Jumat, 15 November 2024

Ada Dimana Posisi Kelas Kita

 

Menurut Lee Iacocca Presiden Direktur Ford, bahwa kelas ekonomi menengah itu berpenghasilan kira-kira 20.000 sampai dengan 100.000 dollar per tahun, jika dirupiahkan sekitar 20 juta sampai dengan 100 juta per bulan. Bagaimana dengan kita? Apakah termasuk kelas menengah atau masih jauh di bawah.

Pada tahun 2022, rerata penghasilan orang Indonesia sebesar 4,784 dollar atau setara 71 juta per tahun atau sekitar 6 juta. Angka ini tentu dihitung dari yang tertinggi sampai terendah kemudian diambil angka rata-ratanya. Alhasil, orang Indonesia ternyata baru memiliki penghasilan 6 juta per bulan, artinya masih jauh dari kelas menengah. Dalam bahasa lain berada pada kelas bawah.

Jika dibuat kurva normal, angka rerata ini akan memiliki kemiringan ke kiri dengan jumlah penduduk miskin mencapai 9,5 persen pada tahun 2022 dan 0,1 persen penduduk kategori kaya. Sisanya berada di tengah-tengah meskipun tetap masih condong ke kiri yang artinya mayoritas cenderung berada di bawah rerata penghasilan.

Dari penghasilan per kapita di atas, negara kita masih kategori berkembang, masih harus disupport dari berbagai sisi untuk menjadi negara maju sehingga memenuhi 3 tolak ukur yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dari aspek pendidikan, data Kemendagri pada akhir tahun 2022 menunjukkan masih terdapat 11 persen penduduk Indonesia belum tamat SD, sebanyak 23,8 persen berpendidikan SD, sebanyak 14,5 persen berpendidikan SMP, sebanyak 21,1 persen berpendidikan SMA/SMK, sebanyak 1,7 persen alumni diploma 1 sampai diploma 3, sebanyak 4,5 persen tamatan S1, sebanyak 0,3 persen tamatan S2, dan sebanyak 0,02  atau sebanyak 63 ribuan jiwa yang berpendidikan S3.

Kecenderungan tingkat pendidikan di atas, dapat dikelompokkan menjadi 49,3 berpendidikan SMP ke bawah, 21,1 persen berpendidikan SLTA, 1,7 persen berpendidikan diploma, dan 4,82 persen berpendidikan sarjana. Data ini menunjukkan linieritas antara tingkat Pendidikan dengan pendapatan penduduk. Dengan mencapai hampir 50 persen penduduk kita berpendidikan SMP ke bawah wajar jika penghasilan rerata kita masih jauh di bawah kelompok kelas menengah. Ini berarti, daya saing masyarakat kita masih rendah, yang berdampak pada profesi yang kurang menguntungkan, berakibat pada rendahnya penghasilan, dalam jangka panjang tentu ada efek kurangnya gizi yang dikonsumsi bagi keturunannya, serta bisa menjadi siklus terhadap rendahnya kualitas pendidikan generasi masa mendatang.

Daya saing merupakan kekuatan individu secara total dalam berhadapan dengan kompetitor dunia luar. Secara teoretik, kekuatan individu ini dapat dilihat dari berbagai dimensi. Gomes menjelaskan dimensi-dimensi tersebut, antara lain : (a) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan individu dalam suatu periode waktu tertentu artinya seberapa banyak volume yang dihasilkan, (b) Quality of work, berkaitan dengan kualitas kerja yang dicapai sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, hasil kerja yang sesuai dengan tuntutan dan kriteria maka semakin berkualitas, (c) Job knowledge, meliputi luasnya pengetahuan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan tidak haya sebatas tahu tentang hal yang telah dilakukannya akan tetapi lebih dari itu adalah mengetahui bagaimana mengembangkan dan mengantisipasi kendala-kendalanya, (d) Creativeness, berupa tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, (e) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama pekerja, (f) Dependability, yakni kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal menyelesaikan pekerjaan, (g) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas tanpa harus diperintah oleh pimpinan, (h) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

         Untuk mendongkrak daya saing dan perubahan siklus di atas, pendidikan menjadi instrument vital meskipun penanganannya tidak mungkin parsial dengan pembangunan ekonomi dan kesehatan. Pendidikan berkualitas seiring seirama dengan kualitas lulusan. Mencerdaskan anak bangsa dengan bekal kompetensi yang memadai serta bangunan nilai-nilai yang cukup menjadi pondasi majunya peradaban. Jadi tugas mendidik tidak cukup hanya transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of values. Tidak melulu membentuk pikiran yang cerdas akan tetapi juga mewariskan karakter yang kuat. Tidak sekedar memberi tahu tetapi lebih penting memberi contoh. Tidak hanya mengisi otaknnya tetapi lebih penting membentuk akhlak budinya sehingga mampu bersikap dan berperilaku dengan baik. Wallahu a’lam bisshawab.

Minggu, 10 November 2024

MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI ALQURÁN DALAM AKTIVITAS AKADEMIK PERGURUAN TINGGI DI ERA ARTIFICIAL INTELLIGENCE

 

Oleh: Dr. Asroi, M.Pd

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama

Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam

 

Disampaikan pada acara wisuda ke 17

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah Cicalengka Bandung

 

 

Yg kami hormati

1.     Ketua Yayasan Assyahidiyah, K.H. Cecep Abdullah, M.Pd.I

2.     Ketua STAI Al-Falah Cicalengka, Dr. K.H. Nanang Naisabur, MH

3.     Koordinator Kopertais Wilayah II Jawa Barat, Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag

4.     Orang tua wisudawan dan wisudawati STAI Al-Falah

5.     Para wisudawan dan wisudawati STAI Al-Falah

 

 

PENDAHULUAN

Dunia terus mengalami perubahan yang sangat cepat. jika dulu kekuatan bergantung pada sekumpulan orang dalam kelompok-kelompok yang membangun visi bersama untuk tujuan tertentu, sekarang individu secara mandiri bisa memiliki kekuatan luar biasa baik dalam aspek penguasaan ekonomi maupun lainnya. Manusia sekarang dapat dengan leluasa menggunakan media sosial berbasis internet melakukan apa yang dikehendakinya. Bagi mereka yang kuat mengemban values kemanusiaan menggunakan internet untuk kemaslahatan manusia tentu akan berdampak positif yang sangat luas, namun bagi yang hanya berorientasi praktis, pragmatis, bahkan cenderung tidak produktif bisa jadi menggunakannya hanya untuk kepuasan dan target-target pribadi yang sempit.

Menurut Rhenald Kasali (2018: 120) hadirnya internet melahirkan fenomena baru yang mampu memberikan kualitas yang sangat powerful. Proses digitalisasi berbagai sektor semakin massif karena hampir semua orang tersambung satu dengan lainnya dengan berbagai kepentingan.

STAI Sebagai institusi pendidikan Islam yang di dalamnya banyak variabel saling terkait tidak akan bisa melepaskan diri dari kehadiran internet sebagai salah satu instrumen untuk mengembangkan misinya  sebagai perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif dalam kancah interaksi global. Peran dan fungsi STAI diharapkan mampu menjawab problem kehidupan dalam konteks lebih luas dan kongkrit. Di samping upaya menyiapkan mahasiswa yang memiliki karakteristik kekuatan iman, kemuliaan sikap dan perilaku, keilmuan yang komprehensif, juga diharapkan menjadi sosok yang kokoh menghadapi tantangan perubahan sehingga dapat berkontribusi memberikan solusi bagi sekitar.

Wisuda merupakan proses seremoni cukup sakral sebagai bagian dari legitimasi akhir sebuah perjalanan akademik yang cukup panjang, melelahkan, bahkan mungkin menghadapi banyak kendala dan rintangan. Semua itu telah terlewati dengan baik, karena bisa jadi banyak diantara mahasiswa lainnya tidak dapat mencapai momen yang sangat berharga ini. Sebagai seorang akademisi, wisudawan dan wisudawati yang hari ini telah dikukuhkan diharapkan mampu mengembangkan knowledge and values secara inovatif dan menerapkannya ke ruang-ruang masyarakat yang memerlukannya.

 

INTEGRASI NILAI-NILAI ALQURAN

Perguruan Tinggi merupakan pusat produksi, penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berperan sangat penting di era milenium baru, era revolusi informasi yang dalam pandangan Bill Gates era ini ditandai dengan ciri khusus adanya akselerasi teknologi informasi. Kita tengah memasuki era revolusi industri 4.0 yakni era terjadinya revolusi dalam bidang digital. Di era ini terjadi proses digitalisasi pada segenap aspek kehidupan manusia. Perubahan yang sangat signifikan terjadi dari teknologi mekanik dan elektronik sampai pada teknologi digital berbasis jaringan nirkabel.

Di Indonesia peran perguruan tinggi mulai ditunjukkan sejak kebangkitan nasional pertama sampai zaman revolusi kemerdekaan, dan berlanjut terus di masa orde baru hingga saat ini. Kontribusinya menentukan perjalanan hidup bangsa dan negara tidak terelakan.

Peran strategis ini menuntut proses akademik Perguruan Tinggi yang akuntabel, produktif, dan menuntut implementasi nilai-nilai luhur sebagaimana visi dan misi yang disepakati. Tentu internalisasi nilai-nilai alquran akan menentukan warna dan corak berpikir dan berperilaku setiap alumni yang diluluskan.

Dunia akademik saat ini dihadapkan pada tantangan besar yakni disrupsi yaitu perubahan yang sangat cepat, tiba-tiba dan radikal. Menurut Renald Kasali (2018: iii) Disrupsi terjadi karena adanya orang-orang inovatif yang mengeksplorasi masa depan dan membawanya ke hari ini dengan teknologi melalui spirit “tomorrow is today”. Disrupsi kehidupan diakibatkan oleh perkembangan artificial intelligence (AI), big data, dan connectivity yang merupakan karya besar manusia modern. Dengan AI keterampilan teknis taktikal bisa ditangani oleh mesin, sedangkan kemampuan berpikir strategis dan generalis hanya dapat dilakukan oleh manusia melalui daya analitis sintetis interdisiplin maupun trans-disiplin (Yudi Latif, 2020: 350).

Inilah tugas Perguruan Tinggi, bagaimana membentuk mahasiswa untuk memiliki kompetensi berbeda dengan AI. Jika hanya berkutat pada kemampuan taktikal mekanistik, maka yakin terkalahkan oleh AI, tidak akan mampu menandinginya. Tetapi justru kemampuan filosofis, analitis dan holistik yang harus dikembangkan bagi seluruh mahasiswa sehingga perannya tidak tergantikan oleh robot.

AI dikenalkan pertama kali oleh Allen Touring tahun 1950 di dalam makalahnya yang berjudul : Computing Machinery and Intelligence” ia menciptakan istilah kecerdasan buatan dan disajikannya dalam konsep teoritis dan filosofis. Antara tahun 1957 sampai dengan 1974 perkembangan komputasi makin maju hingga mampu menyimpan data lebih besar dan kecepatan lebih tinggi. Tahun 1990 sampai dengan 2000an AI berkembang pesat menjadi kecerdasan umum buatan hingga dapat melakukan tugas-tugas kompleks, membuat dan mengambil keputusan, dan mampu belajar sendiri yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh manusia.

Pergerakan dan pertumbuhan AI yang tak terhindarkan ini menggeser banyak perubahan nilai dalam tatanan kehidupan manusia termasuk pola perilaku keberagamaan  yang jauh berbeda dengan sebelumnya “dislokasi dalam beragama” terjadi banyak di penjuru negeri ini. Sering kita jumpai orang ramai bermunajat di medsos, orang melaksanakan tawaf mengelilingi ka’bah disibukkan dengan “selfi-selfi”, setiap aktivitas ritual keagamaan diupload di “IG”, belajar ilmu agama tanpa guru tetapi melalui “google”, datang ke kiyai/ulama hanya untuk meminta doa banyak rizki, dapat jodoh, menyembuhkan penyakit, naik jabatan, dan segala bentuk “pengasian” lainnya. Itulah mungkin diantara fenomena dislokasi dalam beragama. Casing nya atas nama ibadah, namun substansinya sia-sia karena lebih pada pamer dan ingin mendapatkan perhatian publik.

Saking kuatnya cengkeraman internet hingga secara cepat mampu mengubah cara pandang, menjungkirbalikan logika, bahkan melemahkan daya nalar. Revolusi kini tidak lagi melalui senjata atau tank, melainkan bisa melalui medsos. Seperti dikatakan Taufan Hariyadi (dalam Republika edisi Rabu, 18 April 2018) bahwa kalau ada senjata pemusnah massal di era industri 4.0 seperti sekarang, media sosial bisa jadi salah satunya.

Dalam dunia akademik, teknologi informasi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara fungsinya sebagai tools yang memudahkan interaksi mahasiswa dalam mengeksplorasi berbagai ilmu pengetahuan sekaligus menjadikan peluang berbuat curang dan culas serta memanjakan dan melemahkan daya nalar.

Sebagai tools, teknologi informasi bermanfaat : 1) Memecahkan masalah kompleks seperti memproses informasi dalam skala besar, menemukan pola dan memberikan jawaban, 2) Meningkatkan efisiensi, yakni dapat bekerja tanpa kesalahan,  mengurangi kuantitas SDM, dan menyederhanakan tugas-tugas, 3) Membuat Keputusan lebih pintar, seperti menganalisis data, melihat trend, dan menyarankan tindakan yang dapat di ambil di masa mendatang, dan Otomatisasi, yakni melakukan pekerjaan lebih cepat, lebih hemat, dan mampu melakukan pekerjaan yang rumit dilakukan oleh manusia.

Namun sisi negatifnya adalah memanjakan kita dan para gen-Z seperti meningkatnya plagiarism. Hasil penelitian Kemenristekdikti tahun 2019, terdapat 58,1 % mahasiswa pernah melakukan plagiarism. Perilaku copy past makin meningkat, dan daya nalar makin menurun karena dimanjakan oleh luasnya ketersediaan sumber informasi yang mudah didapatkan.

Menurut Turkle, bahwa di tengah teknologi yang semakin maju, sesungguhnya manusia itu rapuh dan rentan dan yang paling parah lagi adalah merasa sendirian. Medsos sesunguhnya memberikan pilihan kepada umat manusia untuk lebih baik atau sebaliknya. Anak-anak bisa semakin berprestasi atau malah semakin jatuh akibat pencetan tombol yang salah sehingga muncul algoritma informasi yang menyesatkan.

Hoaks saat ini terus berkembang dimana-mana masuk pada semua lapisan, kita sering sulit membedakan mana yang benar dan mana yang hoaks, kita tertipu bahkan bisa saling serang dan membunuh karena hoaks. Sungguh ini telah lama dinyatakan oleh Syekh Hasyim Asy’ari bahwa nanti akan tiba suatu zaman sebagai tanda-tanda kiamat dimana terjadi aktivitas tulis menulis tetapi isinya adalah fitnah dan kebohongan.

Perubahan era ini mendorong pentingnya nurani manusia untuk mengelola kompetensi dirinya bagi kesejahteraan bersama. Jika tidak, maka hancurlah dunia ini oleh keserakahan manusia yang terkungkung oleh hawa nafsunya. Ini artinya, nilai-nilai agama yang terangkum dalam alquran menjadi sangat penting sebagai pondasi kita terutama gen-Z menghadapi berbagai perubahan mendasar dan semakin cepat di masa mendatang.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan (Hasse Jubba: 2019, viii) rasa agama kini berubah ke dalam 3 kecenderungan yang menjadikan manusia kehilangan pegangan dalam beragama dan berdampak pada kehidupan umat beragama, yaitu rendahnya kredibilitas agama karena agama digunakan untuk kekuatan struktural dan meneguhkan kekuasaan, lemahnya daya sambung agama-agama karena melemahnya otoritas tokoh agama dan dislokasi agama yang mengaburkan akar historisnya, dan hilangnya kesunyian agama karena agama seringkali hanya dalam perbincangan dan menjauh dari praktek beragama yang sangat privasi dan jauh dari takabur.

Kembali pada ajaran alquran dan hadits Nabi SAW merupakan sikap insan beragama yang benar. Alqurán merupakan teks Islam (Nasr Hamid Abu Zaid, 2016: 14) dan penerima sekaligus penyampai teks pertama adalah Nabi Muhammad SAW (2016: 63). Dengan demikian, belajar dari guru yang tepat dan mengambil teks/rujukan dari sumber yang valid akan menghindarkan fitnah dan terbebas dari distorsi akademik. Hendaklah kita berhati-hati karena disinyalir terdapat ratusan situs di internet yang ditengarai sebagai situs Islam tetapi tidak ditulis oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan latar belakang Pendidikan Islam (Retno Kartini, dkk, 2018: viii)

Alquran mengajarkan sentralitas pada satu titik zat Allah, namun berdampak luas kebermanfaatannya. waila robbika farghab  hanya kepada Tuhanmu hendaknya berharap. Potongan surat al-Insyiroh di atas merupakan ayat penutup dari 7 ayat sebelumnya. Surat ini ini menurut asbabunnuzulnya merupakan motivasi yang diberikan Allah SWT kepada Nabi dalam menjalankan dakwah di  Makkah yang sangat berat dan banyak tantangannya. Lalu Allah SWT berfirman bahwa setiap kesulitan itu ada kemudahan semuanya ada siklus bergantung pada upaya dan usaha yang dilakukan, bahwa jika selesai mengerjakan yang satu, maka bersegeralah mengerjakan lainnya artinya sikap produktif dan inovatif menjadi keharusan dengan tidak menunggu dan pasrah terhadap apa yang terjadi sehingga tidak bermanfaat apa-apa baik bagi diri maupun orang lain karena sesungguhnya inovasi adalah tentang bagaimana kita membuat ide-ide baru yang bermanfaat (Kasali, 2018: 261), tidak penting lahirnya ide baru jika ternyata tidak ada kebermanfaatannya bagi umat manusia.

Agama Islam mengajarkan untuk berserah diri/tawakkal dan menaruh harapan kepada Allah SWT setelah melalui perjalanan ikhtiar yang logis. Tidak dibenarkan kita hanya memiliki harapan atau selalu berharap tentang kesuksesan dan keberhasilan namun tidak dilakukan upaya yang cukup, itu adalah sia-sia dan menjadi mimpi tanpa kenyataan. Kenyataan hanya didapat melalui rangkaian niat dan usaha mewujudkannya lalu diakhiri dengan tawakkal kepada-Nya. Pemasrahan diri kepada Sang Maha Kuasa merupakan perwujudan dari pengakuan diri atas segala keterbatasan dan kelemahan sehingga tecapai ataupun tidak harapan itu, kita tunduk kepada Zat penentu segalanya sehingga terhindar dari stress dan kepanikan. Mengapa? Karena kita diajarkan bahwa apa yang kita harapkan tidak selalu dikabulkan hari itu juga, bisa jadi besok, lusa ataupun tahun depan, atau bahkan tidak dikabulkan, Allah maha tau atas kemaslahatan dari semua harapan yang kita impikan.

Sering kita salah tafsir terhadap sesuatu yang kita terima, semua itu karena kita mematok bahwa apa yang kita inginkan harus kita terima/rasakan. Dikatakan dalam surat al-Fajr ayat 15 dan 16:

Artinya: “Adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku telah menghinaku."

            Kenikmatan atau keterbatasan dan kesuksesan atau kegagalan dalam Islam semuanya adalah ujian. Ini tertera dalam ayat berikutnya di katakan “Kalla”” artinya tidak begitu, tidak seperti yang diperkirakan manusia seperti dalam ayat 15 dan 16 tersebut. Tetapi sesungguhnya kesenangan yang kita rasakan adalah ujian apakah kita mampu mengelolanya dengan baik dan proporsional, atau bisa jadi dengan kesenangan/kesuksesan itu kita jadi lupa akan segalanya yang menyebabkan semakin jauh dengan Zat pemberinya. Begitu pula dengan keterbatasan/kegagalan, ia adalah ujian bagi kita untuk tetap belajar bersabar dan menata diri bersikap evaluatif bukan destruktif. Pengelolaan Perguruan Tinggi, proses akademik yang penuh tantangan, layanan yang harus serba cepat mengikuti kebutuhan dan perubahan, harus dijalani sebagai bentuk ikhtiar mengikuti dan mensikapi perubahan zaman namun tetap dalam kendali bingkai nilai-nilai religius universal.

 

PENUTUP

Dengan semakin padatnya jumlah populasi manusia di dunia mendorong semakin tingginya persaingan dan kepentingan, semua bergerak ingin menjadi pemenang. Orang kaya ingin menang untuk mendapatkan kekayaannya, pejabat ingin menang menduduki jabatannya, pedagang ingin menang dengan volume penjualannya, bahkan penjahatpun ingin menang dengan hasil kejahatan yang dilakukannya. Perbedaan, pergumulan, persaingan sampai gesekan tak terelakkan dan terjadi dimana-mana.

Ketatnya persaingan dan gesekan akibat mobilitas manusia, menuntut perilaku serba cepat yang membuat kaburnya batas-batas pemisah antara benar dan salah serta baik dan buruk karena sering menyandarkan pada stereotipe berbeda-beda, ego yang tak terkendali dan persepsi diri kita bahwa hanya sayalah yang benar sementara orang lain itu salah, orang lain cukup mendapatkan klaim-klaim yang sesungguhnya kita sendiri tidak menyukainya, semua orang dipaksa masuk dalam ruang persepsi kita sedangkan kita tidak mencoba masuk dalam ranah pikiran mereka.

Kompetisi dalam prestasi menjadi ciri dunia akademik yang harus ditegakkan dalam rangka mendorong perilaku produktif, sikap kritis mahasiswa, dan menguatkan daya analitis terhadap berbagai fenomena berlandaskan akhlakul karimah. Akhlak merupakan derivasi dari nilai-nilai yang dipegang kuat sebagai sebuah prinsip universal, cermin dari kekuatan dirinya mengelola hawa nafsu, dan lahir dari pikiran yang jernih atas pemahaman nilai-nilai alquran yang mulia.  

 

DAFTAR BACAAN

 

Hasse Jubba. Kontestasi Identitas Agama. Lokalitas Spiritual di Indonesia. Yogyakarta: Phinisi Press, 2019.

Islam Nusantara. Dari Usul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan, 2015.

Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-quran. Kritik Terhadap Ulumul quran. Yogyakarta: Ircisod, 2016.

Retno Kartini, dkk. Wacana Ekstrimisme Keagamaan di Media Online. Jakarta: Puslitbang LKKMO Kementerian Agama, 2018

Rhenald Kasali. Self Disruption. Series on Disruption. Jakarta: Mizan Media Utama, 2018.

Rhenald Kasali. The Great Shifting. Series on Disruption. Jakarta: Mizan Media Utama, 2018.

Yudi Latif. Pendidikan yang Berkebudayaan. Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020.