Oleh: Dr. Asroi, M.Pd
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama
Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam
Disampaikan pada acara wisuda ke 17
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah Cicalengka Bandung
Yg kami hormati
1.
Ketua Yayasan
Assyahidiyah, K.H. Cecep Abdullah, M.Pd.I
2.
Ketua STAI
Al-Falah Cicalengka, Dr. K.H. Nanang Naisabur, MH
3.
Koordinator
Kopertais Wilayah II Jawa Barat, Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag
4.
Orang tua
wisudawan dan wisudawati STAI Al-Falah
5.
Para wisudawan dan
wisudawati STAI Al-Falah
PENDAHULUAN
Dunia terus mengalami perubahan yang
sangat cepat. jika dulu kekuatan bergantung pada sekumpulan orang dalam
kelompok-kelompok yang membangun visi bersama untuk tujuan tertentu, sekarang
individu secara mandiri bisa memiliki kekuatan luar biasa baik dalam aspek
penguasaan ekonomi maupun lainnya. Manusia sekarang dapat dengan leluasa
menggunakan media sosial berbasis internet melakukan apa yang dikehendakinya.
Bagi mereka yang kuat mengemban values
kemanusiaan menggunakan internet untuk kemaslahatan manusia tentu akan
berdampak positif yang sangat luas, namun bagi yang hanya berorientasi praktis,
pragmatis, bahkan cenderung tidak produktif bisa jadi menggunakannya hanya
untuk kepuasan dan target-target pribadi yang sempit.
Menurut Rhenald Kasali (2018: 120)
hadirnya internet melahirkan fenomena baru yang mampu memberikan kualitas yang
sangat powerful. Proses digitalisasi berbagai sektor semakin massif
karena hampir semua orang tersambung satu dengan lainnya dengan berbagai
kepentingan.
STAI Sebagai institusi pendidikan Islam yang di dalamnya
banyak variabel saling terkait tidak akan bisa melepaskan diri dari kehadiran
internet sebagai salah satu instrumen untuk mengembangkan misinya sebagai perguruan tinggi yang unggul dan
kompetitif dalam kancah interaksi global. Peran dan fungsi STAI diharapkan
mampu menjawab problem kehidupan dalam konteks lebih luas dan kongkrit. Di
samping upaya menyiapkan mahasiswa yang memiliki karakteristik kekuatan iman,
kemuliaan sikap dan perilaku, keilmuan yang komprehensif, juga diharapkan
menjadi sosok yang kokoh menghadapi tantangan perubahan sehingga dapat
berkontribusi memberikan solusi bagi sekitar.
Wisuda merupakan proses seremoni cukup sakral sebagai bagian dari legitimasi
akhir sebuah perjalanan akademik yang cukup panjang, melelahkan, bahkan mungkin
menghadapi banyak kendala dan rintangan. Semua itu telah terlewati dengan baik,
karena bisa jadi banyak diantara mahasiswa lainnya tidak dapat mencapai momen
yang sangat berharga ini. Sebagai seorang akademisi, wisudawan dan wisudawati
yang hari ini telah dikukuhkan diharapkan mampu mengembangkan knowledge and
values secara inovatif dan menerapkannya ke ruang-ruang masyarakat yang
memerlukannya.
INTEGRASI
NILAI-NILAI ALQURAN
Perguruan Tinggi merupakan pusat produksi,
penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berperan sangat penting di
era milenium baru, era revolusi
informasi yang dalam pandangan Bill Gates era ini ditandai dengan ciri khusus adanya
akselerasi teknologi informasi. Kita tengah memasuki era revolusi industri 4.0 yakni
era terjadinya revolusi dalam bidang digital. Di era ini terjadi proses
digitalisasi pada segenap aspek kehidupan manusia. Perubahan yang sangat
signifikan terjadi dari teknologi mekanik dan elektronik sampai pada teknologi
digital berbasis jaringan nirkabel.
Di Indonesia peran perguruan tinggi mulai
ditunjukkan sejak kebangkitan nasional pertama sampai zaman revolusi
kemerdekaan, dan berlanjut terus di masa orde baru hingga saat ini. Kontribusinya
menentukan perjalanan hidup bangsa dan negara tidak terelakan.
Peran
strategis ini menuntut proses akademik Perguruan Tinggi yang akuntabel,
produktif, dan menuntut implementasi nilai-nilai luhur sebagaimana visi dan
misi yang disepakati. Tentu internalisasi nilai-nilai alquran akan menentukan
warna dan corak berpikir dan berperilaku setiap alumni yang diluluskan.
Dunia akademik saat ini dihadapkan pada
tantangan besar yakni disrupsi yaitu perubahan yang sangat cepat, tiba-tiba dan
radikal. Menurut Renald Kasali (2018: iii) Disrupsi terjadi karena adanya
orang-orang inovatif yang mengeksplorasi masa depan dan membawanya ke hari ini
dengan teknologi melalui spirit “tomorrow is today”. Disrupsi kehidupan
diakibatkan oleh perkembangan artificial intelligence (AI), big data,
dan connectivity yang merupakan karya besar manusia modern. Dengan AI
keterampilan teknis taktikal bisa ditangani oleh mesin, sedangkan kemampuan
berpikir strategis dan generalis hanya dapat dilakukan oleh manusia melalui
daya analitis sintetis interdisiplin maupun trans-disiplin (Yudi Latif, 2020:
350).
Inilah tugas Perguruan Tinggi, bagaimana
membentuk mahasiswa untuk memiliki kompetensi berbeda dengan AI. Jika hanya
berkutat pada kemampuan taktikal mekanistik, maka yakin terkalahkan oleh AI,
tidak akan mampu menandinginya. Tetapi justru kemampuan filosofis, analitis dan
holistik yang harus dikembangkan bagi seluruh mahasiswa sehingga perannya tidak
tergantikan oleh robot.
AI dikenalkan pertama kali oleh Allen Touring
tahun 1950 di dalam makalahnya yang berjudul : Computing Machinery and
Intelligence” ia menciptakan istilah kecerdasan buatan dan disajikannya
dalam konsep teoritis dan filosofis. Antara tahun 1957 sampai dengan 1974
perkembangan komputasi makin maju hingga mampu menyimpan data lebih besar dan
kecepatan lebih tinggi. Tahun 1990 sampai dengan 2000an AI berkembang pesat
menjadi kecerdasan umum buatan hingga dapat melakukan tugas-tugas kompleks,
membuat dan mengambil keputusan, dan mampu belajar sendiri yang sebelumnya
hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Pergerakan dan pertumbuhan AI yang tak
terhindarkan ini menggeser banyak perubahan nilai dalam tatanan kehidupan
manusia termasuk pola perilaku keberagamaan
yang jauh berbeda dengan sebelumnya “dislokasi dalam beragama” terjadi
banyak di penjuru negeri ini. Sering kita jumpai orang ramai bermunajat di
medsos, orang melaksanakan tawaf mengelilingi ka’bah disibukkan dengan “selfi-selfi”, setiap aktivitas ritual
keagamaan diupload di “IG”, belajar ilmu agama tanpa guru tetapi melalui “google”, datang ke kiyai/ulama hanya
untuk meminta doa banyak rizki, dapat jodoh, menyembuhkan penyakit, naik
jabatan, dan segala bentuk “pengasian” lainnya. Itulah mungkin diantara
fenomena dislokasi dalam beragama. Casing
nya atas nama ibadah, namun substansinya sia-sia karena lebih pada pamer dan
ingin mendapatkan perhatian publik.
Saking kuatnya cengkeraman internet hingga
secara cepat mampu mengubah cara pandang, menjungkirbalikan logika, bahkan
melemahkan daya nalar. Revolusi kini tidak lagi melalui senjata atau tank,
melainkan bisa melalui medsos. Seperti dikatakan Taufan Hariyadi (dalam
Republika edisi Rabu, 18 April 2018) bahwa kalau ada senjata pemusnah massal di
era industri 4.0 seperti sekarang, media sosial bisa jadi salah satunya.
Dalam dunia akademik, teknologi informasi
seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara fungsinya sebagai
tools yang memudahkan interaksi mahasiswa dalam mengeksplorasi berbagai
ilmu pengetahuan sekaligus menjadikan peluang berbuat curang dan culas serta
memanjakan dan melemahkan daya nalar.
Sebagai tools, teknologi informasi
bermanfaat : 1) Memecahkan masalah kompleks seperti memproses informasi dalam
skala besar, menemukan pola dan memberikan jawaban, 2) Meningkatkan efisiensi,
yakni dapat bekerja tanpa kesalahan,
mengurangi kuantitas SDM, dan menyederhanakan tugas-tugas, 3) Membuat
Keputusan lebih pintar, seperti menganalisis data, melihat trend, dan
menyarankan tindakan yang dapat di ambil di masa mendatang, dan Otomatisasi,
yakni melakukan pekerjaan lebih cepat, lebih hemat, dan mampu melakukan
pekerjaan yang rumit dilakukan oleh manusia.
Namun sisi negatifnya adalah memanjakan
kita dan para gen-Z seperti meningkatnya plagiarism. Hasil penelitian
Kemenristekdikti tahun 2019, terdapat 58,1 % mahasiswa pernah melakukan
plagiarism. Perilaku copy past makin meningkat, dan daya nalar makin
menurun karena dimanjakan oleh luasnya ketersediaan sumber informasi yang mudah
didapatkan.
Menurut Turkle, bahwa di tengah teknologi
yang semakin maju, sesungguhnya manusia itu rapuh dan rentan dan yang paling
parah lagi adalah merasa sendirian. Medsos sesunguhnya memberikan pilihan
kepada umat manusia untuk lebih baik atau sebaliknya. Anak-anak bisa semakin
berprestasi atau malah semakin jatuh akibat pencetan tombol yang salah sehingga
muncul algoritma informasi yang menyesatkan.
Hoaks saat ini terus berkembang
dimana-mana masuk pada semua lapisan, kita sering sulit membedakan mana yang
benar dan mana yang hoaks, kita tertipu bahkan bisa saling serang dan membunuh
karena hoaks. Sungguh ini telah lama dinyatakan oleh Syekh Hasyim Asy’ari bahwa
nanti akan tiba suatu zaman sebagai tanda-tanda kiamat dimana terjadi aktivitas
tulis menulis tetapi isinya adalah fitnah dan kebohongan.
Perubahan era ini mendorong pentingnya
nurani manusia untuk mengelola kompetensi dirinya bagi kesejahteraan bersama.
Jika tidak, maka hancurlah dunia ini oleh keserakahan manusia yang terkungkung
oleh hawa nafsunya. Ini artinya, nilai-nilai agama yang terangkum dalam alquran
menjadi sangat penting sebagai pondasi kita terutama gen-Z menghadapi berbagai
perubahan mendasar dan semakin cepat di masa mendatang.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan
(Hasse Jubba: 2019, viii) rasa agama kini berubah ke dalam 3 kecenderungan yang
menjadikan manusia kehilangan pegangan dalam beragama dan berdampak pada
kehidupan umat beragama, yaitu rendahnya kredibilitas agama karena agama digunakan
untuk kekuatan struktural dan meneguhkan kekuasaan, lemahnya daya sambung
agama-agama karena melemahnya otoritas tokoh agama dan dislokasi agama yang
mengaburkan akar historisnya, dan hilangnya kesunyian agama karena agama
seringkali hanya dalam perbincangan dan menjauh dari praktek beragama yang
sangat privasi dan jauh dari takabur.
Kembali pada ajaran alquran dan hadits
Nabi SAW merupakan sikap insan beragama yang benar. Alqurán merupakan teks
Islam (Nasr Hamid Abu Zaid, 2016: 14) dan penerima sekaligus penyampai teks
pertama adalah Nabi Muhammad SAW (2016: 63). Dengan demikian, belajar dari guru
yang tepat dan mengambil teks/rujukan dari sumber yang valid akan menghindarkan
fitnah dan terbebas dari distorsi akademik. Hendaklah kita berhati-hati karena
disinyalir terdapat ratusan situs di internet yang ditengarai sebagai situs
Islam tetapi tidak ditulis oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan latar
belakang Pendidikan Islam (Retno Kartini, dkk, 2018: viii)
Alquran mengajarkan sentralitas pada satu
titik zat Allah, namun berdampak luas kebermanfaatannya. “waila robbika farghab” hanya kepada Tuhanmu hendaknya berharap.
Potongan surat al-Insyiroh di atas merupakan ayat penutup dari 7 ayat
sebelumnya. Surat ini ini menurut asbabunnuzulnya merupakan motivasi yang
diberikan Allah SWT kepada Nabi dalam menjalankan dakwah di Makkah yang sangat berat dan banyak
tantangannya. Lalu Allah SWT berfirman bahwa setiap kesulitan itu ada kemudahan
semuanya ada siklus bergantung pada upaya dan usaha yang dilakukan, bahwa jika
selesai mengerjakan yang satu, maka bersegeralah mengerjakan lainnya artinya
sikap produktif dan inovatif menjadi keharusan dengan tidak menunggu dan pasrah
terhadap apa yang terjadi sehingga tidak bermanfaat apa-apa baik bagi diri
maupun orang lain karena sesungguhnya inovasi adalah
tentang bagaimana kita membuat ide-ide baru yang bermanfaat (Kasali, 2018:
261), tidak penting lahirnya ide baru jika ternyata tidak ada kebermanfaatannya
bagi umat manusia.
Agama Islam
mengajarkan untuk berserah diri/tawakkal dan menaruh harapan kepada Allah SWT
setelah melalui perjalanan ikhtiar yang logis. Tidak dibenarkan kita hanya
memiliki harapan atau selalu berharap tentang kesuksesan dan keberhasilan namun
tidak dilakukan upaya yang cukup, itu adalah sia-sia dan menjadi mimpi tanpa
kenyataan. Kenyataan hanya didapat melalui rangkaian niat dan usaha
mewujudkannya lalu diakhiri dengan tawakkal kepada-Nya. Pemasrahan diri kepada
Sang Maha Kuasa merupakan perwujudan dari pengakuan diri atas segala
keterbatasan dan kelemahan sehingga tecapai ataupun tidak harapan itu, kita
tunduk kepada Zat penentu segalanya sehingga terhindar dari stress dan
kepanikan. Mengapa? Karena kita diajarkan bahwa apa yang kita harapkan tidak
selalu dikabulkan hari itu juga, bisa jadi besok, lusa ataupun tahun depan,
atau bahkan tidak dikabulkan, Allah maha tau atas kemaslahatan dari semua
harapan yang kita impikan.
Sering kita
salah tafsir terhadap sesuatu yang kita terima, semua itu karena kita mematok
bahwa apa yang kita inginkan harus kita terima/rasakan. Dikatakan dalam surat
al-Fajr ayat 15 dan 16:
Artinya: “Adapun
manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan,
maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata,
"Tuhanku telah menghinaku."
Kenikmatan atau keterbatasan dan kesuksesan atau
kegagalan dalam Islam semuanya adalah ujian. Ini tertera dalam ayat berikutnya
di katakan “Kalla”” artinya tidak begitu, tidak seperti yang
diperkirakan manusia seperti dalam ayat 15 dan 16 tersebut. Tetapi sesungguhnya
kesenangan yang kita rasakan adalah ujian apakah kita mampu mengelolanya dengan
baik dan proporsional, atau bisa jadi dengan kesenangan/kesuksesan itu kita
jadi lupa akan segalanya yang menyebabkan semakin jauh dengan Zat pemberinya.
Begitu pula dengan keterbatasan/kegagalan, ia adalah ujian bagi kita untuk
tetap belajar bersabar dan menata diri bersikap evaluatif bukan destruktif. Pengelolaan
Perguruan Tinggi, proses akademik yang penuh tantangan, layanan yang harus
serba cepat mengikuti kebutuhan dan perubahan, harus dijalani sebagai bentuk
ikhtiar mengikuti dan mensikapi perubahan zaman namun tetap dalam kendali bingkai
nilai-nilai religius universal.
PENUTUP
Dengan semakin padatnya jumlah populasi
manusia di dunia mendorong semakin tingginya persaingan dan kepentingan, semua
bergerak ingin menjadi pemenang. Orang kaya ingin menang untuk mendapatkan
kekayaannya, pejabat ingin menang menduduki jabatannya, pedagang ingin menang
dengan volume penjualannya, bahkan penjahatpun ingin menang dengan hasil kejahatan
yang dilakukannya. Perbedaan, pergumulan, persaingan sampai gesekan tak
terelakkan dan terjadi dimana-mana.
Ketatnya persaingan dan gesekan
akibat mobilitas manusia, menuntut perilaku serba cepat yang membuat kaburnya batas-batas pemisah
antara benar dan salah serta baik dan buruk karena sering menyandarkan pada stereotipe berbeda-beda, ego yang tak terkendali dan persepsi diri kita bahwa hanya sayalah
yang benar sementara orang lain itu salah, orang lain cukup mendapatkan
klaim-klaim yang sesungguhnya kita sendiri tidak menyukainya, semua orang
dipaksa masuk dalam ruang persepsi kita sedangkan kita tidak mencoba masuk
dalam ranah pikiran mereka.
Kompetisi dalam prestasi menjadi
ciri dunia akademik yang harus ditegakkan dalam rangka mendorong perilaku
produktif, sikap kritis mahasiswa, dan menguatkan daya analitis terhadap
berbagai fenomena berlandaskan akhlakul karimah. Akhlak merupakan derivasi dari
nilai-nilai yang dipegang kuat sebagai sebuah prinsip universal, cermin dari
kekuatan dirinya mengelola hawa nafsu, dan lahir dari pikiran yang jernih atas
pemahaman nilai-nilai alquran yang mulia.
DAFTAR BACAAN
Hasse Jubba. Kontestasi Identitas Agama. Lokalitas
Spiritual di Indonesia. Yogyakarta: Phinisi Press, 2019.
Islam Nusantara. Dari Usul Fiqh Hingga Paham
Kebangsaan. Bandung: Mizan, 2015.
Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-quran. Kritik
Terhadap Ulumul quran. Yogyakarta: Ircisod, 2016.
Retno Kartini, dkk. Wacana Ekstrimisme Keagamaan di
Media Online. Jakarta: Puslitbang LKKMO Kementerian Agama, 2018
Rhenald Kasali. Self Disruption. Series on
Disruption. Jakarta: Mizan Media Utama, 2018.
Rhenald Kasali. The Great Shifting. Series on
Disruption. Jakarta: Mizan Media Utama, 2018.
Yudi Latif. Pendidikan yang Berkebudayaan. Histori,
Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2020.