Menurut Lee Iacocca Presiden Direktur Ford, bahwa kelas ekonomi menengah itu berpenghasilan kira-kira 20.000 sampai dengan 100.000 dollar per tahun, jika dirupiahkan sekitar 20 juta sampai dengan 100 juta per bulan. Bagaimana dengan kita? Apakah termasuk kelas menengah atau masih jauh di bawah.
Pada tahun 2022, rerata penghasilan orang Indonesia sebesar 4,784 dollar atau setara 71 juta per tahun atau sekitar 6 juta. Angka ini tentu dihitung dari yang tertinggi sampai terendah kemudian diambil angka rata-ratanya. Alhasil, orang Indonesia ternyata baru memiliki penghasilan 6 juta per bulan, artinya masih jauh dari kelas menengah. Dalam bahasa lain berada pada kelas bawah.
Jika dibuat kurva normal, angka rerata ini akan memiliki kemiringan ke kiri dengan jumlah penduduk miskin mencapai 9,5 persen pada tahun 2022 dan 0,1 persen penduduk kategori kaya. Sisanya berada di tengah-tengah meskipun tetap masih condong ke kiri yang artinya mayoritas cenderung berada di bawah rerata penghasilan.
Dari penghasilan per kapita di atas, negara kita masih kategori berkembang, masih harus disupport dari berbagai sisi untuk menjadi negara maju sehingga memenuhi 3 tolak ukur yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dari aspek pendidikan, data Kemendagri pada akhir tahun 2022 menunjukkan masih terdapat 11 persen penduduk Indonesia belum tamat SD, sebanyak 23,8 persen berpendidikan SD, sebanyak 14,5 persen berpendidikan SMP, sebanyak 21,1 persen berpendidikan SMA/SMK, sebanyak 1,7 persen alumni diploma 1 sampai diploma 3, sebanyak 4,5 persen tamatan S1, sebanyak 0,3 persen tamatan S2, dan sebanyak 0,02 atau sebanyak 63 ribuan jiwa yang berpendidikan S3.
Kecenderungan tingkat pendidikan di atas, dapat dikelompokkan menjadi 49,3 berpendidikan SMP ke bawah, 21,1 persen berpendidikan SLTA, 1,7 persen berpendidikan diploma, dan 4,82 persen berpendidikan sarjana. Data ini menunjukkan linieritas antara tingkat Pendidikan dengan pendapatan penduduk. Dengan mencapai hampir 50 persen penduduk kita berpendidikan SMP ke bawah wajar jika penghasilan rerata kita masih jauh di bawah kelompok kelas menengah. Ini berarti, daya saing masyarakat kita masih rendah, yang berdampak pada profesi yang kurang menguntungkan, berakibat pada rendahnya penghasilan, dalam jangka panjang tentu ada efek kurangnya gizi yang dikonsumsi bagi keturunannya, serta bisa menjadi siklus terhadap rendahnya kualitas pendidikan generasi masa mendatang.
Daya saing merupakan kekuatan individu secara total dalam berhadapan dengan kompetitor dunia luar. Secara teoretik, kekuatan individu ini dapat dilihat dari berbagai dimensi. Gomes menjelaskan dimensi-dimensi tersebut, antara lain : (a) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan individu dalam suatu periode waktu tertentu artinya seberapa banyak volume yang dihasilkan, (b) Quality of work, berkaitan dengan kualitas kerja yang dicapai sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, hasil kerja yang sesuai dengan tuntutan dan kriteria maka semakin berkualitas, (c) Job knowledge, meliputi luasnya pengetahuan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan tidak haya sebatas tahu tentang hal yang telah dilakukannya akan tetapi lebih dari itu adalah mengetahui bagaimana mengembangkan dan mengantisipasi kendala-kendalanya, (d) Creativeness, berupa tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, (e) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama pekerja, (f) Dependability, yakni kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal menyelesaikan pekerjaan, (g) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas tanpa harus diperintah oleh pimpinan, (h) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.
Untuk mendongkrak daya saing dan perubahan siklus di atas, pendidikan menjadi instrument vital meskipun penanganannya tidak mungkin parsial dengan pembangunan ekonomi dan kesehatan. Pendidikan berkualitas seiring seirama dengan kualitas lulusan. Mencerdaskan anak bangsa dengan bekal kompetensi yang memadai serta bangunan nilai-nilai yang cukup menjadi pondasi majunya peradaban. Jadi tugas mendidik tidak cukup hanya transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of values. Tidak melulu membentuk pikiran yang cerdas akan tetapi juga mewariskan karakter yang kuat. Tidak sekedar memberi tahu tetapi lebih penting memberi contoh. Tidak hanya mengisi otaknnya tetapi lebih penting membentuk akhlak budinya sehingga mampu bersikap dan berperilaku dengan baik. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar