Senin, 17 Agustus 2020

REFLEKSI UJIAN NASIONAL DAN REFORMASI PENDIDIKAN

 PENDAHULUAN

Bermula dari tuntutan reformasi politik tahun 1998, pendidikan nasional pun melakukan upaya-upaya perubahan. Sebagai hasilnya, adalah disahkan dan diberlakukannya UU Sisdiknas tahun 2003. Artinya, bangsa ini memiliki pedoman penyelenggaraan pendidikan baru yang diharapkan lebih lengkap dari Undang-Undang Pendidikan Nomor 2 Tahun 1989 yang telah digunakan selama ini.
            Reformasi politik memang telah mengubah banyak segi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk berubahnya manajemen pemerintahan ke arah yang lebih demokratis, transparan dan tidak sentralistik. Hubungan pemerintah pusat dan daerah kini telah direposisi oleh UU No. 22 Tahun 1998 tentang Otonomi Daerah yang didalamnya mencakup kewenangan tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai refleksi pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pada mulanya, otonomi pendidikan diharapkan menjadi solusi penciptaan sistem pendidikan berkualitas dengan diberikannya kewenangan utuh kepada daerah untuk membuat perencanaan, sistem pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pendidikan yang diselenggarakannya.

Salah satu hal yang menjadi dasar lahirnya UU atau PP tentang otonomi pendidikan adalah realitas prestasi atau hasi belajar peserta didik yang dicapai selama ini, sehingga menuntut dikeluarkannya  kebijakan yang diperlukan guna : 1. Menciptakan sistem pendidikan dengan kebijakan kongkrit; 2. Mengatur sumber daya dan pemanfaatannya; 3. Memilih tenaga SDM yang profesional, baik tenaga guru maupun menejer di lapangan; 4. Menyusun kurikulum yang sesuai; dan 5. Mengelola sistem pendidikan yang berdasarkan kepada kebudayaan setempat.

            Meskipun telah diberlakukannya UU atau PP tentang Otonomi Daerah ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya, ini terbukti sejak diberlakukannya undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, kondisi dan situasi pendukung pendidikan di daerah belum siap terkait dengan potensi dan sumber dana yang dimilikinya.

Sesuai amanat UUD 1945 revisi Pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa  “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.”. Pada kenyataannya, masih banyak daerah yang belum mampu memenuhi amanat UUD 45 tersebut dengan mematok anggaran pendidikan 20 % dari APBD, sehingga standar pengadaan sarana prasarana sekolah sangat variatif menyesuaikan kondisi angaran, bahkan ironisnya lagi, masih terdapat kondisi dan suasana kelas untuk belajarpun sangat tidak memadai.

Heterogenitas sekolah setiap daerah ini mencerminkan perbedaan kualitas proses pendidikan yang berakibat pada berbedanya kualitas lulusan yang dihasilkan pada setiap tahunnya. Realitas ini sangat mencolok antara sekolah di perkotaan dengan di daerah apalagi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil yang jauh dari sentuhan teknologi informasi, kondisi guru tidak memadai, dan perangkat atau media belajar lainnya yang sangat terbatas. Melihat kondisi ini, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan “ Ujian Nasional “ yang mematok beberapa mata pelajaran dan skor minimal yang harus dicapai sebagai prasyarat kelulusan siswa tanpa melihat karakteristik perbedaan vital setiap daerah?, Adakah instrument pengukuran sebuah hasil untuk proses yang sangat jelas berbeda?, Dimanakah letak keadilan “UN” bagi siswa yang sangat minim dengan media belajar?, dan Apakah KBK/KTSP tidak lebih dari kurikulum sebelumnya yang stressing evaluasinya pada kognitif?

 

 

PERUBAHAN KURIKULUM

Seperti dalam ungkapan bijak bahwa “ tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan “, pendidikan di Indonesia tercatat telah mengalami lima kali perubahan kurikulum dasar dan menengah, yaitu pada tahun 1968, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994, dan tahun 2004 Kurikulum Berbasis Kopetensi (KBK) yang direvisi pada tahun 2005 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Setiap perubahan kurikuum ini selalu didasari oleh pendekatan yang berbeda sesuai perkembangan zaman dengan maksud tujuan penyempurnaan kurikulum.

Tahun 2003 merupakan sebuah babak baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, mulai tahun ini bangsa Indonesia sudah memasuki era AFTA ( Asean Free Trade Area ) yang secara otomatis harus dibarengi oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM) anak bangsa yang memadai. SDM yang tentu saja dapat terwujud dengan pendidikan yang baik. Tahun ini pula sedang merupakan masa peralihan dari kurikulum lama menuju kurikulum baru yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2004/2005.

Bagi lembaga pendidikan, kurikulum adalah ruh. Desain kurikulum sangat erat kaitannya dengan hidup atau matinya proses pembelajaran di sekolah. Bahkan, kurikulum merupakan ukuran kualitatif dari tiga segi: kognitif, afektif dan psikomotorik. Sehingga kurikulum tidak lebih sebagai gambaran model dari peserta didik yang akan di berdayakan segenap potensinya.

Sesungguhnya berbicara tentang kurikulum adalah bicara tentang kompetensi, dan kompetensi yang harus dikembangkan sejak lama pada setiap manusia ada tiga faktor yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang direvisi menjadi KTSP juga berbicara tentang kompetensi, baik kompetensi akademis kognitif maupun kompetensi lainnya seperti kecakapan spiritual, kecakapan sosial, dan yang lainnya. Dalam KBK/KTSP, kecakapan akademis bukanlah satu-satunya tujuan. Akan tetapi lebih dari itu, diharapkan dapat membekali siswa didik dalam menghadapi tantangan hidup di kemudian hari secara lebih mandiri, cerdas, kritis, rasional, kreatif, dan bermoral. Arah pengembangan KBK/KTSP secara utuh mencakup pembentukan karakter, penguasaan keterampilan, dan skill akademis. Hal demikian sebenarnya merupaka jawaban sementara dari krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sampai pada krisis multi dimensi, yang ujung-ujungnya menuntut adanya perbaikan arah kebijakan pendidikan yang tidak hanya terfokus pada aspek kognitif tetapi berpihak pada pembenahan moral bangsa. Dengan demikian, standar ukur keberhasilan peserta didik dengan konsep KBK/KTSP tidak bisa hanya dilihat dari aspek kognitifnya semata seperti pada kurkulum 1994.

UJIAN NASIONAL (UN)

Fenomena saat ini yang sudah berlangsung beberapa tahun ke belakang, Pemerintah menetapkan persyaratan kelulusan siswa SLTP dan SLTA dengan skor minimal pada beberapa mata pelajaran yang ditentukan yang harus dicapai oleh siswa baik dari segi skor terendah maupun rerata seluruh mata pelajaran. UN atau Ujian Nasional menjadi sesuatu yang “ngetren” ( terkenal ) di seluruh elemen masyarakat. Bagi kalangan masyarakat terdidik “ educated society” UN menjadi topik perbincangan tentang filosofi, urgensi, dan keselarasan dengan esensi diterapkannya KBK/KTSP, sedangkan untuk masyarakat kelas bawah “ low class society” UN merupakan barang baru yang tanpa perduli mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah dan sekolah yang secara teknis melakukan proses pendidikan.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 34 tahun 2007 tetang Ujian Nasional, bahwa jumlah mata pelajaran yang diujikan mengalamai perubahan. Untuk SMP/MTs yang semula tiga mata pelajaran menjadi empat, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sedangkan untuk SMA/MA dari tiga mata pelajaran menjadi enam pelajaran dengan penambahan mata pelajaran spesifikasi jurusan. Kriteria minimal skor yang harus dicapai juga bergerak mengalami perubahan secara beransgur dari rerata minimal 4,00, menjadi 4,50, berubah manjadi 5,00 dan pada tahun 2007 ini harus mencapai 5,25.

Diberlakukannya kriteria kelulusan siswa yang ditetapkan Pemerintah melalui ketetapan Permendiknas, secara yuridis syah dan tidak dapat diganggu gugat. Konsekuensinya semua lembaga pendidikan harus mengikuti ketentuan tersebut dengan segala persiapan dan upaya agar seluruh anak didiknya mampu melampaui kriteria tersebut. Langkah-langkah strategis dan teknis dipersiapkan sekolah untuk mengantisipasi ketetapan Permendiknas di atas, seperti mengadakan kegiatan bimbel, penambahan jam belajar, dan try out. Seolah tanpa berhitung aspek lainnya, mata pelajaran inti yang di “UN”kan menjadi idola sehingga semua energi sekolah habis dipersiapkan untuk beberapa mata pelajaran tersebut.

Sebagai ketetapan tertinggi dalam urusan pendidikan, Permendiknas no 34 tahun 2007 menggiring seluruh komponen pendidikan untuk taat dan patuh terlepas dari setuju tidak setuju dan suka tidak suka. Secara spesifik, realitas yang tidak dapat dihindari dari kebijakan Ujian Nasional ini adalah :

 

  1. Guru merasa tidak dihormati dan jauh dari perannya dalam menentukan keberhasilan siswa didik karena pengambilan keputusan kelulusan siswa secara prerogatif menjadi wilayah keputusan Menteri pendidikan.
  2. Akibat penggiringan pencapaian prestasi pada beberapa mata pelajaran tertentu sebagai persayaratan kelulusan, guru memandang tidak perlu lagi memperhatikan faktor afektif dan psikomotorik selama proses pembelajaran. Seluruh aktivitas dikerahkan hanya untuk memberikan pemahaman siswa untuk dapat mengisi soal-soal ujian, pada akhirnya proses pembelajaran tidak lebih dari latihan menjawab setiap item pertanyaan lepas dari substansi memahami hakekat suatu masalah secara kritis, sistematis dan rasional apalagi jika dikaitkan dengan esensi proses pendidikan yang mengharuskan adanya transfer pengetahuan dan nilai-nilai. Ujung-ujungnya, Kurikulum Berbasis Komptensi ataupun KTSP sebagai ruh pendidikan dari hasil reformasi tidak ada bedanya dengan kurikulum sebelumnya.
  3. Arah kebijakan sekolah menjadi tidak imbang, cenderung memprioritaskan beberapa mata pelajaran yang di UN kan dengan mengenyampingkan mata pelajaran lain yang tidak termasuk kategori di UN kan. Ekstrimnya, pengelola pendidikan di sekolah berpikir bahwa siswa tidak lagi perlu mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dijadikan standar kelulusan karena prestasi apapun yang diraih dan potensi apapun yang dikembangkan akan sia-sia.
  4. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil Ujian Nasional yang terus bergulir hingga saat ini dipertanyakan keabsahannya. Meskipun sangat sulit bila diruntut kejadian awal sampai pada proses pembuktian yuridis tentang kebenaran pembocoran soal-soal ujian hingga pengubahan jawaban siswa pada LJK yang dilakukan oleh oknum tertentu (team yang sudah dipersiapkan ), mengapa sulit ? karena banyak yang berkepentingan dengan hasil kelulusan Ujian Nasional ini. Akan tetapi bila dilihat dari perjalanan sejarah tentang ujian sekolah dimulai ebtanas dahulu nampaknya bisa dicermati. Semasa ebtanas berjalan dan tidak dijadikan faktor penentu kelulusan siswa seperti sekarang, pada umumnya siswa yang berprestasi dari kelas I sampai kelas III dengan skor di raport 8 dan 9 tapi pada hasil ujian ebtanas murni hanya mencapai 7 paling tinggi 8, dan siswa yang mencapai nilai raport 6 dan 7 biasanya nilai ebtanas murni berkisar angka 2, 3, 4, 5, hal ini didukung dengan hasil rerata ebtanas murni sejak awal hingga akhir secara nasional hanya bergerak di angka 3, 4, 5, dan 6. Hal demikian berbeda dengan kondisi saat ini yang terlihat kontras perbedaan skor rerata raport selama sekolah dengan hasil Ujian Nasional yang cenderung menggelembug lebih besar bergerak di angka 6, 7, bahkan 8, keanehan lainnya juga banyak ditemui siswa yang sehari-harinya pandai memiliki hasil UN standar, sedangkan siswa yang sehari-harinya kurang pandai malah memiliki hasil UN lebih besar, keanehan secara kolektif bisa dilihat dari hasil UN sekolah yang proses pendidikannya lebih baik, rerata hasil UN siswanya standar bahkan terdapat yang tidak lulus, sebaliknya sekolah dengan proses pendidikan alakadarnya justru memiliki rerata hasil lebih tinggi dan tidak satupun siswanya yang tidak lulus. Meskipun tidak menjadi pembenaran akan tetapi wajar jika kondisi ini memunculkan pertanyaan “sesungguhnya yang mengikuti Ujian Nasional ini siswa ataukah gurunya ? dan bila hasil UN ini katanya akan dijadikan bahan satandar nasional pendidikan, “ apakah valid data tersebut digunakan sebagai cermin prestasi siswa didik kita ?
  5. Fenomena lain yang banyak dijumpai dari sisi lain adalah statemen siswa tentang belajar, sekolah dan UN. Bagi siswa yang apatis, sekolah merupakan perjalanan yang pada waktunya pasti akan berakhir dengan kata “ lulus “, belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak urgen tergantung “ mud “ (keinginan) saja karena baginya UN sudah dijamin lulus. Seolah tidak berpikir masa depan, perjalanan belajar/sekolah sepenuhnya diserahkan kepada pengelola pendidikan yang konon katanya lebih berkepentingan dari pada siswa. Statemen ini muncul lebih merupakan akibat dari sebab-sebab yang selama ini muncul dari pergumulan pelaksanaan ujian nasional. Jika benar adanya, maka bagaimana moralitas pengelola pendidikan ( pejabat pendidikan, kepala sekolah, guru ) dihadapan siswa yang selalu mendengungkan kata “ jujur, rajin dan belajar “ selama tiga tahun ( untuk SMP/SMA ) dan 6 tahun ( untuk SD ) yang pada akhirnya pupus dan sirna kata-kata mulia tersebut gara-gara pelaksanaan ujian nasional yang tidak jujur, jauh dari semangat rajin dan belajar.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar