Minggu, 16 September 2018

REORIENTASI PENELITIAN


Prof. Irwan Abdullah. Antropolog UGM secara lugas menyitir bahwa Kementerian Agama dihadapkan pada banyak persoalan internal dan eksternal. Persoalan internal adalah kurangnya bahan untuk menghadapi berbagai isu yang berkembang bahkan lemahnya antisipasi terhadap derasnya perubahan tersebut. Sedangkan persoalan eksternal adalah terjadinya perubahan negara karena peralihan era revolusi industri.
Dahulu zaman Suharto, para ilmuwan sosial pernah ditempeleng lewat Menteri Sekretaris Negara Murdiono. Beliau mengatakan bahwa saat ini kebijakan yang diambil adalah pilihan yang buruk dari yang paling buruk karena ilmuwan sosial tidak memberikan sumbangan atau hasil-hasil yang baik misalnya saja tentang masalah kebudayaan. Kebudayaan menurut pandangan seniman dan ilmuwan itu berbeda. Menurut seniman kebudayaan itu produk hasil-hasil seperti lukisan, seni. Sedangkan menurut ilmuwan kebudayaan itu adalah kata kerja sehingga menjadi etos. Contoh sederhana adalah tentang agama yang didorong ke masjid-masjid dan tempat ibadah sehingga tidak ditemui di pasar, di kantor, dan di semua tempat. Dengan demikian agama dijauhkan dari keummatan. Nah, riset-riset ini yang kemudian disorot kurang memberikan kontribusi kepada Pemerintah
Dikatakan, saat ini negara telah memasuki era disruption (gangguan/kekacauan) setelah mengalami beberapa tahap revolusi industri, yaitu: Era 1.0 yang ditandai dengan adanya mesin uap, Era 2.0 ditandai dengan banyaknya penggunaan mesin dalam berbagai aspek, Era 3.0 ditandai dengan penggunaan listrik pada berbagai sendi kehidupan, dan Era 4.0 ditandai dengan aktivitas berbasis internet. Efek perubahan menurut murid Clifford Geertz ini menuntut kita melakukan penyesuaian-penyesuaian termasuk dalam bidang penelitian. Tema-tema penelitian harus berubah,  jika tidak berarti kita tidak membaca bahkan tidak peka terhadap fenomena yang berkembang.
Dijelaskan, dulu agama bersifat otoritatif, dominan dan absolut. Makanya judul-judul penelitian lebih pada peran ulama dan perubahan sosial misalnya. Nah era sekarang, tokoh-tokoh agama bisa dipertanyakan bahkan dilaporkan. Jadi otorisasi masa lalu sudah berubah. Tempat-tempat ibadah mengalami dislokasi dan disfungsi sehingga agama semakin lemah. Dulu agama sebagai komunitas dimana setiap orang saling terikat karena spirit agama, saat ini telah hilang sehingga perlu revitalisasi dan rekonstruksi melalui naskah-naskah yang berisi kekuatan masa lalu. Jadi, papar Irwan, kita perlu belajar sejarah karena sejarah itu adalah identitas dan ujungnya adalah solidaritas.
Era revolusi industri 4.0 menurut Irwan adalah era dimana kita dirampas oleh media berbasis internet yang kekuatannya dapat mengubah semua hal. Orang bisa terkenal mendadak karena media dan orang dapat menggali berbagai informasi lewat media. Efek dari itu semua adalah terjadi depersonalisasi. Jika dulu belajar agama bersifat personal menyangkut hubungan antara santri dengan gurunya, saat ini tidak lagi seperti itu, orang belajar melalui gambar, simbol, video, sehingga terjadi pendangkalan, pesannya tidak sampai bahkan bisa menyimpang karena tidak ada kontrol dari gurunya. Dengan demikian, penelitian di era baru ini harus mampu menjawab berbagai persoalan di atas, karena ketika agama termediakan, maka substansinya menjadi hilang karena cenderung polarisasi dan entertain/hiburan.
Datangnya era baru ini tantangan bagi peneliti. Oleh karenanya, menjadi peneliti harus merupakan panggilan jiwa, jika tidak maka bisa menghasilkan tabel-tabel tapi tidak ada rasanya yakni rasa keindonesiaannya. Perlu disadari, bahwa posisi Kementerian Agama itu adalah institusi yang memiliki tugas dan fungsi melakukan proses menuju tujuan nasional diantaranya menciptakan harmoni atau kerukunan umat beragama. Persoalan kerukunan ini tidak pernah selesai hingga sekarang. Puslitbang Lektur seyogyanya menjadi pionir mem-back up institusi Kementerian Agama dalam menjawab persoalan-persoalan yang terus berkembang, salah satunya melalui policy brief yang harus dihasilkannya setiap saat.
Untuk itu, kita perlu bagaimana mereformasi lembaga dengan baik, yaitu dengan cara membangun pilihan nilai yang harus disepakati bersama baru setelah itu membuat visi dan misi. Dengan pilihan nilai yang diambil maka terdapat tiga hal penting penopangnya, yakni idealisme anggota, pengetahuan (knowledge), dan keteladan.
Setiap anggota organisasi harus memiliki idealisme sehingga melahirkan identitas dan solidaritas. Tanpa idealisme maka kinerja menjadi buruk karena tidak ada karakter dan kebersamaan yang dibangun. Pengetahuanpun menjadi sangat penting, dimana setiap anggota dituntut memiliki pengetahuan yang cukup sesuai bidang tugasnya, tanpa pengetahuan pekerjaan menjadi kacau bahkan tidak menghasilkan sesuatu. Dan terakhir adalah keteladan yang harus melekat pada setiap diri dengan penuh komitmen, disamping harus meneladani orang yang lebih baik, tapi lebih penting adalah dapat diteladani oleh orang lain.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar