Minggu, 16 September 2018

PROBLEM MENULIS


Diskusi dilakukan di ruang aula Pascasarjana UIN Suska Riau pada tanggal 15 Maret 2018 tentang pengalaman penelitian dan menulis.  Hadir dalam diskusi diantaranya Direktur Pascasarjana UIN Suska Prof. Dr. Ilyas Husti, MA beserta jajarannya, Dr. Muhammad Zain, MA, Dr. Asroi, M.Pd, dan mahasiswa S3 UIN Suska.
Mengutip pernyataan Prof. Qodri Azizi, bahwa S1 itu adalah strata bagi mahasiswa yang mencari ilmu, S2 strata mahasiswa dengan karakteristik critical analysis yang memiliki kemammpuan menimbang pendapat/pemikiran para pakar, dan S3 adalah mahasiswa memiliki kemampuan melahirkan pikiran independen bahkan mampu memberikan fatwa. Konsekuensinya jika sudah doktor maka harus melakukan critical analysis terhadap berbagai pendapat dan gagasan. Jika profesor mengatakan A maka kita harus mengatakan B dengan reasoning yang lebih kuat. Hal ini seperti dicontohkan Imam Syafii ketika menulis Kitab Al Umm berbeda dengan gurunya sebagai bentuk critical analysis. Bahkan Imam Syafii berbeda dengan pendapatnya sendiri yang disebut dengan qaul qodim dan qaul jadid.

Problem utama kita di dunia kampus dan lainnya adalah academic writing yang belum menjadi tradisi atau kebiasaan. Menurut Prof. Atho Muzhar, bahwa untuk selesai menulis disertasi kita tidak perlu melakukan dehumanisasi keluarga, sahabat dan masyarakat, kita mengalir saja, jangan dirasakan sangat sulit seperti menjunjung gunung sehingga menghalangi kita tidak melakukan pengembaraan intelektual/intellectual travelling. Jadi, yang terpenting harus dimulai dari kegelisahan akademik dan adanya keunikan. Apalagi saat ini kita berada di zaman internet yang mudah untuk kita menggali berbagai informasi.

Pengalaman pribadi Zain, ketika menulis disertasi, beliau membaca 600 buku, artikel, dan referensi lainnya sebelum mengajukanproposal. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa tema yang dibahas itu belum dikaji orang lain dan kita tidak bertanding dengan diri sendiri. Kita harus fokus dan konsen dalam melakukan kajian. Sebagai contoh, Ada profesor di Leiden university bernama Juynboll. Selama hidupnya jarang berada di bangku kuliah. Beliau menulis buku Canonical hadits selama 35 tahun. Setiap harinya selalu ada di perpustakaan untuk membaca dan membaca dan tidak bicara dengan siapapun. Dalam bukunya tersebut ia meragukan hadits. Namun demikian, menurut dia hadits nabi jauh lebih baik daripada injil karena hadits punya sanad sedangkan injil tidak.

Dalam menulis disertasi kita harus full dan konsen jangan sampai main ambil dari internet, dll. Kualitas disertasi bukan pada jumlah halamannya tapi lebih penting substansinya. Disertasi yang baik cukuplah 150 halaman. Menurut Fazlurrahman bahwa disertasi yang baik cukup 100 halaman karena jika lebih pasti di dalamnya banyak pengulangan. Kelak setelah anda semua lulus menjadi doktor bukan sekedar doktor, tetapi anda adalah doktor yang berkualitas dan menambah kelas menengah Indonesia. Mengapa Singapur kuat karena middle class sciety nya lebih banyak, mengapa kita masih banyak persoalan dan politik uang dalam pemilu karena di Indonesia kelompok low class society nya lebih banyak. Contoh lain adalah Israel yang sulit dikalahkan, karena dari 1 juta penduduk itu terdapat 17500an doktor dan profesornya, Mesir hanyak 1500an doktor dan profesor. Bahkan di Indonesia lebih sedikit lagi.


Untuk mendukung kemampuan menulis kita, maka perlu membaca buku academic writing tentang teknik dan cara bagaimana menulis yang baik jangan sampai kita tidak berputar-putar dalam menuangkan ide. Sering kita temui banyak orang pandai tapi ketika sudah di depan Laptop ternyata sulit menulis. Contoh permasalahan yang dapat saudara lihat diantarannya tentang masalah mengecat jenggot dari sudut pandang sosiologi, mau melihat timbul dan tenggelamnya hadits, seperti ada hadits wala aimmatin minquriasy. Hadits ini terkenal pada masa khalifah Abu Bakar setelah nabi wafat hingga berabad-abad tidak ada yang membantah sehingga para sultan diangkat dari orang quraisy, tetapi di zaman Ibnu Khaoldun muncul mukoddimah ibnu kholdun yang membantah makna quraisy itu bukan geneologi/keturunan quraisy tetapi adalah kompetensi seperti orang quraisy.

Indonesia menyimpan sangat kaya raya manuskrip yang bisa dilakukan penelitian. Ada profesor Edwin P Wierenga, beliau meneliti manuskrip tentang syair unggas soal jawab. Menurutnya syair unggas ini merupakan asli syair Melayu yang memiliki makna bahwa ulama kita memiliki kreativitas otentik. Jika Cak Nur mengatakan bahwa orang Indonesia itu merupakan konsumen ilmu pengetahuan, ini tidak spenuhnya benar karena temuan Edwin ini bahwa ulama-ulama kita banyak menulis.

Jadi, kita perlu penguasaan Manuskrip Nusantara, seperti dikatakan Yan Van der Puthen (dari Jerman) bawah siapa yang menuasai masa lalu maka ia akan menguasai masa depan, dengan demikian Jerman menyiapkan anggaran tidak terbatas untuk membeli berbagai naskah dan manuskrip seluruh dunia dalam rangka itu.

Menyikapi dinamika perkembangan jurnal yang teindeks Scopus, di Kemenag ada 2 ribu jurnal yaitu moraref. Dari 2000 itu ada 800 yang sudah OJS. Iran memiliki jurnal yang diakui dunia khusus sains dan teknologi. Moraref akan dimasukan ke jurnal Iran itu. Di Lektur kita punya dua jurnal Lektur dan Heritage. Kita setuju bahwa kita punya pemikiran bahwa Indonesia seharusnya menjadi destinasi pemikiran Islam. Islam Indonesia adalah Islam masa depan dunia. Dulu abad 18 kiblat kita ke Mesir, Yaman, dsb, tapi hari ini, kiblat Islam adalah ke Asia Tenggara, dan itu adalah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar