahwa jemaah haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan ibadah haji, yang meliputi:
a.     Pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b.     Pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
c.     Perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;
d.     Penggunaan paspor biasa dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan
e.     Pemberian kenyamanan transportasi dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.
Atas hak-hak yang harus diterima oleh jemaah haji tersebut di atas, maka sesungguhnya pemerintah harus berperan dalam pelaksanaan ibadah haji dengan melakukan tindakan-tindakan:
a.     Membuat alur koordinasi yang cepat, tepat, dan professional dari lapisan atas sampai bawah sehingga kendala yang dihadapi setiap tahun dapat diantisipasi.
b.     Memberikan layanan kepada seluruh jemaah haji dengan standar yang jelas, akuntabel, dan terpadu.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan haji masih banyak ditemukan masalah dan kendala. Oleh karena itu dibutuhkan intensitas Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas yang berfungsi melakukan pemantauan operasional, mengkoleksi berbagai aduan masyarakat dan merumuskan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji.            Paling tidak terdapat enam unsur pokok dalam penyelenggaraan ibadah haji yang harus diperhatikan, yaitu:
1.     Calon haji
2.     Pembiayaan
3.     Kelengkapan administrative
4.     Sarana transportasi
5.     Hubungan bilateral antarnegara, dan
6.     Organisasi pelaksana
            Diantara hal yang sering menjadi perdebatan dan pembahasan semua kalangan adalah persoalan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap aspek lainnya. Dalam pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Pada ayat 2, bahwa  BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan pada ayat 3 dikatakan bahwa  ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri. Dengan demikian, secara teknis, pengelolaan biaya haji ini sepenuhnya berada dalam kewenangan Menteri Agama dari mulai pemberangkatan sampai tiba kembali ke tanah air.
Sejalan dengan pernyataan di atas, bahwa dalam sebuah lembaga, tindakan manajerial merupakan ujung dari lahirnya akuntabilitas. Seperti dikatakan oleh Cook (2001: 490), akuntabilitas merupakan dampak adanya otoritas yang dimiliki oleh seorang manajer, otoritas merupakan hak melakukan pengambilan keputusan berdasarkan hirarki jabatan yang dimilikinya, dan manajer sebagai pengelola manajemen pada suatu sistem organisasi merupakan sosok yang dapat mempengaruhi sistem tersebut yang bertanggungjawab atas setiap aktivitas yang berjalan sesuai dengan aturan dan bertanggungjawab pula atas perimbangan produktivitas dengan hasil yang dicapai.
            Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengelola dana haji tersebut, maka kementerian agama dituntut untuk dapat menjalankannya dengan efektif, efisien, dan akuntabel yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Dalam pasal 25 disebutkan bahwa laporan keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji disampaikan kepada Presiden dan DPR paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Penyelenggaraan Ibadah Haji selesai. Dan jika terdapat kelebihan, maka dalam Undang-Undang harus dimasukkan ke dalam Dana Abadi Ummat (DAU) yang fungsinya diperuntukkan guna kemaslahatan ummat islam diantaranya meliputi kegiatan pelayanan Ibadah Haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah (Pasal 47).
Terkait dengan akuntabilitas sebagai penilaian yang dilakukan oleh masyarakat, akan mendorong lahirnya kepercayaan atas tingkat tanggungjawab dalam tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan termasuk pula di dalamnya tentang pembelanjaan dan penggunaan uang publik oleh pejabat Negara sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini seperti dirinci oleh Turner dan Hulme (1997: 125), terdapat enam aspek yang mendorong akuntabilitas, yakni; (1). adanya legitimasi bagi para pembuat keputusan; (2). kepemimpinan yang bermoral; (3). adanya kepekaan; (4). Keterbukaan; (5). pemanfaatan sumber daya secara optimal, dan; (6). upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi.
Idealisme Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji tersebut di atas, merupakan kebutuhan masyarakat luas untuk dapat melaksanakan ritualitas ibadah dengan tenang, nyaman dan memuaskan. Meskipun ukuran kepuasan masyarakat ini sangat abstrak dan sulit mengukurnya, akan tetapi dapat kita ejawantahkan dalam poin-poin indikator yang mampu mendorong perjalan ibadah haji dirasakan oleh semua pihak dengan baik, sehingga persoalan yang sering muncul seperti transportasi, pemondokan, akomodasi, layanan kesehatan, dll dapat diantisipasi dan dipertanggungjawabkan kepada publik.

PENUTUP
Perjalanan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun oleh ummat islam merupakan kegiatan rutin dan hajat tahunan yang seyogyanya dapat dilakukan dan dikelola dengan baik karena substansi item permasalahannya sudah diketahui sejak lama dan karakteristiknya tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, menjadi kewajiban semua pihak sesuai peran dan fungsinya untuk dapat mendorong pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik, professional, transparan dan akuntabel. Dan akuntabilitas sangat ditentukan oleh kombinasi yang sinergis antara usaha, kemampuan dan keterampilan orang-orang yang terkait di dalamnya.

DAFTAR BACAAN
Ali, Mursyid. 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah Di Indonesia. Jakarta. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Curtis W. Cook, 2001. Management and Organization Behavior. NewYork: McGraw-Hill Higher Education.
Mahmud, Adnan, dkk. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajara.
Mark Turner & David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development. London: MacMilan Ltd Press.
Syaukani, Imam. 2009. Manajemen Pelayanan Haji Di Indonesia. Jakarta. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji.
Undang-Undang nomor 34 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji menjadi undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar