Jumat, 21 Agustus 2020

KONSEP KINERJA, KEPEMIMPINAN, BUDAYA, MOTIVASI DAN KOMITMEN

1. Kinerja Guru dalam Administrasi Pendidikan             

            Administrasi pendidikan merupakan proses kerjasama dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Seperti dikatakan Suhardan (2008: 10) bahwa administrasi pendidikan merupakan kerjasama mencapai tujuan dengan melibatkan berbagai aspek yang dipandang positif dan dapat menunjang upaya pencapaian tujuan tersebut. Di dalam administrasi pendidikan terdapat beberapa unsur atau bidang garapan yang satu dengan lainnya saling berkaitan, yaitu meliputi unsur sumber daya manusia, unsur sumber belajar dan unsur fasilitas yang dilaksanakan dalam satu sistem melalui tiga fungsi, yakni fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pengawasan.

Madrasah sebagai institusi pendidikan merupakan sistem yang kompleks dan didalamnya terdapat berbagai unsur yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan mempengaruhi dalam satu pola administrasi. Unsur-unsur di atas diantaranya adalah unsur manusia seperti guru, siswa, dan para staf yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsi berbeda, dan unsur non manusia seperti sarana, kurikulum, dan biaya. Unsur-unsur tersebut merupakan satu sistem yang berinteraksi saling mendukung dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan.

Pengelolaan pendidikan di Indonesia, baik sekolah umum maupun madrasah diatur dalam Standar Nasional Pendidikan yang memuat delapan standar yang saling terkait satu dengan lainnya dan menjadi penentu proses pembelajaran. Meskipun masukan berupa peserta didik serta masukan instrumental berupa isi, tenaga, sarana dan prasarana, biaya dan pengelolaan sudah memadai, akan tetapi masih tergantung pada proses pembelajaran untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang bermutu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Nana Syaodih S., dkk (2006:7) bahwa mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan pada sekolah atau madrasah menghasilkan lulusan yang bermutu jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Dan juga sesuatu yang mustahil terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula terutama kinerja guru yang memadai.

Mengajar sebagai sebuah proses tidak terlepas dari keterlibatan unsur lainnya sebagai satu sistem, yaitu input, process, dan output. Unsur masukan (input)adalah siswa, guru, kepala sekolah, fasilitas, media, dan sarana prasarana. Unsur prosesmeliputi kegiatan pengajaran, pelatihan, bimbingan, evaluasi dan pengelolaan. Sedangkan unsur outputadalah produk berupa lulusan atau siswa yang terdidik. Berkaitan dengan komponen-komponen yang membentuk sistem pendidikan, lebih rinci Nana Syaodih S., dkk (2006:7), mengemukakan bahwa komponen input diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu (1) raw input, yaitu siswa yang meliputi kemampuan intelektual, kesehatan fisik, sosial-afektif dan peer group. (2) Instrumental input, meliputi kebijakan pendidikan yang diterapkan, program pendidikan (kurikulum), personil sekolah (Kepala sekolah, guru, staf TU), sarana, fasilitas, media, dan biaya, dan (3) Environmental input, meliputi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga sosial, unit kerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa proses pembelajaran merupakan komponen sistem pendidikan yang dapat menentukan keberhasilan pembelajaran dan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk menjadikan mutu pendidikan lebih baik, diperlukan proses atau transformasi pembelajaran yang berkualitas.  Proses pendidikan sebagai sebuah kegiatan administrasi terdapat input berupa siswa yang hendak diproses untuk dapat menguasai kompetensi atau keahlian tertentu sesuai dengan tujuan yang direncanakan sehingga hasil yang dicapai atau output-nya sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kerangka transformasi input hingga menghasilkan outputpendidikan yang diharapkan,terdapat 4 unsur kunci yaitu sistem struktural, sistem individu, sistem budaya, dan sistem politik.Sistem struktural didalamnya adalah harapan birokrasi yang ada di sekolah yang mengatur posisi atau jabatan kepala sekolah, guru, dan staf serta aturan-aturan bagi setiap unsur yang terlibat dalam sekolah tersebut. Sistem individu di dalamnya ada cognition dan motivation, yaitu keadaan mental setiap individu untuk memahami dan melaksanakan pekerjaan dengan baik, sikap optimis mencapai keberhasilan dan dorongan kerja yang kuat untuk mencapai tujuan yang dilandasi dengan keterampilan dan keyakinan yang kuat dalam bertindak. Sistem budaya adalah keterkaitan antara aturan birokrasi yang berlaku dengan pelaksanaan kerja setiap pegawai yang satu sama lainnya saling berinteraksi sesuai dengan norma, nilai dan keyakinan yang dipegangnya. Sistem terakhir adalah politik yaitu terkait dengan kekuatan hubungan dan bargaining antara satu individu dengan individu lainnya dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan.

Pendidikan sebagai langkah strategis dalam mengembangkan sumber daya manusia berkualitas telah disadari olehPemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan. Pengelolaan pendidikan berkualitas tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur utama yang telah dikemukakan di atas, yakni unsur manusia, unsur biaya, dan unsur sarana prasarana.

Guru adalah bagian dari unsur manusia yang memiliki peran mendasar dalam keberhasilan pendidikan di sekolah. Seorang guru dituntut memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan memadai, kemauan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, serta komitmen terhadap pekerjaan yang diembannya sehingga mendoronglahirnya kinerja yang optimal.

Hal di atas, bahwa kualitas pendidikan secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas guru. Hal ini seperti dikatakan Brandt (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001 : 262), bahwa guru merupakan kunci utama yang memiliki peran besar dalam peningkatan mutu pendidikan, guru berada pada titik sentral dari setiap usaha perbaikan pendidikan yang diarahkan pada perubahan seluruh aspek seperti kurikulum, metode dan pengembangan sarana prasarana. Perubahan dan perbaikan aspek-aspek di atas, tidak akan bermakna apabila melibatkan guru sebagai pelaku pendidikan.

Bentuk kebijakan Pemerintah untuk mengangkat profesionalisme dan meningkatkan kinerja guru di Indonesia adalah melalui program sertifikasi guru dengan segala konsekuensinya. Sertifikat guru adalah sebuah sertifikat yang ditanda tangani oleh Perguruan Tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Sedangkan sertifikasi adalah proses pemberian setifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar professional guru (Tanya Jawab tentang Sertifikasi Guru, 2007: 1).

Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pada pasal 8, disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan (Kumpulan UU dan PP RI tentang Pendidikan, 2007: 78)

Menurut Surakhmad (2009: 251-252) bahwa program sertifikasi guru diharapkan dapat tercapainya hal-hal sebagai berikut:

1.     Terciptanya mata rantai kegiatan kependidikan sehingga guru lebih termotivasi secara intrinsik untuk berkarya dan berkembang.

2.     Sistem pengadaan, penempatan, pemberdayaan, dan pembinaan guru akan lebih baik dan profesional.

3.     Lembaga pendidikan tenaga kependidikan akan lebih bertanggung jawab dan terfokus pada upaya menghasilkan guru yang lebih unggul dari segala aspek keguruan.

4.     Masyarakat awam akan lebih memahami, menghargai, dan mendukung posisi serta peran gurusebagai kekuatan pendidikan bangsa.

5.     Pemerintah akan lebih terbuka, berani, dan mendukung peran guru dalam melakukan pendidikan anak bangsa ini.

Berdasarkan uraian di atas, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri.Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas dan kinerja yang baik. Oleh karena itu, jika guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar tenaga pendidik dan kependidikan.Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud dan pada akhirnya diharapkan kinerjanya meningkat.

Guru harus memiliki tiga komponen utama, yaitu kualifikasi pendidikan S1 atau D4, memiliki kompetensi berupa kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, serta memiliki sertifikat pendidikan sebagai bukti keprofesionalannya. Bagi guru yang belum memenuhi persyaratan di atas, maka harus memenuhi terlebih dahulu syarat pendidikannya selanjutnya mengikuti pendidikan profesi yang diharapkan dapat meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Pendidikan profesi ini dilakukan oleh Pemerintah melalui Perguruan Tinggi yang ditunjuk, yaitu Perguruan Tinggi yang memiliki program pendidikan guru. Sertifikasi guru sebagai bentuk dan bukti telah mengikuti program sertifikasi ini merupakan hak setiap guru mendapatkan sertifikat sebagai bukti sebagai tenaga profesional.

Bagi guru yang dinyatakan lulus dan telah mendapatkan sertifikat sebagai pendidik profesional, maka mereka mendapatkan haknya yang diatur sesuai undang-undang pada pasal 14, yaitu mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum dan kesejahteraan sosial, memperoleh promosi dan penghargaan sebagai pendidik, berhak atas perlindungan dan hak atas kekayaan intelektual, mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi sebagai tenaga profesional, memperoleh dan dapat memanfaatkan sarana dan prasarana, memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi untuk meningkatkan wawasan sesuai tuntutan dan perkembangan zaman, mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, memiliki peran dalam penentuan kebijakan pendidikan, berhak atas rasa aman, jaminan keselamatan dalam bekerja serta kebebasan berserikat dalam organisasi profesi, dan memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dalam penentuan kelulusan serta dalam hal memberikan penghargaan dan sanksi kepada siswa. Hak-hak yang diberikan di atas, diharapkan mampu mendorong kinerja guru lebih optimal dengan diberikannya kesejahteraan dan kelayakan lainnya terkait dengan profesi sebagai guru.

Seiring dengan adanya kebijakan sertifikasi dan pemberian berbagai fasilitas kepada guru seperti tergambar di atas, seyogyanya kinerja guru semakin membaik dibandingkan dengan kinerja sebelumnya ketika Pemerintah belum menyentuh profesi guru dan berusaha meningkatkannya melalui berbagai program yang diselenggarakan.

  2. Kinerja Mengajar Guru

    a. Konsep Dasar Kinerja

Kinerja seseorang dalam menjalankan pekerjaannya merupakan sesuatu yang urgen sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah lembaga.Banyak pengertian yang diberikan para ahli mengenai istilah kinerja, secara prinsip tampak bahwa kinerja adalah tindakan yang dilakukan seseorang dalam pencapaian suatu hasil.

Campbell (2002: 704) mengatakan bahwa kinerja adalah perilaku, yaitu sesuatu yang dilakukan seseorang yang tercermin dalam tindakan kerjanya.(Performance is behavior. It is something that people do and is reflected in the action that people take).Artinya bahwa baik buruknya kinerja seseorang dapat dilihat aktivitas yang dilakukannya, kinerja yang baik berarti aktivitasnya baik dan begitu juga sebaliknya.

Antara aktivitas dan kinerja tidak dapat dipisahkan karena ujung dari kinerja seseorang tercermin dari perbuatan yang dilakukannya, artinya sulit dilihat kinerja seseorang tanpa melihat apa yang dilakukannya.Aktivitas atau perilaku seseorang dalam bekerja menunjukkan kinerjanya, perilaku baik, jujur, semangat bekerja dan pantang menyerah terhadap tantangan yang dihadapinya berarti menunjukkan kinerja yang baik, dan begitu pula sebaliknya.

Kinerja merupakan nilai dari seperangkat perilaku yang berkontribusi baik secara positif maupun negatif terhadap pencapaian tujuan organisasi, artinya kinerja positif akan berkontribusi pada semakin tercapaianya tujuan organisasi, dan semakin negatif kinerja, maka akan berpengaruh terhadap semakin jauh pencapaian tujuan, seperti dikatakan “Job performance is formally defined as the value of the set of employee behaviors that contribute, either positively or negatively, to organizational goal accomplishment” (Jasson A. Colquitt, et.al, 2009: 37).

Kinerja  seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dalam diri sendiri, faktor internal sangat berperan dalam menentukan kualitas kerja dari seseorang.Dengan adanya keinginan dan tekad yang bulat yang berasal dari dalam diri, maka kinerja yang dihasilkan dapat meningkat dengan baik.Lain halnya dengan faktor eksternal, faktor ini memungkinkan seseorang bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh untuk menciptakan kualitas kerja berdasarkan faktor dari luar diri sendiri. Hal ini dapat terjadi dengan adanya dorongan dari pimpinan berupa  penilaiankinerja.

Anderson (1989 : 347) mengemukakan bahwa kinerja tidak terlepas dari apa yang sebenarnya dilakukan orang dan bukan hanya sekedar melakukan tugas semata. Kinerja adalah suatu hal yang spesifik dalam situasi kerja  dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang, konteks dimana orang bekerja dan kemampuannya menerapkan kompetensinya pada waktu tertentu. Seperti dikatakan Nanang Fattah (1999:19) bahwa kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.

Menurut Whitmore (1997:104) kinerja merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, secara keseluruhan diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi. Sejalan dengan pandangan di atas Lindsay dan Petrick (1997: 261) mendefinisikan kinerja individu sebagai pengembangan terus-menerus dari implementasi tugas pribadi sehari-hari dan kaitannya dengan lingkup aktivitas yang menjadi tanggungjawabnya (Individual performance was defined as the daily implementation of continuous improvement in personal tasks and relational aktivity within an employee’s own scope of responsibility).

Campbell (2002 : 708) membagi taksonomi kinerja menjadi 8, yaitu: (1) Keahlian pengerjaan tugas yang spesifik; (2) Keahlian pengerjaan tugas yang tidak spesifik; (3) Komunikasi kerja lisan dan tulisan; (4) Mendemonstrasikan upaya; (5) Memelihara disiplin pribadi; (6) Memfasilitasi kinerja rekan kerja dan tim; (7) Melakukan supervisi kerja; (8) Penerapan administrasi. (A taxonomy of major performance components: (1) Job-specific task proficiency; (2) Nonjob-specific task proficiency; (3) Written and oral communication task; (4) Demonstrating effort; (5) Maintaining personal discipline; (6) Facilitating peer and team performance; (7) Supervision; (8) Management/administration).

Patricia King (1993 : 19) berpendapat bahwa kinerja adalah aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepadanya. Mengacu dari pandangan ini dapat dinyatakan bahwa kinerja seseorang dihubungkan dengan tugas-tugas rutin yang dikerjakannya.Artinya bahwa kinerja (performance) merupakan hasil interaksi atau berfungsinya unsur-unsur motivasi, kemampuan, dan persepsi pada diri seseorang.

Unsur motivasi dan kemampuan (ability) guru dalam proses kerja sangatlah penting, karena kinerja mengajar mereka merupakan pokok utama untuk mengantar proses pencapaian hierarki tujuan instruksional ke tujuan pendidikan nasional. Kinerja seorang guru dalam praktek di kelas ditentukan oleh konsep yang dimilikinya tentang pembelajaran, yaitu menyangkut permasalahan teknis pembelajaran dan esensi pembelajaran. Ketika kompetensi guru sudah terpenuhi, maka konsekuensi logisnya adalah berdampak pada kualitas proses pembelajaran dan pada akhirnya menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Seperti dikatakan Colin Marsh (2008 : 345) bahwa kinerja mengajar guru harus dilandasi lima kompetensi, yakni: Kompetensi menggunakan dan mengembangkan nilai dan pengetahuan profesional, kompetensi berkomunikasi, interaksi dan bekerja dengan siswa dan lainnya, kompetensi membuat perencanaan dan mengelola kegiatan belajar mengajar, kompetensi melakukan monitoring dan penilaian hasil belajar siswa dan lulusan, dan kompetensi melakukan refleksi, evaluasi, dan membuat perencanaan perbaikan / pengembangan yang berkelanjutan.

Karakteristik kemampuan di atas, merupakan prasyarat profesi dalam mendidik, mengajar, dan melatih anak didik, yang mencerminkan profesionalitas seorang guru, meskipun dari sisi lain berbagai aktivitas tersebut merupakan bagian tugas kemanusiaan yang satu sama lain saling membutuhkan. Oleh sebab itu, tugas dan kedudukan guru memiliki kedudukan yang mulia baik dilihat dari segi kepentingan masyarakat lebih luas maupun dari segi tuntutan profesi yang mengharuskan adanya keahlian itu.

Mengajar merupakan fenomena sosial yang terjadi di dalam sebuah kelas pembelajaran dan menuntut keahlian atau profesionalitas dalam pelaksanaanya. Seperti dikatakan Holmes Group dalam fasli Jalal (2001 : 317) bahwa:

“Teaching has long been an underpaid and overwork occupation,…teaching, after all, comes with large responsibility but modest material rewards. Good teachers must be konwledgeble, but they have few opportunities to use knowledge to improve their profession, or to help their colleagues improve. And, despite their considerable skill and knowledge, good teachers have few opportunities to advance within their profession”.

 Mengajar merupakan kegiatan menantang dan kompleks yang harus dapat menjamin keberhasilan siswa dalam belajar baik secara individual maupun kelompok termasuk di dalamnya adalah siswa yang memiliki kesulitan belajar, oleh karena itu, guru dituntut dapat membuat keputusan yang tepat sesuai kebutuhan siswa di dalam kelasnya.Hal di atas, mensyaratkan keberadaan guru untuk memahami siswa secara mendetil baik aspek psikolgis maupun fisiknya, menguasai materi pelajaran yang diajarkan, memahami hakikat belajar dan pembelajaran serta mengerti tentang dunia sekelilingnya yakni lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar mengajar.

Uraian di atas, sesungguhnya aktivitas mengajar merupakan sebuah profesi yang menuntut adanya persyaratan tertentu. Seperti dikatakan Soedijarto (1993 : 96) bahwa suatu jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus karena dalam jabatan tersebut diperlukan kemampuan menganalisis, merencanakan, menyusun program, mengelola (menata), mendiagnosis, dan menilai. Pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional karena pekerjaan ini menuntut pekerjaan menyusun rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing, dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya proses belajar mengajar selanjutnya.

Sebagai sebuah profesi, kinerja guru sangat berkaitan erat dengan upaya pencapaian tujuan besar dan strategis yakni pendididikan yang berkualitas, maka pada orde reformasi diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya memuat tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan serta standar proses. Pada pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, rasional dan  terrencana terkait dengan aktivitas pendidikan dan pembelajaran disertai sikap tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pendidik sesuai dengan standar yang ditetapkan dan peraturan yang ada.

Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip tertentu (Kumpulan UU dan PP RI Tentang Pendidikan, 2007 : 77) yaitu :

1)    Memiliki Bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

2)    Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

3)    Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.

4)    Memiliki kopetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.

5)    Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.

6)    Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

7)    Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.

8)    Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

9)    Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Kinerja guru mengacu kepada kemampuan menjalankan tugas-tugas pelayanan pendidikan secara mandiri. Kemampuan yang dimaksud berbentuk perbuatan nampak, dapat diamati, dan dapat diukur sehingga satu sama lainnya memiliki ciri dan perbedaan nyata. Perbuatan yang nampak tersebut didasari antara lain oleh pengetahuan, wawaasan, keterampilan, semangat dan sikap positif. Menurut Marsh (2008 : 82), terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi guru dalam mengajar, yaitu:

1)    Waktu, guru mengalokasikan waktu yang cukup untuk membahas sebuah topik pembelajaran.

2)    Rasional, guru mempertimbangkan berbagai masalah pokok yang terkait dengan sumber daya, perhatian keluarga, dan etos kerja sekolah.

3)    Tujuan atau sasaran, yaitu konsistensi tujuan apakah hal tersebut dapat dicapai oleh siswa.

4)    Isi, yaitu apakah isi pembelajaran itu penting bagi siswa, valid, sesuai dengan kondisi sosial, bermanfaat dan menyenangkan bagi siswa.

5)    Pengalaman belajar, yaitu apakah memiliki strategi yang bervariasi, apakah mereka optimal ingin mencapai tujuan pembelajaran, apakah strategi pembelajaran aktif  dapat dibangun siswa.

6)    Evaluasi atau penilaian, yaitu apakah terdapat strategi yang bervariasi, dapat memberikan feedback kepada siswa, dan strategi itu apakah berkaitan dengan hasil yang dicapai.

Dikatakan Uzer Usman (2006: 10-19) bahwa indikator kinerja guru dalam proses belajar-mengajar adalah: 1) Kemampuan merencanakan kegiatan belajar mengajar, yang meliputi: a) menguasai garis-garis besar penyelenggaraan pendidikan, b) menyesuaikan analisis materi pelajaran, c) menyusun program semester, d) menyusun program atau pembelajaran; 2) Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar mengajar, meliputi: a) tahap pra instruksional, b) tahap instruksional, c) tahap evaluasi dan tidak lanjut; dan 3) Kemampuan mengevaluasi, meliputi: a) evaluasi normatif, b) evaluasi formatif, c) laporan hasil evaluasi, dan d) pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan.

Uraian di atas, dalam konteks dan tuntutan undang-undang, seorang guru harus memiliki kualifikasi minimal berupa tingkat pendidikan, kompetensi dasar sebagai seorang guru dalam menjalankan tugasnya dalam berinteraksi dengan sesama guru, dengan siswa dan orang lainnya yang terkait dengan pendidikan, serta sertifikat sebagai pendidikan profesional.

Bentuk kualifikasi dan kompetensi seorang guru di atas, dijelaskan dalam pernyataan Muijs and Reynolds dalam Jeff Jones, Mazda Jenkin and Sue Lord (2006: 5)bahwa kinerja guru yang efektif sangat bergantung pada beberapa aspek, yaitu :

“The effective teachers performanace: 1. have a positive attitude; 2. develop a pleasant social / psychological climate in the classroom; 3. have high expectations of what pupils can achieve; 4. communicate lesson clarity; 5. practise effective time management; 6. employ strong lesson structuring; 7. use a variety of teaching methods; 8. use and incorporate pupil ideas; and 9. use appropriate and varied questioning”.

Bahwa kinerja seorang guru akan efektif bila memiliki kriteria sebagai berikut:  memiliki sikap positif, mampu membangun iklim kelas yang kondusif, memiliki harapan yang besar terhadap keberhasilan siswa, mampu berkomunikasi dengan jelas, dapat mengelola waktu secara efektif, menggunakan struktur pembelajaran yang jelas, menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang bervariasi, menggali dan menggunakan ide-ide siswa, dan menggunakan berbagai model pertanyaan yang bervariasi.              

Kinerja guru sebagai salah satu faktor dalam raw-input yang berperan menentukan keberhasilan proses pembelajaran memiliki 5 cakupan atauarea, seperti dikatakan Surendar S. Dahiya (2005: 220), yaitu:

1)    Kinerja di dalam kelas, yaitu bagaimana seorang guru melakukan aktivitas proses belajar mengajar, teknik melakukan evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa dan manajemen atau mengelola kelas.

2)    Kinerja pada level sekolah, yaitu bagaimana seorang guru dalam lingkup organisasi, ia dapat mengikuti pertemuan-pertemuan sekolah, perayaan kebangsaan, kegiatan kebudayaan, dan partisipasi dalam kegiatan pada level manajemen.

3)    Kinerja di luar aktivitas sekolah, yaitu bagaimana seorang guru melakukan kegiatan kunjungan lapangan dan melakukan kegiatan observasi di luar sekolah.

4)    Kinerja terkait hubungan dan kerjasama dengan orang tua, yaitu kinerja guru berkaitan dengan pertemuan-pertemuan rutin, diskusi untuk kepentingan progress report dan upaya peningkatan prestasi belajar mengajar.

5)    Kinerja terkait hubungan dan kerjasama dengan masyarakat, yaitu kinerja guru terkait dengan upaya menangkap isu-isu pendidikan, menggabungkan even kegiatan sekolah dengan masyarakat, dan mendorong peran masyarakat dalam upaya pengembangan sekolah.

Danielson dalam Sergiovanni & Starra (2002: 183-185) menggambarkan kinerja guru dalam 4 domain level kinerja, yaitu :

a.     Persiapan dan perencanaan. Domain ini mencakup :

1)    Menunjukkan pengetahuan  konten dan pedagogi.

2)    Menunjukkan pengetahuan tentang siswa, yaitu pengetahuan tentang karakteristik usia kelompok siswa, pengetahuan tentang variasi pendekataan siswa dalam pembelajaran, pengetahuan tentang kemampuan dan pengetahuan siswa, dan pengetahuan tentang minat siswa tentang budaya yang diwariskan.

3)    Menseleksi tujuan pembelajaran, yaitu terkait dengan nilai, kejelasan, kecocokan untuk berbagai siswa yang berbeda, dan keseimbangan.

4)    Menunjukkan pengetahuan tentang berbagai sumber, yaitu sumber untuk guru maupun sumber untuk siswa.

5)    Mendesain pembelajaran yang sesuai, yaitu mendesain aktivitas pembelajaran, mendesain materi dan sumber belajar, mendesain pembelajaran kelompok, dan mendesain struktur materi pembelajaran.

6)    Menilai pembelajaran siswa, yaitu mencocokkan penilaian dengan tujuan pembelajaran, menentukan kriteria dan standar penilaian serta membuat perencanaan penilaian.

b.     Lingkungan kelas, domain ini mencakup:

1)    Menciptakan kondisi lingkungan yang menyenangkan dan dapat menghubungkan interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.

2)    Menciptakan kultur pembelajaran yang tepat untuk materi pelajaran, menjadikan siswa merasa bangga dalam belajar, dan mendorong harapan siswa untuk belajar dan berprestasi.

3)    Prosedur mengelola kelas, yaitu mengelola pembelajaran kelompok, mengelola dan suplai materi pelajaran.

4)    Mengelola perilaku siswa terkait dengan harapan, monitoring siswa dan respon terhadap permasalahan perilaku siswa.

5)    Mengelola peralatan fisik seperti menyusun furnitur yang aman, kemudahan siswa mengakses dan menggunakan peralatan tersebut.

c.     Pembelajaran, domain ini mencakup:

1)    Berkomunikasi dengan jelas dan akurat dalam memberikan instruksi, prosedur baik secara lisan maupun tertulis.

2)    Menggunakan teknik bertanya dan berdiskusi, yaitu menyangkut kualitas pertanyaan, teknik berdiskusi, dan partisipasi siswa.

3)    Pelibatan siswa dalam pembelajaran, yaitu mencakup representasi materi, aktivitas siswa dan penilaiannya, pengelompokkan siswa, sumber, materi dan struktur pembelajaran.

4)    Menyiapkan balikan untuk siswa yang berkualitas, substansi, konstruktif dan spesifik.

5)    Menunjukkan respon dan kefleksibelan terkait pelajaran, respon terhadap siswa dan ketekunan.

d.     Tanggungjawab profesi, domain ini mencakup:

1)    Refleksi dalam mengajar dengan melihat tingkat akurasi dan penyiapan mengajar di masa mendatang.

2)    Menjaga keakuratan laporan terkait dengan penyelesaian tugas oleh siswa, perkembangan belajar siswa, dan laporan non pembelajaran.

3)    Berkomunikasi dengan keluarga untuk menginformasikan program pembelajaran, informasi tentang individu siswa, dan pelibatan orang tua dalam program pembelajaran.

4)    Kontribusi terhadap sekolah dan pemerintah, yaitu hubungan dengan teman sejawat, pelayanan terhadap sekolah, partisipasi terhadap sekolah dan Pemerintah.

5)    Meningkatkan dan mengembangkan profesionalitas terkait dengan pengetahuan tentang konten dan keterampilan pedagogi.

6)    Menunjukkan profesionalisme dalam melayani dan memberikan bantuanpada siswa serta dalam pengambilan keputusan.

Domain kinerja guru di atas, merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kinerja mengajar yang baik, karena tanpa landasan keahlian yang dimiliki, kinerja mengajar menjadi tidak memiliki landasan kuat guna mencapai tujuan.

Berkaitan dengan pernyataan di atas, menurut Colin Marsh (2008 : 345)bahwa guru harus memiliki lima kompetensi, yakni:

1)    Kompetensi menggunakan dan mengembangkan nilai dan pengetahuan profesional.

2)  Kompetensi berkomunikasi, interaksi dan bekerja dengan siswa dan lainnya.

3)  Kompetensi membuat perencanaan dan mengelola kegiatan belajar mengajar.

4)  Kompetensi melakukan monitoring dan penilaian hasil belajar siswa dan lulusan.

5)  Kompetensi melakukan refleksi, evaluasi, dan membuat perencanaan perbaikan / pengembangan yang berkelanjutan.

Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, bahwa empat kompetensi guru yang dipersyaratkan adalah sebagai berikut:

1).  Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut: (1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma;(2) Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pendidik;(3) Memiliki kepribadian yang arif. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) Memiliki kepribadian yang berwibawa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

  2) Kompetensi  Pedagogik

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi pedagogik tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:(1) Memahami peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memamahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidenti fikasi bekal-ajar awal peserta didik;(2) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih; (3) Melaksanakan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif; (4) Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar, dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secaraumum; (5) Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik dan berbagai potensi nonakademik.

 3) Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi tersebut memiliki subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:(1) Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antarmata pelajaran, dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; (2) Menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.

  4) Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:(1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik;(2) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (3) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

 b.  Dimensi Kinerja Mengajar Guru

Dalam kajian manajemen, kinerja mememiliki beberapa dimensi seperti dikatakan Scullen, et. Al (2000: 958), bahwa:

Three theoretically important dimensions of managerial performance: (1) Administrative dimension, the scales were establish plans, manage execution, provide direction, coach and develop, and champion change; (2) Human dimension, the scales were foster teamwork, motivate others, build relationships, display organizational savvy, manage disagreements, foster open communication, listen to others, act with integrity, demonstrate adaptability, and develop oneself;  (3) Technical dimension, the scales were analyze issues, speak effectively, use sound judgment, drive for results, show work commitment, use technical/functional expertise, know the business, and influence others).

 Terdapat tiga dimensi teoretis kinerja, yakni dimensi administratif meliputi kegiatan menyusun rencana, mengatur pelaksanaan, memberikan arahan, membina dan mengembangkan, melakukan perubahan; dimensi manusia meliputi pengembangan tim kerja, memotivasi, membangun hubungan kerja, keterbukaan komunikasi, mendengarkan pihak lain, tindakan dengan integritas, kemampuan beradaptasi; dan dimensi teknis meliputi menganalisis masalah, berbicara dengan efektif, menyusun kebijakan, pencapaian hasil kerja, komitmen dalam bekerja, dan mempengaruhi orang lain.

Berkaitan dengan hal di atas, aktivitas guru dalam melakukan rangkaian pembelajaran dimulai dari menyusun rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing, dan mengelola terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya proses belajar mengajar selanjutnya (Soedijarto, 1993 : 96).

Helmut R. Lang & David N. Evans (2006 : 298) bahwa kegiatan mengajar dimulai dengan tahap pertama berupa perencanaan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Kegiatan perencanaan ini mencakup penentuan konten yang diajarkan sesuai kurikulum, tujuan pembelajaran, pertimbangan tentang pengalaman siswa, pemilihan pendekatan pembelajaran, dan penentuan kegiatan pembelajaran.  Tahap kedua adalah menjelaskan tujuan pembelajaran yang dikaitkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya dan yang akan dipelajari berikutnya. Tahap ketiga adalah menyajikan dan mengorganisasi kemajuan belajar yang dapat meningkatkan pemahaman dan daya ingat terhadap materi yang telah diajarkan.Tahap keempat adalah melibatkan dan memotivasi belajar siswa dengan memberikan penjelasan yang disertai contoh-contoh sehingga membantu mereka untuk memahami pelajaran. Tahap kelima adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengulang dan mempraktekkan pelajaran yang telah lalu sehingga ada penguatan atas apa yang mereka dapatkan, dan tahap terakhir adalah pemberian tes kepada siswa untuk mengetahui seberapa baik pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan dan seberapa efektif perencanaan pembelajaran yang dibuat itu diimplemenasikan dalam pembelajaran.

Dari uraian di atas, proses belajar mengajar di kelas dilakukan melalui tiga tahapan besar, yaitu membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran.

  1).  Membuat Perencanaan Mengajar

Aktivitas guru dalam melakukan rangkaian pembelajaran dimulai dari menyusun rencana belajar mengajar, mengorganisasikan, menata, mengendalikan, membimbing, dan membina terlaksanannya proses belajar mengajar secara relevan, efisien, dan efektif, menilai proses dan hasil belajar, dan mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses belajar untuk dapat disempurnakannya proses belajar mengajar selanjutnya (Soedijarto, 1993 : 96).

Konsep perputaran aktivitas mengajar yang dimulai dengan tahap pertama berupa perencanaan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Kegiatan perencanaan ini mencakup penentuan konten yang diajarkan sesuai kurikulum, tujuan pembelajaran, pertimbangan tentang pengalaman siswa, pemilihan pendekatan pembelajaran, dan penentuan kegiatan pembelajaran.  Tahap kedua adalah menjelaskan tujuan pembelajaran yang dikaitkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya dan yang akan dipelajari berikutnya. Tahap ketiga adalah menyajikan dan mengorganisasi kemajuan belajar yang dapat meningkatkan pemahaman dan daya ingat terhadap materi yang telah diajarkan.Tahap keempat adalah melibatkan dan memotivasi belajar siswa dengan memberikan penjelasan yang disertai contoh-contoh sehingga membantu mereka untuk memahami pelajaran. Tahap kelima adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengulang dan mempraktekkan pelajaran yang telah lalu sehingga ada penguatan atas apa yang mereka dapatkan, dan tahap terakhir adalah pemberian tes kepada siswa untuk mengetahui seberapa baik pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan dan seberapa efektif perencanaan pembelajaran yang dibuat itu diimplemenasikan dalam pembelajaran.

Perencanaan mengajar merupakan persiapan yang dibuat sebagai standar atau rambu-rambu dalam proses pembelajaran di kelas. Menurut Fred C. Lunenburg & Beverly J. Irby (2006: 88-89) konten perencanaan pembelajaran adalah meliputi:

1)       Goal, yaitu sasaran umum yang hendak dicapai dalam pembelajaran.

2)       Tujuan, yaitu aspek khusus yang harus dikuasai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran yang mengacu pada pola abcd (audience, behavior, condition, degree).

3)       Menentukan materi yang akan diajarkan.

4)       Level dan karakteristik siswa, yakni memperhitungkan berbagai perbedaan yang memungkinkan berbedanya pencapaian tujuan.

5)       Penilaian, yaitu melakukan penilaian atas tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dinyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Penentuan perencanaan pembelajaran yang tepat diharapkan berdampak pada proses pembelajaran yang dilakukan sehingga pengelolaan kelas berjalan efektif dan efisien, hal ini didukung pernyataan Hunt dalam Dede Rosyada (2004 : 183), terdapat delapan langkah yang harus dilakukan guru agar mampu menguasai dan mengelola kelas dengan baik, yaitu:

1)    Persiapan yang cermat

2)    Tetap mengaja dan terus mengembangkan rutinitas

3)    Bersikap tenang dan penuh percaya diri

4)    Bertindak dan bersikap profesional

5)    Mampu mengenali perilaku yang tidak tepat

6)    Menghindari langkah mundur

7)    Berkomunikasi dengan orang tua siswa secara efektif

8)    Menjaga kemungkinan munculnya masalah

Berbagai aspek di atas, menunjukkan kepada keberadaan dan kesiapan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran di kelas yang sekaligus menentukan apakah proses tersebut memiliki kualitas atau bahkan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa keberadaan seorang guru dalam menyiapkan pembelajaran sangat dibutuhkan baik yang terkait langsung dengan teknis pebelajaran di kelas, maupun perencanaan penunjang lainnya seperti melakukan komunikasi dengan orang tua siswa dalam rangka memantau perkembangan belajarnya.

Hasil penelitian tentang hubungan antara pendidikan guru, praktek pengajaran, dan hasil belajar siswa, menunjukkan bahwa berbagai macam persiapan guru berhubungan dengan pembelajaran siswa, dan bahwa hasil belajar siswa memiliki hubungan signifikan dengan penyiapan atau sertifikasi guru secara baik sehingga memiliki kemampuan dalam kegiatan pengajaran (Linda Darling Hammond & John Bransford, 2005: 25).

Interaksi yang baik antara guru dengan peserta didik merupakan sesuatu yang harus terjadi, interaksi yang dimaksudkan adalah hubungan timbal balik antara guru dan siswa, siswa dan guru, dan siswa dengan siswa lainnya. Sehingga proses pembelajaran perlu dilakukan dengan suasana yang tenang dan menyenangkan, kondisi yang demikian menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif.

 2). Melaksanakan Pembelajaran

Mengajar merupakan tugas menantang dan kompleks karena yang dihadapi adalah manusia yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda tetapi tetap harus dijamin mencapai keberhasilan.Oleh karena itu, seorang guru memiliki peran supermulti, yaitu sebagai pendidik, pengajar, pelindung, dll.

            Menurut Hammond :

Teaching must build upon and modify students’ prior knowledge, responsive teachers select and use instructional materials that are relevant to students’ experiences outside school, design instructional activities that engage students in personally and culturally appropriate ways, make use of pertinent examples or analogies drawn from students’ daily lives to introduce or clarify new concepts, manage the classroom in ways that take into consideration differences in interaction styles, and use a variety of evaluation strategies that maximize students’ opportunities to display what they actually know in ways that are familiar to them” (Linda Darling Hammond, 2006: 115).

Bahwa mengajar merupakan kegiatan membangun dan memodifikasi materi sesuai pengalaman siswa, memilih dan menggunakan materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman siswa, mendesain aktivitas pembelajaran yang menarik siswa, menggunakan contoh-contoh dalam pembelajaran sesuai yang dialami siswa, mengelola kelas dengan berbagai cara sehingga menentukan gaya interaksi dalam pembelajaran, dan menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi.

Terkait dengan implementasi kegiatan pembelajaran, dalam bab IV pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.

Pembelajaran efektif merupakan tolokukur keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol ada pada peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar (75 %) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku yang positif pada peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan pembangunan. Untuk dapat mewujudkan suatu pembelajaran yang efektif, maka diperhatikan beberapa aspek, di antaranya: (1) guru harus membuat persiapan mengajar yang sistematis, (2) proses belajar mengajar harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode, suara, maupun gerak, (3) waktu selama proses belajar mengajar berlangsung digunakan secara efektif, (4) motivasi mengajar guru dan motivasi belajar guru cukup tinggi, dan (5) hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera diatasi. Sedemikian rupa lima aspek itu dilaksanakan, sehingga akan terwujud sebuah pembelajaran yang efektif (Abdul Mukti Bisri,2008 : 1).

Menurut Schunk, Pintrich, Meece (2008: 304) bahwa pembelajaran yang efektif dilakukan melalui tahapan berikut:

a)  Memulai pembelajaran dengan penjelasan singkat prasayarat dan tujuan pembelajaran.

b)  Menyampaikan materi baru pada beberapa tahapan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkannya.

c)  Menjelaskan secara gamblang, jelas dan instruksi yang detil.

d)  Menyiapkan siswa dalam melakukan praktek

e)  Meminta pertanyaan, mengecek pemahaman siswa, dan memberikan respon terhadap semua siswa.

f)   Memandu siswa selama mengikuti kegiatan praktek

g)  Menyiapkan feedback dan koreksi yang sistematis

h)  Memberikan instruksi yang eksplisit dan latihan praktis serta memonitornya

Mutu pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik-buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sekolah dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikan yang direncanakan. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil.

Menurut Schunk, Pintrich, Meece (2008: 304) bahwa pembelajaran yang efektif dilakukan melalui tahapan berikut:

1)    Memulai pembelajaran dengan penjelasan singkat prasayarat dan tujuan pembelajaran

2)    Menyampaikan materi baru pada beberapa tahapan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkannya

3)    Menjelaskan secara gamblang, jelas dan instruksi yang detil

4)    Menyiapkan siswa dalam melakukan praktek

5)    Meminta pertanyaan, mengecek pemahaman siswa, dan memberikan respon terhadap semua siswa

6)    Memandu siswa selama mengikuti kegiatan praktek

7)    Menyiapkan feedback dan koreksi yang sistematis

8)    Memberikan instruksi yang eksplisit dan latihan praktis serta memonitornya

              Proses pembelajaran memiliki banyak variasi yang harus dikuasai oleh seorang guru. Secara umum, menurut Paul R. Pintrich & Dale H. Schunk (1996 : 331) model pembelajaran dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu kompetitif, kooperatif, dan individualistik.

Dalam rangka mendukung efektivitas pembelajaran di atas, maka perlu didukung dengan berbagai kemampuan guru sebagai berikut:

1)    Menguasai bahan ajar

Kelas merupakan suatu organisasi yang semestinya dikelola dengan baik, mengacu pada fungsi-fungsi administrasi yang ada, maka berlaku perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, penentuan staf, pengarahan, pengkoordinasian, pengkomunikasian dan penilaian.Apa yang dilakukan guru mengacu pada tujuan organisasi, yaitu tujuan sekolah yang merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan acuan tersebut, guru merancang kegiatannya dengan baik dan rinci, mulai merumuskan tujuan khusus pembelajaran, memilih metode dan sarana pencapaian, memilih alat untuk mengevaluasi pekerjaannya.

2)    Memahami secara mendalam peserta didik yang dilayani

Guru diharapkan bukan sebagai penyampai materi belaka, tetapi sebagai sosok yang mengenali sacara detil siswa didiknya baik yang normal maupun sisi kelainannya, menguasai teori-teori perkembangan anak, struktur dan dinamikanya.

3)    Mengusai teori dan keterampilan keguruan

Siswa adalah manusia yang memiliki potensi untuk berkembang dan terus berubah, oleh karena itu guru diharuskan mengusai teori-teori yang berkaitan dengan bidang keguruan seperti pemahaman yang berkaitan dengan falsafah dan ilmu pendidikan, penguasaan prinsip dan prosedur keguruan yang berkaitan dengan materi yang dibina.

4)    Memiliki kemampuan memperagakan unjuk kerja

Guru sebagai agen pembelajaran dituntut mampu mengelola kegiatan belajar mengajar secara efektif dan efisien baik secara individu maupun kelompok sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai dengan optimal.

5) Memiliki sikap, nilai dan kecenderungan kepribadian yang menunjang pelaksanaan tugas-tugas sebagai guru dan pendidik.

6) Memiliki kemampuan melaksanakan tugas-tugas profesional dan tugas-tugas administratif rutin dalam rangka pengoperasian sekolah disamping kemampuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan kesejawatan di lingkungan sekolah (Dedi Supriadi, 2003 : 821-822).

              Keterampilan teknis di atas, oleh Rosenshine dalam Hoy (2008: 52) dikelompokkan menjadi 6 kemampuan dasar mengajar, yaitu:

1)    Kemampuan me-review dan mengecek kembali pembelajaran yang telah lalu dan jika perlu dilakukan pembahasan ulang

2)    Kemampuan mengajar materi baru, mengajar dengan bertahap dan menggunakan berbagai contoh

3)    Kemampuan menyiapkan bimbingan praktis, mengulang kembali pembelajaran atas pertanyaan siswa, pemberian masalah-masalah praktis, dan mendengarkan miskonsepsi  yang terjadi, dan terus mengulang-ulang sehingga 80 % siswa memahaminya

4)    Kemampuan memberikan balikan dan koreksi atas pertanyaan-pertanyaan siswa

5)    Kemampuan menyiapkan praktek mandiri bagi siswa baik dalam bentuk kerja kelompok maupun penugasan

6)    Kemampuan mereview pembelajaran yang lalu secara mingguan dan bulanan

Pelaksanaan pembelajaran menurut Smith dan Laslett dalam Justin Dillon & Meg Maguire (153-154) digolongkan kedalam beberapa tahap, yaitu:

1)    Penyambutan dan penempatan duduk siswa

Penyambutan dan penempatan siswa merupakan upaya pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru sebelum para siswa datang ke kelas.

2)    Memulai pelajaran

Memulai pelajaran oleh guru dilakukan melalui kontak dengan siswa dalam berbagai situasi, gerak tubuh, kondisi rileks dan penuh rasa percaya diri.

3)    Isi pelajaran

Materi pelajaran dijelaskan secara gamblang tanpa harus dengan suara terlalu keras, guru mengelilingi siswa dan selalu mencari problem siswa serta membantu menyelesaikannya.

4)    Menyimpulkan pelajaran

Menutup pelajaran di akhir sesi dengan memberikan beberapa pertanyaan dan tugas yang harus dikerjakan di rumah mereka.

Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal diperlukan proses yang produktif melibatkan seluruh peserta didik secara aktif sebagai subyek belajar. Menurut Gredler (2009: 421-422) bahwa kegiatan mengajar dapat dibangun dengan positif dan proaktif, dengan cara:

1)    Merestrukturisasi tujuan kelas dalam strategi belajar mengajar, yaitu tujuan mana yang ditekankan dalam strategi belajar mengajar dan penugasan kelas yang bervariasi yang dapat mendorong ketertarikan siswa

2)    Mengidentifikasi metode evaluasi yang memadai, yaitu kapan evaluasi formatif dilakukan untuk mengidentifikasi kesalahan dalam rangka meningkatkan pembelajaran, merubah konten dinding kelas dengan hasil pekerjaan siswa, penghargaan kelas dilakukan secara konsisten untuk meningkatkan usaha dan kemampuan siswa, memberikan kesempatan pada siswa secara bervariasi untuk mendemonstrasikan apa yang mereka pelajari.

3)    Mengidentifikasi aktivitas kelas, menekankan kompetisi individu, memfasilitasi strategi dan upaya yang efektif, yaitu membuat persentasi waktu untuk aktivitas kompetisi kelompok-kelompok kecil dalam kelas, memberikan penugasan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa melakukan pengambilan keputusan, menentukan aktivitas kelompok yang dapat digunakan dalam meningkatkan pembelajaran kooperatif, menyiapkan permainan individu dan kelompok yang dapat mendorong peningkatan strategi belajar mengajar.

4)    Memberikan feedback berupa statemen verbal, yaitu memberikan pujian yang memadai, menggunakan strategi konstruktif dalam memberikan simpati atas keberhasilan siswa, menggunakan dalam menyemangati siswa agar bertanggungjawab atas proses pembelajaran yang dilakukannya.

Upaya dan strategi yang dilakukan di atas, sesuai dengan peran dan posisi guru di dalam kelas sebagai manajer yang bertugas mengelola kelas dengan efektif untuk mencapai target yang direncanakan, artinya selama interaksi terjadi di dalam kelas, guru merupakan penanggungjawab utama sebagai figur dalam memfasilitasi siswa dengan berbagai strategi dan pendekatan yang paling sesuai dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti kondisi siswa, materi yang akan disampaikan, metode yang digunakan, kondisi lingkungan, serta sarana prasana yang diperlukan.

 3).  Melakukan evaluasi

Hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah proses pembelajaran di kelas adalah aspek penilaian. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru mencakup 4 aspek, yakni aspek pengetahuan dan pemahaman konsep (yaitu bagaimana siswa dapat mendemonstrasikan pemahamannya), aspek kemampuan berpikir (yaitu bagaimana siswa dapat berpikir atau menunjukkan indikator bahwa mereka dapat berpikir), aspek keterampilan (yaitu apa yang dapat siswa lakukan yang mengindikasikan adanya perubahan), dan aspek perilaku (yaitu bagaimana perilaku siswa menunjukkan perubahan positif di kelas) (Donald C. Orlich, et al., 2010: 325).

Pelaksanaan evaluasi dan penilaian siswa sangat penting dilakukan guna mengukur kemampuan siswa dan ketercapaian target yang ditetapkan. Evaluasi dan penilaian belajar dilakukan dengan tujuan menetapkan tingkat pemahaman siswa, menilai performan siswa, menetapkan siswa pada kelas selanjutnya, mengidentifikasi kesulitan siswa sehingga memerlukan tugas tambahan. Hal ini seperti dikatakan bahwa pencapaian hasil belajar adalah terpenuhinya kompetensi yang dimiliki siswa dari segi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Balitbang Depdiknas, 2002 : 3).

Menurut Cross dalam Sukardi (2008 : 1) yang dimaksud dengan evaluasi adalah : a process which determines the extent to which objectives have been achieved. Bahwa evaluasi adalah sebuah proses yang menentukan kondisi yang menunjukkan bahwa tujuan telah dapat dicapai. Hal demikian mengindikasikan bahwa jika tujuan belum dicapai maka mengharuskan guru melakukan upaya mendapatkan informasi yang valid tentang kemengapaan bahwa tujuan itu tidak tercapai yang selanjutnya diperlukan tindakan mengantisipasi masalah tersebut. Dengan demikian, penilaian hasil belajar terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang tepercaya yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Keputusan tersebut berhubungan dengan keberhasilan peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi dan penggunaan strategi kedepan yang lebih baik untuk dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Pasal 22 ayat (1) penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. Ayat (2) teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok.Ayat (3) untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester.

Didalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007 tentang penilaian hasil belajar dijelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:

a)     Menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.

b)    Mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.

c)     Mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.

d)    Melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.

e)     Mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik.

f)     Mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.

g)    Memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.

h)    Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.

i)      Melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.

Pelaksanaan  evaluasi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu tes formatif dan tes sumatif (Anthony J. Niko & Susan M. Brookhart, 2007: 120-127). Secara luas Anthony dan Susan menjelaskan gambaran kedua tes tersebut di atas sebagai berikut: Tes formatif digunakan untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian target yang dicapai siswa dalam pembelajaran yang fungsinya untuk membuat perencanaan pembelajaran selanjutnya, mendiagnosis kesulitan belajar siswa, dan untuk memberikan informasi kepada siswa bersangkutan tantang bagaimana cara meningkatkannya. Ada tiga teknik yang digunakan dalam tes formatif ini, yaitu:

a)     Oral assesment technique. Teknik ini dilakukan secara tatap muka melalui lisan dalam percakapan dengan siswa tentang materi pelajaran termasuk bagaimana memahami perasaan, sikap, ketertarikan dan motivasi mereka.

b)    Paper and pencil assesment technique. Teknik ini diberikan kepada siswa secara spesifik atas materi yang telah diajarkan kepada mereka baik dalam bentuk pilihan ganda, menjodohkan, benar salah maupun esay sederhana dan esey uraian yang lebih luas.

c)     Portfolio technique. Teknik ini dilakukan dengan mendiskusikan perkembangan dan progres portofolio sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan siswa berdasarkan target yang harus dicapai.

 Sedangkan tes sumatif dilakukan secara formal untuk mengevaluasi pencapaian target belajar siswa untuk diinformasikan kepada siswa, orang tua maupun pengawas sekolah. Tes sumatif ini dikelompokkan menjadi dua teknik yaitu:

a)     Teacher crafted technique.  Teknik ini seperti paper and pencil assesment, hanya saja dalam crafted technique ini lebih ditekankan pada penerapan pengetahuan dan kemampuan memecahkan masalah yang secara otentik ada dalam kehidupan.

b)    External technique. Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan kuis dan tes yang diambil dari buku teks yang digunakan guru dalam pembelajaran.

Aspek yang dinilai dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar adalah: kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif terkait dengan kemampuan intelektual siswa dalam mendemonstrasikan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah. Aspek afektif terkait dengan target pencapaian yang berhubungan dengan sikap, ketertarikan, nilai, rasa percaya diri, kecenderungan mengambil resiko, dan saikap dalam belajar. Sedangkan psikomotor berkaitan dengan keterampilan fisik seperti kemampuan menggunakan keyboard pada komputer atau kemampuan melakukan shoot pada permainan bola basket (W. James Popham, 2011 : 35).

            Berbagai macam penilaian hasil belajar seperti tersebut di atas, sesungguhnya tidak boleh terlepas dari prinsip-prinsip umum penilaian. Seperti dikatakan Abdul Majid (2005:187) bahwa penilaian perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut:

a)     Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from instruction)

b)    Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world problems) bukan masalah dunia sekolah (school work kind of problem).

c)     Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode, dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.

d)    Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensori motorik).

 c.  Pengukuran Kinerja

Kinerja seseorang dalam menjalankan pekerjaannya merupakan sesuatu yang urgen sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah lembaga. Gordon (1993 : 141), mengatakan bahwa “ performance was a function of employee’s ability, acceptance of goal, level of the goals, and the interaction of the goals their ability.” Kinerja merupakan fungsi dari empat komponen utama, yaitu: (1) kemampuan, (2) pencapaian tujuan, (3) tingkatan tujuan, (4) interaksi tujuan dengan kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk melihat kinerja seseorang maka perlu diadakan penilaian secara menyeluruh terhadap tugas dan atau tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Pengukuran kinerja merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perilaku kerja yang dilakukan oleh setiap pegawai.Seperti dikatakan oleh Bernardin dan Russell dalam Ruky(2001:12) bahwa pengukuran kinerja adalah “A way of measuring the contribution of individuals to their organization”. Yaitu sebuah cara mengukur kontribusi setiap individu pegawai terhadap organisasinya. Hasibuan (2001:88) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan. Artinya bahwa pengukuran kinerja terfokus pada aktivitas individu dalam menjalankan pekerjaanya untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Berdasarkan pendapat di atas,  sesungguhnya pengukuran kinerja adalah proses membandingkan perilaku kerja individu dengan harapan atau target organisasi.

Untuk mendapatkan hasil dari pengukuran kinerja ini, perlu dilakukan melalui beberapa tahap seperti digambarkan oleh Certo (2010: 479).  Tahap pertama membuat dan mengkomunikasikan kinerja yang diharapkan dari pegawai sehingga pegawai bekerja sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh lembaga, hal demikian menunjukkan bahwa pengukuran kinerja merupakan upaya meningkatkan produktivitas pegawai bukan untuk menjatuhkannya. Para pegawai harus mengetahui tentang apa yang diharapkan dan supervisor membuat tujuan yang jelas dan dipahami oleh pegawai melalui komunikasi yang efektif. Tahap kedua, membuat dan mengkomunikasikan standar yang digunakan dalam melakukan penilaian, artinya bahwa pegawai terlebih dahulu harus mengerti tentang standard kerja yang harus dilakukannya.Supervisor harus membuat keputusan tentang apa yang akan dinilai dan pegawai mengetahuinya secara pasti aspek-aspek yang dinilai. Tahap ketiga, melakukan observasi dan penilaian terhadap kinerja pegawai sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan tahap keempat adalah memberikan penguatan kepada para pegawai atas hasil penilaian yang dilakukan dengan memberikan informasi dan motivasi agar pegawai tidak melakukan kesalahan dalam bekerja, artinya bahwa setelah dilakukan penilaian, pegawai perlu mengetahui titik lemah dan keunggulannya sehingga mereka mengetahui aspek yang harus ditingkatkan dan diperbaiki.

Untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes (2003:142) menjelaskan dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan dalam mengukur kinerja, antara lain : (a) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan individu dalam suatu periode waktu tertentu artinya seberapa banyak volume yang dihasilkan, (b) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, hasil kerja yang sesuai dengan tuntutan dan kriteria maka semakin berkualitas, (c) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan tidak haya sebatas tau tentang hal yang telah dilakukannya akan tetapi lebih dari itu adalah mengetahui bagaimana mengembangkan dan mengantisipasi kendala-kendalanya, (d) Creativeness, yaitu kreativitas yang dimunculkan berupa tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, (e) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota organisasi, (f) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal menyelesaikan pekerjaan, (g) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas tanpa harus diperintah oleh pimpinan, (h) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

Wilson (1999: 158) menggambarkan pengukuran kinerja dengan tujuh macam metode, yaitu:

1) Penilaian kinerja yang dilakukan oleh atasan langsung, yaitu mekanisme mengkaitkan tujuan individu pegawai dengan tujuan lembaga. Penggunaan metode ini biasa dilakukan secara informal dalam kegiatan rutin sehari-hari atau secara formal yang dijadwalkan setiap setahun sekali.

2) Penilaian oleh diri sendiri, yaitu dilakukan oleh individu yang tidak berada posisi staf melainkan pimpinan yang didorong untuk melakukan penilaian atas kondisi kerja dirinya dan bagaimana cara meningkatkan kinerjanya itu.

3) Penilaian oleh bawahan, yaitu penilaian yang dilakukan secara berjenjang, penilaian ini dilakukan oleh bawahan terhadap atasan langsungnya hingga sampai pada jenjang yang paling tinggi.

   4) Penilaian kinerja oleh teman sejawat, yaitu penilaian yang dilakukan oleh rekan kerja setingkat yang tidak mengenal atasan bawahan. Metode ini dilakukan antarpegawai dalam satu tugas pokok dan fungsinya yang sama.

5) Penialaian secara tim, yaitu penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan tim dalam bekerjasama, keterbukaan dan membangun pola kerja yang konstruktif.

6) Penilaian umpan balik 360 derajat, penilaian mutakhir yang berfokus pada pengembangan skill dan kompetensi, dilakukan oleh atasan langsung, teman sejawat atau pelanggan. Umpan balik ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner sehingga memungkinkan adanya perbandingan antara hasil penilaian diri sendiri dan penilaian oleh pihak lain.

Pengukuran kinerja guru bertumpu pada dua hal penting, yaitu akuntabilitas publik dan pengembangan total quality management. Seperti dikatakan Facruddin saudara & Ali Idrus (2009: 89-90) bahwa akuntabilitas publik berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap masyarakat, pemerintah dan stakeholder pendidikan.Artinya, kinerja guru ini bukan sekedar menjadi fokus perhatian melainkan tuntutan untuk memberikan jaminan terhadap masyarakat luas dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengelola pembelajaran yang berkualitas. Sedangkan aspek total quality management mengarah pada peningkaan mutu pendidikan secara berkelanjutan, dan guru merupakan salah satu unsur penting yang terlibat di dalamnya.

Disamping bertumpu pada dua hal di atas, pengukuran kinerja guru memiliki tujuan tertentu, seperti dikatan Maria Asuncao Flores (2010: 47):

Teacher performance appraisal also aims at: (a) contributing to improve teaching practice; (b) contributing to improve teacher development and growth; (c) identifying teachers’ training needs; (d) identifying the factors which influence teachers’ achievements; (e) differentiating and recognising the best professionals; (f) identifying indicators for managerial decisions; (g) promoting cooperation among teachers in order to enhance student achievement; and (h) promoting excellence and quality of the services to the community.

Bahwa tujuan pengukuran kinerja guru adalah: (a) sebagai kontribusi untuk meningkatkan kemampuan praktis guru, (b) sebagai kontribusi dalam peningkatan dan pengembangan guru, (c) untuk mengidentifikasi kebutuhan training bagi guru, (d) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru, (e) untuk membedakan dan memberikan pengakuan terhadapa guru yang professional, (f) untuk mengidentifikasi indikator dalam pengambilan keputusan manajemen, (g) memberikan promosi guru agar melakukan peningkatan prestasi siswa, (h) mempromosikan kualitas dan pelayanan terbaik terhadap masyarakat.

Pernyataan tentang tujuan pengukuran kinerja guru sebagai bentuk evaluasi di atas, oleh Colin Newton & Tony Tarrant (2003: 34), yaitu bahwa sebuah pengukuran tentang kinerja guru, maka dapat diketahui dimana posisi saat ini, kemana tujuan yang hendak dicapai atau kemana arah yang akan dilakukan ke depan, bagaimana kita dapat mencapai kea rah tujuan yang diinginkan itu, dan apa yang harus dikembangkan atau ditingkatkan.

              Berdasarkan uraian teori di atas, dapat disimpulkan bahwa Kinerja mengajar guru adalahaktivitas dan perilaku kerja guru dalam melakukan rangkaian pembelajaran mulai perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian yang dilandasi dengan sikap positif dan kompetensi mengembangkan pengetahuan, berkomunikasi, mengelola kegiatan belajar, melakukan praktikum, menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, memodifikasi materi, dan, memberikan feedback, kemampuan pedagogi, melakukan penilaian, melakukan refleksi, melakukan hubungan dengan orang lain, dan kemampuan mengembangkan profesionalitasnya.

 3. Kepemimpinan Kepala Madrasah

a. Konsep Dasar Kepemimpinan

Istilah kepemimpinan melukiskan hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam suatu organisasi yang dapat bekerjasama. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mau berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan bersama. Artinya bahwa kepemimpinan adalah tindakan yang dapat menyebabkan orang lain secara perorangan maupun kelompok yang bersama-sama bekerja mencapai satu tujuan.

Steers, Ungson, & Mowday (1985: 307) mengatakan, leadership occurs when one person in the organization influences others to do something or their own volition, not because it is required or because they fear the consequnces of noncompliance.”. Kepemimpinan berfokus pada orang agar mereka melakukan tugasnya dengan terinspirasi dan termotivasi serta memiliki komitmen mencapai tujuan organisasi bukan karena diminta atau dipaksa sehingga mereka akan mendapatkan konsekuensi jika tidak melakukannya. Pengertian kepemimpinan ini menyatakan bahwa tindakan atau perilaku kepemimpinan dapat diukur dari keadaan dan aktivitas bawahan apakah mereka memiliki kesadaran untuk bekerja sesuai tanggungjawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Artinya bahwa seorang pemimpin memiliki akses untuk mempengaruhi dan mengelola sumber daya apakah menjadi lebih baik, lebih buruk, atau bahkan jauh dari pencapaian tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, kepemimpinan seseorang sangat bergantung pada kemampuan orang tersebut sluruh sumber daya secara efektif dan efisien.

Locke (1997: 3-4) mengatakan kepemimpinan sebagai proses membujuk (inducing) orang lain  untuk    mengambil   langkah dan melakukan kegiatan atau tindakan  menuju   suatu    sasaran bersama. Definisi ini mengkategorikan tiga unsur :

1)    Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept);  kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, sehingga pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan orang lain,

2)    Kepemimpinan merupakan suatu proses, dan

3)    Kepemimpinan harus mampu membujuk orang lain untuk mengambil tindakan, antara lain dengan cara menggunakan otoritas yang terlegitimasi yang dimiliki, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi yang dibuat.

Menurut Lee (1990: 30) bahwa tugas pimpinan adalah menjelaskan dan menterjemahkan visi organisasi.Memimpin unit kerja pada hakekatnya adalah menciptakan lingkungan kerja yang kreatif, memberdayakan pegawai, dan merekayasa mereka menjadi tenaga yang berkualitas.Atasan hendaknya dapat menyadari bahwa keberhasilan pimpinan turut ditentukan oleh tingkat kinerja yang ditunjukkan oleh seluruh karyawan yang ada dibawah wewenang dan tanggungjawab. Kerja sama yang didasarkan pada kemitraan akan membawa kinerja unit kerja menjadi lebih baik.

Kepemimpinan  adalah sesuatu yang unik, kepemimpinan tidak pernah sama dalam memimpin.  Kepemimpinan  terkait dengan beberapa tema umum,  tentang tujuan, harapan, inspirasi, pengaruh  dan dilakukan secara berulang-ulang  guna memengaruhi terjadinya perubahan yang menuntut kemampuan berkomunikasi dan  berhubungan   dengan seluruh anggota organisasi, terutama bawahannya, karena pemimpin dan pekerja saling membutuhkan,  agar tujuan organisasi   dapat    terwujud

Seperti dikatakan Middlewood & Cardono (2001 : 23) bahwa kontribusi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi sangatlah besar, yaitu: 1). Karena pemimpin merupakan hal yang khusus, membutuhkan aktivitas tinggi, menyatu dalam manajemen, 2) Pemimpinan sangat penting atau mendasar dalam hal memberikan ide atau gagasan perkembangan, pertumbuhan, perubahan dan perbaikan organisasi, 3) Kepemimpinan tidak dapat dipikirkan akan tetapi bisa dpelajari, 4) Kepemimpinan merupakan suatu yang sangat kompleks terkait interaksi pengetahuan, keterampilan dan kualitas, 5) Kualitas kepemimpinan yang sukses adalah terdapat didalamnya kekuatan menghadapi tantangan, pengambilan resiko, percaya diri, kreativitas dan kemampuan mengatasi persoalan yang bercabang.

 b.  Keterampilan Memimpin

Seorang pemimpin dituntut memiliki keterampilan khusus, diantaranya keterampilan teknis, keterampilan manusiawi, dan keterampilan konseptual (Ara Hidayat &Imam Machali, 2010 : 114). Meskipun ketiga keterampilan itu berbeda, tetapi dalam prakteknya saling berkaitan:

1)    Keterampilan teknis (technical skill) mengacu pada pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam salah satu jenis proses atau teknik. Contohnya adalah keterampilan yang dimiliki para akuntan, insinyur, pengetik, dan pembuat alat-alat.

2)    Keterampilan manusiawi (human skill) adalah kemampuan bekerja secara efektif dengan orang-orang dan membina kerja tim. Setiap pemimpin pada semua tingkat organisasi memerlukan keterampilan manusiawi yang efektif. Ini merupakan bagian penting dari perilaku pemimpin yang akan dibahas dalam seluruh buku ini.

3)    Keterampilan konseptual (conceptual skill) adalah kemampuan untuk berpikir dalam kaitannya dengan model, kerangka, hubungan yang luas, seperti rencana jangka panjang. Keterampilan ini menjadi semakin penting dalam pekerjaan manajerial yang lebih tinggi. Keterampilan konseptual berurusan dengan gagasan, sedangkan keterampilan manusiawi berfokus pada orang dan keterampilan teknis pada benda.

Disamping keterampilan di atas, seorang kepala sekolah dibutuhkan karakteristik lainnya, yakni memiliki visi dan misi yang jelas, mampu mengembangkan lingkungan yang dinamis, menerima tugas sebagai profesi, sukses membuat konsensus berdasarkan keputusan bersama, mampu mengelola waktu, dan mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara efektif, hal demikian seperti dikemukakan:

Highlighted several characteristics of an effective headmaster. Such a person is a leader with a clear educational vision and mission, is able to promote a dynamic environment, receives the task as a profession, is successful in making consensus based decisions with his subordinates and finally, in keeping with the times, is also able to effectively utilise information technology.(Sabariyah Sharif, 2010: 230).

 Keterampilan seorang pemimpin sangat berperan dalam menciptakan kepemimpinan yang efektif, Seyfarth (2008: 64-65) menjelaskan bahwa keterampilan seorang pemimpin yang baik adalah meliputi:

1)    Assertiveness, yakni kemampuan mendengarkan pendapat ataupun pandangan dari orang lain.

2)     Interpersonal communication skill, yakni kemampuan melakukan komunikasi dengan orang lain guna meningkatkan kepercayaan dan penerimaan orang lain.

3)    Persuasiveness, yakni kemampuan mempresentasikan pendapat atau pandangan dengan menarik.

4)    Optimism, yakni kemampuan berpikir positif dan optimis dengan tidak mudah putus asa menghadapi banyak rintangan dalam mencapai tujuan.

5)    Stability, yakni kemampuan mengelola emosi yang ada.

6)    Calmness under pressure, yakni memiliki ketenangan dalam menghadapi masalah serta mampu menolong orang lain yang berada dalam kepanikan atau bahaya.

7)    Well-organized, yakni kemampuan membuat konsep dan mendorong pegawai untuk bekerja dengan baik untuk mencapai prestasi atau hasil.

8)    Problem solving ability, yakni kemampuan memecahkan masalah yang rumit dengan berbagai pendekatan yang memadai.

9)    Planning skills, yakni kemampuan memprediksi tren yang berkembang untuk membuat perencanaan masa depan.

Kemampuan memimpin  di atas, merupakan sesuatu yang harus dimiliki dalam mengelola suatu kelompok untuk dapat berbuat, berlomba, dan mengembangkan semangat orang. Kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Ada empat implikasi penting yaitu: (1) kepemimpinan mengalir sebagai kekuatan yang mengarahkan pengikutnya untuk mau mengerahkan tenaganya secara teratur menuju sasaran yang disepakati bersama, (2) kepemimpinan akan mewarnai dan diwarnai oleh lingkungan, media, dan iklim organisasi karena proses kepemimpinan berada pada situasi yang dicipta dan tercipta oleh berbagai unsur, (3) kepemimpinan merupakan sesuatu yang bergerak, dinamis, atif yang intensitasnya berubah-ubah derajatnya, dan (4) pada hakekatnya kepemimpinan bekerja menurut prinsip, alat dan metode (Veithzal Rivai, 2004: 65).

Menurut Gordon (1996: 316-317), dalam menerapkan kepemimpinan  sesuai situasi yang dihadapi, seorang pemimpin harus memperhatikan tiga faktor  utama yaitu: (1) perhatian terhadap bawahan, yang berarti kepedulian pimpinan atas keahlian,  pengalaman, kemampuan, pengetahuan tentang tugasnya, tingkat hierarki, dan karasteristik psikologis;  (2) perhatian terhadap atasan, yang mencerminkan derajat pelaksanaan pengaruh atau kesamaan sikap dan perilakunya dengan orang-orang yang di atasnya; (3) perhatian terhadap tugas yang mencerminkan derajat pentingnya waktu yang dimiliki, bahaya secara fisik yang mungkin terjadi, standar kesalahan yang dapat ditoleransi, derajat kebebasan, luas bidang pekerjaan yang harus dikerjakan, dan derajat kekaburan pelaksanaan tugas-tugas.

            Terdapat empat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan, yaitu sebagai administrator, membina hubungan baik, sebagai pengelola kegiatan dan sebagai pengambil keputusan, seperti dikatakan:

“Four stages that principals go through in the process of becoming more and more effective as school leaders. The first, and least effective, stage, administrator, is characterized by the principal’s desire simply to run “a smooth ship.” At the second stage, humanitarian, principals focus primarily on goals that cultivate good interpersonal relations, especially among school staff. Principals at the third stage, program manager, perceive interpersonal relations as an avenue for achieving school-level goals that stress educational achievement. At the fourth and highest stage, systematicproblem solver, principals become devoted to “a legitimate, comprehensive set of goals for students, and seek out the most effective means for their achievement”. (Ron Renchler, 1992: 5)

  c.  Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar dapat bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku.Gaya kepemimpinan merupakan perilaku  yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu terlebih dahulu mengenal situasi lingkungan atau keadaan dan sifat serta sikap para bawahan   yang  akan  dipimpinnya, hal ini karena gaya kepemimpinan akan berbeda-beda pada setiap tempat dan waktu sesuai dengan siapa yang dipimpinnya.

Dalam menjalankan kepemimpinannya, kepala sekolah memiliki cara dan gaya tersendiri. Gaya kepemimpinan (style of leadership) adalah pola perilaku dan strategi kepala sekolah dalam mengelola organisasi sekolah dan seluruh elemen terkait untuk secara bersama-sama menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.

 Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok. Keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut pada bawahannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Allan R. Cohen (1992: 352) bahwa pemimpin tidak menggunakan gaya dan cara yang sama dalam setiap situasi, ia bersifat sangat fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi akan tetapi tidak lepas dari peran dan fungsinya. 

Menurut pendekatan behavior, gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin terhadap bawahannya dalam memberikan motivasi, cara mengambil keputusan, cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, dll. (Ahmad Gozali & A. Choliq Aly Ma’mur, 2009: 29-30) Gaya kepemimpinan perilaku ini menunjukkan secara langsung dan tidak langsung keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannyadengan memberikan tugas-tugas melalui cara dan pendekatannya sendiri.

Berdasakan uraian di atas, gaya Kepemimpinan sangat beragam. Ada pimpinan yang orientasinya  tinggi pada tugas-tugas yang harus dikerjakan tetapi rendah hubungan interpersonalnya, ada kepemimpinan yang oerientasi tugasnya tinggi tetapi tinggi pula hubungan interpersonal dengan bawahannya, ada gaya kepemimpinan yang memiliki ciri tinggi pada tugas akan tetapi memiliki tingkat hubungan rendah, da nada pula tipe pemimpin yang antara tugas dan hubungan dengan bawahan sama rendahnya. Perbedaan-perbedaan ini terjadi dan menjadi tipe setiap individu pimpinan sebagaimana dijelaskan dibawah ini.

1)    Kepemimpinan yang Berorientasi pada Tugas dan Hubungan.

Gaya seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas dan hubungan ini memiliki karakteristik berbeda.Seperti dikemukanan Yukl (2009: 65-66) bahwa gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas adalah pimpinan yang menekankan pada fungsi-fungsi yang berorientasi pada kegiatan merencanakan, mengatur, mengkoordinasikan para bawahan serta menyediakan keperluan peralatan dan bantuan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai sasaran. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada hubungan menekankan pada perhatian, mendukung dan membantu bawahan melalui tindakan memperlihatkan kepercayaan dan dipercaya, memperhatikan bawahan dan bertindak ramah, berusaha memahami permasalahan bawahan, membantu mengembangkan bawahan, selalu memberikan informasi, memberikan apresiasi atas ide-ide bawahan, dan memberikan pengakuan terhadap kontribusi bawahan atas apa yang telah dicapainya. Dari uraian di atas, gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas, cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan yang perhatian utamanya adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan meskipun tidak menyampingkan aspek hubungan dengan bawahannya, sedangkan kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan lebih menekankan pada aspek harmonisasi dan sikap saling menghargai dan empati dalam proses melaksanakan pekerjaan.

 2)    Gaya Kepemimpinan Kharismatik / Non Kharismatik, Otokratis / Demokratis, Pendorong / Pengawas, dan Transaksional / Transformasional.

 Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe pemimpin. Gaya kepemimpinan memiliki beberapa klasifikasi seperti dikatakan Armstrong (2003: 43-44), yaitu:

a.     Kharismatik / non kharismatik. Tipe kepemimpinan kharismatik bergantung pada kepribadian masing-masing pemimpin, kualitas inspirasi terhadap bawahan serta aura yang dimilikinya, sedangkan pemimpin non kharismatik bergantung pada pengetahuan yang dimiliki, kepercayaan diri, ketenangan diri, dan kemampuan menangani permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan berbagai pendekatan analitis.

b.     Otokratis / demokratis. Tipe pemimpin otokratis cenderung membuat keputusan sendiri, pemimpin bertindak memaksa bawahan dengan memberi perintah untuk melasanakan pekerjaan, bawahan atau anggotanya hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah, sedangkan pemimpin bertipe demokratis mendorong bawahan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan, bawahan dilibat sesuai dengan porsinya untuk bersama-sama mencapai keputusan yang baik.

c.     Pendorong / pengawas. Tipe pemimpin sebagai pendorong berperilaku mendorong dan memberikan semangat kepada karyawan melalui visi yang dimilikinya serta memberdayakan bawahan secara proporsional untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan pemimpin bertipe sebagai pengawas bersikap dan bertindak agar bawahan taat dan patuh terhadap perintah-perintahnya.

d.     Transaksional / transformasional. Pemimpin transaksional memanfaatkan uang, pekerjaan, dan keamanan pekerjaan untuk memperoleh kepatuhan bawahan, sedangkan pemimpin transformasional lebih pada upaya memberikan motivasi kepada bawahan untuk dapat bekerja dengan optimal guna mencapai hasil yang lebih tinggi.

Pada intinya perbedaan penggunaan gaya dalam memimpin menjadi karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Apapun gaya yang dipakai seorang pemimpin sesungguhnya berorientasi pada pencapaian hasil yang diinginkan, oleh karena itu, pemimpin yang efektif perlu melakukan tugasnya sesuai dengan kriteria yang tepat, seperti dikatakan bahwa keefektifan seorang pemimpin dapat dilihat dari: 1) kemampuan membuat nilai-nilai yang jelas yang diinginkan dan dibutuhkan seluruh stakeholder organisasi, 2) kemampuan men-setting tujuan yang jelas terhadap kinerja dan pengembangan kinerja dalam organisasi, 3) kemampuan membangun loyalitas kerja dan team-work yang berbasis pada kesamaan nilai dan tujuan yang hendak dicapai, 4) kemampuan menyemangati dan men-support inisiatif dan pengambilan resiko, 5) kemampuan mengendalikan organisasi sesuai fungsi dan tujuan, 6) kemampuan meminimalisir kepasrahan dalam pengambilan keputusan yang panjang, dan 7) kemampuan memasukkan mekanisme penilaian dan pengembangan diri pemimpin (Thomas J. Cartin, 1999 : 34)

 3). Gaya Kepemimpinan Situasional

McNamara (2000: 2) menyatakan bahwa “Gaya kepemimpinan tergantung pada situasi, bersamaan dengan perputaran kehidupan organisasi.Artinya adalah bahwa kepemimpinan sangat berkaitan erat dengan situasi tertentu yang berbeda satu situasi dengan situasi lainnya.Perbedaan  situasi ini menuntut kepemimpinan  yang tepat dan efektif dengan gaya yang berbeda.

Pendapat lain yang mendukung teori kepemimpinan situasional juga disampaikan oleh Hersey dan Blanchard dalam (Stoner & Freeman, 1992: 470-472), ia mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif itu berbeda-beda sesuai dengan “kematangan” bawahan. Kematangan atau kedewasaan bawahan bukan sebatas usia atau stabilitas emosional, melainkan keinginan untuk berprestasi dan menerima tanggung jawab, dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas.

Dalam konteks total quality management, kepemimpinan yang dibutuhkan adalah model partisipatif yang membuka dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berpartisipasi memberikan masukan, pandangan dan pertimbangan dalam menjalankan organisasi. Karakteristik yang dibutuhkan dalam kepemimpinan partisipatif ini adalah Tjiptono & Diana,1995 :163-164):

a)     Rasa tanggungjawab yang besar

b)    Disiplin pribadi

c)     Bersifat jujur

d)    Memiliki kredibilitas tinggi

e)     Menggunakan akal sehat sehingga dapat menentukan sikap yang tepat berdasarkan pertimbangan yang logis

f)     Memiliki energi dan stamina yang tinggi

g)    Memegang teguh komitmen terhadap pencapaian tujuan organisasi secara professional

h)    Setia dan tabah dalam menghadapi segala situasi

d.  Peran Kepala Sekolah

Menurut Pidarta (2009:19) bahwa peran kepala sekolah adalah sebagai manager, administrator, motor humas, leader, dan supervisor. Kepala sekolah sebagai manajer berarti sosok yang melakukan proses pengelolaan organisasi. Kata proses mempunyai arti bahwa manajemen merupakan cara kerja yang dilaksanakan secara sistematis. Manajemen dalam suatu organisasi merupakan suatu satuan kerja yang terdiri dari beberapa bagian  yang dikoordinasikan dan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sifat pekerjaan manajemen, yakni mengkordinasikan pekerjaan orang yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen.

Manajer yang mengelola dan mengendalikan kegiatan pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Peran dan tugasnya sebagai pimpinan, tidak terlepas dari upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran; termasuk menstimulasi, menyeleksi, pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan-tujuan  pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran(Mulyasa, 2002 : 155).

Manajemen merupakan proses yang terkoordinasi antara setiap anggota kelompok untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama, yaitu :

” Management as the process of planning, organizing, directing, and controlling the activities of employees in combination with other resources to accomplish organizational objectives, then te task of management is to facilitate the organization’s effectieveness and long-term goal attainment by coordinating and efficiently utilizing available resources”(Steers and Black, 1994: 14).

 Hal ini ditegaskan  bahwa praktek manajemen menunjukkan bahwa fungsi atau kegunaan manajemen (planning, organizing, directing, dan controlling) secara langsung ataupun tidak langsung selalu bersangkutan dengan unsur manusia. Perencanaan (planning) meliputi  serangkaian keputusan termasuk tujuan, membuat program, menentukan metode, dan prosedur serta menetapkan jadwal  pelaksanaan. Mengorganisasikan (organizing) selain mengatur unsur-unsur lain juga selalu menyangkut unsur-unsur manusia. Mengarahkan (directing) adalah proses menggerakkan anggota organisasi sesuai dengan arah kebijakan yang berlaku, sedangkan pengontrolan (controlling) diadakan agar pelaksanaan manajemen (manusia) selalu dapat meningkatkan hasil kerjanya (Handayaningrat,1996 : 6). Pengarahan mencakup kegiatan mempengaruhi anggota organisasi agar berprestasi sedemikian rupa sehingga mendukung tercapainya tujuan. Pengawasan adalah suatu usaha untuk mengetahui bahwa  hasil yang dicapai organisasi sesuai dengan prestasi yang direncanakan. Pengorganisasian adalah pengelompokan kegiatan yang diwadahi dalam unit-unit yang melaksanakan rencana dan menetapkan hubungan antara pimpinan dan bawahan di setiap unit.

Menurut Leslie W. Rue & Lloyd L. Byars (2010 : 5-6), terdapat lima aktivitas dasar yang harus dilakukan seorang manajer, yaitu:

1)    Planning, yaitu menentukan tujuan yang efektif dalam melakukan penilaian pekerjaan yang dilakukan. Terdapat tiga tahapan dalam perencanaan ini yaitu menilain kondisi peralatan yang ada, menilai perilaku pegawai, dan ketersediaan material.

2)    Organizing, yaitu mendistribusikan setiap pekerjaan kepada pegawai baik secara individual maupun kelompok.

3)    Staffing, yaitu fokus kegiatan pada bagaimana mendapatkan dan mengembangkan kualitas pegawai.

4)    Leading, yaitu menunjukkan dan menghubungkan perilaku pegawai dengan tujuan pekerjaan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan dari pekerjaan yang dilakukan.

5)    Controlling, yaitu menentukan seberapa baik sebuah pekerjaan yang dilakukan dibandingkan dengan rencana yang ditetapkan.   

            Mengingat tugas dan fungsi kepala sekolah seperti tersebut di atas, maka sebagai seorang manajer, peran kepala sekolah sangat berat yang mencakup berbagai aspek kependidikan seperti dikatakan:

Principals are responsible for all aspects of school operation. Principals performs seven essential functions: 1). plan, develop, supervise, and evaluate the instructional program, 2). select, assign, and evaluate and provide opportunities for their professional growth and development, 3). maintain two-way communication with parents and community, 4). enforce appropriate standards of student conduct, 5). use due process procedures in dealing with students and staff members, 6). maintain safe, clean, and attractive building and grounds, 7). keep accurate records of enrollment, attendance, disciplinary actions, and funds received and expended. (John Seyfarth, 2008: 62)

 Bahwa seorang kepala sekolah bertanggungjawab atas setiap kegiatan sekolah yang meliputi tujuh aspek, yaitu : 1) membuat perencanaan, mengembangkan, mensupervisi dan mengevaluasi program pembelajaran, 2) memilih dan mengevaluasi program pengembangan karir, 3) menjaga komunikasi dengan orang tua dan masyarakat, 4) membuat standar perilaku siswa, 5) menggunakan prosedur proses dalam menentukan kebijakan terkait siswa dan staf, 6) menjaga kebersihan, kesehatan dan keamanan lingkungan dan gedung sekolah, dan 7) membuat laporan yang akurat tentang pendaftaran, kehadiran, kedisiplinan  dan bantuan.

Peran sebagai administrator, seorang kepala sekolah dituntut memahami aspek-aspek administrasi sekolah, seperti administrasi sumber daya manusia, administrasi kurikulum, administrasi keuangan dan administrasi sarana prasarana. Seperti dikatakan Ahmad Sanusi dalam Idochi Anwar (2003: 77-79)bahwa kemampuan kepala sekolah dengan misi profesionalnya terdiri atas: 1) Kemampuan dalam administrasi sekolah yang meliputi kemampuan tujuan, kemampuan proses dan kemampuan teknis manajerial; 2) Pengetahuan dalam administrasi sekolah yang meliputi berbagai pengetahuan yang relevan dengan proses administratif dan bidang teknis; serta 3) Komitmen dalam administrasi sekolah yang meliputi orientasi kearah perbaikan syarat keunggulan professional,aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar yang profesional, dan dedikasi terhadap pengembangan konsep yang lengkap.

            Peran sebagai motor atau penggerak, kepala sekolah fokus pada aktivitas mempengaruhi dan mendorong perilaku yang terkait dengan kegiatan sekolah yaitu berfokus pada proses belajar mengajar, mendorong adanya kolaborasi antarkomponen, menganalisis hasil yang dicapai, mensupport setiap kebutuhan pembelajaran, mengelola kurikulum, pembelajaran dan penilaian hasil belajar, seperti dikatakan : The principal as instructional leader focusing on learning, encouraging collaboration, analyzing results, providing support, aligning curriculum, instruction, and assessment. (Fred C. Lunenburg & Beverly J. Irby, 2006: 14).

Setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengembangkan seni kepemimpinan. Dengan kata lain, peran seorang kepala sekolah dalam organisasi sekolahnya adalah bagaimana membuat guru dan karyawannya menjadi berkualitas dan meningkat kemampuannya. Kualitas itu sendiri akan mencerminkan seperangkat nilai, proses serta strategi yang digunakan. Ia mencerminkan tekad dan kemauan untuk mengerjakan berbagai hal dengan benar, kepedulian murni kepada pelanggan, dan komitmen mendalam pada bawahan. Hal demikian menuntut kemampuan dan kelihaian seorang kepala sekolah dalam mengendalikan sekolah, seperti dikatakan:

“Ten dimensions of teaching and leadership within a school: knowledge and understanding; planning and setting expectations; teaching and managing pupil learning; assessment and evaluation; pupil achievement; relations with parents and the wider community; managing own performance and development; managing and developing staff and other adults; managing resources; strategic leadership”(Jeff Jones, 2004: 16).

Artinya terdapat 10 dimensi yang dibutuhkan dalam kepemimpinan dan pengajaran di sekolah, yaitu pengetahuan dan pemahaman, perencanaan dan seting harapan,  mengelola pembelajaran siswa, melakukan pengukuran dan penilaian, prestasi siswa, menjalin hubungan dengan orang tua dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan kinerja, mengelola dan mengembangkan staf, mengelola sumber daya, dan kepemimpinan strategik.

Menurut Gary M Crow (1995: 30) bahwa:

Three major types of principal skills: interpersonal, special tasks and leadership. Interpersonal skills, which is the category most frequently mentioned, include communicating, motivating, and working with diverse groups. Special task skills include such areas as organizing and evaluating. The category of leadership includes decisiveness, assertiveness, flexibility and facilitative skills”.

        Seorang kepala sekolah dituntut memiliki tiga kemampuan yaitu pertama kemampuan interpersonal seperti kemampuan berkomunikasi, memotivasi dan bekerja kelompok, kedua kemampuan spesial yakni kemampuan mengorganisasi dan mengevaluasi,  dan ketiga kemampuan memimpin yang di dalamnya termasuk pengambilan keputusan, ketegasan, fleksibilitas dan kemampuan fasilitatif.

Peran sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah memiliki dua fungsi, yaitu : 1) mengusahakan keefektifan organisasi pendidikan, yaitu terkait dengan upaya menciptakan etos kerja yang baik, mengusahakan tenaga pendidik yang memiliki ekspektasi yang tinggi, mengembangkan kualitas tenaga pendidik dan menyediakan kondisi kerja yang baik, 2) mengusahakan kesuksesan lembaga pendidikan / sekolah yaitu meliputi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemimpinan, memiliki tujuan yang jelas, penekanan pada kualitas, dan melakukan evaluasi dan monitoring (Ara Hidayat & Imam Machali, 2010: 83).

Uraian di atas, sesungguhnya kepala sekolah sebagai leaderpendidikan terfokus pada upaya peningkatan kemampuan personel atau staf sekolah yang erat kaitannya dengan pendayagunaan sumber daya manusia.Fokus pengawasan kepala sekolah ini meliputi administrasi, kurikulum pengajaran, kerjasama antarmanusia, manajemen, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, sesungguhnya pengawasan kepala sekolah merupakan pembinaan yang ditujukan pada staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan proses belajar mengajar yang lebih baik.

Pernyataan di atas, dikatakan bahwa “ the instructional leadership succsefully requires focusing on teaching and learning in a way that ensures an emphasis on three themes : subject matter content, principles of learning, and teaching processes.  (Thomas J. Sergiovanni & Robert J. Starra, 2002: 262).

Artinya bahwa keberhasilan seorang kepala sekolah adalah menuntut terfokusnya perhatian terhadap kegiatan belajar mengajar, yaitu menyangkut materi pelajaran, prinsip-prinsip dalam pembelajaran, dan proses mengajar.

Fungsi-fungsi di atas merupakan bagian penting jabatan kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah. Kepala sekolah harus merencanakan dan mengorganisasikan setiap komponen dalam rangka mempengaruhi para guru dan pegawai lainnya yang terkait dengan sistem sekolah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seperti dikatakan Leithwood et al dalam Kara S. Finnigan (2010: 165) : Three areas of instructional leadership (1) the development of a shared vision and overall sense of purpose, (2) changing school norms and bringing staff into contact with new ideas and practices, and (3) promoting trust and respect and being approachable. Bahwa kepala madrasah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah memiliki tiga wilayah, yaitu mengembangkan visi dan tujuan, merubah norma sekolah dengan ide-ide baru, dan mengembangkan sikap percaya dan menghormati. 

Secara spesifik, peran kepala sekolah sebagai supervisor pendidikan, menurut Ben M. Haris dalam Syaiful Sagala (2006: 245) diimplementasikan dalam : (1) mengembangkan kurikulum, yakni tentang apa yang diajarkan, siapa yang mengajar, bagaimana polanya, menetapkan standard an melembagakan mata pelajaran, (2) pengorganisasian pengajaran, yakni mengelola guru, staf, siswa, dan sarana yang dibutuhkan, (3) pengadaan staf, yakni menyiapkan tenaga yang dibutuhkan sesuai dengan yang direncanakan, (4) menyediakan fasilitas, yakni mendesaian perlengkapan yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran, (5) menyediakan bahan-bahan, yakni memilih dan mendesain bahan yang dibutuhkan dalam pembelajaran, (6) menyusun kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru dan staf, (7) memberikan orientasi kepada bawahan untuk melakukan tanggungjawab sesuai bidangnya, (8) melayani siswa dalam rangka mengembangkan pertumbuhan belajar siswa,(9) hubungan masyarakat untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran, dan (10) melakukan penilaian pengajaran untuk kepentingan pengambilan keputusan.

Kutipan di atas sejalan dengan yang dikatakan bahwa : The main tasks of the school principal is to contribute to improving the teaching practices and professional performance of the teachers, with the final objective of increasing students’ learning; that is, a leadership focused on supporting, evaluating and developing teacher quality (Antonio Bolívar-Botía, 2011: 11). Bahwa tugas utama seorang kepala sekolah adalah mendukung pengembangan kompetensi guru, mengembangkan  keterampilan mengajar guru, mengevaluasi kegiatan mengajar guru, dan melakukan supervisi akademik. 

Dikatakan Olivia (1990 : 17) bahwa obuek supervisi adalah mencakup : (1) pembinaan kurikulum, (2) perbaikan proses pembelajaran, (3) pengembangan staf dan (4) pemeliharaan dan perawatan moral dan semangat kerja guru-guru. Sedangkan area pelaksanaan pengawasan pembelajaran adalah meliputi aspek : 1. Guru yakni  terkait dengan penilaian personal guru, pengembangan kompetensi guru dan evaluasi kinerja guru, 2. Kegiatan pembelajaran, yakni terkait dengan interpretasi tujuan pembelajaran, pengembangan sistem pembelajaran, pengembangan strategi pembelajaran, penyediaan sumber belajar, dan penyediaan layanan tambahan, 3. Struktur, yakni terkait dengan implementasi tujuan organisasi, pengembangan susunan kepegawaian, spesifikasi pekerjaan yang diperlukan, analisis efektivitas organisasi, dan evaluasi terhadap capaian tujuan.(Robert J. Alfonso, et all, 1981 : 333-334)

Terkait dengan posisi sebagai supervisor, kepala sekolah memiliki dua tanggungjawab besar, yaitu

1)  Menyiapkan supervisi dengan efektif bagi para guru, dan

1)    Menyiapkan kondisi, membantu dan mendukung kebutuhan para guru untuk terlibat dalam kegiatan supervisi yang menjadi bagian dari kegiatan rutin mereka (Sergiovanni & Starra: 2002, 5)

Leslie W. Rue & Lloyd L. Byars (2010 : 69-70) menjelaskan lingkup pekerjaanyang harus dilakukan oleh seorang supervisor, yaitu:

1)    Make the work interesting

Seorang supervisor harus mengontrol setiap pekerjaan yang ada dibawah tanggungjawabnya dengan menciptakan berbagai tantangan sehingga pekerjaan tidak sekedar rutinitas yang membosankan.

2)    Relate reward to performance

Seorang supervisor perlu meningkatkan performance setiap pegawai melalui pemberian reward atau penghargaan kepada yang berprestasi.

2)    Provide valued reward

Pemberian reward atau penghargaan kepada setiap pegawai yang berprestasi perlu dipertimbangkan faktor nilai bagi pegawai.  Oleh karena itu supervisor mesti  mengetahui berbagai macam reward dan manfaatnya bagi mereka.

3)    Treat employees as individuals

Bahwa setiap pegawai memiliki kebutuhan berbeda, begitu pula harapan-harapannya.Akan tetapi kebanyakan mereka sangat memerlukan perhatian sehingga mereka merasakan sebagai bagian dari organisasi tersebut.

4)    Encourage participation and cooperation

Pegawai memiliki rasa sebagai bagian dari organisasi yang berkontribusi terhadapnya dan cenderung memiliki komitmen terhadap keputusan yang ditetapkan apabila mereka terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, pegawai biasanya akan termotivasi apabila mereka memahami tentang mengapa hal tersebut harus dilakukan.

5)    Provide accurate and timely feedback

Setiap pegawai tidak menginginkan kinerja buruk, hal ini faktnya bahwa  penilaian kinerja negatif yang dihasilkan dari sebuah review akan lebih baik daripada tidak ada sama sekali review. Oleh karena itu diperlukan skedul yang tepat untuk melakukan penilaian setiap pegawai secara rutin dan akurat.

Supervisi merupakan hal penting yang tidak dapat dilepaskan dalam proses pendidikan. Menurut Melissa Luke & Janine M. Bernard (2006 : 14) bahwa supervisi sesungguhnya dibutuhkan untuk meningkatkan skill atau kemampuan terkait dengan penyelenggaraan pembelajaran di kelas, kemampuan melakukan penilaian, kemampuan melakukan koordinasi dengan guru lain, kemampuan memahami hubungan berbagai aktivitas di sekolah, kemampuan membuat perencanaan fungsi sekolah, kemampuan mengambil keputusan tentang sesuatu yang berkaitan dengan karir, kemampuan melakukan pengembangan layanan evaluasi, kemampuan menentukan intervensi kelas pembelajaran dan terakhir adalah kemampuan menghandel sesuatu sesuai dengan konteksnya yang bervariasi.

      Alur perubahan sikap guru hingga siswa terkait dengan pelaksanaan supervisi digambarkan oleh Alfonso (1981: 45) yang fokusnya pada perubahan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, artinya terjadi perubahan kemampuan pada guru menjadi lebih baik dalam melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas sehingga pada akhirnya membentuk sikap dan perilaku siswa dalam kegiatan pembelajaran tersebut untuk mencapai hasil yang optimal.

Kegiatan kepala sekolah di atas, oleh Duke and Leithwood dinyatakan sebagai bagian dari 4 fungsi seorang kepala sekolah, yaitu:

1)    Establishing effective staffing practices: hiring practices that ensure staff expertise, fairness, and equity; involve current staff in the process; and integrate old and new staff.

2)     Providing instructional support: strategies to provide organizational support for teacher interaction; ensure availability of resources and technical support; and observe and provide feedback on classroom instruction.

3)     Monitoring school activities: strategies to maintain a positive, visible presence easily accessible to students and staff.

4)     Providing a community focus: practices sensitive to community aspirations and to community involvement with the school. (Kenneth Leithwood and Doris Jantzi, 1997: 314)

Keempat fungsi seorang kepala sekolah di atas adalah : menempatkan staf sesuai keahlian, keadilan, persamaan dan integritas, menyediakan sumber daya dan dukungan teknis kegiatan belajar mengajar, memonitor kegiatan sekolah dan memberikan kemudahan akses staf dan siswa, dan menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi.

Keberhasilan seorang kepala sekolah dalam mengelola sekolah sangat bergantung kepada berbagai hal diantaranya kondisi kepala sekolah itu sendiri, faktor dukungan bawahan, dan faktor lingkungan. Dilihat dari sudut kepala sekolah sebagai sosok yang memiliki peran dalam mempengaruhi guru dalam menjalankan tugasnya tergantung pada:

1)    Kepribadian yang kuat, seperti rasa percaya diri, berani, bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial.

2)    Memahami tujuan pendidikan dengan baik, dengan bekal pemahaman terhadap tujuan sekolah maka kepala sekolah diharapkan dapat menjelaskan kepada seluruh stakeholder serta menggunakan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.

3)    Memiliki pengetahuan yang luas, yaitu penguasaan terhadap ilmu tentang kepemimpinan dan pengetahuan lainnya yang terkait dengan bidang tugasnya sebagai seorang kepala sekolah.

4)    Memilki keterampilan profesional, yaitu memiliki (a) keterampilan teknis sebagai kepala sekolah dalam mengelola, mensupervisi, dan memimpin berbagai kegiatan,  (b) keterampilan hubungan manusia seperti mampu mendorong, memotivasi dan mengembangkan bawahan, (c) keterampilan konseptual, yakni kemampuan mengembangkan sekolah, memprediksi berbagai persoalan ke depan dan mampu mencari solusinya (Depdiknas, 2000: 12)

Secara spesifik, kepemimpinan kepala madrasah di lingkungan Kementerian agama dituntut memiliki beberapa kompetensi, yaitu kompetensi utama yakni kemampuannya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pimpinan, kompetensi akademik yaitu berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki kepala madrasah, kompetensi praktis, yaitu kemampuan teknis kepala madrasah dalam mengelola madrasah, dan kompetensi penunjang, yaitu kemampuan membangun hubungan atau komunikasi dengan berbagai pihak dan kemampuan mengambangkan diri secara terus menerus. Empat kompetensi kepala madrasah yang diharapkan di atas, selayaknya tampak dalam perilaku kepemimpinannya dalam hal : 1) mengambil inisiatif dalam mengembangkan kemampuan diri, selalu mengambangkan kemampuan kepemimpinannya, melakukan refleksi dan riset atas kepemimpinannya, mengikuti pelatihan dan pertemuan yang terkait dengan pendidikan, melakukan dialog-dialog informal dengan guru tentang proses pendidikan, membantu kesulitan guru dan tenaga kependidikan lainnya, dan mendorong kerjasama serta meminta masukan berbagai pihak untuk perbaikan pendidikan dan pengajaran (Zahrotun Nihayah & Alvinar Aziz, 2008: 7-8)

            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan kepala madrasah adalah tindakan kepala madrasah dalam mengembangkan kemampuan profesional guru sesuai dengan visi dan norma yang dikembangkan yang diarahkan pada perbaikan proses pembelajaran melalui kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan supervisi.         

 4. Budaya Madrasah

a.  Konsep Dasar Budaya

Budaya   merupakan   perilaku,   nilai   simbol   dan   makna   dalam masyarakat yang menjadi suatu tradisi dan anutan dalam berbagai kegiatan.Budaya berasal dari bahasa Inggris culture yang berarti kesopanan dan terpelajar. Menurut Bomard Gregory (1995: 11) Kata budaya ini mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu: (1) program kolektif suatu pikiran; (2) system nilai dan kepercayaan; (3) cara untuk mengatasi persoalan pada suatu kelompok orang; dan (4) cara untuk mengerjakan sesuatu.

Kotter dan Heskett (1992: 4) memberikan definisi budaya sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk atau karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk atau populasi tertentu.Dengan demikian, budaya merupakan segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat tertentu serta termasuk juga di dalamnya berbagai akumulasi atau sejarah dari suatu peristiwa atau perbuatan yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama pada waktu lampau.

Pada saat ini banyak pandangan-pandangan populer mengenai budaya yang dipahami sebagai nilai-nilai, keyakinan, dan ritual yang dapat berpengaruh terhadap keseluruhan proses lembaga. Nilai-nilai menjadi pegangan orang-orang yang ada di dalam lembaga atau organisasi tersebut, bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku, keyakinan sebagai kekuatan hati untuk bertindak berinteraksi, sedangkan ritual mengarah pada aktivitas bersama yang dilakukan rutin dan terencana sebagai bentuk ciri khas yang dimiliki oleh suatu kelompok sekaligus menjadi pembeda dengan kelompok organisasi lainnya.

Uraian di atas, seperti dikatakanGibson, Ivancevich, Donnelly (1985: 43) bahwa setiap organisasi yang efektif memiliki budaya sendiri yaitu :a system of shared values and beliefs that produce norms of behevior. Nilai-nilai merupakan apa yang penting dilakukan oleh seluruh anggota organisasi, keyakinan lebih menekankan pada bagaimana anggota organisasi itu bekerja dan berinteraksi, sedangkan norma mengarah pada bagaimana seharusnya anggota organisasi itu bekerja sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada.

Pernyataan di atas, bahwa bahwa budaya organisasi adalah nilai yang menjadi perilaku dan pegangan hidup dalam menjalankan kewajibannya di dalam organisasi. Sebagai nilai yang menjadi pedoman bagi seluruh anggotanya, budaya organisasi ini seyognyanya berpengaruh terhadap pemikiran dan segala aktivitas anggota yang berada dibawahnya sesuai nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku antara satu dengan lainnya. Hal ini seperti dikatakan Wagner dan Hollenbeck (2010: 283) bahwa:

“An organization culture is therefore an informal, shared way of perceiving life and membership in the organization that binds members together and influences what they think about themselves and their work.”.

 Budaya Organisasi pada intinya adalah asumsi-asumsi, adaptasi, persepsi dan pembelajaran dari hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh seseorang tentang organisasinya, seperti dikatakan Schein (1991: 9) :

“The Culture : defined as a pattern of basic assumptions-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problem.  

 Secara ideal, kepala sekolah sebagai input utama yang berperan mempengaruhi budaya organisasi memiliki peran besar yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses yang terjadi dan output yang dikeluarkan. Budaya sebagai nilai dan keyakinan bersama merupakan dasar utama identitas organisasi, dalam bentuk tempat kerja menyenangkan, kepuasan, kesetiaan/loyalitas, kehangatan, keramahan, kebanggaan, semangat kebersamaan, stabilitas sistem sosial, dan pencapaian tujuan jangka panjang. Seperti diungkapkan Kreitner et.al (2007: 76):

“Organizational culture is share values and beliefs that underlie a company’s identity. Function of organizational culture, (1) organizational identity: fun place to work, satisfaction, loyalty; (2) collective commitment: sense of warmth, friendliness, individual pride, and company spirit; (3) social system stability: perceived as positive and reinforcing; (4) sense-making device: to accomplish long term goal.

 Pendapat di atas sejalan dengan pernyataan bahwa budaya organisasi sekolah memiliki elemen sebagai berikut:

1)  Beliefs, yaitu keyakinan yang dianut oleh guru terhadap aturan yang dibuat sekolah seperti terkait dengan proses pembelajaran, disiplin, dan hubungan antara orang tua dengan sekolah.

1)    Values, yaitu nilai yang dapat menjadikan sekolah lebih berharga.

2)    Norms and standards, yaitu apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh guru, supervisor dan kepala sekolah, sehingga dapat diketahui dengan jelas aktivitas apa yang mendapatkan ganjaran dan aktivitas apa yang perlu mendapatkan hukuman.

3)    Pattern of behaviors, yaitu tentang apa yang dapat diterima, sikap dan perilaku, serta kebiasaan dan ritual mana yang perlu dijaga di sekolah (Sergiovanni & Starra: 2002, 321)

 

b.     Budaya Madrasah

Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 merupakan satu kesatuan dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Dijelaskan Pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) yaitu Pendidikan Dasar Berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang  sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang  sederajat. Kemudian untuk pendidikan menengah dikatakan bahwa Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang  sederajat. Kemudian pada Pasal 51 ayat (1) disbutkan dengan lugas bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (UU Sisdiknas No. 20, 2003: 9).

Budaya madrasah merupakan penjabaran dari nilai yang diterapkan di sekolah, norma yang ada dan diberlakukan di sekolah, serta harapan dan kebiasaan yang menggambarkan interaksi timbal balik antara satu anggota dengan lainnya, hal ini seperti dikatakan :School cultures can be inferred from the values, norms, expectations and traditions that describe human interaction with the system (Philip Hallinger & Kenneth Leithwood, 1996: 105).

Beare Caldwell and Millikan menjelaskan bahwa:

Distinguish between inner space characteristics of school culture such as values, philosophy and ideology and outer space characteristics such as conceptual / verbal manifestation (aims and objectives, curriculum, language, metaphors, organizational stories, organizational heroes, organizational structures), behavioural manifestations (rituals, ceremonies, teaching and learning, operational procedures, rules and regulations, reward and sanctions, psychological and social support, parental and community interaction pattern), and visual manifestation (facilities and equipment, artefacts and memorabilia, crest and mottoes, uniform) (Colin Marsh, 2008: 304-306).

Kutipan di atas, bahwa Beare et.al membedakan antara karakteristik intern budaya sekolah sebagai sebuah nilai, filosofi dan idiologi dengan karakteristik luar, yaitu sebagai 1) konsep atau manifestasi verbal seperti tujuan, kurikulum, bahasa, sejarah dan perjuangan organisasi, serta struktur organisasi, 2) manifestasi tindakan seperti ritual, peraturan, sanksi dan hadiah, psikologi dan dukungan sosial, interaksi masyarakat dan orang tua, dan 3) ungkapan  visual seperti fasilitas dan peralatan, benda seni, moto dan seragam.

Pendapat di atas, diperkuat dengan pernyataan : The core elements of school culture : 1. A shared sense of purpose and vision, 2. Norms, values, beliefs and assumptions, 3. Rituals, traditions and ceremonies, 4. History and stories, 5. People and relationships, and 6. Architecture, artifacts, and symbols (Kent D. Peterson & Terrence E. Deal, 2009: 12). Bahwa budaya sekolah memiliki elemen inti sepeti visi dan tujuan, norma, nilai, asumsi dan keyakinan, ritual, seremoni dan kebiasaan, sejarah,hubungan antarsesama dan simbol-simbol arsitektur.

Berbagai elemen dan dimensi dalam budaya sekolah sesungguhnya kembali pada peran anggota organisasi itu untuk menciptakan dan mempengaruhinya. Jika anggota organisasi sekolah berperilaku baik maka akan membentuk budaya yang baik, seperti diungkapkan: School culture consist of attitudes, beliefs and values, feelings, and opinions that are shared by a significant number of its influential members and that are communicated  to others. (Ronald W Rebore & Angela L.E. Walmsley, 2007: 62). Bahwa budaya sekolah terdiri dari perilaku, keyakinan dan nilai, perasan dan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh anggota organisasi tersebut dalam mengkomunikasikannya.

Bahwa budaya sekolah menekankan pada pencapaian prestasi akademik oleh siswa didik melalui pengkondisian lingkungan atau iklim belajar yang dialami siswa karena efektifitas sebuah sekolah secara akademik tergantung pada kejelasan tujuan yang dibuat sejalan dengan prestasi yang di raih siswa, kesamaan harapan antara guru dan orang tua sehingga terjadi kesepahaman pelaksanaan pendidikan, dan upaya mendesain stuktur yang dapat memaksimalkan kesempatan bagi siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar, seperti diungkapkan:

“A school-level culture press in the direction of academic achievement helps shape the environment (and climate) in which the student learns. An academically effective school would be likely to have clear goals related to student achievement, teachers and parents with high expectations, and a structure designed to maximize opportunities for students to learn” (Ron Renchler, 1992: 4).

 Terkait dengan harapan pencapaian tujuan pembelajaran melalui pembentukan budaya sekolah, dikatakan : “Positive school cultures encourage civility, respectful language usage, and modes of communication that bind school actors together and facilitate open discussion and thoughtful decision-making”.(Virginia Rhodes, Douglas Stevens, Annette Hemmings, 2011: 83). Bahwa budaya sekolah yang positif senantiasa mendorong kesopanan dalam berinteraksi, penggunaan bahasa yang baik dalam melaksanakan pekerjaan, serta dibuka pola diskusi terbuka menyangkut berbagai penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.

 c.     Proses Pembentukan Budaya

Membentuk budaya kerja dalam organisasi bukanlah satu perkara mudah dan tidak boleh dicapai dalam masa yang singkat. Dalam usaha untuk membentuk budaya kerja dalam organisasi, orientasi seseorang haruslah bergerak di atas landasan yang betul sebagai prasyarat bagi tercapainya budaya kerja yang maksimal. Oleh karena itu dalam meletakkan sendi-sendi budaya kerja perlu memperhatikan: komitmen setiap orang yang bekerja, mempunyai kualitas kesadaran, bersedia menerima perubahan. Komitmen dari setiap orang yang bekerja sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi. Pekerjaan yang hendak dilaksanakan perlu dilakukan dengan sepenuh hati atas kehendak organisasi dengan menampikkan segala kepentingan lain khususnya kepentingan pribadi. Penting bagi sesebuah organisasi mewujudkan 'mind-set' yang berorientasikan kepada hasil yang maksimal supaya seseorang dalam bekerja lebih commitedterhadap pekerjaanya.

Robbins (2001: 510-511) menyampaikan tujuh karakter utama yang membentuk budaya organisasi, yaitu: (a) inovasi dan pengambilan resiko merupakan pendorong para karyawan untuk berlaku inovatif dan berani mengambil resiko; (b) perhatian terhadap kerincian yang mendorong karyawan bekerja secara cermat, bersifat analisis dan mencermati pekerjaan secara rinci; (c) berorientasi hasil sebagai fokus tujuan dibandingkan perhatian terhadak teknik yang digunakan; (d) berorientasi orang merupakan keputusan-keputusan organisasi yang memperhitungkan efek-efek tertentu terhadap orang-orang di dalam organisasi; (e) berorientasi tim, bukan individu-individu; dan (f) keagresifan merupakan sampai sejauhmana orang-orang di dalam organisasi bersifat agresif dan kompetitif mencapai tujuan, dan (g) stabilitas yakni bagaimana memelihara stabilitas untuk terus berkembang.

Orientasi atau fokus dari pembentukan budaya sekolah diarahkan pada pencapaian tujuan pembelajaran yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan secara kelembagaan.

School culture : The extent to which instructional goals are established and communicated, high expectations are held for student progress, instructional problems are discussed, student academic accomplishments are recognized, parents are informed about student progress, faculty morale is high, and an orderly, academic environment exists within the school”. (Ronald H. Heck, 1996:  85).

Bahwa dalam budaya sekolah, pencapaian tujuan pembelajaran harus dibuat dan dikomunikasikan baik dalam konteks pencapaian tujuan dalam skala lembaga maupun dalam kelas belajar mengajar, harapan atas keberhasilan siswa dibangun dari perkembangan belajar siswa dengan melakukan upaya dan strategi mengantarkan mereka mencapai tujuan yang diinginkan, setiap ada masalah dalam pembelajaran maka harus didiskusikan baik secara vertikal dengan pimpinan maupun secara horizontal dengan sesama guru, pengakuan terhadap kemampuan akademik siswa dengan memberikan penghargaan, adanya pelaporan terhadap orang tua tentang perkembangan siswa secara rutin sehingga terbangun kerjasama yang kuat untuk mengantar siswa mencapai tujuan yang diinginkan, moralitas yang tinggi dari seluruh civitas akademik sekolah, dan eksistensi lingkungan akademik yang terus dibangun dengan mengdepankan nilai-nilai rasionalitas yang tinggi.

Alat untuk menentukan nilai-nilai dalam budaya organisasi adalah kejujuran, sikap pemaaf, penolong, mengasihi, kesetiaan, kesantunan, bertanggungjawab.Sifat-sifat demikian menjadi alat yang dapat mendorong terciptanya budaya yang baik dalam organisasi.Seperti diungkapkan Kondalkar (2007: 338) bahwa :Instrumental values, it refers to preferable modes of behavior. There are honesty, forgiving, helpful, loving, obedient, polite, responsible, etc.

Budaya yang dengan sengaja diciptakan oleh pendiri atau manajemen puncak atau pimpinan tertinggi.Pandangan ini didukung oleh Ivancevich, Konopaske danMatteson (2008: 53) bahwa budaya organisasi adalah pola asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan untuk mengatur kehidupan organisasi. (Organizational culture is a pattern of assumptions and values that are invented, discovered, or developed to cope with organizational life).

Budaya Organisasi sebagai seperangkat nilai, kepercayaandannorma mempengaruhi cara berpikir, yang dirasakan, dan tindakan seseorang. Hal ini sejalan dengan pendapat John P. Kotter dan James L. Haskett dalam Hadari Nawawi (2003: 285) bahwa budaya organisasi terbentuk melalui sebuah proses yang bertahap. Sama halnya dengan organisasi lainnya, budaya sekolah kokoh terbentuk oleh anggota yang ada di dalamnya, seperti diungkapkan Lea Hubbard, Hugh Mehan, Mary Kay stein (2006: 7), bahwa:

“Every school culture has its own culture that is socially constructed by the members within it. One important dimension of organizational culture involves individuals’ use of everyday routines to handle the complexity of organizational decision making. A second dimension involves conflicts that arise over differences in individuals’ values, beliefs, and taken for granted, often unstated, assumptions about the contentious issues that arise in educational reforms efforts. A third dimension involves the political forces that shape organizations and influence their attempts at change”.

 Artinya, bahwa setiap sekolah memiliki budaya tersendiri yang dibangun oleh anggota yang ada di dalamnya.Diantara dimensi penting dalam sebuah organisasi sekolah adalah rutinitas individu menghandel kompleksitas kebijakan organisasi, dimensi kedua adalah konflik yang muncul akibat perbedaan nilai, keyakinan, asumsi tentang usaha reformasi pendidikan, dan dimensi ketiga adalah kekuatan politik yang mempengaruhi perubahan.

 d.     Karakteristik Budaya

Budaya memiliki sejumlah fungsi bagi anggota organisasi dan organisasi. Robbins (2001: 515) menyebutkan beberapa fungsi budaya organisasi sebagai berikut:

1)    Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Budaya dapat membedakan antara organisasi yang satu dengan yang lain.

2)    Budaya menumbuhkan rasa identitas bagi para anggotanya.

3)    Budaya menumbuhkan komitmen bersama dari pada individual.

4)    Budaya meningkatkan kemantapan sosial. Budaya dapat menjadi perekat sosial serta mempersatukan organisasi dan rasa seiya sekata dan senasib sepenanggungan para anggota.

5)    Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi.

Dalam kondisi seperti itu, budaya organisasi senantiasa hidup dinamis, mengikuti dinamika organisasi yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal organisasi.Oleh karena itu, budaya organisasi dapat berubah kapan saja.Dalam konteks perubahan itu.Penelitian Linet Arthur (2010: 475-477) mengidentifikasi budaya sekolah ke dalam 4 tipe, yaitu budaya pemimpin dalam  keterbukaan terhadap atasannya dan terhadap staf serta dukungan terhadap pengembangan profesionalitas kerja, budaya pembinaan guru dalam kegiatan pembelajaran, mengembangkan kemampuan meneliti, dan kemampuan memecahkan masalah, budaya kebersamaan dalam bekerja, memberikan kritik, diskusi dan saling memotivasi dan budaya imperatif yaitu terkait dengan pengembagan karir guru.

Sejalan dengan kutipan di atas, bahwa budaya organisasi apapun dapat berubah dan keberadaannya dapat diukur melalui 12 aspek, hal ini seperti dikatakan Brown (1998: 61-64), yaitu: (1) orientasi kreativitas dan inovasi, (2) orientasi kekuasaan dan konflik, (3) orientasi informasi dan komunikasi, (4) orientasi peraturan, (5) orientasi belajar, (6) orientasi individual, (7) orientasi kooperasi, (8) orientasi kepercayaan, (9) orientasi konflik, (10) orientasi masa depan, (11) orientasi loyalitas dan komitmen, dan (12) orientasi kerja.

Menurut Luthans, (2005: 110-111) terdapat enam ciri penting budaya organisasi sebagai berikut:

1)      Observed behavioral regularities. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu dengan lainnya, mereka menggunakan bahasa, terminologi dan ritual yang saling meghormati satu sama lain.

2)      Norms. Yaitu standar perilaku yang ada termasuk di dalamnya adalah petunjut tentang bagaimana harus bekerja dan larang melakukan aktivitas tertentu.

3)      Dominant values. Di dalam organisasi terdapat nilai-nilai inti yang diterapkan yang harus diikuti oleh anggotanya, misalnya tentang pembiasaan terhadap kualitas produk, rendah ketidakhadiran dalam bekerja, dan efisiensi dalam bekerja.

4)    Philosophy. Dalam organisasi dibuat kebijakan yang mengikat anggota organisasi tersebut dan konsumen agar mereka senang.

5)      Rules. Organisasi memiliki aturan tentang bagaimana berada dalam organisasi itu, sehingga ketika ada pendatang baru maka ia harus belajar sehingga ia dapat diterima oleh anggota lainnya.

6)    Organizational climate. Iklim organisasi ini mengarahkan pada kenyamanan dalam bekerja yang menuntut desain ruangan, bagaimana mereka harus berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana bersikap terhadap pelanggan dan orang luar.

Berdasarkan uraian teori di atas, dapat disintesiskan bahwa budaya madrasah adalah sekumpulan nilai, norma, keyakinan, pandangan, ritual, tradisi, sejarah, upacara-upacara, simbol, artefak, aturan organisasi yang disepakati dan harus diikuti, hubungan antarsesamaguru dan pegawai dan konflik yang terjadi dalam bekerja serta pola sikap dalam bekerja seperti kesopanan, cara berkomunikasi, keterbukaan, dukungan manajemen dalam bekerja dan pengakuan terhadap prestasi yang dicapai.

 

5. Motivasi Kerja

a. Konsep Dasar Motivasi

Kata motivasi diambil dari kata motif yang diartikan dengan kekuatan di dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat melakukan sesuatu.Motif tidak dapat dilihat secara langsung tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah laku individu itu berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga yang memunculkan tindakan tertentu.Setiap orang bergerak untuk bertingkah laku, berbuat untuk mencapai suatu tujuan karena adanya motivasi di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan kata motivasi yang dalam bahasa Inggris disebut “motivation”  dan berasal dari kata Latin yang disebut “Movere” yang berarti to move dalam bahasa Inggris. Berelson dan Steiner dalam Koontz, et.al (1996:115) menjelaskan bahwa motif merupakan satu keadaan di dalam diri seseorang (inner state) yang mendorong, mengaktifkan, menggerakkan, mengarahkan dan menyalurkan perilaku kearah tujuan.

Motivasi merupakan suatu proses psikologis sehingga menggerakkan perilaku atau dorongan untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Artinya bahwa motivasi merupakan sejumlah kondisi yang mendorong, menggerakkan, serta menghidupkan perilaku, kemudian mengarahkan perilaku tersebut kepada tujuan dan mempertahankannya hingga tercapainya target yang diinginkan.Dengan tercapainya tujuan tersebut maka terpenuhilah kepuasan dalam dirinya.Hal didukung pernyataan Robbins (1982: 294) yang menegaskan bahwa motivasi adalah suatu kesediaan untuk melakukan usaha-usaha tingkat tinggi guna mencapai tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan usaha guna memuaskan kebutuhan individu tertentu.

Secara rinci Ibrahim Kocabas (2009: 3) menguraikan tentang konsep motivasi menurut berbagai ahli, yaitu:

“Concepts of motivation include the expenditure of effort to achieve a goal (Martin, 2000); creating forces that power and drive behaviors (Bursalioglu, 2002); improving a situation perceived to be difficult by an individual, meeting needs (Dull, 1981); providing driving forces to urge us into action (Gene, 1987), developing a physiological and psychological process which takes into account individual desires, goals, tendencies, behavior, self-interest, selection, preference, willpower and drive (Srekli & Tevruz, 1997); a consideration of both intrinsic and extrinsic forces that actuate, direct and maintain behaviors (Gursel, 1997); increasing employees' willingness to work and making them believe that they will satisfy their personal needs best if they work efficiently in the organization (Yuksel, 1998)”.

Berdasarkan kutipan di atas, motivasi merupakan upaya mencapai tujuan yang diharapkan, upaya menciptakan kekuatan yang mendorong perilaku secara kontinyu, upaya memperbaiki situasi yang dirasakan sulit, upaya menyediakan dorongan untuk melakukan tindakan, upaya mengembangkan aspek psikologis dan fisioogis dengan memperhatikan tujuan, keinginan, kecenderungan, perilaku, ketertarikan, pilihan, kekuatan dan dorongan, kekuatan intrinsik dan ekstrinsik untuk melakukan sesuatu secara langsung, kesediaan bekerja untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, dan keyakinan akan kepuasan dalam bekerja jika bekerja dengan efektif.

Artinya,motivasi merupakan karakteristik psikologis yang ada pada diri manusia yang akan memberikan masukan-masukan pada tingkat komitmen seseorang. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki daya gerak dari dalam dirinya sendiri yang disebut motivasi. Seluruh aktivitas mental yang dirasakan atau di alami dan yang memberikan kondisi hingga terjadinya perilaku disebut dengan motif, yang berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu.

Menurut Ryan & Deci dalam Gergory S. Sullivan (2010: 10):

“A basic understanding of motivation begins by differentiating between intrinsic and extrinsic motivation. An extrinsically motivated individual is motivated by something contingent of the activity, often times something tangible. An athlete that participates for a trophy or to get their name in the paper would be extrinsically motivated. An intrinsically motivated individual finds satisfaction and enjoyment in the activity itself”.

 Artinya bahwa pemahaman dasar tentang motivasi bagi setiap manusia dimulai dari pembedaan jenis-jenis motivasi itu sendiri, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik dapat dibangun melalui pemberian sesuatu yang bersifat benda atas apa yang dilakukan misalnya diberikan hadiah atas pekerjaan yang dilakukannya, sedangkan motivasi intrinsik adalah bagaimana individu menemukan kepuasan dan kenyamanan dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, motivasi intrinsic tumbuh dari dalam diri individu itu.

            Menurut Mulyasa (2002 : 120) motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan kerja. Motivasi adalah proses yang berawal dari kebutuhan psikologis maupun psikis pada diri seseorang, sehingga perilaku aktif atau dorongan yang mengarah pada tujuan dan insentif. Dengan demikian, motivasi memiliki tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu: kebutuhan, dorongan, dan rangsangan. Jadi, kunci untuk memahami proses adanya motivasi dalam diri seseorang adalah terletak pada makna dan hubungan di antara tiga unsur tersebut yang tidak dapat dipsahkan satu sama lainnya.

            Motivasi merupakan suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.Motif yang bersifat potensial biasanya aktualisasinya disebut motivasi.Dengan demikian, motivasi umumnya diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, sehingga dapat mempengaruhi prestasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Oleh karena itu, jika seorang guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, maka mereka akan terdorong dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah,sehingga diperoleh hasil kerja yang maksimal(Elis Supartini, 2001 : 1).

            Motivasi dalam kajian psikologi berperan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan keinginan, arah intensitas, dan keajegan perilaku yang diarahkan pada pencapaian tujuan.Motivasi dalam pengertian ini mencakup konsep-konsep seperti kebutuhan untuk berprestasi, berafiliasi, kebiasaan dan keinginan untuk mengetahui sesuatu.Dari batasan seperti ini, motivasi digolongkan berdasarkan motif-motif, yaitu motif bawaan dan motif yang dipelajari.Motif bawaan memang sudah ada sejak seseorang itu dilahirkan sehingga tidak perlu dipelajari.Misalnya, makan, minum, dan seksual.Sedangkan motif yang dipelajari adalah motif yang timbul karena dipelajari, misalnya, belajar, bekerja, mencari kedudukan, jabatan, dan pengembangan karir(Thomas L Good dan Jere E. Brophy, 1991: 360).

            Hasil penelitian E. Stephanie Atkinson (2000: 45) menunjukkan bahwa, kurangnya memotivasi guru ditunjukkan dengan kemampuan, kemajuan dan hasil siswa yang negatif. Terdapat pula keterkaitan antara motivasi kerja guru dengan motivasi belajar siswa, dan motivasi kerja guru dengan desain kurikulum dan proses implementasi kurikulum pembelajaran.  Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa faktor motivasi kerja guru berperan penting dalam mendukung proses pembelajaran yang produktif dan mampu merangsang pembelajaran menjadi lebih bermutu sehingga diharapkan outputnya dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang diharapkan.

 b. Jenis-Jenis Teori Motivasi

Motivasi yang terdapat dalam diri seseorang mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1) apa yang menggerakan perilaku orang tersebut, (2) apa yang mengarahkan perilaku, dan (3) bagaimana perilaku tersebut dapat dipertahankan (Richard M Steers & Lyman W. Porter, 1991 : 6).  Ketiga karakteristik motivasi ini sangat penting karena merupakan faktor penentu bagi perilaku seseorang dalam bekerja.Karakteristik motivasi yang pertama menitikberatkan pada kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut berperilaku menggunakan cara-cara yang sesuai dengan lingkungan tertentu.Karakteristik motivasi kedua bermakna bahwa sebagian orang berperilaku yang berorientasi pada tujuan atau perilaku orang tersebut yang diarahkan kepada suatu tujuan.Sedangkan, karakteristik motivasi yang ketiga bermakna bahwa ada anggapan motivasi merupakan orientasi sistem, kekuatan pada diri seseorang tersebut dan lingkungannya untuk memberikan umpan balik dalam memperkuat intensitas dorongan dan tujuan atau untuk tidak melakukan sesuatu.

Motivasi ada yang bersumber intrinsik dan ekstrinsik, keduanya memiliki peran dan fungsi yang khas (Armstrong, 2003: 51), seperti diuraikan sebagai berikut:

1)    Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik ini muncul dari isi jabatan dan jenis pekerjaan itu sendiri selama pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan atau paling tidak mengarahkan orang tersebut pada pencapaian tujuannya.Faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsic adalah tanggungjawab, kebebasan untuk bertindak, lingkup untuk menggunakan dan mengembangkan keterampilan dan kemampuan kerja, serta peluang yang menarik dan menantang untuk mencapai peningkatan.

2)    Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik bersumber dari daya tarik setelah pekerjaan selesai dan orang yang memotivasinya.Motivasi ini bersumber dari manajemen yang mendukungnya terutama dalam bentuk imbalan, kompensasi atau promosi.

Sertifikasi guru sebagai program nasional diharapkan berdampak pada semakin meningkatkan motivasi bekerja guru. Artinya bahwa dengan program tersebut, keberadaan guru semakin diakui oleh pemerintah baik dari segi legalitas maupun  kompensasi yang diterimanya sebagai penguatan atas proses kerja yang dilakukannya. Hal ini didukung oleh teori Skinner (Richard I Arends, 2008 : 143-133) yang terkenal dengan istilah Reinforcement Theory. Teori ini menekankan pada pentingnya penguatan eksternal yang mengarahkan perilaku manusia, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguat positif mengikuti perilaku yang diinginkan dan memungkinkan perilaku tersebut akan diulang-ulang, sedangkan penguat negatif adalah kejadian atau stimulus yang menghilangkan perilaku tertentu.

Sejalan dengan penjelasan di atas, teori expectancy menjelaskan bahwa motivasi pekerja sangat bergantung pada persepsinya terhadap usaha yang dilakukan, kinerja, dan imbalan. Artinya, seorang pekerja akan memiliki dorongan kuat dalam melaksanakan pekerjaannya apabila mereka percaya dan yakin peningkatan usaha akan dapat memperbaiki kinerja dan kinerja yang baik akan dapat mengarahkan pada pencapaian imbalan sesuai dengan yang diinginkan. Manakala terjadi sebaliknya, ketika tidak ada keyakinan atas keterkaitan usaha dan kinerja  dengan peningkatan imbalan, maka tidak mungkin pekerja memiliki motivasi yang kuat (Edwin C. Leonard, JR, 2010: 28).

            Kebutuhan manusia ditinjau dari sudut psikologi mengarah pada teori hirarki kebutuhan dari Maslow (Maslow Hierarchy of needs). Teori ini membagi kebutuhan manusia atas lima tingkatan kebutuhan, yaitu: (1) psychological needs, (2) scurity needs, (3) social needs, (4) esteem needs, dan (5) self actualization needs. Kebutuhan psikologi adalah kebutuhan dasar yang bersifat primer atau vital, yaitu: pangan, sandang, papan, kesehatan. Kebutuhan akan keamanan adalah kebutuhan rasa aman dan perlindungan, baik dari bahaya dan ancaman, seperti: penyakit dan kenyamanan lingkungan. Kebutuhan  sosial adalah kebutuhan untuk dicintai, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, dan kerjasama dalam keluarga, teman dan rekan sepekerjaan. Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan untuk dihargai karena berprestasi, kemampuan, kedudukan atau status, dan pangkat. Sedangkan kebutuhan akan aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki, pengembangan  secara maksimum baik fisik, mental maupun spiritual (Samuel C. Certo, 2010 : 291).

Kebutuhan Maslow di atas, kemudian mengalami perkembangan, seperti dikatakan Arends (2007: 145), bahwa hirarki kebutuhan Maslow mengalami perubahan, yakni pada kebutuhan mengenal dan memahami orang lain serta kebutuhan estetik yaitu kebutuhan akan keindahan. Hirarkhi Maslow menggambarkan bahwa kebutuhan manusia berjenjang dari yang paling rendah hingga paling tinggi dan akan terus meningkat setelah kebutuhan pada tingkat sebelumnya dapat dipenuhi, dan sebaliknya, manusia tidak mungkin membutuhkan kebutuhan yang tinggi seperti kebutuhan estetik dan aktualisasi diri apabila kebutuhan yang paling dasar tidak terpenuhi.

Menguatkan teori di atas,  menurut Clayton Alderfer dalam Sondang P. Siagian (2004 : 166) yang terkenal dengan teori motivasi “ERG” (Existense, Relatedness, and Growth), menyatakan bahwa kebutuhan setiap orang adalah mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya secara terhormat dengan terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai kebutuhan primer. Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan akan lingkungan dan keberadaan orang lain untuk berinteraksi. Dan kebutuhan terakhir adalah kebutuhan akan pertumbuhan dan perkembangan, misalnya peningkatan keterampilan dan tercapainya kemajuan dalam menjalani kehidupannya.

Uraian di atas terlihat bahwa motivasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan. Setiap kebutuhan yang tak terpuaskan menciptakan ketegangan yang merangsang dorongan-dorongan dalam diri individu yang menimbulkan perilaku pencarian untuk menemukan apa yang dituju sampai tercapai, semakin terpenuhinya kebutuhan maka akan semakin mengurangiketegangan, sebaliknya jika tidak terpenuhi akan berdampak munculnya ketegangan.

Menurut Hezberg seperti dikemukakan Rue and Byars (2010: 67)bahwa dalam motivasi dikenal dua faktor, yakni hygiene or maintenance factors and motivator factors. Pada dasarnya tanda-tanda, kebutuhan, keinginan, motif dan harapan yang ada pada manusia merupakan pemicu munculnya perilaku dalam berbuat dan bertindak. Lemahnya keinginan pada setiap individu akan mendorong ketidakseimbangan atau tekanan. Berdasarkan tabel Herzberg di atas, bahwa pemicu lahirnya motivasi bisa berasal dari lingkungan dan bisa pula dari jenis pekerjaan itu sendiri. Faktor lingkungan lebih bersifat menjaga agar individu tidak kehilangan motivasi dalam bekerja dan tidak dapat menjadi pendorong, artinya jika item-item tersebut tidak ada akan dapat melemahkan motivasi kerja, akan tetapi jika item tersebut ada, maka tidak menjadi pendorong dalam lahirnya motivasi. Faktor kedua adalah  jenis pekerjaan itu sendiri yang merupakan pendorong lahirnya motivasi kerja setiap individu, artinya bahwa jika item-item tersebut tidak ada maka akan dapat melemahkan motivasi seseorang dan jika ada, maka dengan sendirinya akan melahirkan motivasi kerja yang tinggi.

Sedikit sekali kegiatan manusia yang tidak dilandasi oleh dorongan atau motivasi. Tetapi hampir semua perilaku sadar adalah karena adanya keinginan, dorongan atau motivasi. Teorinya Vroom yang terkenal dengan Expectancy-Valency Theory, seperti dijelaskan oleh Certo (2010: 295)bahwa intensitas naik turunya motivasi setiap orang sangat ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu:

1)    Valence, yaitu nilai kedudukan seseorang atas keberhasilan yang dicapai, misalnya seseorang akan mendapatkan prestise dan bonus jika berhasil dalam memenangkan lomba.

2)    Expectancy, yaitu harapan atas tindakan yang dilakukan, misalnya seseorang berpikir bahwa ia memiliki kesempatan 50 % memenangkan sebuah lomba.

3)    Instrumentality, yaitu kesempatan mendapatkan penghargaan yang dijanjikan.

Berdasarkan tiga hal yang dikemukakan tersebut, Vroom menggambarkan bahwa motivasi merupakan hasil perkalian antara valence dengan expectancydan instrumentality. Artinya bahwa kekuatan motivasi seseorang muncul dari adanya nilai yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukannya dikalikan dengan kesempatan atas harapan yang tersedia dan kemungkinan untuk mendapatkan penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan.Dengan demikian, motivasi tidak muncl dengan sendirinya melainkan ada pemicu baik yang bersifat material maupun non material.

Model motivasi lain disampaikan adalah model teori expectancy, yaitu bahwa tinggi rendahnya motivasi seseorang sangat tergantung pada persepsi orang tersebut terhadap keterkaitan antara usaha yang dilakukan, kinerja, dan reward. Terkait dengan hal itu, individu akan termotivasi melakukan pekerjaan apabila ia yakin bahwa usaha yang ia lakukan itu akan dapat meningkatkan kinerjanya, dan kinerja yang ia capai tersebut diyakini akan berdampak terhadap reward yang diterima.Hal demikian, jika yang terjadi sebaliknya, individu tidak yakin dengan usaha yang dilakukan apalagi tidak yakin dengan reward yang akan diterima, maka secara otomatis akan mendorong lemahnya tingkat motivasi (Edwind C. Leonard, 2010: 128).

 c. Pendekatan Dalam Motivasi

Menurut Arendt and Sneed (2010: 7) bahwa motivasi bekerja pegawai dapat didorong oleh empat faktor, yaitu:

1)    Komunikasi, yakni komunikasi verbal dan non verbal antara pimpinan dengan pegawai.

2)    Ganjaran dan hukuman, yakni berupa insentif, ucapan terimakasih dan waktu libur, sedangkan hukuman bisa berupa sanksi administrasi yang diberikan oleh pimpinan

3)    Motivasi internal, yakni berupa kepuasan dalam menjalankan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

4)    Sumber daya lain, yakni ketersediaan bahan yang digunakan dalam menjalankan pekerjaan.

Uraian di atas, bahwa motivasi merupakan pemberian daya penggerak yang dapat menciptkan kegairahan kerja seseorang agar orang tersebut mau bekerjasama, bekerja lebih efektif dan terintegrasi dengan semua daya upaya orang tersebut untuk mencapai tingkat kepuasan yang tinggi (Malayu Hasibuan, 2001: 4).

Terdapat dua jenis metode dalam memotivasi orang bekerja, seperti dijelaskan Malayu S.P. Hasibuan (2001:100), sebagai berikut:

1) Metode Langsung (Direct Motivation), adalah motivasi (materiil dan nonmaterial) yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasannya. Jadi sifatnya khusus seperti memberikan pujian, penghargaan, bonus, piagam, dan lain sebagainya.

2) Metode Tidak Langsung (Indirect Motivation), adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja/kelancaran tugas, sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Motivasi tidak langung ini besar pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan, sehingga produktivitas kerja meningkat.

Armstrong dalam Jeff Jones (2004: 48) menjelaskan tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam memotivasi orang:

1)    Pendekatan carrot and stick, yakni pendekatan yang didasarkan pada pernyataan bahwa orang akan bekerja untuk mendapatkan hadiah, artinya semakin lebih baik insentif yang didapatkan makan akan semakin meningkat daya kerjanya.

2)    Motivasi yang bersumber dari pekerjaan itu sendiri. Hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa seseorang memenuhi sebuah pekerjaan karena harapan akan dapat meningkatkan kepuasan  dan tingkat performennya.

3)    Satu sistem manajer, yaitu didasarkan pada pernyataan tentang perlunya setting tujuan yang harus dicapai pegawai, memberikan balikan positif kepada pegawai ketika mereka bekerja dengan baik, dan balikan negatif ketika bekerja dengan buruk.

 Terkait dengan unsur-unsur pendorong motivasi dan metode pemberian motivasi di atas, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen yang secara langsung dapat dirasakan dampaknya oleh guru untuk mencapai suatu tujuan yakni guru profesional.Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Hal ini seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 bab 2 pasal 2, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, jika guru mengikuti sertifikasi, maka tujuan utamanya adalah untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru dan kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan profesi sebagai konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud.

Kebijakan sertifikasi sebagai upaya mendorong motivasi kerja guru sesungguhnya sangat bergantung dan kembali kepada persepsi dan kondisi guru itu sendiri. Dikatakan: “The successful implementation of motivation strategies depends a great deal on the teacher's motivation. Motivational characteristics of teacher efficacy, goal setting, risk taking, volition, and persistence are especially important for carrying out a plan of action” (M. Kay Alderman, 2004: 274).Artinya, bahwa kesuksesan sebuah strategi dalam meningkatkan motivasi kerja sangat ditentukan kekuatan motivasi guru, karakteristik kekuatan motivasi guru, tujuan yang direncanakan, pengambilan resiko, serta kemauan dan ketekunan guru dalam melakukan rencana aksi.

Catherine Sinclair (2008: 87) menyatakan bahwa:

Motivation to teach was multidimensional and hierarchical, consisting of 11 factors (dimensions), six of which were internally referenced (intrinsic) motivations and five of which were externally referenced (extrinsic) motivations. The intrinsic motivations related to the teachers themselves and their lives. These motivations were working with children, intellectual stimulation, altruism, authority and leadership, self-evaluation and personal and professional development. The extrinsic motivations related to factors external to the person and referenced more to the job of being a teacher. These motivations were career change, job conditions, life-fit, influence of others and nature of teaching work”.

Artinya bahwa motivasi mengajar memiliki hirarki dan dimensi, yaitu terdiri dari sebelas dimensi, enam dimensi bersifat internal dan lima dimensi bersifat eksternal.Dimensi intrinsik terkait dengan guru dan kehidupannya, yaitu bekerja dengan anak-anak, rangsangan intelektual, mementingkan orang lain, otoritas dan kepemimpinan, evaluasi diri dan pengembangan professional.Sedangkan dimensi ekstrinsik adalah terkait dengan pekerjaan sebagai guru, yaitu perkembangan karir, kondisi pekerjaan, kesehatan hidup, pengaruh orang lain, dan kealamiaan pekerjaan mengajar.

Sejalan dengan pernyataan di atas, diuraikan bahwa:

“Teacher’s work motivation therefore may be thought off as an integrated force produced by some extrinsic and intrinsic or both motives driving the teachers to involve in their expected roles in the schools. Extrinsic Motivation factors that impact on work motivation of teachers are tangible benefits related to job such as salary, fringe benefits and job security, wage increase or insufficient salary increase and tenure. In addition to this, physical conditions, the amount of work and the facilities available for doing the work are regarded as extrinsic rewards. Intrinsic motivation factors such as self respect of accomplishment and personal growth, that is, the emotional and personal benefits of the job itself are intangible benefits”(Kennedy Andrew Thomas, 2010 : 104).

Bahwa dimensi internal terkait dengan dorongan yang muncul dari dalam diri guru atas harapannya terhadap sekolah, sedangkan dimensi eksternal berasal dari keuntungan atau manfaat material yang diterima guru atas pekerjaan yang dilakukannya seperti gaji, keamanan serta peningkatan pendapatan.

Oleh karena itu, menurut McClelland dalam Pidarta (1996: 45-46) bahwa upaya pengembangan motivasi berprestasi harus dilakukan melalui berbagai langkah berikut :

1)    Tujuan atau hasil akhir kegiatan harus bersifat khusus dan ditentukan dengan tegas.

2)    Tujuan atau hasil yang diinginkan untuk dicapai harus menunjukkan suatu tingkat resiko yang sedang untuk individu-individu yang terlibat. Ini berarti bahwa tujuan harus mengandung unsur resiko, tetapi bukan tingkat resiko yang tinggi, sehingga akan mengejutkan atau menghalang-halangi individu yang terlibat.

3)    Tujuan harus mempunyai sifat sedemikian rupa, sehingga tujuan tersebut sewaktu-waktu dapat disesuaikan sebagai jaminan situasi, terutama apabila tujuan tersebut berbeda banyak.

4)    Individu-individu harus diberi umpan balik yang seksama dan jujur mengenai prestasi mereka.

5)    Individu-individu diberi tanggung jawab untuk suksesnya hasil kegiatan mereka. Tanggung jawab terhadap hasil ini harus merupakan tanggung jawab yang sungguh-sungguh.

6)    Penghargaan dan hukuman yang diberikan karena hasi kerja yang sukses atau yang gagal harus dihubungkan dengan selayaknya dengan tujuan hasil kerja. Artinya harus ada penghargaan yang besar untuk hasil kerja yang besar dan sebaliknya hanya ada hukuman yang ringan bagi mereka yang kegagalannya sedikit.

Didalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, pasa 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak: a. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan, f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaída pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan, g. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas, h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi, i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.  Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru yang diawali dengan semakin meningkatnya motivasi kerja karena semakin ditingkatkannya penghargaan terhadap guru.

Tingkat tinggi rendahnya motivasi kerja guru setelah dilakukannya sertifikasi dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dikatakan:

The basic differences that distinguish motivated individuals from unmotivated ones are ( 1) continuity in taking an interest and paying attention, (2) enthusiasm to make an effort and spend the required time to perform the behavior, (3) concentrating on the subject, devoting the self and relinquishing the desired behavior in the face of a difficulty, persevering and showing determination to accomplish the desired end”.(Nadir Celikoz, 2010: 14).

Bahwa guru yang memiliki motivasi kerja dan yang tidak memiliki motivasi dapat dibedakan dari: 1) kontinuitas perhatian, ketertarikan dan perhatian terhadap pekerjaannya, 2) antusiasme dalam kerja dan menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan, 3) kosentrasi dalam mengerjakan pekerjaan, menghadapi setiap kesulitan kerja, dan menunjukkan kebulatan tekad dalam menyelesaikan pekerjaan.

 Berdasarkan uraian teori motivasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah dorongan bagi guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang bersumber dari dalam diri sendiri (intrinsik) yang merupakan kepuasan bekerja dan dari luar (ekstrinsik) seperti adanya imbalan, peningkatan karir, kondisi pekerjaan untuk melakukan usaha mecapai tujuan dan harapan yang diinginkan yang dilandasai dengan ketekunan, kemauan dan kebranian mengambil resiko.

 

6. KomitmenKerja

a. Konsep Dasar Komitmen

Dalam konteks kehidupan organisasi, konsep komitmen mengarahkan seseorang untuk mengategorikan perbedaan-perbedaan individu dalam masalah nilai dan motif secara lebih sederhana.Menurut Benkgoff (1997: 3) komitmen adalah derajat kepedulian pegawai dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi. Wagner & Hollenbeck (2010: 111) mendefinisikan komitmen :              Commitment is the degree to which people identify with the organization that employs them. It implies a willingness on the employee’s part to put forth a substantial effort on the organization’s behalf and his or her intention to stay with the organization for long time”. Artinya komitmen merupakan rasa identifikasi pegawai terhadap organisasi yang berimplikasi terhadap perasaan memiliki dan menjadi bagian dalam organisasi itu dan selalu ingin berada dalam organisasi itu untuk jangka waktu yang lama.

Definisi di atas, diperkuat pendapat Shaw, Delery & Abdullah (2003: 3) mendefinisikan komitmen sebagai hasil dari investasi atau kontribusi terhadap oranisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap organisasi.

Beberapa makna di atas, mengandung pengertian bahwa komitmen organisasi pada intinya adalah suatu sikap psikologis yang menggambarkan hubungan internal individu dengan organisasinya.Hubungan tersebut dapat dilihat dari keterlibatan atau partisipasinya dalam menopang kemajuan organisasi. Adanya keterlibatan yang tinggi dalam upaya memajukan organisasi menggambarkan bahwa anggota organisasi memiliki komitmen yang tinggi.

Pemaknaan komitmen banyak dilakukan oleh para ahli, seperti dikutipGurses dan Demiray (2009: 41), yaitu:

1)    Komitmen organisasi mengembangkan komitmen dan loyalitas individu (Morris,Lydka and O’ Creavy, 1993)

2)    Komitmen organisasi tidak hanya loyal terhadap majikan akan tetapi keterbukaan terhadap kritik terkait dengan organisasi. (Yükl, 2000)

3)    Komitmen organisasi adalah identitas komitmen individu terhadap organisasi dan setiap perintah yang mengarah pada organisasi (Sheldon, 1971)

4)    Komitmen organisasi bukan sekedar apa yang diharapkan organisasi dari individu secara formal dan normatif, akan tetapi lebih dari itu adalah nilai-nilai dan kehendak (Celep,2000)

5)    Komitmen organisasi adalah keinginan untuk menetap sebagai anggota organisasi, keinginan untuk menunjukkan usaha-usaha, kehendak, dukungan dan nilai-nilai untuk organisasi (Dubin, Champoux and Porter, 1975)

Menurut DeJoy et.al (2004: 88) Komitmen  mengacu kepada ikatan psikologis karyawan terhadap organisasi, nilai yang ditempatkan sebagai afiliasi dengan organisasi, dan derajat dimana karyawan mau untuk meningkatkan diri atas nama organisasi. Dalam konteks ini, Newstrom & Davis (1996: 260) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi lazim pula disebut loyalitas pegawai (employee loyality) adalah suatu tingkat atau derajat identifikasi diri pegawai dengan organisasi dan keinginan-keinginannya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott & Burroughs (2000: 2) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi. Definisi-definisi tersebut menekankan bahwa komitmen organisasi sebagai bentuk ikatan psikologi karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi juga dianggap sebagai loyalitas terhadap organisasi sehingga dapat mendorong karyawan atau anggota organisasi untuk senantiasa berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemajuan organisasi.

Menurut Steers& Black (1994: 87) bahwa komitmen terhadap organisasi dapat dicirikan dalam tiga hal yaitu: 1. A strong belief in and acceptance of the organization’s goals and values, 2. A willingness to exert concidereble effort on behalf of the organizations, and 3. A strong desire to maintain membership in the organizations. Artinya bahwa komitmen seseorang terhadap organisasi dapat dilihat dari tiga aspek yaitu keyakinan yang kuat terhadap pencapaian tujuan organisasi, perasaan memiliki yang kuat terhadap organisasi yang ditunjukkan dengan usaha yang sungguh-sungguh, dan adanya keinginan kuat untuk tetap berada dan menjadi bagian dalam organisasi itu. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Pengertian komitmen organisasi yang diberikan oleh steers dan Black ini pada intinya sama dengan pendapat sebelumnya, yaitu mencakup rasa identifikasi, keterlibatan terhadap organisasi dan loyalitas terhadap organisasi. Disebut komitmen jika keterlibatan, rasa identifikasi dan loyalitas tersebut ditujukan untuk kemajuan organisasi.

       b. Model Komitmen Organisasi

Dalam kaitanya dengan komitmen, menurut Hersey, Blanchard & Johnson (1996: 446), terdapat lima model komitmen, yaitu: (1) komitmen pada pelanggan (commitment to the customer), (2) komitmen kepada organisasi (commitment to the organization), (3) komitmen kepada diri (commitmen to self), (4) komitmen kepada orang-orang (commitment to people), dan (5) komitmen kepada tugas (commitment to task). Komitmen kepada pelanggan berarti memberikan pelayanan kepada pelanggan secara konsisten dan bersungguh-sungguh, serta membangun kepentingan pelanggan, demi kepuasan pelanggan. Komitmen kepada organisasi, berarti memiliki kebanggaan terhadap organisasi yang diwujudkan dengan jalan membangun organisasi, dan bekerja berdasarkan nilai-nilai organisasi. Komitmen kepada diri, berarti memiliki kepribadian diri yang kuat dan positif yang ditunjukkan dengan ciri-ciri: bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, membangun diri sebagai seorang manajer yang memiliki integritas, dan mau menerima kritikan yang sifatnya membangun. Komitmen kepada orang-orang, berarti memperhatikan pentingnya kelompok kerja, dan individu-individu dalam suatu kelompok. Seorang manajer yang baik akan memperhatikan bawahannya antara lain melalui pemberian perhatian dan pengakuan kepada bawahan, membangun umpan balik, dan memberi kesempatan timbulnya inovasi. Terakhir adalah komitmen kepada tugas yang berarti berkonsentrasi kepada pelaksanaan tugas.

Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimiliki. Seperti dikatakan Meyer and Allen (1997), Meyer et al. (1993) dalam Hunton & Norman(2010: 71-73) bahwa komitmen organisasi memiliki tiga dimensi, yaitu

1)    Affective Commitment, komitmen ini merupakan emosi pegawai pegawai terhadap organisasi, menerima nilai-nilai organisasi dan ingin tetap menjadi bagian dalam organisasi tersebut.Komitmen ini sangat baik untuk organisasi karena pegawai menginginkan dan merefleksikan sikap positif dalam bekerja dan usaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya.

2)    Continuance Commitment, pada komitmen ini, pegawai melihat investasi apa yang diberikan terhadap organisasi, mereka berpikir komitmen terhadap waktu dan usaha yang dilakukan dengan harapan mereka merasakan apa yang mereka butuhkan untuk menjadi bagian dalam organisasi itu.Mereka berpikir bahwa dengan meninggalkan pekerjaan tersebut mereka akan kehilangan pilihan sehingga mereka berada dalam organissasi karena tidak ada pilihan pekerjaan lainnya. Kebanyakan mereka ini adalah orang-orang yang selalu mempertimbangkan kesehatan dan isu-isu keluarga dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, dan baginya kepuasan kerja tidak menjadi hal yang utama.

3)    Normative Commitment,pada komitmen ini, pegawai melihat dan merasa bertanggungjawab berada dalam organisasi, mereka berpikir bahwa organisasi memperlakukan dengan baik dalam mengadapi dan memberikan imbalan.Dengan demikian, komitmen dibangun oleh pegawai dengan ikatan organisasi yang kuat dengan adanya rewards and punishments.

Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota yang loyal akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin akan melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pagawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

Secara rinci dijelaskan tentang komitmen guru di sekolah, yaitu sebagai berikut:

“The objects of teacher commitment can be categorized into three dimensions: school organization, teaching profession, and students (Elliot & Crosswell, 2002; Eirestone & Pennell, 1993; Eirestone &Rosenblum, 1988). In the first place, teacher commitment to school organization like an organizational commitment refers to agreed-on organizational values or goals and building a strong staff unity (Mowday et al., 1979). Organizational teacher commitment has three major components: a strong belief in and acceptance of the organization's goals and values, a willingness to exert considerable effort on behalf of the organization, and a strong intent or desire to remain with the organization (Mowday et al., 1979).  Next, teacher commitment to the teaching profession as an occupational commitment is a positive affective attachment to one's occupation (Somech & Bogler, 2002). This indicates the extent to which one is engaged in carrying out the specific tasks in the workplace or the degree of importance that work plays in one's life (Brown & Leigh, 1996).  Also, this commitment leads to an interest in student achievement as well as strong concerns with the craft aspects of the teacher's job (Eirestone & Rosenblum, 1988). Thus, teachers committed to the teaching profession are thought to be more satisfied with the job and are likely to identify themselves as teachers. Finally, teacher commitment to students like a client commitment represents teacher devotion to their student behavior and learning (Dannetta, 2002; Elliott & Crosswell, 2002; Nias, 1981). Teacher commitment to students includes teachers' willingness to help students and take responsibility for student learning and school life. This commitment also seems to be related to emotional bonds with students such as personal caring”.(Insim Park, 2005: 463-464)

Artinya, bahwa obyek komitmen guru menyangkut tiga dimensi, yaitu dimensi organisasi sekolah, dimensi profesi mengajar, dan dimensi siswa. Dimensi komitmen terhadap organisasi sekolah diantaranya setuju terhadap nilai-nilai dan tujuan sekolah yang didalamnya terdapat tiga komponen yaitu keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan sekolah, bekerja untuk kepentingan organisasi sekolah, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, dimensi komitmen terhadap profesi sebagai guru adalah komitmen terhadap satu pekerjaan yang didalamnya terdapat beberapa aspek yaitu melaksanakan tugas-tugas sebagai guru, perhatian terhadap keberhasilan siswa, kerajinan dalam bekerja, puas dengan pekerjaan sebagai guru, dan mengidentifikasi profesi sebagai guru, dimensi terakhir adalah komitmen terhadap siswa adalah rasa selalu ingin membantu kesulitan siswa, bertanggungjawab atas proses belajar siswa dan kehidupan sekolah, serta tanggungjawab terkait dengan kondisi emosi siswa.

Uraian di atas, sesungguhnya komitmen merupakan kehendak untuk bertingkah laku dan berbuat untuk kepentingan lembaga serta keinginannya untuk tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkembang untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki perasaan memiliki organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam organisasi dan adanya loyalitas terhadap organisasi.

Kesungguhan dan loyalitas guru terhadap organisasi sekolah yang merupakan wujud dari komitmennya terlihat dari berbagai sikap dan perilaku yang dijalankannya, seperti dikatakan Reyes dalam  Nordin Abd Razak, I Guti Ngurah Darmawan, John P. Keeves (2009: 187), bahwa :

“A committed teacher was likely to: 1)beless tardy, work harder, and be less inclined to leave the workplace; 2) devote more time to extra-curricular activities in order to accomplish the goals of the educational organization; 3) perform work better; 4) influence student achievement; 5) believe and act upon the goals of the school; 6) exert efforts beyond personal interest; and 7) intend to remain a member of the school system”.

 Seorang guru yang memiliki komitmen tinggi menurut Reyes di atas terlihat dari : 1) aktivitas kerjanya yang tidak terlambat, kerja keras, dan tidak meninggalkan tempat kerja sebelum waktunya, 2) banyak menggunakan waktu untuk kegiatan ekstra dalam rangka mencapai tujuan sekolah, 3) bekerja lebih baik dari waktu ke waktu dalam arti berkembang sesuai tuntutan zaman, 4) mempengaruhi siswa untuk berhasil mencapai prestasi yang diinginkan melalui berbagai teknik dan pendekatan, 5) percaya dan bertindak sesuai tujuan yang digariskan sekolah dengan mentaati segala bentuk aturan dan ketentuan yang berlaku, 6) bekerja tidak mementingkan kepentingan pribadi akan tetapi mementingkan kepentingan siswa dan lembaga secara lebih luas, 7) tetap berkeinginan menjadi anggota organisasi sekolah dengan menunjukkan sikap yang loyal dan bekerja dengan gigih.

Uraian di atas diperkuat dengan pernyataan : “High levels of commitment have been associated with lower rates of teacher absenteeism, increased job satisfaction, high expectations of students, and slight increases in student performance” (Lia M. Daniels,et.al, 2011: 91). Bahwa level komitmen seorang guru dapat dilihat dari rendahnya ketidakhadiran dalam menjalankan pekerjaan, adanya peningkatan kepuasan kerja, memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan siswa dan adanya peningkatan kinerja siswa sebagai bentuk hasil belajar yang bimbing oleh guru.

 c.  Teknik Meningkatkan Komitmen

Komitmen sebagai salah satu aspek psikologis yang dibutuhkan dalam proses kerja memiliki ciri-ciri yang dapat diidentifikasi dan sekaligus membedakan satu individu pegawai dengan individu lainnya. Komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi yang ditandai dengan adanya  penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi) merupakan bentuk kesadaran akan pentingnya organisasi dan loyalitas orang-orang yang ada di bawahnya.

Keberadaan komitmen pegawai terhadap organisasinya, tidak terlepas dari unsur-unsur yang mempengaruhinya.M. Kay Alderman (2004: 116-117) mengidentifikasi tiga hal yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang, yaitu intensitas mencapai tujuan, partisipasi mencapai tujuan dan pengaruh rekan kerja.Goal Intensity.Komitmen berkaitan dengan intensitas tujuan atau seberapa kuat pikiran dan mental dalam usaha mencapai tujuan (Locke & Latham, 1990). Demikian pula kejelasan tujuan yang mendorong kesadaran proses mencari informasi tentang upaya dan kemampuan dalam mencapai tujuan tersebut (Schutz, 1989). Goal Participation.Betapa pentignya motivasi seseorang dalam partisipasi mencapai tujuan karena seringkali tujuan itu ditentukan oleh orang lain baik di rumah, sekolah maupun dalam pekerjaan lainnyaPeer Influence. Salah satu faktor yang mempengaruhi guru dalam usaha dan komitmen pencapaian tujuan adalah rekan kerjanya.Kelompok yang kuat dapat mendorong meningkatkan komitmen untuk mencapai tujuan (Locke & Latham, 1990).

Keberhasilan lembaga tidak terlepas dari faktor komitmen sumber daya manusia yang ada di dalamnya, hal ini, karena sesungghnya sumber daya manusia merupakan sumber daya produktif yang mampu menggerakkan sumber daya lainnya. Untuk itu, komitmen pegawai perlu terus ditingkatkan seiring dengan semakin ketatnya persaiangan dalam pencapaian tujuan. Dibawah ini terdapat beberapa teknik yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan komitmen pegawai, yaitu:

1)    Melibatkan pegawai dalam mendiskusikan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Mendengarkan kontribusi mereka untuk dijadikan salah satu masukan dalam pernyataan tujuan dan nilai organisasi.

2)    Berbicara dengan seluruh anggota tim tentang apa yang sedang terjadi dalam organisasi dan membuat perencanaan masa depan.

3)    Melibatkan anggota tim dalam menetapkan harapan bersama sehingga terbangun rasa memiliki dan melaksanakan tujuan tersebut.

4)    Mengambil langkah apa saja untuk meningkatkan kualitas kerja organisasi dengan membangun budaya “mengambil keputusan sendiri” dan tidak membiasakan “menunggu perintah dan diawasi”.

5)    Membantu pegawai meningkatkan atau mengembangkan keterampilan dan kompetensinya dalam rangka meningkatkan kemampuan kerja baik di dalam maupun di luar organisasi.

6)    Tidak memberikan janji untuk bekerja seumur hidup, akan tetapi memberikan kesempatan kerja dan berkembang seluas-luasnya sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan.

7)    Memberikan contoh atau keteladanan perbuatan bagi pegawai agar tumbuh rasa percaya (Armstrong, 2003: 35-36).

Berdasarkan uraian teori di atas, dapat disintesiskan bahwa komitmen kerja adalah perasaan yang dimiliki oleh guru terhadap nilai, tujuan tempat bekerjanya yang ditunjukkan dengan sikap kesetiaannya terhadap lembaga, kesiapannya untuk bekerja, keyakinan dan kerja keras, adanya kepuasan dalam bekerja dan memiliki harapan yang tinggi  terhadap keberhasilan kerja.

 

Rangkuman

Kepala madrasah sebagai manajer, memliki tugas dan fungsi yang cukup berat dalam mengelola sekolah menjadi lebih baik,  karena kepala madrasah merupakan pimpinan tertinggi di tigkat lembaga yang berperan memberikan pelayanan dan bantuan dalam menghadapi kendala, masalah, dan kesulitan yang dihadapi oleh setiap guru ketika melakukan proses pembelajaran di kelas.

Transformasi nilai yang dilakukan kepala madrasah akan mempengaruhi pelaksanaan tugas yang dilakukan guru karena kebijakan pimpinan sangat mempengaruhi proses kerja bawahan. Jelaslah bahwa fungsi pimpinan dengan segala bentuk kebijakannya akan mewarnai tingkat kualitas lembaga pendidikan secara keseluruhan. Nilai-nilai yang ditransformasikan itu seyogianya mengacu pada tuntutan peningkatan kualitas pengajaran melalui reformasi kearah tuntutan masa kini dan prediksi kebutuhan mendatang.

Kepemimpinan berperan dalam mendorong perilaku kerja individu dalam bekerja yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan lembaga. Hal demikian, keharusan guru meningkatkan kemampuan profesinya, membutuhkan peran bersama dan dukungan kepala sekolah dalam rangka memberikan arahan atau petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan atas pekerjaan yang dilakukan. Secara umum tugas-tugas itu adalah membarikan penjelasan dengan rinci tentang pola kegiatan belajar mengajar, memberikan penjelasan mengenai penyusunan perencanaan program pengajaran sebagai perangkat kegiatan belajar mengajar (KBM), memberikan gambaran umum mengenai beberapa pendekatan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, metode mengajar, serta evaluasi belajar. Terkait dengan itu, dapatlah dipahami bahwa tugas kepala sekolah sebagai seorang leader,supervisor, manager dan motivatorsangat urgen terutama dalam pemantauan pelaksanaan tugas seluruh elemen sekolah baik yang dilakukan secara klinis maupun non klinis.

Secara teknis operasional, kepala madrasah bertanggung jawab penuh atas kemampuan profesi gurunya. Guru dituntut menampilkan diri dengan segala kompetensi yang dimiliki untuk melakukan proses pendidikan bermutu dan mencapai hasil optimal. Untuk itu, kepala madrasah perlu mentransformasikan nilai-nilai dan kultur kerja produktif kepada bawahannya sehingga terbentuk kinerja lembaga yang bersama-sama mencapai tujuan institusional sekolah secara efektif.

Dalam sebuah lembaga, budaya memegang peranan penting bagi pertumbuhan lembaga tersebut,karena budaya menyangkut nilai-nilai yang dapat memberikan semangat dalam bekerja bagi anggotanya.Nilai-nilai yang dapat memberikan semangat tentunya adalah nilai-nilai yang baik atau positif.  Budaya kerja antara lain berperan sebagai penentu batas-batas berperilaku, menumbuhkan kesadaran seluruh elemen organisasi, serta menjadi kesepakatan yang dijadikan standar dalam bekerja.

Budaya organisasi dapat difungsikan sebagai tuntunan yang mengikat para guru dan pegawai lainnya yang dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan serta ketentuan lembaga pendidikan dan bisa pula secara tidak formal yang terbentuk dalam kebiasaan atau rutinitas. Dengan demikian, kepala madrasah dan guru secara tidak langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku sesuai dengan visi dan misi serta strategi sekolah tersebut.

Motivasi kerja guru merupakan landasan dalam pelaksanaan pekerjaan dalam proses pembelajaran di sekolah.  Sesungguhnya proses kerja dilakukan bukan hanya sebagai upaya menggugurkan kewajiban melainkan pelaksanaan tugas yang menyentuh fungsi sebenarnya, harus dirubah dan ditekankan pada upaya melakukan interaksi dan proses pembimbingan siswa untuk optimalisasi penguasaan kognitif, afektif, dan skill psikomotoriknya. Proses pembelajaran yang diharapkan menuju terciptanya mutu pendidikan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dibutuhkan intensitas kerja yang memadai yang perlu didukung dengan semangat dan motivasi tinggi. Tanpa dorongan dan motivasi yang tinggi dalam bekerja sulit melahirkan kreatifitas, kerja keras, dan keberanian menghadapi tantangan kerja yang beraneka ragam.

Terkait dengan dampak program sertifikasi guru perlu mendapat perhatian tentang perubahan pada guru dan proses pembelajaran, apakah program sertifikasi guru ini sudah berdampak positif bagi perkembangan motivasi kerja guru dan kualitas pembelajaran menuju peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Motivasi dalam organisasi kerja ditinjau dari segi sifatnya ada 2 macam, yaitu motivasi positif dan motivasi negatif. Motivasi positif adalah motivasi yang menimbulkan harapan yang sifatnya menguntungkan atau menggembirakan bagi pegawai, misalnya gaji, fasilitas, karier, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, dan kesejahteraan lainnya. Dengan motivasi positif seperti diberikannya insentif bagi guru yang sudah tersertifikasi diharapkan berdampak pada semakin meningkatnya daya kerja dan terus memacu kompetensi dirinya agar dapat suifive dalam menjalankan pekerjaannya. Sedangkan motivasi negatif ialah motivasi yang menimbulkan rasa takut atau kekhawatiran, misalnya ancaman, tekanan, intimidasi dan sejenisnya. Dengan motivasi negatif atau destruktif, orangpun dapat digerakkan melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang memotivasi meskipun lebih bersifat keterpaksaan dalam melakukannya.

Guru berfungsi sebagai pengelola pembelajaran memiliki tugas yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan penilaian. Sebagai perencana, melakukan diagnosa terhadap kebutuhan para siswa didiknya sebagai subyek belajar, merumuskan tujuan kegiatan proses pembelajaran, menetapkan indikator pembelajaran dan menetapkan strategi pengajaran yang akan dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang telah dicanangkan. Sebagai seorang pelaksana pembelajaran, guru dituntut mampu mengimplementasikan rencana pengajaran yang telah disusun secara efektif dan efisien, melakukan pembimbingan dan pengendalian proses belajar mengajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dan bertanggungjawab atas keberhasilan pembelajaran. Sedangkan pada kegiatan akhir, guru sebagai evaluator harus dapat menetapkan strategi, prosedur dan teknik evaluasi yang tepat guna mengukur kemampuan siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran, dan hasil pengukuran yang dilakukan tersebut dijadikan sebagai referensi untuk proses selanjutnya.

Sebagaimana kita maklum, bahwa guru sebagai agen pembelajaran di diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Sertifikasi pendidik sebagaimana yang sudah berjalan diberikan kepada guru yang telah memenuhi persayaratan tertentu sesuai aturan dan diselenggarakan Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Program ini dilaksanakan secara obyektif, transparan, dan akuntabel. Sehingga setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.

Kinerja guru dapat berjalan baik apabila yang bersangkutan memahami fungsi dan tugasnya dengan baik.Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki bekal atau pengetahuan yang luas tentang profesinya sehingga tahu betul tentang tugas yang mesti dilakukannya, sehingga guru dapat membedakan dan mengerti pada prioritas pekerjaan yang harus dan tidak harus dikerjakan. Untuk menunjukkan proses kerja yang tinggi diperlukan target-target penguasaan keterampilan dan kemampuan-kemampuan tertentu bagi jabatan guru seperti menguasai kompetensi dasar guru.

Dari uraian di atas, dipahami bahwa mutu pembelajaran sangat terkait dengan kinerja mengajar guru dalam mengelola proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi pembelajaran. Seperti diungkapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dijelaskan pada pasal 19 ayat (1), bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ayat (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.

Kinerja mengajarguru tidak dapat dipisahkan dari apa yang  terjadi dalam kegiatan pembelajaran yang merupakan pencerminan profesionalisme guru, artinya bahwa kinerja mengajar guru dapat diamati dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang mengarah pada upaya meningkatkan mutu pendidikan. Seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi unsur tersebut di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan dedikasi dalam bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik tentunya memiliki komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu kepribadian dan dedikasi yang memadai.

Sikap dan nilai-nilai keyakinan  yang dipegang setiap guru dalam bekerja merupakan bentuk tanggung jawab yang harus dipikul tanpa melihat berat atau tidaknya atau besar kecilnya peran eksternal, akan tetapi lebih dari itu adalah pengabdian diri atas anamat yang diembannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan dalam kerangka berpikir penelitian sebagai berikut:


 

X2

 

OUTCOME